Senin, 07 Januari 2013

Bhagavatam Part 31 : Meditasi dan tapa spiritual

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini


Ketika Resi Shuka mendengar jawaban ini, beliau berkata, “Maharaja, karena hati Tuan manunggal dengan Shyaamasundara, Bhagawan Sri Krishna 'yang berkulit gelap dan rupawan', saya sangat senang. Karena itu, Tuanku dapat menanyakan kepada saya segala masalah yang menyusahkan Tuan. Saya akan memberikan jawaban dan penjelasan yang sesuai. Saya akan menggetarkan hati Tuan dan menambah kerinduan Tuan kepada Shyaamasundara, Avatar rupawan yang berkulit bak awan hujan.”

Mendengar perkataan sang guru, Pariikshit amat gembira. Ia berkata, “Maharesi yang sangat terkenal, kualifikasi apakah yang saya miliki sehingga saya berhak mengajukan pertanyaan kepada Guru? Beritahukan kepada saya, apa yang Maharesi anggap paling baik; katakan kepada saya, apa yang paling saya perlukan selama hari-hari yang kritis ini; ajarlah saya apa yang paling bermanfaat, paling pantas diperhatikan, dan paling penting. Maharesi lebih tahu mengenai hal ini dari pada saya. Jelaskan kepada saya tanpa mengindahkan pertanyaan dan keinginan saya. Tentu saja kadang-kadang saya terganggu keraguan karena saya masih terikat oleh godaan khayal dan kekaburan bathin. Jika hal ini timbul, akan saya sampaikan keraguan serta kekhawatiran saya, dan saya terima penjelasan yang menyembuhkan dari Maharesi. Saya mohon agar Maharesi jangan menganggap saya mempunyai maksud-maksud lain. Janganlah menimbang prestasi saya. Perlakukan saya seperti putra sendiri; ubahlah saya menjadi seorang yang diam dan tenang.”


“Meskipun demikian, biarlah saya sampaikan kepada Maharesi satu keraguan yang sejak lama saya pendam. Apakah pengalaman-pengalaman individu dalam tubuh ini diarahkan oleh sifatnya sendiri, atau diarahkan oleh kumpulan akibat perbuatannya pada masa lalu? Kemudian ada keraguan lain: Maharesi berkata bahwa dari pusar pribadi pramula (Puraana Purusha), tumbuhlah sebuah teratai lalu mekar, dan semua ciptaan berasal dari teratai itu. Apakah Tuhan muncul dengan anggota badan dan organ-organ tubuh seperti jiwa individual? Adakah perbedaan antara jiwa dan Brahma, individu dan perwujudan yang mutlak?”

“Biarlah saya juga mengajukan pertanyaan lagi: atas dasar apakah dibedakan masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang? Dan pertanyaan keempat: (dari berbagai perbuatan yang dilakukan jiwa) perbuatan apa yang membawa hasil dan akibat apa, serta status apa, pada masa yang akan datang. Pertanyaan kelima: apakah ciri-ciri khas para jiwa agung (mahaapurusha)? Apakah kegiatan mereka? Dengan tanda-tanda apakah kita dapat mengenali mereka? Pertanyaan keenam: kisah penjelmaan Tuhan manakah yang menawan dan memukau? Pertanyaan ketujuh: bagaimana kita dapat membedakan zaman Krita, Tretaa, dan Dwaapara? Pertanyaan kedelapan: bagaimana kita dapat memberi nama demikian pada suatu yuga? Pertanyaan kesembilan: latihan rohani atau disiplin apakah yang harus dilakukan seseorang agar dapat manunggal dengan atma yang merupakan Paramaatma, 'jiwa agung' atau 'jiwa universal'? Akhir-nya pertanyaan kesepuluh: apakah Weda dan Upaweda? Upaweda mana berkaitan dengan Weda yang mana?”

“Mohon berilah saya jawaban pertanyaan-pertanyaan ini maupun berbagai topik lain yang patut diperhatikan. Resi Yang Agung, saya pasrah kepada Maharesi. Tiada orang lain yang dapat memberi saya penjelasan mengenai masalah ini serta berbagai topik lainnya. Karena itu, selamatkan saya dari neraka ketidaktahuan. “Maharaja bersujud di kaki guru dan mohon doa restu.
Dengan senyum penuh kasih Resi Shuka berkata, “Bangkitlah oh Maharaja! Bila Tuan mengajukan begitu banyak pertanyaan sekaligus, bagaimana Tuan dapat memahami jawabannya? Lagi pula sudah lama Tuan belum melepaskan dahaga atau makan apa pun juga. Mari, setidak-tidaknya makanlah beberapa buah-buahan dan minumlah susu sedikit. Tubuh fisik kita berhak memperolehnya, itulah haknya yang istimewa. Bila tubuh kekurangan makanan, Tuan dapat meninggal dengan keraguan yang belum terselesaikan. Karena itu, makanlah!” perintah beliau.

Raja menjawab, “Maharesi, bukankah mereka yang hari-hari akhirnya telah menjelang seharusnya lebih mengutamakan santapan rohani yang memberi keabadian daripada makanan jasmani yang memelihara kepalsuan ini? Walaupun mungkin tubuh ini kelaparan, bagaimana saya bisa mati sebelum waktunya bila saya menghirup nektar keabadian dan bila Maharesi memenuhi saya dengan kegembiraan mengecap obat manis penyembuh penyakit kematian? Tidak. Itu tidak akan terjadi. Andai pun Shringii yang marah tidak mengutuk saya, andai pun ular Takshaka tidak diutus untuk membunuh saya setelah tujuh hari, saya tidak akan mati sebelum waktunya ketika sedang mendengarkan kisah-kisah Tuhan. Saya mendengarkan aneka cerita itu tanpa memikirkan makanan dan minuman. Makanan dan minuman saya adalah kisah-kisah Sri Krishna yang selezat nektar. Karena itu, janganlah memikirkan makanan dan minuman saya; buatlah saya layak memperoleh kebahagiaan tertinggi, tingkat tertinggi kesadaran diri sejati. Selamatkan saya dari kehancuran. Saya bersujud di kaki Guru.”

“Raja menitikkan air mata penyesalan dan duduk sambil memohon kepada sang guru. Resi Shuka berkata, “kalau begitu dengarkan. Pada mulanya Brahma mencurahkan cahaya pada dunia yang diwujudkan oleh maya atau khayal. Brahma menghendaki agar ciptaan berkembang biak, tetapi ada suara dari angkasa yang mengingatkan, 'Tapa merupakan landasan penting bagi segala sesuatu. Melalui tapa, khayal akan lenyap. “Mendengar ini, Pariikshit menyela dan bertanya, “Apakah makna dan nilai tapa? Mohon berilah saya penjelasan.”
Resi Shuka menanggapi interupsi ini dengan ramah. Beliau berkata, “Nak, Maharaja, tapa berarti saadhanaa, disiplin, latihan rohani. Melalui tapalah terjadi proses agung penciptaan, pemeliharaan, dan penghancuran. Tapa menyebabkan dicapainya kesadaran diri sejati. Dengan kata lain, bila pikiran, akal budi, dan indera dilatih dengan tapa atau latihan rohani yang berdisiplin, maka diri sejati akan terungkap. Teknik tapa ini akan saya jelaskan kepada Tuanku, dengarkan. Pikiran, akal budi, dan indra selalu cenderung mengarah pada objek-objek lahiriah, mereka selalu berpaling ke dunia luar. Bila ada suara dari dunia luar, telinga mendengarkan. Begitu telinga mendengar, mata berusaha melihatnya. Pada waktu mata melihatnya, pikiran menginginkannya. Segera budi menyetujui gagasan itu dan (mulai) berusaha memperolehnya secepat mungkin.”

“Dengan demikian setiap indra mengejar objek-objek lahiriah satu demi satu, yang satu mendukung yang lain, resah dan sengsara. Pikiran, akal, dan indra yang (cenderung) berkelana tanpa tujuan mengejar kenikmatan objektif ini harus dikendalikan. Mereka harus dilatih agar memusatkan segenap perhatian pada kemuliaan dan kebesaran Tuhan, agar mengikuti satu jalur disiplin yang terpusat dan sistematis. Pikiran, akal, dan indra harus diarahkan menuju jalan yang lebih luhur. Kegiatan mereka yang tanpa izin harus dikendalikan; mereka harus dididik dengan japa, meditasi, perbuatan baik, kegiatan darma bakti, atau kegiatan luhur lain yang memurnikan.”

“Proses memurnikan peralatan batin manusia dengan memusatkan pembicaraan, perasaan, dan kegiatan kepada Tuhan disebut tapa. (Dengan demikian) kesadaran batin akan dibersihkan dari segala noda dan cacat cela. Bila kesadaran batin telah menjadi murni dan tidak tercemar, Tuhan akan bersemayam di dalamnya. Akhirnya saadhaka akan mengalami penampakan Tuhan di dalam dirinya sendiri.”
“Oh Maharaja, dapatkah seseorang membayangkan yang lebih agung daripada hal ini? Para resi agung, para mahatma, semuanya sibuk melakukan tapa dan sebagai hasilnya mereka memperoleh kecemerlangan serta kemuliaan spiritual yang langka dan langgeng. Bahkan Raavana dan Hiranyakashipu, para iblis yang jahat, dapat menguasai dunia materiil dan memperoleh kemampuan penghancur yang dahsyat melalui disiplin tapa yang dilakukan dengan susah payah dan diarahkan pada saluran yang agresif. Kalau saja usaha mereka diarahkan pada jalan saattvika, dan bukannya memilih jalan raajasika, pastilah mereka telah mencapai kedamaian dan sukacita kesadaran diri sejati.”

“Didasarkan pada dorongan yang melandasinya, tapa digolongkan dalam tiga kelompok: taamasika, raajasika, dan saattvika. Dari ketiga jenis ini, tapa saattvika paling efektif untuk memperoleh penampakan Tuhan.”
“Vasishtha, Vishwaamitra, dan para resi lain memperoleh kesaktian menakjubkan melalui tapa saattvika yang mereka lakukan dengan motivasi yang murni dan tidak mementingkan diri. Akhirnya mereka meningkat ke status Brahmaresi.”
“Tapa juga digolongkan de dalam tiga kelompok lain yaitu: mental, fisik, dan vokal. Mungkin Tuanku bertanya, dari ketiganya mana yang paling penting. Harus saya katakan kepada Tuhan bahwa ketiganya penting. Tetapi jika tapa mental dilakukan, kedua jenis lainnya akan mengikuti.”

“Orang yang terikat oleh keinginan objektif akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Ia menjadi budak indra dan sasaran yang dikejarnya. Tetapi bila ia menarik indranya dari dunia, mengendalikan penguasa indra yaitu pikiran, dan menyibukkan pikiran dalam tapa, maka ia dapat menegakkan swaaraajya 'penguasaan diri' atau 'kebebasan atas dirinya sendiri'. Membiarkan indra melekatkan diri pada objek, itulah perbudakan. Bila pikiran yang mengalir melalui indra menuju ke dunia luar dipalingkan ke dalam batin untuk merenungkan atma, ia akan mencapai kebebasan atau moksha.”
“Oh Maharaja! Segala hal yang kasat mata ini bersifat sementara dan tidak nyata. Hanya Tuhanlah yang nyata dan abadi. Kelekatan pada objek-objek berakhir dengan kesedihan. Tuhan merupakan kenyataan diri kita. Kenyataan itu, Tuhan di dalam diri Tuan, tidak ada hubungannya dengan dunia objektif yang selalu berubah dan bersifat sementara; Beliau adalah kesadaran murni. Andai pun Tuan mencoba menghubungkannya, hal itu hanya seperti hubungan antara orang yang bermimpi dengan benda yang dilihat serta dialaminya dalam mimpi.”

Mendengar ini, Raja bertanya, “Resi Yang Agung! Dalam hal ini ada yang membuat saya ragu. Hanya hal-hal yang sudah diketahui secara langsung pada waktu melek akan tampak dalam mimpi, karena itu harus ada kenyataan sebagai landasan penampakan yang keliru itu, bukan? (Ketika sedang bermimpi), semua objek dianggap nyata, pada waktu bangun disadarilah bahwa semua itu tidak nyata. Tetapi, ini merupakan pengalaman kita manusia; dapatkah Tuhan pun terperdaya? Lagi pula, jika objek-objek itu hanya sejenis dan seragam, maka dapat dikatakan bahwa maya memperdayakan dan inilah akibatnya. Tetapi objek itu banyak sekali dan bentuknya sangat beragam. Semuanya tampak nyata dan benar. Bagaimana hal ini dapat dibandingkan dengan pengalaman-pengalaman dalam mimpi?”

Pertanyaan ini membuat Resi Shuka tertawa. “Oh Maharaja, mayalah penyebab wujud yang beraneka ragam ini. Ini merupakan permainan drama yang cerdik seperti aneka ragam pakaian. Dunia objektif atau alam mengambil berbagai wujud melalui manipulasi maya 'dorongan yang memperdayakan'. Karena dorongan delusi atau ketidaktahuan pramula, timbullah ketiga sifat (sattva, rajas, serta tamas) dan sifat-sifat itu saling bercampur, Dengan adanya perubahan, waktu pun mewujud. Kemudian muncullah segala keanekaragaman yang disebut alam semesta ini. Karena itu jivi 'jiwa individual' harus mengabdikan dirinya kepada penguasa delusi ini, sutradara drama ini, penguasa yang memainkan waktu, sang aktor yang memainkan guna 'sifat sattva, rajas, tamas atau jenis kelakuan yang sesuai dengan jenis sifat yang dominan', ibu seluruh jagat raya. Jivi harus memenuhi dirinya dengan pengertian mengenai kemuliaan Tuhan Yang Maha Mutlak dan abadi serta kekuasaan-Nya yang tidak terbatas. Ia harus membenamkan dirinya dalam kebahagiaan jiwa yang diperoleh dari pengertian itu, kemudian ia menanggalkan segala ajnaana 'kekaburan batin atau ketidaktahuan' dan bisa tidak melekat walaupun ia menggunakan ciptaan maya!”
Raja sangat takjub mendengar perkataan resi ini. Ia berkata, “Maharesi! Bagaimana pertama kali terjadinya ciptaan ini? Apakah bahan asal yang dilipatgandakan oleh maya? “Resi Shuka menguraikan topik ini. Beliau berkata, “Ciptaan berlangsung sejak waktu belum dimulai. Mula-mula timbullah teratai dari pusar pribadi pramula yang dalam kitab-kitab suci disebut Naaraayana. Dari teratai ini Tuhan sendiri mewujud sebagai Brahma, Brahma merasakan dorongan untuk memandang ke empat jurusan, maka wajah-Nya menjadi empat.”

“Brahma menyadari bahwa ia harus menggiatkan diri agar penciptaan dapat berlangsung, maka ia duduk dengan sikap yoga padmaasana dan memikirkan gagasan seluruh ciptaan ini. Maharaja Pariikshit, misteri ciptaan tidak dapat diuraikan dengan mudah atau dipahami dengan cepat. Dalam kegiatan Tuhan yang Mahabesar, tidak ada rantai sebab akibat. Tiada seorang pun dapat memeriksa atau menyelidiki kemampuan kreatif dan prestasi Tuhan Yang Mahatinggi. Mahakuasa, dan Mahatahu. Maharaja, ketika saya sedang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Tidak semua hal itu pasti akan saya jelaskan kepada Tuan dalam penuturan kisah Bhaagavata berikut ini. Semua pertanyaan Tuan berada dalam lingkup Puraana.”

Ketika perkataan yang menghibur dan menyenangkan ini didengarnya, Pariikhshit bertanya, “Resi Yang Agung! Apakah Puraana itu? Apa isinya” Berapa banyak jumlahnya “Resi Shuka menjawab, “Kitab yang menguraikan kebenaran ringkas dan tepat yang terkandung di dalam Weda disebut Puraana. Jumlahnya tidak terhitung, tetapi kini delapan belas diantaranya sangat terkenal. Kitab-kitab ini disusun dan disunting oleh ayah saya, Maharesi Vyaasa. Mereka mempunyai sepuluh sifat khas yang sama. Tambahan-tambahan pada Puraana ini disebut Upa-Puraana dan hanya mempunyai lima ciri khas. Mungkin Maharaja akan bertanya, apakah kesepuluh sifat khas tersebut. Akan saya ceritakan kepada Tuanku bahkan sebelum Tuan bertanya! Ciri-ciri khas tersebut adalah sarga, visarga, sthana, poshana, uuti, manvantara, Ishaanucarita, nirodha, mukti, dan asraya (penjelasan kata-kata Sanskerta ini diberikan dalam bab berikutnya, keterangan penerjemah). Dari kesepuluh ciri khas ini asrayahalah yang paling penting.

Tidak ada komentar: