Senin, 31 Desember 2012

Bhagavatam Part 27 : Kedatangan Sukadeva Gosvami

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini


Beberapa pertapa yang mendengar raja menuturkan kisah kutukan itu menjadi sangat marah kepada putra Shamiika sehingga mereka berkata bahwa dia pasti gadungan, tidak pantas menjadi putra resi, karena tidak ada anak yang lahir dari seorang resi dengan bobot seperti Shamiika akan mengucapkan kutuk membinasakan seperti itu untuk kesalahan yang demikian ringan. Mereka pastilah seseorang yang tolol atau sinting. Bagaimana mungkin kutuk yang timbul dari lidah orang semacam itu dapat terlaksana, tanya mereka. Tidak mungkin raja celaka akibat kutukannya, demikian mereka tegaskan. Mereka berusaha meyakinkan raja bahwa beliau tidak perlu merasa takut karena hal itu.

Banyak orang yang juga beranggapan seperti itu mengatakan bahwa raja tidak perlu menanggapi kutuk itu secara serius, tetapi raja tidak bergerak. Ia menjawab mereka dengan kedua tangan tertangkup (dalam sikap hormat), "Kalian berpikir dan berbicara seperti ini karena terdorong oleh simpati dan rasa sayang kepada saya. Tetapi saya tahu bahwa kesalahan yang telah saya lakukan tidak ringan dan tidak remeh. Adakah dosa yang lebih mengerikan daripada menghina mereka yang pantas dihormati? Selain itu, saya adalah raja yang bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka dan bertanggung jawab pula untuk menjaga keselamatan mereka. Bagaimana mungkin perbuatan saya dianggap ringan dan dapat diabaikan. Lagi pula, bila kalian pertimbangkan secara mendalam, kutuk yang diucapkan anak itu sama sekali bukan kutuk. Sebaliknya, hal itu merupakan anugerah besar yang hebat."

"Karena saya telah terjerumus dalam sumur dosa yang disebut kerajaan, saya telah mengelabui diri saya sendiri sehingga percaya bahwa kesenangan merupakan segala-galanya dalam hidup manusia; saya menempuh hidup hanya seperti binatang; saya telah melupakan Tuhan dan kewajiban saya kepada-Nya. Dengan cara ini dan melalui alat ini  Tuhan telah mengarahkan saya ke jalan yang benar. Tuhan telah memberkati saya. Ini merupakan anugerah, bukan hukuman atas kesalahan masa lampau seperti yang kalian bayangkan."
Ketika raja mengucapkan kata-kata tersebut, air matanya menitik karena sukacita dan rasa syukur. Tampak bahwa ia tergerak oleh kesungguhan hati dan bakti yang sangat mendalam. Raja menyatakan perasaannya dengan kepuasan batin yang tenang. Para pertapa dan warga masyarakat yang berada di sekeliling raja merasa takjub dan heran melihat ketenangannya. Mereka tahu bahwa pernyataannya benar.

Pertapa tua itu bangkit dan berdiri di depan warga kerajaan yang menangis. Ia berbicara kepada orang-orang yang berkumpul sebagai berikut, "Oh Maharaja yang terbaik! Perkataan Baginda bagaikan sinar matahari bagi hati para pertapa. Kata-kata itu sangat sesuai dengan garis keturunan dan latar belakang pendidikan Baginda karena Baginda lahir dari Paandava. Satu kali pun tidak pernah Paandava tergelincir ke dalam kesalahan atau dosa. Mereka selalu berpegang teguh pada kaki Tuhan; mereka mengikuti perintah Tuhan tanpa ragu. Ketika Bhagawan (Sri Krishna) kembali ke tempat kediaman Beliau, mereka meninggalkan kerajaannya karena penyangkalan diri yang spontan, lalu berangkat ke utara. Paduka pun kini mengikuti jalan suci ini karena Paduka termasuk dalam marga agung yang telah mewarisi cara hidup ini."
Mendengar ini, Raja memohon kepada mereka dengan kedua tangan terkatup dalam sikap hormat, "Oh, para pertapa yang terbaik! Saya hanya mempunyai satu keraguan, mohon lenyapkan hal itu dari pikiran saya. Tolonglah agar hari-hari (yang tersisa dalam kehidupan) saya ini dapat dilewatkan dengan baik." "Katakan kepada saya apa yang meragukan Paduka," jawab sang pertapa. Raja mohon agar diberitahu apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang yang sudah berada di ambang maut. Mendengar ini, seorang pertapa berdiri dan berkata bahwa sejauh waktu memungkinkan, orang itu dapat menyelenggarakan yajna atau yaga, atau melakukan japa atau tapa, beramal, berziarah, berpuasa, atau melakukan ritual pemujaan. Lainnya mengatakan bahwa moksa hanya dapat dicapai dengan diperolehnya jnaana (jnaanaadevatu kaivalyam). Pertapa ketiga berbicara bahwa kegiatan suci yang dianjurkan dalam kitab-kitab Weda dan Shaastra sangatlah penting (karmanyaivahi samsiddhi). Beberapa pertapa lain berdebat bahwa meningkatkan bakti kepada Tuhan merupakan cara yang terbaik untuk melewatkan minggu (terakhir) itu, bhaktivasha purushah 'Tuhan hanya dapat didekati dengan bakti'. Dalam kekacauan yang timbul karena aneka pendapat yang bertentangan ini, raja berusaha mencari jalan yang benar. Para pertapa terdiam melihat raja tetap berusaha mendapatkan jawaban yang benar atas pertanyaan yang diajukannya.

Sementara itu, seorang pertapa yang kelihatan masih muda, dengan paras luar biasa cemerlang dan kepribadian yang indah menawan, berjalan di antara kumpulan kaum bijak lanjut usia itu bagaikan aliran cahaya yang bergerak cepat. Ketika tiba di dekat raja, beliau duduk di tempat yang tinggi. Orang-orang yang melihat heran karena kemunculannya yang demikian mendadak. Beberapa diantara mereka mengetahui riwayat hidupnya. Dari penampilan lahiriahnya ia tampak seperti putra seorang pertapa, tetapi cari berdirinya, sikapnya, ketenangannya, dan kepribadiannya, semuanya menegaskan bahwa ia adalah master (dalam bidang kerohanian). Usianya masih sangat muda tetapi ada cahaya ketuhanan yang menyelubunginya.

Segera seorang pertapa lanjut usia yang bijaksana mengenalinya lalu datang ke dekatnya dengan kedua tangan tertangkup dalam sikap penuh hormat. "Sungguh mujurlah kita semua. Cahaya ketuhanan yang cemerlang ini tidak lain adalah Sri Shuka, putra Bhagawan Vyaasa yang mulia. "Demikian pertapa tua itu memperkenalkan pendatang baru tersebut kepada hadiran. Sang pertapa melanjutkan, "Sejak saat lahirnya, beliau bebas dari segala kelekatan. Beliau menguasai segala pengetahuan. "Ketika mendengar pernyataan ini, Pariikshit menitikkan air mata syukur dan sukacita. Ia bangkit seperti layang-layang di udara. Demikian ringan dan penuh sukacita lalu bersujud di kaki Resi Shuka. Ketika ia berdiri lagi, ia mengatupkan kedua tangannya dalam sikap berdoa. Ia tegak dengan diam bagaikan tiang, tenggelam dalam kebahagiaan jiwa. Ia melihat pemuda di hadapannya sebagai Sri Krishna sendiri. Kecemerlangan Resi Shuka terlalu gemilang baginya. Bagi raja, daya tarik resi muda itu tampak bagaikan Dewa Kaama. Ikal-ikal rambutnya yang hitam bergerak bagaikan kepala ular hitam menudungi wajah lonjongnya yang putih. Bagaikan sepasang bintang di antara awan gelap, mata resi muda itu memancarkan cahaya sejuk dan bersinar luar biasa cemerlang. Senyum yang tersungging di bibirnya menebarkan sukacita.

Dengan langkah-langkah perlahan raja mendekati Resi Shuka; suaranya terputus-putus tidak jelas, tenggorokannya bergetar karena emosi. Ia berkata, "Resi Yang Agung! Saya tidak mempunyai kemampuan untuk melukiskan dalamnya rahmat Maharesi. Setiap tindakan Maharesi ditujukan untuk kesejahteraan dunia. Sungguh mujurlah saya, hari ini saya mendapat darshan Guru demikian mudah, karena saya tahu hal itu hanya dapat diperoleh dengan usaha yang lama dan terus menerus. Oh, alangkah beruntungnya saya! Saya harus menganggap kemujuran ini berasal dari pahala yang didapatkan oleh para kakek saya. "Raja dipenuhi rasa syukur dan gembira atas kehadiran Resi Shuka; ia berdiri dengan air mata sukacita mengalir di wajahnya.
Dengan senyum tersungging di bibirnya, Resi Shuka memberitahu agar duduk di sampingnya. Beliau berkata, "Oh Maharaja! Tidak diragukan lagi, Tuanku lurus dan mantap dalam perilaku moral. Tuanku melayani orang-orang yang baik dan saleh dengan sungguh-sungguh. Hidup Tuanku yang penuh pahala telah menyebabkan berkumpulnya demikian banyak kaum bijak waskita di sekeliling Tuan hari ini. Jika tidak demikian, para pertapa yang sibuk melakukan latihan rohani ini tidak akan meninggalkan jadwal harian mereka untuk datang ke sini mendoakan Tuan agar mencapai kesadaran kesunyatan tertinggi. Ini bukanlah tindakan kedermawanan! Tuan memperoleh anugerah ini karena telah melewatkan banyak kehidupan dengan baik dan penuh kebajikan."

Ketika Resi Shuka berbicara kepadanya, raja menatap wajah beliau dengan rasa kagum dan bakti. Tiba-tiba ia menegakkan kepalanya dan berbicara kepada resi muda itu, "Oh Resi Yang Agung, ada keraguan yang mengganggu saya. Mohon lenyapkan kebimbangan itu dan anugerahkan kedamaian dalam hati saya. Ketika Maharesi datang, saya sedang menanyakan hal tersebut di hadapan himpunan para pertapa ini. Saya tahu Guru dapat menjelaskan masalah itu dalam sekejap. Pastilah hal itu ibarat permainan anak kecil bagi Guru. "Resi Shuka menyelanya dan berkata, "Maharaja Pariikshit, justru untuk melenyapkan kebimbangan itulah maka saya datang menemui Tuan. Maharaja dapat menanyakan keraguan Paduka kepada saya. Saya akan menyelesaikan masalah Tuan dan menganugerahkan kepuasan batin." Ketika Resi Shuka yang agung mengatakan hal ini, para pertapa dan kaum bijak waskita yang berkumpul di situ berseru, "Alangkah mujurnya!" "Sungguh beruntung!" Karena sangat senang, mereka bertepuk tangan keras sekali hingga sambutan gembira itu membahana di angkasa.

Raja berbicara dengan rendah hati dan tampak cemas, "Resi Yang Agung, apa yang harus dilakukan oleh orang yang menghadapi maut dan tahu bahwa ajalnya akan menjelang? Apakah yang harus direnungkannya? Setelah meninggalkan raga, jangan sampai ia lahir lagi. Bila itu merupakan permohonannya, bagaimana ia harus melewatkan sisa hari yang masih dimilikinya? Inilah masalah yang merisaukan saya saat ini. Apakah kewajiban saya yang utama?" berulang-ulang raja memohon bimbingan.
Resi Shuka menjawab, "Maharaja, jauhkan perhatian Tuanku dari pikiran-pikiran duniawi dan pusatkan kepada Sri Hari (salah satu sebutan Sri Krishna; secara harafiah berarti 'penghapus segala dosa', keterangan penerjemah), Tuhan yang memikat segala hati. Saya akan memberi pengarahan dalam kebijaksanaan Tuhan yaitu Bhaagavata tattva. Dengarkan dengan sepenuh hati; tidak ada kegiatan yang lebih suci daripada ini. Tidak ada latihan rohani, disiplin, atau ikrar yang lebih agung. Tubuh manusia ini bagaikan perahu yang berguna, kisah Sri Hari merupakan dayungnya; dunia yang selalu berubah-ubah, aliran yang tiada putusnya atau samsaara ini seperti samudra. Sri Hari dapat diibaratkan dengan tukang perahu! Hari ini, sarana suci ini tersedia bagi Tuanku."

"Pertanyaan yang Tuan ajukan tidak hanya penting bagi satu individu; seluruh dunia prihatin memikirkan masalah ini dan cara penyelesaiannya. Ini merupakan persoalan paling penting yang patut dicari jawabannya. Prinsip atma merupakan obat mujarab bagi segala penyakit. Itulah kebenaran tertinggi. Tidak seorang pun dapat menghindarinya. Memantapkan diri dalam keyakinan itu pada waktu melewatkan hari-hari yang terakhir merupakan kewajiban segala makhluk hidup. Status seseorang dalam kelahiran berikutnya akan ditentukan berdasarkan landasan ini. Jadi masalah yang Tuan tanyakan dan keraguan yang Tuan ajukan merupakan hal yang amat penting bagi kesejahteraan seluruh dunia. Jawabannya tidak hanya untuk Tuanku.

Tidak ada komentar: