Rabu, 26 Desember 2012

Bhagavatam Part 19. Pandawa teladan zaman Kali

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini


Dear Brothers and Sisters, Menanggapi usulan beberapa teman yang ingin agar Krishna Katta tentang Bhagavatam ini dilanjutkan, maka dengan kerendahan hati saya akhirnya bekerja untuk memenuhi permintaan mulia itu, maka kelanjutan Bhagavatam yang sempat mandek beberapa hari lalu akan saya sambung kembali dari bagian ke 19. semoga besar manfaatnya bagi spiritualitas anda.  Selamat merenungi hakikat spiritual di dalamnya.



Pada waktu Wyasa menceritakan kisah Takshaka, Parikshit mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika beliau menyudahinya, Parikshit bertanya dengan heran, “Apakah alasan yang menyebabkan Kaurawa menganiaya dan menghina nenek ananda, Draupadi? Bagaimana para kakek ananda menanggung penghinaan yang ditimpakan Kaurawa kepada permaisuri mereka? Bagaimana kejadiannya sehingga mereka hanya diam menyaksikan tanpa mampu membalas atau menghukum Kaurawa ketika permaisuri mereka dihina di depan umum dalam sidang keraton? Nanda benar-benar tidak mengerti bagaimana peristiwa ini terjadi. Ceritakanlah kejadian yang sesungguhnya kepada nanda agar menjadi jelas. Ananda yakin maharesi dapat melenyapkan keraguan nanda.”



Parikshit memohon dengan mata berkaca-kaca dan sikap yang demikian rendah hati sehingga Wyasa berkata, "Nak, Pandawa selalu taat mengikuti hukum moral; mereka tidak pernah mengingkari kata yang telah diucapkan. Mereka mengikuti peraturan bahwa pihak yang kalah tidak berhak menantang pihak yang menang. Kakek Ananda dan adik-adiknya mengakui keunggulan moral Dharmaraja, kakak sulung mereka, dan menahan diri. Jika tidak, pastilah Kaurawa yang busuk itu telah mereka habisi agar berkubang dalam darahnya sendiri dan mayatnya dilemparkan agar dicabik-cabik oleh anjing dan burung-burung pemakan bangkai."

"Meskipun demikian, kakak kakek Nanda, Bhima, berusaha keras menyerang orang -orang jahat itu bagaikan singa yang dirantai pada sebatang pohon. Dengan sinis ia menertawakan keterikatan Dharmaraja pada dharma yang (menurut anggapan Bhima) telah membuatnya lemah. Tetapi apa yang dapat dilakukannya? Ia tidak dapat berbuat apa-apa karena (harus mematuhi) kehendak kakaknya yang tertua. Karena itu ia terpaksa bertingkah laku seperti orang yang tidak berdaya."

Ketika Wyasa mengatakan hal itu, Parikshit menanyakan apa sebabnya para kakeknya dapat diperbudak seperti itu. Wyasa tersenyum dan berkata, "Nak, hal itu juga akan saya ceritakan kepada Nanda. Kakak kakek Nanda, Dharmaraja, merayakan rajasuya yajna secara sangat megah di balai pertemuan yang dibangun Maya baginya. Upacara sehebat itu belum pernah berlangsung sebelumnya. Kaurawa diundang menghadiri yajna itu. Sebagaimana telah saya ceritakan, mereka tercengang keheranan melihat kemegahannya yang manakjubkan. Mereka juga penuh rasa iri dan dengki seakan-akan kekayaan dan kekuasaan Pandawa merupakan penghinaan baginya. Mereka berunding dengan teman-teman jahat dan mencari akal untuk meruntuhkan kejayaan Pandawa.

Akhirnya mereka membuat suatu rencana yaitu pertaruhan judi dengan permainan dadu ala kerajaan. Mereka berpura-pura penuh kasih persaudaraan dan seakan-akan (ingin mengundang main dadu) karena digerakkan oleh kasih sayang yang amat besar. Perkataan mereka ibarat tetesan madu yang beracun, tikaman belati yang dilapisi mentega. Mereka membujuk ayah mereka yang uzur dan tunanetra agar mengirim undangan kepada Dharmaraja sebagai berikut. "Nak, kalian semua saudara. Datanglah berkumpul dan main dadu dengan gembira." Ketika menerima undangan ini, kakak kakek Nanda yang bersih dan tulus hatinya sama sekali tidak menaruh prasangka pada tipu muslihat Kaurawa. Ia menerima undangan itu dan mengikuti permainan dadu yang mereka selenggarakan tanpa menyadari tipu daya yang telah mereka rencanakan. Ia digoda untuk mempertaruhkan adik-adiknya dan akhirnya bahkan permaisurinya, Draupadi. Ia tidak sadar bahwa permainan itu dilangsungkan secara kotor dan merupakan persekongkolan untuk memperdayakannya. Ia tidak pernah membayangkan bahwa saudara-saudara sepupunya akan menjerumuskannya dalam kesengsaraan yang menyedihkan. Karena itu, sesuai dengan aturan permainan judi, Draupadi menjadi milik para pemenang. Untuk membalas dendam dan melampiaskan gelora kebenciannya, mereka juga bermaksud mempermalukan permaisuri Pandawa di hadapan sidang yang dihadiri oleh seluruh pejabat istana. Otak yang kotor hanya dapat membuat rencana busuk."

Mendengar kisah ini merebaklah air mata Parikshit. Ia bertanya kepada Wyasa dengan suara yang tertahan oleh helaan napas panjang, "Mengapa Dhritarashtra yang tunanetra, walau pun ia seorang maharaja, membiarkan terjadinya perlakuan yang rendah kepada wanita lain, bahkan seorang ratu? Tentu saja ia tidak mempunyai mata untuk melihat, tetapi jelas ia mempunyai telinga untuk mendengar. Apakah ia telah menyumbat telinganya sehingga jerit tangis Draupadi tidak didengarnya? Atau, sudah buta pulakah daya pikirnya? Kitab Shaastra mengajarkan bahwa wanita tidak boleh disakiti atau dihina; perempuan harus diberi pertolongan serta perlindungan, dan para penguasa ini yang seharusnya menjadi teladan serta panutan bagi rakyatnya dalam kesusilaan dan keadilan, dengan kurang ajarnya telah melanggar petunjuk Shaastra tanpa mendapat hukuman. Bagaimana orang-orang jahat semacam itu dapat menjadi maharaja? Apakah mereka bukan manusia yang paling keji? Hanya pendosa paling jahat akan berikhtiar menghina dan mempermalukan istri orang lain, seorang wanita yang tidak berdaya. Nanda rasa negeri ini telah tercabik-cabik hanya karena orang-orang yang menjijikkan semacam itu memperoleh kekuasaan; akhirnya aneka bencana ini mendatangkan kehancuran total. Bukankah Tuhan tidak buta?"

Parikshit melanjutkan keluhan protesnya, "Bahkan raksasa dan bangsa barbar pun menghormati kaum wanitanya. Bila seorang wanita di antara mereka dihina seperti itu, mereka membalasnya seakan-akan seluruh suku diperlakukan dengan sewenang-wenang. Bila seperti itulah (penghormatan bangsa barbar kepada wanita, dalam kejadian ini) para sesepuh marga, sang maharaja, para guru mereka, kaum bijak dan cendekiawan, semuanya hadir di situ dan menyaksikan perbuatan jahat yang dilakukan dalam sidang terbuka itu; apakah akal budi para saksi yang berkedudukan tinggi itu tiba-tiba dibutakan oleh penyakit yang parah? Apakah mereka makan rumput sehingga cita rasa mereka menjadi seperti hewan? Apakah mereka dilanda sifat kebinatangan sehingga melupakan kehormatan bangsa? Dan para sesepuh? Kemampuan pertimbangan mereka telah lenyap, pastilah mereka tampak sebagai karitur yang patut dikasihani."

Wyasa menyela luapan amarah kepada para sesepuh yang duduk diam pada waktu peristiwa dahsyat itu terjadi; katanya, "Nak! Parikshit! Jangan tergesa mengambil kesimpulan dan menjadi bingung. Tidak seorang pun di antara para sesepuh yang hadir dalam pertemuan itu menyetujui perbuatan jahat Duryodhana, Dussasana, dan lain-lainnya. Para sesepuh memperingatkan mereka akan akibat-akibat kejahatan tersebut, tetapi apa yang dapat mereka perbuat bila orang-orang yang berhati busuk itu melakukan dosa? Ketika Dussasana menjambak rambut Draupadi dan menyeretnya menuju balai sidang keraton yang penuh para pejabat tinggi istana serta tokoh lainnya, 'kesedihan Widura, Bhisma, dan Drona tidak tertahankan lagi. Kata-kata tidak mampu mengungkapkannya. Air mata mengalir di pipi mereka. Mereka tidak mampu menengadah mamandang gerombolan yang menjijikkan itu."

"Juga ada sebab lain. Percikan api timbul dari pandangan Draupadi yang penuh amarah ketika ia dianiaya dan jika jatuh pada siapa pun juga di balairung itu, pastilah orang tersebut hangus menjadi abu! Untunglah ia hanya menatap kakek Nanda yang tertua, Dharmaraja. Ketabahan dan ketenangan Dharmaraja terekam dalam pikiran dan perasaan Draupadi sehingga orang-orang yang berkumpul di situ selamat dari kebinasaan. Jika tidak, pastilah Duryodhana, Dussasana, dan saudara-saudaranya yang busuk itu tidak akan ada yang hidup."
Wajah Dharmaraja yang penuh ketenangan mempunyai pengaruh yang mengubah. Para kakek Nanda: Bhima, Arjuna, Nakula, dan Sahadewa mengamati wajah itu ketika hati mereka tercabik-cabik melihat penderitaan Draupadi, tetapi sementara mereka mengamati wajah itu, gelora kegeraman mereka mereda. Hari itu air muka Dharmaraja yang penuh ketenangan menyelamatkan setiap orang dari bencana; jika tidak pastilah semua sudah habis terbakar api kemarahan, membuat pertempuran Kurukshetra tidak diperlukan lagi."

Tiada apa pun yang dapat terjadi jika tidak dikehendaki Tuhan, bukan? Bagaimana mungkin manusia mengesampingkan kehendak Sri Krishna? Draupadi meratap karena tiada satu pun junjungannya yang bangkit untuk membelanya walau ia memanggil mereka dan mengingatkan keperkasaan serta keberanian mereka. Pada waktu itu mendadak ia teringat kepada Sri Krishna, Sang Juru Selamat. Pikiran ini mengisi hatinya yang putus asa dengan keberanian. 'Oh Shyamasundara! serunya', 'Ini bukan penghinaan yang ditujukan kepada saya, juga bukan penghinaan keji kepada Pandawa. Padukalah yang dihina dan disakiti. Paduka merupakan segala-galanya bagi kami. Kami tergantung pada Paduka dalam segala hal. Adilkah jika sekarang Paduka membiarkan saja kekejian bengis yang kini dilakukan untuk melukai kehormatan kami? Saya sudah membaktikan diri saya kepada Paduka.'
'Mungkin Paduka tidak puas dengan apa yang selama ini kami persembahkan di kaki Paduka. Terjadilah kehendak Paduka," demikian ia memasrahkan diri sepenuhnya tanpa syarat kepada Tuhan.'

"Sebagai tanggapan atas seruan ini, pelindung mereka yang tiada berpengharapan dan penyelamat mereka yang pasrah diri kepada Tuhan, mengambil alih tanggung jawab untuk menyelamatkannya dari keadaan yang sulit. Diam-diam, tanpa terlihat, Beliau memasuki balairung itu dan memberkati Draupadi tanpa diketahui siapa pun. Sungguh ajaib! Sari yang ditarik oleh iblis berwujud manusia itu (Dussasana) dalam usahanya untuk mempermalukan permaisuri Pandawa, menjadi tiada akhirnya. Setiap orang termasuk si penyiksa tertegun melihat demonstrasi rahmat Sri Krishna dan bakti Draupadi. Orang-orang yang baik dan bijak sadar bahwa sathya dan Dharma 'kebenaran dan kebajikan' tidak akan pernah dapat ditundukkan. Air mata sukacita yang menitik di wajah mereka membuktikan bahwa mereka sangat terharu dan bahagia. Si jahat Dussasana jatuh kelelahan dan terhina. Draupadi tidak menanggung malu sedikit pun. Justru Kaurawalah yang dipermalukan, sedangkan Pandawa tidak terpengaruh."

"Dapatkah Tuhan membiarkan Pandawa yang adil dan luhur budi perketinya menderita penghinaan? Kejahatan yang dirancang Kaurawa untuk ditimpakan pada Pandawa (akhirnya) berbalik menimpa mereka sendiri. Ini merupakan hasil langsung rahmat Sri Krishna yang Beliau limpahkan kepada para kakek serta nenek Nanda dan juga karena bakti serta iman mereka kepada Beliau."
"Bhagawan mengatur drama yang menggetarkan ini untuk memberitahu dunia tentang kehebatan bakti Pandawa serta keampuhannya dan juga untuk mengangkat mereka sebagai teladan bagi zaman kali yang akan datang; selain itu, tiada maksud yang lain.

Mungkin Ananda difitnah, dihina, dan diepermalukan; mungkin Nanda menderita kemiskinan atau kepedihan, tetapi orang yang telah memasrahkan diri pada kehendak Tuhan akan menerima hal ini dengan gembira dan membangunnya dengan tenang. Tuhan tidak akan pernah meninggalkan anak-anak Beliau. Mereka yang berbakti kepada Tuhan harus tetap sabar dan tenang walau menghadapi hal-hal yang amat menjengkelkan dan membangkitkan kemarahan. Kenyataannya orang-orang yang saleh dan taat kepada Tuhan adalah mereka yang sering mendapat kesusahan dan kesulitan. Untuk mengajarkan kebenaran agung ini kepada umat manusia, Krishna memerankan drama ini dengan Pandawa sebagai para pelakunya. Setiap peristiwa dalam kehidupan mereka merupakan suatu adegan dalam permainan drama Beliau."

Tidak ada komentar: