Kamis, 27 Februari 2014

Maha Shivaratri dalam Tradisi Vaishnava





Mahashivaratri sebagai puncak dari semua malam Shiva yang muncul setiap chaturdasi (hari keempat belas setiap bulannya) dirayakan pada saat Krishna Paksa di bulan magha (antara pebruari dan maret) menurut kalender Hindu. Merupakan hari yang sangat diagungkan untuk melakukan pemujaan kepada Tuhan dalam aspeknya sebagai Shiva Sakti (Aspek pelebur dan pengembali unsur-unsur panca maha bhuta)  prosesi dari perayaan ini biasanya dimulai dengan upacara mandi pagi hari sebelum matahari terbit, lalu berpakaian yang bersih. Mempersiapkan air suci yang bisa didapat dari sumber mata air (Kelebutan), sungai-sungai suci, ataupun dengan menyucikannya menjadi tirta lalu dipakai untuk memandikan arca Shiva atau lingam setelah itu para bhakta biasanya berjalan mengelilingi arca tiga kali, tujuh kali atau bahkan ada yang sampai 21 kali sambil meneriakkan pujian keagungan kepada deva Shiva “Hara Hara Mahadeva”. Disamping itu para bhakta biasanya juga melakukan upavasa (Berpuasa dengan tidak makan  ataupun minum), melakukan jagra (Begadang atau tidak tidur) dan juga Maunam (Tirakat diam utamanya menghentikkan pembicaraan yang tidak ada hubungannya dengan spiritualitas.) pada malam harinya dilakukan berbagai kegiatan suci untuk tetap bisa mengarahkan pikiran kepada aspek ketuhanan Shiva. Seperti misalnya dengan melakukan persembahyangan, melantunkan kidung puja atas kemahakuasaan Shiva, menyanyikan lagu-lagu pujian untuk dewa Shiva, berjapa Pancaaksara “OM Namah Shivaya”, menchantingkan mantram Rudram, dan diakhiri dengan Abhiseka Linggam yang dibarengi  dengan pembacaan Linggastakam.  Hal ini dilakukan untuk mendapatkan anugerah dalam praktek Yoga dan meditasi , guna mencapai kebaikan tertinggi dalam hidup sebab pada hari dimaksud , posisi planet di belahan bumi utara bertindak sebagai katalis yang sangat ampuh untuk membantu seseorang meningkatkan energi spiritualnya dengan mudah .
Menurut Shiva Purana , pemujaan lingam pada saat Maha Shivaratri harus memasukkan enam item yakni :         

1. Memandikan Shiva Lingga dengan air , susu dan madu . Kayu, apel atau daun bel juga bisa ditambahkan kedalam ritual ini , yang merupakan perlambang dari pemurnian jiwa
2. pasta cendana yang dikenakan pada Shiva Lingga setelah upacara abhiseka. Merupakan perlambang untuk memperoleh kebajikan.
3. Persembahan aneka buah-buahan , dimaksudkan sebagai permohonan untuk memperoleh umur panjang dan pemuasan keinginan
4. Persembahan dupa, dimaksudkan dengan harapan untuk mendapatkan kemakmuran
5. Persembahan dipa (api)  dimaksudkan bagi pencapaian pengetahuan
6. Dan persembahan daun sirih dimaksudkan sebagai perlambang bagi harapan untuk memperoleh kepuasan dan kebahagiaan duniawi.      

Tripundra mengacu pada tiga garis horizontal abu suci yang ditempatkan pada dahi oleh penyembah Dewa Siwa . Garis-garis ini melambangkan pengetahuan spiritual , kemurnian dan penebusan dosa hal itu juga melambangkan mata ketiga Shiva (Mata kebijaksanaan)  

MAHA SHIVARATRI DALAM TRADISI VAISNAVA
Seorang Ācāryas agung Vaisnava  merekomendasikan ketaatan untuk melakukan  Siva ratri sebagaimana kutipan dari Siva-tattva yang diterbitkan oleh Gaudiya Vedanta publication: 

    
Kami menghormati Lord Siva sebagai Vaisnava besar dan sebagai guru . Kami tidak menyembah beliau secara terpisah dari Sri Vishnu. dan kita memuliakan Dia dalam kaitannya dengan  Sri Krsna . Srila Sanatana Gosvami telah menulis dalam bukunya Hari - bhakti - Vilasa bahwa semua Vaisnava harus menjalankan  Siva - caturdaśī ( Siva - ratri ) . Lord Siva , yang mempunyai semua kualitas yang baik , tentu harus dihormati dengan penghormatan yang layak pada hari ini .  

Kami
mempersembahkan rasa hormat kepada Tuhan Siva dengan doa seperti ini    

            
vndāvanāvani - pate ! jaya soma soma – maule
            
Sanaka - sanandana - Sanatana - nāradeya   
            
gopīśvara ! Vraja - vilāsi - yugāghri – padme   
            
prema prayaccha nirupādhi namo Namas te    

                                                
Sankalpa - kalpadruma , 103 
O penjaga gerbang  Vrndavana ! O Soma , semua kemuliaan kepada Anda ! O Anda yang dahi-Nya dihiasi dengan bulan sabit , dan siapa yang dipuja oleh orang bijak yang dipimpin oleh Sanaka , Sanandana , Sanatana dan Narada ! O Gopīśvara ! kami memohon agar Anda memberikan kepada saya anugrah prema bhakti untuk bisa focus pada kaki  padma Śrī Sri Radha - Madhava , yang telah menunjukkan leela kebahagiaan di Vraja-Dhama, saya mempersembahkan rasa hormat saya.


LEGENDA YANG BERHUBUNGAN DENGAN HARI SHIVA RATRI
Diceritakan bahwa satu saat di masa lalu, Raja Cihtrabanu dari dinasti Iksvaku yang memerintah seluruh wilayah Jambu dvipa (India) sedang melakukan tirakat puasa bersama istrinya. Pada saat itu bertepatan dengan hari Shivaratri. Pada saat yang bersamaan, Rsi Ashtavakra datang berkunjung ke kediaman raja dan mendapati mereka sedang melakukan tirakat berpuasa. Lalu sang rsi bertanya tentang tujuan raja  melakukan hal itu. Kemudian raja Chitrabanu menjelaskan bahwa oleh kasih Tuhan, Ia diberikan kemampuan untuk mengingat beberapa kejadian dimasa hidupnya terdahulu yang mana pada saat itu Ia terlahir menjadi seorang pemburu yang bernama  Susvara di wilayah Varanansi. Sebagaimana kehidupannya yang bertempat tinggal di dekat hutan, ia menjadikan berburu sebagai mata pencahariannya. Setiap hari pekerjaannya hanya memburu burung atau hewan lainnya untuk dijual atau ditukarkan dengan  keperluan hidup lainnya. Pada satu saat sehari menjelang bulan baru (Tilem) ketika ia sedang roaming di hutan untuk mencari binatang buruan, ia melihat seekor rusa yang sedang asyik merumput dan tak menyadari kehadirannya maka dengan sangat hati-hati ia mengarahkan anak panahnya kearah rusa itu, namun sebelum ia sampai melepaskan bidikannya tiba-tiba ia melihat ada anak rusa yang masih kecil berlari mendekati rusa yang lebih besar. Ternyata itu adalah induknya. Melihat induk rusa yang menjilati anaknya dengan kasih, insting pemburu Susvara  pudar tergantikan oleh rasa iba sehingga mengurungkan niatnya untuk memanah sang rusa. Sampai hari senja ia belum mendapatkan satupun binatang buruan untuk dibawa pulang, sementtara ia masih berada didalam hutan dan untuk kembali ke rumah pastinya sudah sangat terlambat dan berbahaya. Oleh karena itulah ia berkeputusan untuk menghabiskan malam di hutan itu. Dan demi menghindari serangan binatang buas yang mungkin datang sewaktu-waktu, Suwarna naik ke atas pohon Bael untuk berlindung. Demi untuk menjaga dirinya agar tidak ngantuk dan terjatuh, ia akhirnya memetik daun bael dan menjatuhkannya kebawah.

Keesokan harinya dalam perjalanan pulang, saat ia membeli sedikit makanan untuk mengisi perutnya yang sudah kelaparan dari kemaren, mendadak ada seseorang yang tidak dikenalnya mendekat dan meminta makanan. Walaupun dalam kondisi yang tidak membawa bekal yang cukup, Suwarna masih mau untuk membagi makanannya kepada pengemis itu.
"Dalam perjalanan waktu , pemburu ini jatuh sakit dan akhirnya tidak tertolong sampai  ia menghembuskan napas terakhirnya . Para utusan Yama ( Malaikat kematian ) tiba di samping tempat tidurnya untuk membawa jiwanya ke Yama loka ( tempat tinggal Yama ) . namun pada saat yang sama utusan Dewa Shiva juga tiba bersamaan untuk membawa roh Si Suwarna ke Kailash. Karena sama-sama merasa berhak untuk mengambil sang Jiwa, maka ada pertarungan hebat antara utusan Yama dan utusan dewa Shiva untuk memperebutkan roh Sang pemburu, akhirnya setelah beberapa waktu Dewa Shiva mengutus Nandini untuk menengahi permasalahan tersebut dan menjelaskan keagungan Mahashiva ratri yang telah dijalankan oleh Suwarna. Sehingga melayakkan dirinya guna mendapatkan pengampunan sekaligus berkah untuk bisa tinggal di kediaman Dewa Shiva.  Demikianlah kisah masa lalu kehidupan saya sehingga sekarang saya diingatkan untuk melakukan vrata yang sama di hari suci Maha Shivaratri ini. Kata Raja Chitrabanu menyudahi kisah kehidupannya di kelahiran terdahulu. (Kisah ini tersurat dalam Garuda Purana).
Di Bali sendiri, cerita yang sama dengan tema central seorang pemburu bernama Lubdaka juga terkemas dalam karya sastra Mpu Tanakung yang hampir seluruh alurnya memiliki kesamaan. Tentu dalam hal ini, kisah demikian tidak bisa ditelan mentah-mentah saja sebab menurut Bhagavan Sri Sathya Sai Baba, "Shivarathri adalah hari ketika engkau harus membangun persahabatan antara pikiran dan Tuhan. Shivarathri membuat seseorang menyadari fakta bahwa Divinity yang sama meresapi semuanya dan dapat ditemukan di mana-mana. Dikatakan bahwa Shiva tinggal di Kailasa. Tetapi dimanakah letak Kailasa? Kailasa adalah sukacita dan kebahagiaan kita sendiri. Ini artinya bahwa Tuhan tinggal di Kailasa sukacita, kebahagiaan, dan kegembiraan. Jika engkau dapat mengembangkan rasa sukacita dan kegembiraan dalam pikiranmu, maka hatimu sendiri adalah Kailasa dimana Shiva tinggal. Bagaimana bisa seseorang mendapatkan sukacita ini? Sukacita datang dan tetap bersamamu ketika engkau mengembangkan kemurnian, kemantapan dan kesucian. Tidak ada gunanya hanya menjalankan Maha Shivarathri setahun sekali. Setiap menit, setiap hari, setiap malam, engkau seharusnya berpikir tentang Ketuhanan dan menyucikan waktumu, karena Shiva sendiri adalah Sang Pengatur Waktu.

MAKNA SIMBOLIK CERITA LUBDAKA ATAU KISAH PEMBURU SUVARNA.
Mengingat karya sastra Lubdaka ini bersifat Shivaistik, maka penafsiran atas symbul-symbulnya jg akan sy ulas berdasarkan kitab serupa yakni Vrespati tatva, Shiva tattwa, Bhuana kosa,dll. oke kita mulai dr makna Shivaratri. kata Ratri berarti "malam" sedangkan Shiva artinya Baik hati, suka memaafkan, pemberi harapan, dan membahagiakan.jd Shivaratri berarti "malam utk memuja Shiva utk melebur kegelapan hati guna mendapatkan pengampunan, pengharapan baik serta kebahagiaan". lalu hal apa sj yg harus kita lakukan pd saat itu..?? Menurut Brata Shiva Ratri, ada 3 hal penting yg mesti kita lakoni yakni : 1) Upavasa - bukan hanya dlm artian Berpuasa atau tidak makan dan minum, tetapi upavasa lebih jauh merupakan perlambang dari pengendalian lidah (Aharalagava) spy tidak asal makan (A3) tapi harus tetap mempertimbangkan Satvik atau tidaknya makanan itu sbgmana istilah tetangga kita Halal apa Haram. disamping itu, Upavasa jg mengandung makna Upa-Dekat dan Vasa - Penguasa (Tuhan) jd upavasa adalah usaha untuk mendekatkan diri dgn Tuhan. bagaimana caranya ? Lihat dan baca kembali 9 cara bhakti atau Nava vidya bhakti yg diajarkan Dewarsi Narada kpd Prahlada.
Brata kedua (2) adalah MONA - Diam atau tdk bicara. ini maksudnya bukan Sok bisu tetapi lebih kepada mengontrol pembicaraan keluar dan lebih banyak berbicara kedalam (mulat sarire). Hal ini sangat penting ditekankan mengingat sekarang banyak orang yg membuang-buang energinya utk bicara yg sama sekali tdk perlu bagi pengembangan spiritualnya. mendebat opini orang dgn komentar yg sama sekali tdk ada nafas spiritual atau nilai positifnya. oleh karena itulah Rsi Canakya pernah berucap "Priyamapyahitam na vaktavyam" - jangan mengucapkan kata-kata manis menarik tetapi tidak mengandung kebaikan dan kebenaran. Brata Ketiga (3) adalah Jagra - Sadar, melek, atau bergadang. inipun bukan berarti ASAL TIDAK TIDUR lalu minum kopi, dan keluyuran semau gue. tapi jagra disini lebih dimaksudkan agar kita sadar sepenuhnya tentang siapa diri kita, apa tujuan hidup kita, dan jika badan ini mati lalu kemana sang penghuni badan akan pergi. inilah sptnya yg mesti kita renungkan di malam Shiva ratri ini, karena jika ingin mencapai Shiva maka kita harus lebih banyak melakukan Seva (pelayanan) sehingga manusia tdk terkesan hidup sebagai Sava (mayat).
Lanjut ke makna Lubdaka, menurut istilah Sansekerta ia berarti Pemburu. ini melambangkan diri kita sendiri karena semua dari kita adalah seorang pemburu (ada Pemburu harta, pemburu kuasa, pemburu kama, pemburu Dharma, dll). dlm kisah ini, Lubdaka adalah seseorang yg telah mampu membunuh sifat-sifat kebinatangannya. Ia tinggal di daerah pegunungan. inipun kadang bisa dimaknai bahwa si Lubdaka sesungguhnya adalah seorang Rsi yg tinggal dekat dgn kediaman Shiva. karena kita tahu sendiri Shiva berstana di puncak gunung (Kailash). Gunung jg sering disebut Acala yg berarti tidak bergerak. Lingga acala - lingga yg tidak bergerak. senjata perburuan si Lubdaka adalah Panah (mengacu kpd manah - pikiran) utk bisa mendapatkan Budhi satva yg disimbulkan dgn binatang babi (varaha - vara nugraha - berkah). kemudian dikisahkan bahwa Lubdaka naik pohon Bila. pohon dlm bahasa bali disebut punyan KAYU - Kayun - manah / pikiran. sedangkan maja atau vilva (bile) selanjutnya menjadi WIRA. (menurut hukum Van der Toek,huruf PBW = RDL) maka kata WIRA dpt berarti Perwira, sifat teguh hati, pemberani, dan Tekun. shg dengan demikian arti mendalam dari naik pohon Bilva adalah simbul perjuangan utk meningkatkan kwalitas hidup dari Manava (manusia) menjadi Madhava (Tuhan). Makna takut jatuh dan memetik daun bilva, secara filosofis hal ini dpt diartikan bahwa Nanang Lubdaka takut mengalami tumibal lahir kembali alias reinkarnasi karena Ia telah sadar sepenuhnya bahwa hidup itu lebih banyak penderitaannya dan bahwa dunia ini adalah Asukham Anityam Lokam sbgmana Sabda Tuhan Sri Krishna dlm Gita. oleh karena itulah Lubdaka akhirnya memetik daun dan menjatuhkannya shg mengenai Shiva Linggam. jumlah daun yg 108 bukan tanpa arti. ini adalah simbolik dr kegiatan manas utk melakukan likita japam (sesuai dgn jumlah biji tasbih/genitri/japa orang Hindu yg berisi 108 butir.) maka wajar sj jk diakhir hayatnya Lubdaka dijemput oleh Vidyadara-Vidyadari (Vidya - pengetahuan, Dhara - pemegang / yg mempunyai) karena ia memang telah mendapatkan pengetahuan sejati tentang sang diri (roh/atman yg sesungguhnya adalah bagian tak terpisahkan dari Hyang Paramatma - Tuhan) jadi spt janji Tuhan dlm B. Gita Bab 8.5 maka siapapun yg meninggalkan badannya sambil ingat kepada-Ku segera akan mencapai sifat-Ku. kenyataan ini tak bisa diragukan wahai putra partha.