Sabtu, 29 Desember 2012

Bhagavatam Part 26 : Kutukan ataukah Rahmat ?

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini


Utusan dari pertapaan itu berkata, "Oh Maharaja, guru kami mempunyai seorang putra; walaupun ia masih remaja, prestasi spiritual yang dicapainya besar sekali. Ia menghormati ayahnya sebagai dewata dan tujuan utama hidupnya adalah melayani ayahnya serta menjaga kemasyhuran beliau. Nama anak itu Shringii. Baginda datang ke pertapaan itu; tergerak oleh suatu dorongan yang tidak dapat dijelaskan, Baginda kalungkan bangkai ular pada leher ayah Shringii yang juga guru saya. Beberapa anak melihat kejadian itu; mereka berlari menemui Shringii yang sedang bermain dengan kawan-kawannya dan memberitahunya. Mula-mula ia tidak percaya dan melanjutkan permainannya. Tetapi anak-anak dari pertapaan mengulang berita itu berkali-kali secara mendesak. Mereka mengejeknya karena terus bermain dengan gembira sementara ayahnya dihina demikian kasar. Bahkan teman sepermainannya menertawakan ketidakpeduliannya. Karena itu, ia berlari secepat mungkin menuju ke pondoknya dan mendapati bahwa laporan anak-anak itu ternyata benar."


"Ketika berpaling, Shringii melihat Baginda sedang berjalan meninggalkan tempat itu. Tanpa pertimbangan mengenai apa yang penting untuk jangka panjang dan apa yang merupakan kepentingan sementara, terdorong oleh kekalutan dan kemarahan yang meluap-luap, remaja itu tidak dapat mengendalikan dirinya lagi, lalu melontarkan kutuk kepada Paduka. Ini menyebabkan guru saya terus merasa sedih." Maharaja menyela pemuda itu dan bertanya, "Oh, putra pertapa, katakan kepada saya apakah kutukannya." Pemuda itu menjawab, "Baginda, sulit bagi saya mengatakannya. Lidah saya bagaikan kelu. Meskipun demikian saya harus menyampaikannya karena guru saya telah mengutus saya untuk memberitahukan hal ini. Putra guru saya langsung menyauk air Sungai Kaushikii yang suci dan mengucapkan, 'Tujuh hari lagi mulai hari ini, semoga Raja digigit ular Takshaka, sungguh kutuk yang sangat mengerikan." Pemuda itu terdiam dilanda kesedihan lalu menangis.

Tetapi Maharaja hanya tersenyum. Ia berkata, "Pertapa muda, apakah ini suatu kutuk? Akan digigit Takshaka dan itu pun tujuh hari kemudian? Ini bukanlah kutuk, ini tanda anugerah rahmat! Ini suatu berkat yang diucapkan oleh putra guru. Saya telah tenggelam dalam urusan kemaharajaan sehingga melalaikan masalah kerohanian dan Tuhan yang merupakan tujuan hidup manusia. Akibatnya Tuhan yang penuh belas kasihan menggerakkan lidah putra resi itu untuk mengucapkan kata-kata tersebut. Beliau telah menganugerahi saya selang waktu selama tujuh hari! Bukankah ini rahmat yang luar biasa? Pastilah Tuhan menghendaki agar saya melewatkan setiap saat dalam tujuh hari itu untuk merenungkan Beliau. Mulai detik ini juga saya akan mempersembahkan waktu dan pikiran saya di kaki suci Tuhan dengan tiada putusnya. Teman muda, guru Anda menyuruh Anda menyampaikan berita apa lagi kepada saya? Katakan segera. Saya ingin sekali mendengarnya."

Utusan muda itu melanjutkan bicaranya, "Guru saya merasa bahwa kutuk ini merupakan penghianatan yang tidak dapat diampuni karena Baginda berpegang teguh pada dharma dan Baginda abdi Tuhan yang agung. Karena itu, sampai lama beliau berusaha mencari cara-cara untuk menghindarkan akibat kutukan itu. Meskipun demikian, dengan kemampuan yoganya beliau mengetahui bahwa Baginda memang ditakdirkan untuk mangkat akibat gigitan ular dan juga ditakdirkan mencapai takhta Tuhan ketika wafat. Beliau merasa bahwa ini merupakan akhir yang bermanfaat dan berdosalah jika beliau menghalangi tercapainya penyempurnaan yang demikian mulia. Karena itu, beliau mengirimkan berkat beliau melalui saya agar Baginda mencapai penyatuan dengan Tuhan. Sekarang saya sudah menyelesaikan tugas saya. Saya akan berangkat begitu Baginda memberi izin."

Pariikshit bersujud di hadapan murid muda itu lalu memohon agar ia menyampaikan hormat dan syukurnya kepada resi agung Shamiika serta putra beliau. Setelah itu pemuda tersebut meninggalkan istana. Ketika tiba di pertapaan, diberitahukan kepada gurunya segala yang terjadi di ibu kota.
Sementara itu Maharaja pergi ke ruang dalam dengan sangat gembira lalu berdiri di pintu masuk keputren dan minta agar putranya, Janamejaya, dibawa ke hadapannya. Mendengar itu, putranya heran mengapa ia dipanggil demikian mendadak, lalu berlari mendapatkan ayahnya. Pariikshit memanggil seorang brahmana tua ke kamarnya lalu memasang mahkota yang terletak di tempat tidurnya pada kepala putranya. Dipercayakannya raja baru itu kepada sang pendeta tua, kemudian ia berjalan tanpa alas kaki, hanya dengan pakaian yang saat itu melekat di tubuhnya, menuju ke sungai Gangga.

Dalam beberapa menit saja berita itu tersebar ke segala penjuru dan di seluruh kota rombongan pria, wanita, para brahmana, serta menteri bergegas mengikuti raja serta memprotes dengan sangat mengibakan, tetapi semuanya sia-sia. Mereka menangis keras-keras, menjatuhkan diri bersujud di kakinya, mereka berguling-guling di sepanjang jalan yang akan dilaluinya. Raja tidak melihat semua itu; ia tidak memberikan jawaban; ia berjalan terus sambil mengucapkan nama Tuhan dalam hati dan memikirkan kesadaran diri sejati yang hendak dicapainya. Ia berjalan cepat ke tepi sungai Gangga. Ketika mendapati bahwa raja berjalan seorang diri ke sungai tanpa pengiring, maka gajah kerajaan, kuda kerajaan, dan pelangkin dibariskan di belakangnya agar ia dapat naik di atas salah satu diantaranya sekehendak hatinya, tetapi Raja sama sekali tidak memperhatikan permohonan dan desakan yang diajukan berulang-ulang ini. Warga kerajaan heran melihat raja mereka tidak makan dan minum; ia mengulang-ulang nama Tuhan tanpa berhenti sesaat pun. Karena tidak seorang pun tahu apa yang menyebabkan raja secara mendadak bertekad mengundurkan diri dari keduniawian, beredarlah segala macam kabar angin didasarkan pada imajinasi setiap orang.

Beberapa orang menyelidiki peristiwa yang terjadi sebelum raja mengundurkan diri dan mendapati bahwa ada murid seorang pertapa yang datang menyampaikan berita penting. Dengan mengikuti petunjuk itu mereka mengetahui bahwa raja hanya akan hidup selama tujuh hari lagi. Warga kerajaan berkumpul di tepi sungai dan duduk dengan amat sedih di sekeliling raja, mendoakan keselamatannya.
Berita tragis itu menyebar demikian cepat hingga sampai ke hutan. Para pertapa, sadhaka, resi, dan orang-orang suci pun ikut berjalan ke tepi sungai Gangga sambil menjinjing kendi tempat air minumnya. Di seluruh tempat itu tampak seakan-akan sedang ada perayaan besar. Di situ bargeman penggabungan panama 'mantra Om', doa-doa Weda, dan panduan suara yang menyanyikan kemuliaan Tuhan. Beberapa kelompok sibuk memarahi putra Shamiika yang menyebabkan seluruh tragedi ini. Dengan demikian, dalam waktu singkat tepukan sungai itu penuh manusia sehingga tidak ada sebutir pasir pun yang tampak.

Sementara itu seorang pertapa tua yang merasa sangat iba dan sayang kepada maharaja datang mendekatinya. Dengan air mata berlainan karena luapan kasih nya, ia berkata, "Oh Maharaja, orang-orang mengatakan segala macam hal, berbagai cerita beredar dari mulut ke mulut. Saya datang menemui Paduka karena ingin mengetahui kejadian yang sebenarnya. Saya hanya bisa berjalan dengan susah payah. Saya amat sayang kepada Paduka sehingga saya tidak tahan mendengar segala yang dikatakan orang-orang mengenai Paduka. Sebenarnya, apakah yang terjadi? Apa yang menyebabkan pengorbanan mendadak ini? Apakah misteri di balik kutukan yang dilontarkan putra seorang pertapa kepada jiwa yang amat tinggi tingkatnya seperti Paduka? Beritahukanlah kepada kami. Puaskan hasrat kami untuk mengetahui kebenarannya. Saya tidak dapat menyaksikan saja sementara orang-orang menderita seperti ini. Baginda seperti ayah bagi mereka. Kini Baginda tidak menghiraukan permohonan mereka. Baginda telah melepaskan segala ikatan dan datang ke sini. Berbicaralah kepada mereka, setidak-tidaknya beberapa patah kata untuk menghibur. Bila Baginda duduk diam dengan lapar di tepi sungai, melakukan tirakat yang berat, para ratu dan menteri berada dalam keadaan yang amat sulit seperti ikan yang dilemparkan keluar dari air. Siapakah pemuda itu, yang kata-katanya menyebabkan badai malapetaka ini? Benarkah ia putra seorang pertapa? Atau barangkali itu hanya samaran? Semuanya merupakan misteri bagi saya."

Raja mendengarkan perkataan yang diucapkan dengan penuh kasih dan ketenangan ini. Ia membuka mata lalu bersujud di kaki pertapa tersebut. "Guru! Mahatma! Apa yang harus saya sembunyikan dari Guru? Hal itu tidak dapat disembunyikan seandainya pun saya ingin melakukannya. Saya pergi ke hutan untuk berburu. Banyak satwa liar yang terlihat, tetapi mereka lari cerai berai ketika kami mendekat. Serombongan kecil pemanah yang menyertai saya juga terpencar ketika berusaha mengejar binatang-binatang itu. Saya dapati bahwa saya sendirian dalam perburuan ini dan jauh dari para pengiring saya. Saya tidak mendapatkan binatang buruan; saya dilanda rasa lapar dan haus; hawa yang panas terik membuat saya kehabisan tenaga. Akhirnya saya temukan sebuah pertapaan dan saya masuk ke situ. Belakangan saya ketahui bahwa itu pondok Resi Shamiika. Saya berteriak memanggil-manggil, mencari kalau-kalau ada seseorang di dalamnya. Tidak ada jawaban, juga tidak ada seorang pun yang muncul. Saya lihat seorang pertapa sedang duduk dalam meditasi yang mendalam, tenggelam dalam dhyaana. Ketika keluar dari pondok itu, terpijak olehnya saya sesuatu yang lunak. Saya angkat dan saya dapati benda itu bangkai ular. Begitu melihatnya, akal sehat saya pun terkena bisanya, timbullah pikiran buruk dalam diri saya; saya kalungkan ular mati itu pada leher pertapa yang sedang bermeditasi. Entah bagaimana hal ini diketahui oleh putra pertapa tersebut; ia tidak dapat menanggung kekejian ini. Ia mengutuk, 'Semoga ular yang mengalungi leher ayah saya ini mengambil wujud Takshaka dan mengakhiri hidup orang yang menghina ayah saya seperti itu, pada hari ketujuh mulai hari ini.'

Dari pertapaan dikirimlah berita kepada saya mengenai kutukan ini serta akibatnya. Saya menyadari dosa yang telah saya lakukan; saya merasa bahwa seorang raja yang dapat melakukan dosa ini tidak mempunyai tempat dalam kerajaan. Karena itu, saya melepaskan segala-galanya, segala ikatan. Saya telah memutuskan akan menggunakan tujuh hari ini untuk merenungkan kemuliaan Tuhan dengan tiada putusnya. Sungguh kemujuran besar bahwa kesempatan ini dianugerahkan kepada saya. Itulah sebabnya saya datang ke sini."
Demikianlah ketika para bangsawan, pejabat tinggi istana, para pangeran, ratu, menteri, pertapa, dan lain-lainnya yang berada di sekeliling raja mengetahui fakta yang sebenarnya, segala dugaan yang bukan-bukan yang selama ini mereka bayangkan lenyap dari pikiran mereka. Mereka berdoa keras-keras agar kutukan itu kehilangan dayanya yang mematikan.

Tidak ada komentar: