Rabu, 02 Januari 2013

Bhagavatam Part 29 : Petuah Kehidupan

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini


Ketika melukiskan tahap-tahap penciptaan, Resi Shuka berkata, "Shataruupaa dan Manu bersama-sama menghadap Tuhan Sang Pencipta dan bertanya apa yang harus mereka kerjakan. Brahma menjawab sambil tersenyum, 'Berjodohlah satu dengan yang lain, beranakpinaklah dan penuhi bumi ini.' Dengan wewenang yang mereka peroleh dari perintah ini, mereka memenuhi bumi dengan manusia."

Mendengar ini Raja menyela, "Resi Yang Agung! Dari pengalaman saya sendiri saya telah mempelajari bahwa asal segala kesedihan di dunia ini adalah kama atau moha 'kelekatan'. Saya tidak ingin mendengarkan tentang hal ini; mohon ceritakan kepada saya bagaimana cara mengatasi kama, maya, dan kelekatan. Dalam hari-hari terakhir ini, apakah tepatnya yang harus dilakukan manusia. Nama manakah yang harus diingatnya terus menerus agar ia dapat menghindari lingkaran kelahiran dan kematian ini untuk selama-lamanya? Beritahukanlah hal-hal semacam ini kepada saya," ia memohon.


Resi Shuka amat senang mendengar pertanyaan ini. Beliau menjawab, "Oh Maharaja! Tuanku adalah jiwa yang bersifat spiritual. Tuan melayani para resi dengan penuh bakti. Himpunan para resi, pertapa, dan kaum bijak waskita yang amat banyak ini merupakan bukti perbuatan-perbuatan Tuan yang berpahala. Karena biasanya mereka tidak berkumpul di mana pun juga." Raja menyela Resi Shuka dan menyatakan keberatannya, "Tidak, tidak, Resi yang Agung! Saya ini pendosa besar; saya tidak memiliki kemajuan spiritual sedikit pun juga. Jika saya mempunyai pahala walaupun sedikit sekali, jika saya telah melayani para resi dengan penuh bakti, pastilah saya tidak akan menjadi sasaran kutuk seorang brahmana. Kemujuran yang kini saya nikmati yaitu kehadiran para resi agung ini dan kesempatan untuk memuja kaki Maharesi, disebabkan oleh pahala aneka perbuatan baik yang dilakukan oleh para leluhur saya. Saya tahu benar bahwa kegiatan-kegiatan saya tidak berperan apa pun dalam hal itu. Rahmat yang dilimpahkan oleh Shyaamasundara '(Krishna) yang berkulit gelap dan rupawan' kepada para kakek sayalah yang merupakan penyebabnya. Jika tidak demikian, dapatkah orang-orang semacam saya yang tenggelam dalam sumur samsaara, terbenam dalam usaha yang sia-sia untuk mencari kenikmatan indra, yang sedetik pun tidak pernah merenungkan Tuhan Yang Maha Besar, kekal, dan murni, dapatkah orang-orang semacam kami ini berharap melihat wujud nyata Resi Yang Agung di hadapan kami, Maharesi yang selalu mengembara dalam keheningan rimba tanpa dikenal manusia? Sungguh, ini merupakan kemujuran yang tidak mungkin dicapai. Semua ini disebabkan oleh restu para kakek saya dan rahmat Shyaamasundara (Krishna); bukan karena sebab lainnya. Maharesi demikian sayang kepada saya, karena itu Guru anggap hal ini berasal dari pahala perbuatan baik saya. Tapi saya menyadari benar segala kekurangan saya."

"Mohon limpahkan selalu kasih sayang itu kepada saya dan tolonglah saya menentukan apa yang harus ditinggalkan oleh orang yang mendekati ajalnya, dan apa yang harus dicamkan serta dilaksanakannya. Berilah saya nasehat mengenai hal ini agar hari-hari yang tersisa dapat saya lewatkan dengan baik. Hanya Maharesilah yang dapat menyelesaikan masalah ini bagi saya. Mohon ceritakanlah Bhaagavata kepada sebagaimana telah Guru janjikan. Maharesi telah memberitahu saya bahwa kisah itu merupakan landasan bagi kemajuan dan kebebasan; menghancurkan segala dosa; dan menganugerahkan kesejahteraan. Biarlah saya mereguk nektar suci nama Sri Krishna dan menyengarkan diri saya dalam panas yang gerah ini," demikian Pariikshit memohon.

Resi Shuka tersenyum kepada raja dan berkata, "Bhaagavata patut dihormati, dikaji, dan diikuti sebagaimana halnya Weda. Saya telah mendengarkan (pembacaan) kitab suci itu dalam pertapaan ayah saya di Gunung Gandhamana pada akhir Dwaapara Yuga. Saya akan menceritakannya lagi bagi Tuanku. Dengarkan!" Mendengar hal ini, raja bertanya dengan kedua tangan tertangkup dalam sikap hormat, "Oh Resi Agung yang tiada bandingnya! Saya telah mendengar bahwa Guru adalah pertapa yang sejak lahir sudah dijiwai oleh semangat ketidakterikatan yang mendalam. Bahkan tanpa upacara tradisional untuk memurnikan dan menjernihkan akal budi (seperti jaatakarma, naamakarana, dan upanayana) Maharesi telah meraih kesadaran kenyataan sejati secara sempurna. Saya dengar, lantaran itu Maharesi mengembara di hutan, jauh dari tempat tinggal manusia, tenggelam dalam kesadaran kesunyataan. Karena itu, saya merasa heran mengapa Maharesi tertarik pada kitab suci ini, yang menurut kata Guru sarat dengan bakti. Apakah yang menyebabkan Maharesi menaruh minat pada jalan bakti ini? Saya mohon agar Guru menjelaskan keadaan itu kepada saya."

Resi Shuka mulai menjelaskan dengan air muka yang tenang tanpa keresahan. "Ya, saya berada di luar peraturan dan larangan. Kesadaran saya terus menerus menunggal dengan Tuhan yang tiada berwujud dan tiada bersifat. Itulah kebenaran diri saya. Meskipun demikian harus saya nyatakan bahwa ada suatu keindahan yang tidak terkatakan dalam (diri pengejawantahan) Tuhan yang menawan dan menambat hati manusia dengan berbagai sifat serta kegiatan permainan Beliau. Harus saya akui pula bahwa saya telah mendengarkan uraian tentang keindahan dan kemanisan Tuhan. Pikiran dan perasaan saya sangat senang ketika mendengarkan dan membaca perihal kemuliaan Tuhan, (bagaimana Krishna) memanifestasikan sifat-sifat ketuhanan Beliau melalui setiap kejadian tersebut. Saya tidak dapat tinggal diam; saya bersukacita seperti orang gila, tergetar dan terharu karena rasa bahagia yang saya peroleh dengan mendengarkan dan membaca kisah tersebut. Senda gurau serta permainan Beliau yang indah dan manis membuat saya mabuk dengan sukacita yang tiada terhingga."

"Hari ini saya bergegas datang ke sini karena saya menyadari bahwa telah timbul suatu kesempatan untuk menceritakan (kisah kemuliaan Tuhan) ini kepada serombongan pendengar yang penuh minat, yaitu orang-orang yang ditinjau dari segala segi, layak mendengarkan dan memahami maknanya. Karena itu, saya akan menceritakan kisah Bhaagavata yang suci ini kepada Maharaja, dan melalui Tuhanku, kepada para tokoh yang hadir di sini. Tuanku memiliki hasrat yang besar dan prestasi (spiritual) yang diperlukan untuk mendengarkannya. Tuan telah bertekad akan mencapai tujuan tertinggi manusia."

"Mereka yang mendengarkan kisah ini dengan bakti yang tulus; (tidak hanya mendengarkan, tetapi juga) merenungkan nilai serta maknanya, dan bertindak sesuai dengan terang yang dipancarkannya dalam pikiran mereka, orang-orang semacam itu akan menunggal dalam kebahagiaan Tuhan, dan Vaasudewa (Krishna) merupakan pengejawantahan kebahagiaan itu. Hati mereka akan sarat dipenuhi nektar manis perwujudan daya pikat yang menawan, Madanamohana, (sebutan Sri Krishna, secara harfiah berarti 'Beliau yang memikat dan menenangkan Dewa Kaama atau godaan sensualitas') dan mereka akan menghayati advaitaananda 'kebahagiaan jiwa yang diperoleh karena menghayati Yang Maha Esa'. Latihan rohani tertinggi adalah menyebut nama Tuhan dengan penuh kesadaran dalam pikiran, perasaan, dan ucapan, serta menyanyikan kemuliaan Beliau dengan suara nyaring. Tidak ada latihan rohani yang lebih baik daripada ini."

"Oh Maharaja, jangan terbawa rasa cemas memikirkan bahwa waktu yang Tuhan miliki tidak lama lagi. Untuk memperoleh rahmat Tuhan, tidak diperlukan waktu. Cahaya rahmat dari pengejawantahan belas kasihan dapat tercurah kepada Tuanku dalam sekejap mata. Dalam tujuh hari ini saya akan memberi Tuan kesempatan mendengarkan kisah orang-orang yang menghayati kebahagiaan spiritual, bagaimana Vaasudeva (nama lain Sri Krishna; berarti 'putra Vasudeva' atau 'yang memenuhi segala sesuatu') memberkati mereka dengan kemajuan rohani, dan bagaimana orang-orang menyeberang lautan kelahiran serta kematian dengan mendengarkan kisah dan menyanyikan kemuliaan Tuhan yang bersemayam dalam hati mereka. Kita tidak akan membuang waktu sedetik pun. Tuan sadar bahwa Tuan hanya akan hidup selama tujuh hari lagi. Karena itu, tinggalkan segala rasa milikku dan milikmu berkaitan dengan tubuh yang Tuan diami dan rumah tempat tinggal tubuh itu. Sadarilah kisah Maadhava semata, Tuhan penguasa alam semesta; reguklah kisah para penjelmaan Tuhan yang semanis madu. Merupakan kejadian yang lazimlah, jika suatu cerita dikisahkan dan didengarkan oleh ribuan orang yang berkumpul. Tetapi jnaana hanya dapat dicapai, bila seseorang percaya sepenuhnya pada kisah (pengejawantahan Tuhan) yang didengarnya. Keyakinan semacam itu harus tumbuh dalam pikiran dan perasaan yang bersih, dalam hati yang murni."

"Satu hal penting lagi Oh Maharaja! Tidak terhitung banyaknya tokoh yang pergi kian kemari memberikan darma wacana mengenai berbagai masalah moral dan spiritual hanya berdasarkan studi (teoritis); mereka tidak memiliki pengalaman sedikit pun mengenai hal yang mereka khotbahkan. Mereka tidak percaya pada kebenaran berbagai manifestasi kemuliaan Tuhan yang mereka tuturkan. Nasehat dan peringatan semacam itu tidak ada gunanya seperti minyak susu yang dituangkan, bukannya ke dalam api, melainkan pada timbunan abu yang dingin. Hal itu tidak akan menyembuhkan pikiran dan perasaan manusia dari kekurangan serta cacat celanya."

"Dalam kasus Tuanku, kemubaziran semacam itu tidak perlu dicemaskan. Hati Tuan terbenam dalam aliran kasih yang tiada putusnya bagi Shyaamasundara 'Krishna yang berkulit gelap dan rupawan'. Siapa pun juga yang mendengarkan penuturan ini dan menghirup nektar kisah ini dengan hati yang bergelora oleh kerinduan kepada Tuhan, kepercayaan yang tidak tergoyahkan kepada Beliau, dan sukacita yang tiada putusnya, dapat mencapai kesadaran diri sejati. Ini tidak perlu diragukan lagi. Oh Maharaja, kesempatan ini, kitab ini, dan para pendengarnya, semuanya amat tepat dan baik sekali."
Sambil berkata, "Oh, alangkah beruntungnya Tuanku!", Resi Shuka meletakkan tangannya di atas kepala raja untuk memberi berkat; beliau mengusap-usap ikal rambut Pariikshit yang Raja memohon dengan amat rendah hati, "Resi Yang Agung, Guru tahu benar bahwa waktu saya tinggal se4dikit sekali. Karena itu," lanjutnya dengan tangan tertangkup penuh hormat, "Mohon berilah saya bimbingan yang tertinggi, maka saya akan memantapkan diri saya di dalamnya selama tujuh hari ini. Berilah saya mantra suci agar saya dapat mengulang-ulangnya dalam waktu singkat yang saya miliki, mengingatnya terus, dan menyelamatkan diri saya."

Resi Shuka tertawa. "Maharaja Pariikshit! Mereka yang asyik dengan kesenangan duniawi melewatkan hari-hari mereka dalam kekhawatiran, kecemasan, sakit, sedih, dan menangis sepanjang masa hidupnya yang lama. Mereka beranak pinak seperti burung dan margasatwa. Mereka makan makanan yang baik dan membuangnya sebagai air seni dan tinja. Inilah hidup tanpa tujuan yang ditempuh oleh sebagian besar manusia. Dapatkah Tuan menyebutnya sebagai proses kehidupan? Tidak terhingga banyaknya jumlah makhluk hidup yang ada di bumi ini. Sekedar hidup tidaklah cukup; tidak ada nilainya bila sekedar hidup demi kehidupan itu sendiri. Yang penting adalah motivasi, perasaan, pikiran, dan sikap yang mendorong kehidupan manusia sehari-hari.

Bila seseorang mempunyai sifat-sifat ketuhanan yang tampil dalam pikiran, perasaan, dan sebagainya, maka ia (benar-benar) hidup. Sebaliknya, jika seseorang mencemarkan selubungnya yang suci (tubuh) dengan menggunakannya untuk tujuan-tujuan tidak suci guna mengikuti kesenangan yang bersifat sementara, dan dengan demikian mengabaikan Tuhan Yang Mahatahu dan Mahakuasa, maka hal itu harus dicela sebagai pengingkaran yang sengaja pada sifat kemanusiaannya sendiri. Ambillah contoh orang yang telah memusatkan pikiran dan ingatannya pada kaki suci Tuhan; tidaklah menjadi soal seandainya pun umurnya pendek. Dalam waktu yang singkat itu ia dapat membuat hidupnya bermanfaat dan suci. Oh Maharaja, untuk melenyapkan kebimbangan Tuhan, akan saya ceritakan kisah indah seorang rajaresi. Dengarkan!"

"Dahulu dalam dinasti Matahari pernah ada seorang penguasa gagah perkasa, pahlawan yang hebat dalam medan laga, berlimpah kedermawanannya, jujur serta lurus wataknya, dan adil dalam tindakannya. Namanya Khatvaangga. Tiada yang dapat menandinginya, tiada seorang pun mampu menantangnya. Sementara itu para daitya dan daanava 'iblis dan raksasa' yang jahat menghimpun kekuatan mereka dan pergi berperang melawan para Dewa. Para Dewa takut terkalahkan; mereka menyadari kelemahan mereka lalu turun ke dunia meminta bantuan Raja Khatvaangga. Sang raja juga ingin bertualang mengadu untuk dalam pertempuran, karena itu diambilnya busur serta panahnya, lalu mengendarai kereta menuju ke medan laga. Di sana ia menggetarkan hati para daitya dan daanava yang ketakutan melihat keperkasaannya. Musuh melarikan diri dengan panik, tidak mampu menahan serangannya yang dahsyat. Karena mengejar musuh yang melarikan diri dianggap tidak bermoral, maka Khatvaangga tidak melanjutkan pertempuran."

"Para Dewa senang karena mereka dapat mencapai kemenangan dengan bantuan Khatvaangga yang tepat pada waktunya. Mereka memuji keperkasaan dan rasa keadilannya. 'Oh Raja, dalam sejarah masa kini tiada seorang pun dapat menyamai Tuan. Tuan membantu kami mencapai kemenangan dalam perjuangan mati-matian melawan kekuatan jahat. Sebagai ganjarannya kami ingin agar Tuan menerima dari kami pertolongan apa saya yang Tuan perlukan dan dapat kami berikan. 'Raja Khatvaangga berkata kepada mereka, 'Oh para Dewa, bukankah yajna dan yaga diselenggarakan oleh manusia untuk menyenangkan Dewa-Dewa? Kesempatan istimewa yang saya peroleh untuk ikut serta dalam pertempuran ini sesungguhnya adalah yajna sejauh berkaitan dengan saya. Apa lagi yang saya perlukan dari para Dewa selain rahmat yang telah Paduka limpahkan kepada saya ini? Ini sudah cukup sebagai anugerah. 'Sambil berkata demikian ia bersujud di kaki para Dewa."

"Tidak puas dengan jawaban ini, para Dewa mendesaknya agar meminta sesuatu, suatu anugerah dari mereka. Walaupun tidak berniat meminta apa pun juga, Khatvaangga terpaksa memikirkan suatu keinginan karena ia merasa bahwa mereka tidak akan membiarkannya pergi tanpa anugerah. Akhirnya ia berkat, 'Oh para Dewa, mohon beritahukan kepada saya, berapa tahun lagi saya akan hidup. Hanya setelah itulah saya dapat memutuskan anugerah apa yang bisa saya mohon dari Paduka. 'Purandara (Indra), penguasa para Dewa, mengetahui segala sesuatu, karena itu tanpa menunda sesaat pun ia menjawab, 'Oh raja, masa hidup Tuan sudah hampir berlalu; Tuan hanya dapat hidup satu muhurta (beberapa menit) lagi. 'Mendengar ini Khatvaangga berkat, 'Tidak ada yang saya minta. Saya tidak memerlukan apa pun. Saya merasa bahwa segala kesenangan dunia dan akhirat hanyalah hal remeh yang akan dibuang. Saya tidak akan memasuki lagi lumpur kenikmatan indra. Berilah saya anugerah agar dapat mencapai kehadiran Tuhan Yang Mahamulia yang merupakan tujuan pengabdian segala kehidupan dan dari situ tiada yang akan kembali lagi ke dunia.' Kemudian ia duduk dengan mata terpejam sambil mengulang-ulang nama Tuhan dan pada akhir muhurta ia mencapai kaki suci Hari."

"Perhatikan betapa dalam waktu beberapa menit saja dibuangnya dari pikiran dan perasaannya segala keterikatan pada kesenangan duniawi! Dengan demikian Khatvaangga dapat mencapai kehadiran Tuhan tempat tiada lagi rasa takut. Tuanku mempunyai waktu tujuh hari, sedangkan ia hanya mempunyai waktu beberapa menit. Karena itu, tidak ada alasan bagi Tuanku untuk merasa cemas. Selama hari-hari ini murnikan kesadaran batin Tuan dengan mendengarkan baik-baik kisah terindah dan suci mengenai pengejawantahan Tuhan."
Mendengar ini, Pariikshit menitikkan air mata gembira mengingat rahmat tertinggi yang dicapai oleh bakta agung Khatvaangga. Ia berseru, "Resi Yang Agung, mohon petunjuk apa yang harus saya lakukan sekarang; saya tidak menemukan kata-kata untuk mengutarakan kerinduan saya (kepada Tuhan). Hati saya sarat meluap dengan kebahagiaan jiwa." Ia duduk diam terpaku.

Resi Shuka memberi nasehat, "Oh Maharaja, bekalilah diri Tuanku dengan pedang ketidakterikatan. Musnahkan rasa sayang yang keliru pada tubuh. Buanglah rasa kemilikan yang membuat Tuan melekat pada kawan dan kerabat Tuan. Duduklah dengan mantap di tepi sungai suci ini." Kemudian ketika Resi Shuka akan memulai penuturannya, Pariikshit tampak ingin mengajukan suatu pertanyaan. Melihat ini Resi Shuka berkata, "Tampaknya Tuanku bingung memikirkan sesuatu. Tanyakan kepada saya apa yang ingin Tuan ketahui dan lenyapkan keraguan itu dari ingatan Tuan." Segera raja berkata, "Resi Yang Agung! Sungguh Maharesi merupakan samudra belas kasihan. Bagaikan hidangan lezat bagi orang yang kelaparan, perkataan Maharesi membawa kesejukan yang menyenangkan bagi hati saya yang terbakar. Resi Yang Mulia, tadi Guru telah menceritakan kepada saya tentang awal penciptaan. Saya belum memahaminya dengan baik. Mengapa Tuhan yang tidak bersifat (tidak berwujud, imanen, dan transenden) mengambil wujud dan sifat? Mohon jelaskan hal ini kepada saya." Raja duduk dengan wajah penuh harap, penuh perhatian, memohon dengan sungguh-sungguh, ingin mendengarkan dan belajar.

Tidak ada komentar: