Selasa, 19 Maret 2013

Bercermin dari India

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini


Manusia telah melatih diri dalam berbagai cabang seni, keahlian, dan ilmu pengetahuan? mereka telah merancang berbagai mesin yang tidak terhitung jenisnya? dan manusia juga telah mengumpulkan pengetahuan yang tak terhingga banyaknya? Meskipun demikian, manusia belum mendapat kedamaian hati yang sangat diperlukan untuk memperoleh kebahagiaan. Sebaliknya, dengan berlalunya waktu, pengetahuan ini menenggelamkan manusia ke dalam kesulitan yang makin lama makin besar, sedangkan kedamaian makin lama makin menjauh.

Sebabnya adalah: keahlian dan pengetahuan ini hanya mempunyai nilai yang sementara; mesin-mesin tersebut hanya menunjang kesenangan duniawi. Semua pengetahuan itu hanya berkenaan dengan hal-hal yang sementara dan fana. Pengetahuan ini tidak akan pernah dapat mengungkapkan rahasia terdalam alam semesta.


Ada satu rahasia yang pengungkapannya akan membuka semua rahasia; bila masalah itu kau pecahkan, semua masalah akan kau temukan jawabnya; ada satu simpul yang penguraiannya akan membuka semua simpul. Ada satu ilmu yang jika dikuasai, akan membuat engkau menguasai semua ilmu. Pengetahuan yang penting itu adalah pengetahuan abadi (sanathana vidya) dari kitab-kitab suci yang kuno. Bila sebatang pohon akan dimusnahkan, akar utamanya harus dipotong. Tidak ada gunanya berusaha membinasakan pohon itu dengan memetiki daunnya satu persatu. Hal itu akan memerlukan waktu yang lama sekali, selain itu, mungkin tidak akan ada hasilnya. Para ahli dalam kitab suci Weda yang bijak waskita pada zaman dahulu, memiliki pengetahuan ini. Karena olah tapa yang mereka lakukan, mereka mendapat penampakan Tuhan dan memperoleh rahmat-Nya. Pengetahuan yang mereka temukan dengan usaha yang gagah berani itu, mereka catat dan mereka ajarkan pada orang lain. Pencari kebenaran dari manca negara datang untuk mempelajari kitab-kitab ini. Mereka mengatakan bahwa India telah merintis jalan bagi seluruh dunia. Hal ini telah diakui di mana-mana. Tetapi, orang India zaman sekarang malu mengakui tokoh-tokoh waskita yang agung itu sebagai leluhur mereka. Sebuah pelita dapat menerangi ruangan, tetapi justru di kaki pelita itu terdapat lingkaran yang gelap. India tidak mengetahui dan tidak mempedulikan harta spiritualnya yang sangat berharga. Dapatkah kita menganggap hal ini sebagai permainan nasib dan membiarkannya saja?

Pada zaman dahulu, orang-orang India melakukan upacara doa harian, mereka duduk di suatu tempat yang telah disucikan, dilingkungi oleh suasana kudus, dan menenggelamkan diri dalam pengkajian serta penerapan ajaran kitab suci Weda dan Upanishad. Selain itu, mereka mencatat pengalaman-pengalaman mereka, tidak hanya supaya mudah diingat, tetapi juga untuk membimbing orang lain. Tetapi anak cucu mereka hanya meletakkan kitab-kitab tersebut di altar dan memuja buku tersebut. Karena dilalaikan, akhirnya buku itu rusak menjadi rongsokan kertas atau hancur menjadi debu. Naskah-naskah kuno yang terbuat dari daun lontar itu lapuk dan rusak dimakan tikus. Tetapi siswa yang penuh minat dari negara-negara Barat datang mencari naskah kuno yang rusak itu. Mereka insyaf bahwa naskah itu merupakan sumber penerangan yang tiada bandingnya dan mengandung ajaran kebijaksanaan yang tidak ternilai harganya. Mereka menjunjungnya dengan penuh hormat dan menyambutnya sebagai hadiah yang tidak ternilai harganya dari India yang abadi, bagi mereka dan anak-anak mereka. Orang-orang Barat membawa ajaran ini ke seberang lautan dengan mata yang berseri-seri penuh suka cita dan hati penuh rasa syukur.

Sekarang, perlukah Kukatakan padamu apa yang dilakukan oleh putra putri India masa kini? Orang India tidak membuka kitab-kitab kuno ini, tidak membacanya, bahkan tidak memperdulikannya. Hanya satu di antara sejuta yang membacanya dan orang itu pun diejek sebagai orang yang tolol dan aneh. Orang India zaman kini menertawakan kitab-kitab tersebut sebagai campuran antara dusta serta legenda dan mereka memperdebatkan keaslian sejarah serta penulisnya. Mereka menolak bahasa Sanskerta karena dianggap "terlalu sulit untuk dipelajari" dan memberikan harta spiritual yang tidak ternilai itu kepada para sarjana asing. Alangkah tragis pemandangan ini. Seandainya mereka mempelajari bahasa ibu mereka dengan teliti, keadaan yang menyedihkan ini akan sedikit terimbangi, tetapi hal ini pun mereka lalaikan. Di mana-mana kelalaian.
Aku tidak mengecam kebahagiaan duniawi. Sama sekali tidak. Aku senang bila orang-orang berbahagia. Tetapi engkau harus sadar bahwa kebahagiaan semacam ini tidaklah langgeng sifatnya. Aku menghendaki agar engkau mempelajari semua keahlian dan pengetahuan untuk memperoleh kebahagiaan duniawi. Tetapi Aku ingin agar engkau juga ingat bahwa kebahagiaan ini hanya sementara.
Kebahagiaan yang langgeng hanya dapat diperoleh melalui satu pengetahuan, yaitu pengetahuan abadi dari kitab-kitab Upanishad. Inilah ilmu tentang kesadaran Tuhan, inilah ajaran para resi. Hanya pengetahuan itulah yang dapat menyelamatkan manusia dan memberinya kedamaian hati. Tidak ada yang lebih tinggi dari hal tersebut. Itu adalah fakta yang tidak dapat dibantah lagi. Apa pun juga suka duka yang kau alami, apapun juga hal yang kau pelajari sebagai bekal hidupmu, pancangkanlah selalu pandanganmu pada pengetahuan Tuhan yang abadi. Bila manusia hanya mempertajam kecerdasannya dan mengumpulkan keterangan-keterangan belaka tanpa menumbuhkan serta mempraktekkan sifat-sifat yang baik, kesejahteraan dunia akan terancam dan tidak akan dapat maju.

Meskipun demikian, tampaknya manusia zaman ini kurang menghargai keutamaan, karena sistem pendidikan sekarang tidak mengikutsertakan ajaran dan latihan spiritual. Pendidikan yang benar tidak akan merusak atau menyelewengkan aneka kebajikan yang indah yang dimiliki anak-anak dan juga tidak akan puas bila hanya mengisi pikiran anak-anak dengan hal-hal yang tidak berguna. Pendidikan yang benar-benar bermanfaat hanyalah pendidikan yang memberi peluang penuh untuk mengembangkan semua kebajikan yang merupakan ciri utama manusia (Sathya Narayana Svami)

Tidak ada komentar: