Senin, 31 Desember 2012

Bhagavatam Part 27 : Kedatangan Sukadeva Gosvami



Beberapa pertapa yang mendengar raja menuturkan kisah kutukan itu menjadi sangat marah kepada putra Shamiika sehingga mereka berkata bahwa dia pasti gadungan, tidak pantas menjadi putra resi, karena tidak ada anak yang lahir dari seorang resi dengan bobot seperti Shamiika akan mengucapkan kutuk membinasakan seperti itu untuk kesalahan yang demikian ringan. Mereka pastilah seseorang yang tolol atau sinting. Bagaimana mungkin kutuk yang timbul dari lidah orang semacam itu dapat terlaksana, tanya mereka. Tidak mungkin raja celaka akibat kutukannya, demikian mereka tegaskan. Mereka berusaha meyakinkan raja bahwa beliau tidak perlu merasa takut karena hal itu.

Sabtu, 29 Desember 2012

Bhagavatam Part 26 : Kutukan ataukah Rahmat ?



Utusan dari pertapaan itu berkata, "Oh Maharaja, guru kami mempunyai seorang putra; walaupun ia masih remaja, prestasi spiritual yang dicapainya besar sekali. Ia menghormati ayahnya sebagai dewata dan tujuan utama hidupnya adalah melayani ayahnya serta menjaga kemasyhuran beliau. Nama anak itu Shringii. Baginda datang ke pertapaan itu; tergerak oleh suatu dorongan yang tidak dapat dijelaskan, Baginda kalungkan bangkai ular pada leher ayah Shringii yang juga guru saya. Beberapa anak melihat kejadian itu; mereka berlari menemui Shringii yang sedang bermain dengan kawan-kawannya dan memberitahunya. Mula-mula ia tidak percaya dan melanjutkan permainannya. Tetapi anak-anak dari pertapaan mengulang berita itu berkali-kali secara mendesak. Mereka mengejeknya karena terus bermain dengan gembira sementara ayahnya dihina demikian kasar. Bahkan teman sepermainannya menertawakan ketidakpeduliannya. Karena itu, ia berlari secepat mungkin menuju ke pondoknya dan mendapati bahwa laporan anak-anak itu ternyata benar."

Bhagavatam Part 25 : Belas Kasihan Sang Pertapa



Perkataan ayahnya yang tajam menimbulkan kepedihan tak terhingga di hati Shringii, putranya yang lembut hati. Perkataan itu terasa bagaikan tusukan sembilu atau pukulan gada; bocah malang itu tidak sanggup lagi menahannya. Ia merebahkan diri di lantai, merengkuh kaki ayahnya sambil meratap, "Ayah, ampunilah saya. Saya dilanda rasa marah karena raja bertingkah laku demikian keterlaluan, begitu kasar dan sombong, begitu tidak sopan dan tidak berperikemanusiaan. Saya tidak dapat menahan rasa dendam atas penghinaan yang dilontarkannya kepada Ayah. Tidak pantas bukan, seorang raja bertingkah laku seperti itu, dengan cara yang demikian tidak layak, setelah ia memasuki suatu pertapaan?"

Melihat keadaannya yang menyedihkan, Shamiika sang pertapa, membimbing bocah itu ke sampingnya lalu berkata, "Nak, paksaan keadaan saat itu tidak dapat dielakkan. Orang sering mengesampingkan petunjuk akal budinya karena desakan keadaan semacam itu. Renggutan takdir akan menghancurkan kendali akal sehat. Paksaan keadaan saat itu menghadapi manusia dengan segenap kekuatannya dan tak dapat tidak, ia menyerah. Raja ini adalah abdi Tuhan yang taat dan amat saleh. Ia telah meraih kecemerlangan spiritual. Ia selalu teguh dalam tingkah laku yang bersusila. Ia adalah penguasa seluruh kawasan; kemasyhurannya telah tersebar di tiga loka. Ia selalu dilayani dengan tulus hati oleh ribuan abdi yang setia. Bila ia meninggalkan istana untuk bepergian, banyak pengawal mengiringi dan menatapnya dengan tangan terkatup menyembah, menanti perintah yang paling remeh sekalipun, agar mereka dapat menyenangkan hatinya dengan melaksanakan perintah itu sebaik-baiknya. Begitu ia memasuki suatu kerajaan, penguasa wilayah itu memberikan sambutan yang megah, mempersembahkan segala yang terbaik, dan menyampaikan hormat bakti dengan penuh khidmat. Seseorang yang terbiasa dengan acara harian semegah itu tentunya sangat terkejut ketika ia tidak mendapat sambutan sama sekali di tempat ini; ia bahkan tidak dikenal dan tidak dihormati. Pengabaian ini demikian serius hingga segelas air untuk melenyapkan dahaga pun tidak diperolehnya. Ia tersiksa rasa lapar dan terhina karena tidak mendapat tanggapan walaupun ia telah memanggil berulang-ulang. Karena tidak mampu menanggung penderitaan dan pengalaman yang mengejutkan ini, ia terdorong melakukan perbuatan yang tidak patut itu. Tentu saja itu merupakan kesalahan, tetapi jika engkau bereaksi demikian keras untuk kekhilafan kecil semacam itu, engkau membawa nama buruk yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi seluruh komunitas rahib dan pertapa. Aduh! Alangkah mengerikan bencana yang kau datangkan ini!"