Selasa, 15 Januari 2013

Bhagavatam Part 35 : Bhakti para Gopi

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini


Resi Shuka ingin sekali agar Raja Pariikshit melihat permainan suci Tuhan dari segi pandangan yang tepat. Beliau berkata, "Maharaja! Pariikshit! Siapa yang dapat melukiskan pesona Sri Krishna yang tidak terhingga dan bersifat surgawi; yang keelokan wujud-Nya merupakan pengejawantahan keindahan? Siapa yang dapat menguraikannya dengan kata-kata? Tuanku ingin saya menceritakan kisah-kisah Krishna kepada Tuanku, tetapi hal itu berada di alam yang tidak dapat dijangkau dengan kosa kata manusia. Sudah sering Tuhan menjelma dan dalam setiap kedatangan itu Beliau memperlihatkan berbagai mukjizat surgawi, tetapi dalam inkarnasi Krishna ini Beliau memperlihatkan daya tarik yang unik. Sekali saja Beliau tersenyum dan memperlihatkan gigi bak mutiara, maka mereka yang memiliki sumber kasih dalam hatinya, mereka yang memiliki bakti di hatinya, dan bahkan mereka yang telah mengendalikan indra serta menguasai reaksi batinnya, merasakan gejolak emosi dalam dirinya, gelora hormat bakti yang penuh kasih! Bila Beliau menyentuh mereka dengan lembut dengan tangan Beliau yang halus, mereka kehilangan kesadaran badan, mereka demikian tenggelam dalam kebahagiaan jiwa sehingga sejak saat itu mereka hidup selaras dengan Beliau! Kadang-kadang Beliau bercanda dan menceritakan hal-hal yang lucu. Pada kesempatan semacam itu para pendengarnya merasa bahwa jaranglah ada orang yang lebih mujur daripada mereka."


"Para gopa dan gopii, 'pria dan wanita penggembala sapi' dari desa Vraja, mungkin sibuk dalam kegiatan mereka sehari-hari, tetapi bila mereka melihat Krishna sekali saja di tengah kegiatan kerjanya, maka mereka berdiri terpaku di tempatnya seperti patung batu, terpesona oleh kerupawanan dan keelokan Beliau. Para wanita Vraja telah menyerahkan pikiran, perasaan, dan hidupnya kepada Krishna yang mereka kenal sebagai pengejawantahan kasih dan belas kasihan. Tiada cendekiawan, betapapun tinggi prestasi kesarjanaannya, dapat menemukan bahasa yang memadai untuk melukiskan sifat dan pengalaman mereka (para gopa dan gopii). Sesungguhnya bahasa harus bungkam karena tidak mampu mengungkapkannya."

"Bakti dan pengabdian para gopa dan gopii yang sarat dengan perasaan luhur, tiada batasnya. Bahkan ketika melihat mereka, Uddhava berseru, 'Aduh! Bukankah aku ini sudah menyia-nyiakan hidupku selama ini? Walaupun berada demikian lama dalam kehadiran Krishnachandra yang sejuk dan menyenangkan, bahkan demikian dekat dengan Beliau, aku belum memperoleh jalan menuju kasih dan kemuliaan Beliau. Bakti dan kasih kepada Tuhan yang dimiliki para gopii ini sedikit pun belum menerangi hatiku. Sesungguhnya jika seseorang harus lahir, ia harus lahir sebagai gopa atau gopii. Mengapa lahir sebagai lainnya dan hidup tanpa makna tanpa arti? Jika akut tidak beruntung lahir sebagai gopa atau gopii, biarlah aku menjadi tanaman berbunga yang merambat di punjung Brindaavana, atau sebagai melati yang merambat di situ. Jika kemujuran itu pun tidak patut kudapat, setidak-tidaknya biarlah aku tumbuh sebagai sehelai rumput di lapangan yang sering dikunjungi para gopa, gopii, dan Krishna. 'Demikian ratapan Uddhava. Ia mendamba dalam kesedihannya yang sarat bakti. Hatinya penuh kerinduan; sesungguhnya ia justru diselamatkan oleh kerinduan itu."

"Karena itu, jika pertalian antara Krishna dan para gopii dianggap rendah dan tidak senonoh, itu hanya memperlihatkan bahwa orang yang bersangkutan terlalu mudah mengambil kesimpulan yang keliru. Pernyataan semacam itu tidak bernilai dan  tidak perlu diperhatikan."
"Maharaja! Tiada seorang pun dapat memahami permainan Krishna kecuali orang yang murni hatinya."

Mendengar hal ini, Pariikshit senang sekali. Dengan senyum di bibirnya, ia bertanya kepada sang resi, "Resi Yang Agung! Bilakah Uddhava pergi ke Brindaavana? Mengapa ia pergi ke sana? Apakah yang mendorongnya meninggalkan kehadiran Sri Krishna dan pergi? Mohon ceritakan kejadian itu kepada saya."
Resi Shuka memulai kisah itu sesuai dengan keinginannya, "Oh Maharaja! Sedetik pun Uddhava tidak pernah bisa jauh dari Krishna. Ia tidak pernah dapat meninggalkan kehadiran Beliau, tetapi Krishna sendirilah yang mengutusnya pergi ke Brindaavan untuk menyampaikan pesan Beliau kepada para  gopii, maka ia tidak punya pilihan lain. Ia harus pergi; perpisahan itu tidak terhindarkan. Krishna hanya memberinya waktu sehari untuk menyelesaikan tugas-nya. Ia diperintahkan agar tidak tinggal lebih lama dari sehari. Walaupun demikian, ketika ia berangkat ke Brindaavana, perpisahan sehari itu dirasakannya bagai berabad-abad."
"Ternyata ketika tiba di Brindaavana, Uddhava menyesal karena waktu berlalu dengan cepat dan ia harus segera meninggalkan tempat itu. 'Aduh, aku harus pergi meninggalkan orang-orang ini demikian cepat! Alangkah bahagianya aku seandainya seluruh hidupku dilewatkan bersama mereka! Sayangnya aku tidak memperoleh pahala itu,' inilah pikiran-pikiran sedih yang meresahkan Uddhava."
"Apakah Tuanku perhatikan Maharaja, bahwa sesungguhnya tiada perbedaan antara Tuhan dengan bakta. Uddhava merasa lebih sedih ketika ia harus meninggalkan para gopii daripada ketika ia harus meninggalkan Krishna sendiri! Ia sama bahagianya di kedua tempat itu. Sesungguhnya tiada perbedaan antara para gopii dan Gopaala, antara bakta dan Bhaagavan. Hati para gopii telah berubah menjadi altar tempat persemayaman Beliau. Kerinduan batin mereka terpuaskan dengan mereguk nektar Krishnaraasa. Uddhava dapat memahami penderitaan mereka yang tidak terhingga karena terpisah dari Krishna, ketulusan kasih mereka kepada Beliau, besarnya hasrat mereka untuk mendengar perihal Beliau, kecemasan mereka mengenai Beliau, dan kesungguhan mereka untuk mendengarkan dan mematuhi amanat Beliau. Sejenak pun para gopa dan gopii tidak perah membiarkan pikirannya meninggalkan kisah-kisah Sri Krishna, Uraian tentang permainan Krishna, dan cerita tentang kegiatan serta prestasi Beliau. Keindahan kemanusiaan Krishna demikian mempengaruhi Vraja sehingga yang hidup tampak tidak bernyawa dan yang tidak bernyawa tampak hidup! Uddhava menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri betapa cadas Bukit Govardhanagiri menitikkan air mata suka cita. Ia juga melihat para gopii terpaku bagaikan patung batu ketika hatinya dipenuhi sukacita yang suci. Uddhava menganggap pengalaman ini menakjubkan dan memperjelas pengertiannya."
Ketika melukiskan sifat khas bakti para gopii ini, Resi Shuka demikian terharu dan bahagia sehingga air matanya menitik, beliau tidak menyadari dunia lahiriah lagi dan sering sekali masuk dalam keadaan samaadhi. Akibatnya para pertapa dan resi yang mendengarkan dan mengamatinya dipenuhi dengan suka cita dan kerinduan yang tidak tertahankan untuk melihat dengan mata batinnya, Sri Krishna-chandra yang demikian mengharukan Resi Shuka.
Sementara itu Resi Shuka membuka matanya. Beliau berkata, "Maharaja! Alangkah beruntungnya Uddhava! Ketika para gopii memperlihatkan tempat-tempat permainan mereka dengan Sri Krishna, mereka juga membawanya ke Govardhanagiri. Pada waktu melihat tempat itu, ketakjuban Uddhava semakin bertambah karena ia dapat melihat bekas tapak kaki Krishna dan para gopa serta gopii pada cadas dan tanah yang keras, demikian jelas seperti pada waktu mereka berjalan di kawasan itu bertahun-tahun yang lampau. Pada waktu mereka sampai di dekat Govardhanagiri, para gopii merasakan penderitaan yang demikian pedih akibat keterpisahan mereka dari Krishna sehingga mereka menangis terisak-isak. Mereka hanya menyadari Beliau; mereka tenggelam dalam pemikiran mengenai Beliau semata. Ketika mereka semuanya serempak berseru, 'Krishna!', pohon-pohon yang tegak di sekitarnya demikian terharu hingga meremang bulu romanya. Mereka menggoyangkan dahan-dahannya dan mulai menangis berkeluh kesah dengan sedih. Uddhava menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri betapa perpisahan dengan Krishna telah mempengaruhi dan menyedihkan tidak hanya para gopa yang gopii di Brindavan, tetapi bahkan bukit-bukit dan pepohonannya. Maharaja! Apa lagi yang dapat saya katakan? Uddhava melihat kejadian yang sulit dipercaya. Ia dipenuhi rasa takjub; ia juga menjadi rendah hati."
Mendengar ini, raja ingin tahu. Ia berkata, "Resi yang agung! Bagaimana hal itu terjadi? Jika Maharesi tidak keberatan, mohon jelaskan juga hal itu kepada saya. "Ketika ia memohon seperti itu Resi Shuka menjawab, "Maharaja! Kesadaran para gopii sudah menunggal dengan kesadaran Sri Krishna, karena itu mereka tidak melihat apa pun atau siapa pun lainnya. Setiap batu, setiap pohon yang mereka lihat, mereka lihat sebagai Krishna; mereka memegangnya sambil berseru, 'Krishna! Krishna!' Hal itu membuat batu-0batu dan pepohonan merasakan kepedihan perpisahan dengan Sri Krishna, dan mereka pun luluh dalam panasnya kesedihan itu hingga air mata menitik dari ujung dedaunan. Lihatlah, pasti pemandangan itu sangat menakjubkan! Aksioma yang menyatakan, 'Semuanya hidup', (sarvam sajiivam) terbukti benar bagi Uddhava. Batu-batu dan pepohonan di Brindaavan memperlihatkan kepadanya bahwa tiada apa pun yang tidak memiliki kesadaran dan kehidupan."

"Mereka yang tidak mampu memahami kemuliaan para gopii, bakti yang meluluhkan batu dan membuat pepohonan menangis terisak-isak, tidak berhak menghakimi dan memberi keputusan. Jika mereka melakukan hal tersebut, mereka hanya memperlihatkan bahwa kecerdasan mereka lebih lembam daripada batu dan cadas. Pikiran yang lembam tidak akan pernah dapat memahami keindahan dan kecemerlangan Krishnachandra, penguasa alam semesta, yang memikat jagat raya dengan keelokan dan kekuasaan Beliau. Hanya kecerdasan yang paling jernih dan murni dapat memahaminya."

"Demikian pula sore itu di Brindaavan Uddhava melihat suatu hal yang menarik perhatian dan sebelumnya tidak diketahuinya. Pada waktu matahari terbenam, ketika para brahmana dan orang-orang yang telah mendapat inisiasi dalam mantra Gaayatrii melakukan ritual upacara pemujaan dengan api, para gopii menyalakan perapian di rumahnya dengan bara atau nyala pai yang diambil dari rumah tetangga. Bara atau api itu dibawa dalam kulit lokan atau piring tanah liat. Uddhava memperhatikan bahwa pelita dan perapian pertama dinyalakan di rumah Nanda, rumah tempat Krishna tumbuh dan bermain. Ia melihat bahwa begitu pelita di rumah Nanda menyala, para gopii pergi ke situ satu demi satu sambil membawa pelitanya untuk dinyalakan dengan api dari pelita itu. Kemudian pelita yang telah dinyalakan itu dibawa ke rumah masing-masing. Uddhava duduk di tangga balai pertemuan desa sambil mengamati lampu-lampu yang lewat."
"Sementara itu, seorang gopii lama sekali menyalakan pelitanya di rumah Krishna; lain-lainnya yang menunggu menjadi tidak sabar karena tidak mendapat kesempatan menyalakan lampunya. Yashodaa yang sedang berada di dalam keluar dan ketika melihat gopii itu ia berteriak, 'aduh, celaka!' seraya berusaha menyadarkan gopii itu dengan menepuk punggungnya. Meskipun demikian, wanita itu tidak membuka matanya. Para gopii di sekelilingnya menariknya perlahan-lahan menjauhi pelita dan membaringkannya agar ia dapat beristirahat sejenak. Jari jemarinya terbakar parah dan hangus. Dengan susah payah ia dapat disadarkan. Ketika ditanya, ia menyatakan bahwa ia melihat Krishna di dalam nyala pelita, dan dalam kebahagiaan pengalaman itu ia tidak menyadari kalau jari jemarinya masuk ke dalam api dan terbakar; ia sama sekali tidak merasa sakit."
"Uddhava sangat heran menyaksikan kejadian ini, salah satu contoh mengagumkan tentang bakti para gopii."


Tidak ada komentar: