Sabtu, 29 Desember 2012

Bhagavatam Part 25 : Belas Kasihan Sang Pertapa

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini


Perkataan ayahnya yang tajam menimbulkan kepedihan tak terhingga di hati Shringii, putranya yang lembut hati. Perkataan itu terasa bagaikan tusukan sembilu atau pukulan gada; bocah malang itu tidak sanggup lagi menahannya. Ia merebahkan diri di lantai, merengkuh kaki ayahnya sambil meratap, "Ayah, ampunilah saya. Saya dilanda rasa marah karena raja bertingkah laku demikian keterlaluan, begitu kasar dan sombong, begitu tidak sopan dan tidak berperikemanusiaan. Saya tidak dapat menahan rasa dendam atas penghinaan yang dilontarkannya kepada Ayah. Tidak pantas bukan, seorang raja bertingkah laku seperti itu, dengan cara yang demikian tidak layak, setelah ia memasuki suatu pertapaan?"

Melihat keadaannya yang menyedihkan, Shamiika sang pertapa, membimbing bocah itu ke sampingnya lalu berkata, "Nak, paksaan keadaan saat itu tidak dapat dielakkan. Orang sering mengesampingkan petunjuk akal budinya karena desakan keadaan semacam itu. Renggutan takdir akan menghancurkan kendali akal sehat. Paksaan keadaan saat itu menghadapi manusia dengan segenap kekuatannya dan tak dapat tidak, ia menyerah. Raja ini adalah abdi Tuhan yang taat dan amat saleh. Ia telah meraih kecemerlangan spiritual. Ia selalu teguh dalam tingkah laku yang bersusila. Ia adalah penguasa seluruh kawasan; kemasyhurannya telah tersebar di tiga loka. Ia selalu dilayani dengan tulus hati oleh ribuan abdi yang setia. Bila ia meninggalkan istana untuk bepergian, banyak pengawal mengiringi dan menatapnya dengan tangan terkatup menyembah, menanti perintah yang paling remeh sekalipun, agar mereka dapat menyenangkan hatinya dengan melaksanakan perintah itu sebaik-baiknya. Begitu ia memasuki suatu kerajaan, penguasa wilayah itu memberikan sambutan yang megah, mempersembahkan segala yang terbaik, dan menyampaikan hormat bakti dengan penuh khidmat. Seseorang yang terbiasa dengan acara harian semegah itu tentunya sangat terkejut ketika ia tidak mendapat sambutan sama sekali di tempat ini; ia bahkan tidak dikenal dan tidak dihormati. Pengabaian ini demikian serius hingga segelas air untuk melenyapkan dahaga pun tidak diperolehnya. Ia tersiksa rasa lapar dan terhina karena tidak mendapat tanggapan walaupun ia telah memanggil berulang-ulang. Karena tidak mampu menanggung penderitaan dan pengalaman yang mengejutkan ini, ia terdorong melakukan perbuatan yang tidak patut itu. Tentu saja itu merupakan kesalahan, tetapi jika engkau bereaksi demikian keras untuk kekhilafan kecil semacam itu, engkau membawa nama buruk yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi seluruh komunitas rahib dan pertapa. Aduh! Alangkah mengerikan bencana yang kau datangkan ini!"


Pertapa tua itu memejamkan matanya dan duduk diam sejenak, berikhtiar mencari suatu cara untuk menyelamatkan raja dari kutukan. Ketika tidak menemukan jalan keluar dan sadar bahwa hanya Tuhanlah yang dapat menolong dalam keadaan semacam itu karena Beliau Maha Kuasa dana Maha Tahu, Resi Shamiika berdoa dengan sepenuh hatinya, "Oh pelindung seluruh jagat raya, bocah yang belum dewasa ini, yang tidak tahu apa yang benar dan apa yang salah, apa yang merupakan kewajibannya dan apa yang bukan, terdorong oleh ketidaktahuan, telah melakukan kesalahan dahsyat ini, menimbulkan petaka bagi sang raja. Ampunilah anak ini atau hukumlah ia, tetapi bantulah meningkatkan kesejahteraan raja."
Resi itu membuka matanya. Ia melihat para pertapa serta bocah-bocah teman putranya berdiri di sekelilingnya. Dengan sedih ia berkata kepada mereka, "Apakah kalian lihat perbuatan mencelakakan yang telah dilakukan anak saya? Bukankah tidak benar jika kita para pertapa menghina dan mencelakakan raja yang merupakan pelindung dan pemimpin umat manusia?"

"Karena itu saya mohon kalian semua berdoa kepada Tuhan agar Raja tidak mengalami sesuatu yang membahayakan dan hanya hal-hal yang baik dianugerahkan kepada beliau." Ketika Resi Shamiika memberi petunjuk demikian kepada mereka, seorang pertapa lanjut usia bangkit dari kelompok itu; penampilannya memperlihatkan kedamaian batin dan kepasrahan; katanya, "Jiwa agung! Anda melimpahkan demikian banyak berkah kepada raja ini. Orang yang mengucapkan kutuk adalah putra Anda sendiri. Pastilah tingkat spiritual Anda jauh lebih tinggi daripada putra Anda dan Anda dapat mencapai apa saja dengan kesaktian Anda. Jadi, mengapa Anda begitu mencemaskan kutuk yang dilontarkan bocah ini kepada raja? Bukankah Anda dapat membuat kutuk itu tidak mempan?" Mendengar ini, hadirin lainnya tua muda berseru, "Benar, benar, dengarkan permohonan kami dan ampunilah anak ini. Datangkan kesejahteraan bagi raja dan selamatkan beliau dari mara bahaya."

Resi Shamiika tersenyum; ia memejamkan mata dan dengan penglihatan batin seorang yogi ia melihat masa lalu serta masa depan sang raja! Diperiksanya apakah keadaan raja sekarang ini disebabkan oleh masa lalu atau oleh masa depannya. Didapatinya bahwa Pariikshit memang harus menderita gigitan Takshaka, kobra yang beracun, dan hal ini sudah takdirnya. Sang resi merasa bahwa usaha untuk menyelamatkan raja dari bencana tersebut akan melawan kehendak Tuhan. Resi Shamiika sadar bahwa kekhilafan raja dan reaksi marah putranya, keduanya diakibatkan oleh dorongan takdir yang tidak dapat dielakkan. Ia menyimpulkan, hanya Tuhanlah--pembuat segala keputusan dan prestasi--dapat mengubah peristiwa-peristiwa yang berlangsung, dan bahwa usaha apa pun pada pihaknya hanya merupakan penonjolan egoisme.

Ia tahu bahwa egoisme merupakan musuh yang paling berbahaya bagi para pertapa, meskipun demikian ia tidak menghimpun kekuatannya yang tidak dapat diragukan untuk melawan dan menghancurkan ego ini sepenuhnya. Ia memutuskan akan memberikan pertolongan kecil apa saja sebisanya kepada raja yang malang, penguasa wilayah tersebut. Resi Shamiika membuka matanya memandang ke empat jurusan untuk memilih seorang muridnya yang cerdas dari antara orang banyak. Akhirnya dipanggilnya seorang siswa ke dekatnya lalu ia berkat, "Anda harus segera berangkat ke Hastinaapura dan kembali; siapkan diri Anda untuk perjalanan ini lalu kembali lagi kepada saya." Murid itu menjawab, "Saya selalu siap mematuhi perintah Guru; apa yang harus saya siapkan? Saya selalu sedia. Saya dapat berangkat saat ini juga; mohon katakan apa yang harus saya lakukan di sana." Setelah mengatakan hal ini ia bersujud menyampaikan hormat baktinya. Resi Shamiika bangkit dari tempat duduknya lalu dibawanya siswa itu ke ruang dalam. Diberitahukannya secara rinci segala hal yang harus disampaikannya kepada raja. Siswa itu bersujud di kaki gurunya lalu berangkat ke ibu kota.

Sementara itu raja telah tiba di istana dan setelah beristirahat sebentar, ia menyadari betapa besar kesalahan yang telah dilakukannya di pertapaan. "Aduh, pikiranku telah merosot demikian rendah! Sungguh dosa besarlah bahwa aku, seorang maha raja, melontarkan penghinaan kepada pertapa itu." Ia meratap dalam hatinya. "Bagaimana aku dapat menebus kejahatan ini? Apakah sebaiknya aku pergi ke pertapaan itu dan mohon ampun? Atau, apakah kuserahkan saja diriku untuk menerima hukuman yang sudah pantas bagiku? Apa yang seharusnya kulakukan sekarang?" Ia bertanya-tanya sendiri di dalam hati dan berusaha keras mencari jawaban.

Pada waktu itu dilihatnya seorang pengawal datang ke pintu dan berdiri diam dengan tangan tercangkup (dalam sikap hormat). Pariikshit bertanya mengapa ia datang. Orang itu berkata, "Seorang siswa dari sebuah pertapaan telah datang dan sedang menunggu ingin menemui Paduka; katanya ia diutus oleh Resi Shamiika. Katanya pesan yang akan disampaikannya sangat penting dan mendesak; ia sangat tergesa-gesa. Saya menunggu perintah Paduka."
Ketika mendengar perkataan ini, pembaringannya yang terbuat dari bunga melati tampak seakan-akan telah berubah menjadi penuh ular dengan lidah yang berapi, mendesis dan menjalar di sekelilingnya. Dipanggilnya pengawal itu ke dekatnya dan dilontarkannya pertanyaan demi pertanyaan tentang pemuda yang datang dari pertapaan tersebut. "Bagaimanakah orang itu? Apakah ia tampak sedih atau marah? Atau apakah ia penuh kebahagiaan dan ketenangan?"

Pengawal menjawab, "Oh, Maharaja, putra resi yang datang untuk menemui Paduka sangat tenang dan damai. Ia mengulang-ulang perkataan ini, 'Jayalah sang raja. Jayalah sang penguasa.' Sedikitpun saya tidak melihat tanda-tanda kemarahan atau emosi pada wajahnya." Kabar ini membuat raja merasa lega. Ia menanyakan apa jawaban pengawal terhadap pertanyaan siswa muda itu. Pengawal berkata, "Kami beritahukan kepadanya bahwa Raja baru saja kembali dari hutan dan sedang beristirahat; silahkan menunggu sebentar; begitu beliau bangun, kami akan memberitahu beliau." Raja bertanya, "Apa yang dikatakannya sebagai jawaban?" Pengawal berkata, "Baginda, pemuda itu ingin menemui Paduka secepat mungkin. Katanya ada pesan sangat mendesak yang harus disampaikannya. Ia berkata bahwa gurunya menunggu kedatangannya dan menghitung menit demi menit. Katanya, "Semakin cepat ia menemui Paduka akan semakin baik. Sepanjang waktu ia mengulang-ulang, 'Semoga Raja berada dalam keadaan baik,' 'Semoga beliau selamat dan sejahtera.' Kami tawarkan sebuah kursi kehormatan dan kami persilahkan ia duduk, tetapi ia tidak mau. Ia lebih suka berdiri di pintu dan menghitung menit-menit yang berlalu."

Mata raja berkaca-kaca karena sangat gembira. Sambil menyekanya, ia berlari ke pintu, tanpa mengenakan jubah kerajaan atau tanda-tanda kebesaran lainnya, bahkan tanpa mengenakan sandal atau pakaian penutup dada. Ia bersujud di kaki murid pertapa itu; dipegangnya kedua tangan pemuda itu dan diajaknya masuk ke ruang dalam. Di situ pemuda itu dimintanya duduk di sebuah kursi yang tinggi dan ia sendiri bersimpuh di lantai. Ia mohon agar diberitahu tujuan kedatangannya.

Murid itu berkata, "Oh Raja! Guru saya, Resi Shamiika menyampaikan berkat khusus beliau bagi Baginda. Beliau telah mengutus saya untuk menyampaikan suatu masalah penting kepada Paduka," di sini pemuda itu menangis. Melihat ini, raja berseru, "Oh, cepat katakan kepada saya; saya bersedia mengorbankan hidup saya untuk melaksanakan kewajiban. Atau, apakah kerajaan saya berada dalam bahaya? Apakah saya harus melakukan suatu tindakan untuk menolongnya? Saya siap mengorbankan apa saja untuk menyelamatkannya."

Murid utusan resi itu menjawab, "Oh Raja! Tiada bahaya yang mengancam kerajaan Baginda atau para pertapa. Tiada rasa takut yang dapat mengganggu mereka. Justru Padukalah yang terancam bahaya, Paduka akan tertimpa bencana." Ketika pemuda tersebut menyampaikan peringatan halus ini, raja menyatakan dengan gembira, "Saya sungguh terberkati. Jika rakyat saya dan para pertapa yang melakukan tirakat semuanya selamat, saya sama sekali tidak peduli apa yang akan terjadi pada diri saya. Saya menghirup dan menghembuskan napas agar dapat menjamin kedamaian dan kesejahteraan bagi mereka semuanya. "Raja diam sebentar lalu bertanya kepada murid itu, "Sekarang katakan apa yang akan disampaikan guru Anda kepada saya. "Pemuda itu menjawab, "Baginda, guru saya sangat prihatin atas kesalahan menyedihkan yang telah dilakukan semata-mata lantaran ketidaktahuan. Itulah alasan utama mengapa beliau mengutus saya kepada Paduka."
Mendengar ini Pariikshit menjadi sangat gelisah. Ia bertanya, "Kesalahan apakah yang Anda bicarakan itu? Siapa yang melakukannya? Katakan kepada saya, ceritakan semuanya kepada saya,

Tidak ada komentar: