Beberapa
pertapa yang mendengar raja menuturkan kisah kutukan itu menjadi sangat marah
kepada putra Shamiika sehingga mereka berkata bahwa dia pasti gadungan, tidak
pantas menjadi putra resi, karena tidak ada anak yang lahir dari seorang resi
dengan bobot seperti Shamiika akan mengucapkan kutuk membinasakan seperti itu
untuk kesalahan yang demikian ringan. Mereka pastilah seseorang yang tolol atau
sinting. Bagaimana mungkin kutuk yang timbul dari lidah orang semacam itu dapat
terlaksana, tanya mereka. Tidak mungkin raja celaka akibat kutukannya, demikian
mereka tegaskan. Mereka berusaha meyakinkan raja bahwa beliau tidak perlu
merasa takut karena hal itu.
Senin, 31 Desember 2012
Sabtu, 29 Desember 2012
Bhagavatam Part 26 : Kutukan ataukah Rahmat ?
Utusan
dari pertapaan itu berkata, "Oh Maharaja, guru kami mempunyai seorang
putra; walaupun ia masih remaja, prestasi spiritual yang dicapainya besar
sekali. Ia menghormati ayahnya sebagai dewata dan tujuan utama hidupnya adalah
melayani ayahnya serta menjaga kemasyhuran beliau. Nama anak itu Shringii.
Baginda datang ke pertapaan itu; tergerak oleh suatu dorongan yang tidak dapat
dijelaskan, Baginda kalungkan bangkai ular pada leher ayah Shringii yang juga
guru saya. Beberapa anak melihat kejadian itu; mereka berlari menemui Shringii
yang sedang bermain dengan kawan-kawannya dan memberitahunya. Mula-mula ia
tidak percaya dan melanjutkan permainannya. Tetapi anak-anak dari pertapaan
mengulang berita itu berkali-kali secara mendesak. Mereka mengejeknya karena
terus bermain dengan gembira sementara ayahnya dihina demikian kasar. Bahkan
teman sepermainannya menertawakan ketidakpeduliannya. Karena itu, ia berlari
secepat mungkin menuju ke pondoknya dan mendapati bahwa laporan anak-anak itu
ternyata benar."
Bhagavatam Part 25 : Belas Kasihan Sang Pertapa
Perkataan
ayahnya yang tajam menimbulkan kepedihan tak terhingga di hati Shringii,
putranya yang lembut hati. Perkataan itu terasa bagaikan tusukan sembilu atau
pukulan gada; bocah malang itu tidak sanggup lagi menahannya. Ia merebahkan
diri di lantai, merengkuh kaki ayahnya sambil meratap, "Ayah, ampunilah
saya. Saya dilanda rasa marah karena raja bertingkah laku demikian keterlaluan,
begitu kasar dan sombong, begitu tidak sopan dan tidak berperikemanusiaan. Saya
tidak dapat menahan rasa dendam atas penghinaan yang dilontarkannya kepada
Ayah. Tidak pantas bukan, seorang raja bertingkah laku seperti itu, dengan cara
yang demikian tidak layak, setelah ia memasuki suatu pertapaan?"
Melihat
keadaannya yang menyedihkan, Shamiika sang pertapa, membimbing bocah itu ke
sampingnya lalu berkata, "Nak, paksaan keadaan saat itu tidak dapat
dielakkan. Orang sering mengesampingkan petunjuk akal budinya karena desakan
keadaan semacam itu. Renggutan takdir akan menghancurkan kendali akal sehat.
Paksaan keadaan saat itu menghadapi manusia dengan segenap kekuatannya dan tak
dapat tidak, ia menyerah. Raja ini adalah abdi Tuhan yang taat dan amat saleh.
Ia telah meraih kecemerlangan spiritual. Ia selalu teguh dalam tingkah laku
yang bersusila. Ia adalah penguasa seluruh kawasan; kemasyhurannya telah
tersebar di tiga loka. Ia selalu dilayani dengan tulus hati oleh ribuan abdi
yang setia. Bila ia meninggalkan istana untuk bepergian, banyak pengawal
mengiringi dan menatapnya dengan tangan terkatup menyembah, menanti perintah
yang paling remeh sekalipun, agar mereka dapat menyenangkan hatinya dengan melaksanakan
perintah itu sebaik-baiknya. Begitu ia memasuki suatu kerajaan, penguasa
wilayah itu memberikan sambutan yang megah, mempersembahkan segala yang
terbaik, dan menyampaikan hormat bakti dengan penuh khidmat. Seseorang yang
terbiasa dengan acara harian semegah itu tentunya sangat terkejut ketika ia
tidak mendapat sambutan sama sekali di tempat ini; ia bahkan tidak dikenal dan
tidak dihormati. Pengabaian ini demikian serius hingga segelas air untuk
melenyapkan dahaga pun tidak diperolehnya. Ia tersiksa rasa lapar dan terhina
karena tidak mendapat tanggapan walaupun ia telah memanggil berulang-ulang.
Karena tidak mampu menanggung penderitaan dan pengalaman yang mengejutkan ini,
ia terdorong melakukan perbuatan yang tidak patut itu. Tentu saja itu merupakan
kesalahan, tetapi jika engkau bereaksi demikian keras untuk kekhilafan kecil
semacam itu, engkau membawa nama buruk yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi
seluruh komunitas rahib dan pertapa. Aduh! Alangkah mengerikan bencana yang kau
datangkan ini!"
Langganan:
Postingan (Atom)