Selasa, 25 Desember 2012

Keagungan Gita Jayanti dalam Gita Mahatmya

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini


Dari sekian banyaknya cabang ilmu dalam kitab suci Veda, Bhagavad Gita merupakan kitab suci yang paling popular serta acuan yang paling banyak dipakai dipakai oleh semua mazab dalam keyakinan hindu, entah itu yang menganut paham Shivaisme, Ganapati, Sakta, Brahma, apalagi golongan Vaishnava. Bahkan golongan dari non hindu-pun lebih sering mempergunakan kitab ini untuk mempelajari peradaban Veda.

Veda begitu diapresiasi oleh kaum cendikiawan dunia sebagaimana kita lihat dalam komentar beberapa tokoh dunia dalam ulasannya tentang Gita yang dimuat sebagai lampiran dalam Kitab suci Bhagavad Gita menurut aslinya (Bhagavad Gita as it is) karya Srila Prabhupada.


Dalam khasanah agama islam, hari turunnya Al’qur’an atau hari dimana Nabi Muhamad mendapatkan firman dari Allah ketika ia sedang tahanut (Meditasi) di gunung hira diperingati sebagai tonggak yang sangat penting dan bersejarah bagi umat islam sebagai hari pencerahan spiritual dalam memerangi kegelapan bhatiniah umat manusia. Hari yang dikenal dengan nama “Malam laitul qadar atau Nuzulul qur’an”, begitu mendapat tempat di hati para penganutnya sebagai hari yang penuh berkah. Namun apa yang terjadi dengan hindu di Nusantara khususnya, yang bahkan sebagian besar tidak mengetahui hari raya besar dan penting dimaksud. Inilah celakanya jika beragama karena faktor warisan dari orang tua saja tanpa mau mendalami sejarah agama, asal usul, dan juga kebesaran serta kebenaran filsafat dari agama yang dianutnya. Sementara ini umat hindu masih lebih banyak berkutat dalam ritual saja, sibuk dalam mempelajari aneka macam upakara banten lalu menganggap kurang penting pendalaman agama dalam bentuk tattwa atau filsafatnya sehingga tidak jarang situasi demikian dijadikan senjata ampuh bagi missioner agama lain untuk menggoyahkan keyakinan mereka terhadap hindu, masyarakat hindu belum banyak yang bisa memberikan jawaban berdasarkan sumber sastra yang akurat ataupun jika bisa menjawab pertanyaan missioner, kebanyakan jawaban yang diberikan hanyalah jawaban sekenanya saja tanpa acuan dan dasar yang jelas dalam kitab suci, padahal di lain sisi kaum misionaris agama lain sudah terlebih dahulu mempelajari kelemahan masyarakat hindu ini, mereka mempelajari susastra dan kebudayaan hindu lalu mencari titik lemah untuk mendebatnya dengan keyakinan yang mereka anut, sehingga masyarakat yang menenggelamkan dirinya dalam tradisi rituallah yang paling sering tak berdaya menghadapi argument-argument yang begitu tampak masuk akal yang disampaikan kaum misionaris ini.

Kita tidak bisa menutup mata dan telinga melihat kenyataan di lapangan bahwasannya terlalu banyak kegiatan keagamaan yang dilakoni masyarakat hindu khususnya di Bali dengan sambil lalu saja, tanpa penggalian makna yang jelas tentang apa yang mereka kerjakan. Sebagai contoh dalam menyambut dan merayakan hari raya Sarasvati yang di Bali dikenal sebagai hari turunnya Ilmu pengetahuan dimana sakti Dewa Brahma dipuja pada saat itu. Masih banyak para orang tua yang tidak bisa memberikan jawaban kenapa pada hari itu menjadi moment perayaan ?, apakah ilmu pengetahuan memang baru turun pada hari sabtu wuku watugunung itu ? kapan tanggal pastinya, bulan apa dan tahun berapa ?, kenapa harus Dewi Sarasvati kenapa tidak Sri Ganesha padahal Ia yang menuliskan Veda bersama dengan Vyasa dewa. Bukankah di beberapa lembaga pendidikan justru Ganesha-lah yang dipuja ? Lalu apa benar pada hari raya Sarasvati kita tidak boleh membaca dan menulis ? kenapa hanya anak-anak sekolah saja yang difokuskan dalam perayaan itu apakah para orang tua,buruh,petani,dsb tidak berkepentingan dengan hari turunnya ilmu pengetahuan dimaksud ? sehingga mereka seakan-akan tidak tahu, pura-pura tidak tahu dan bahkan ada yang tidak mau tahu dengan hari suci itu.

Jika hari raya yang begitu akrab dengan suasana keagamaan di Bali itu saja sudah dimaknai dalam konteks “Asal merayakannya saja” tanpa mau menggali makna sesungguhnya lantas bagaimana halnya dengan sebuah hari raya besar nan agung yang masih terkemas dalam budaya aslinya seperti perayaan Hari turunnya Bhagavad Gita yang dikenal dengan nama Gita jayanthi. Tapi baiklah, yang lalu biarlah berlalu, setidak-tidaknya mulai hari ini Generasi muda hindu khususnya, mau membenahi diri agar tidak menjadi korban tradisi masa lalu yang asal nerimo dengan prinsip “Koh ngomong dan anak mule keto”. Mari belajar beragama dengan cara yang sesuai dengan kebenaran dan juga perkembangan jaman sehingga kita tidak dicap sebagai seorang penganut agama KTP.

Kembali kepada perayaan hari Gita jayanti yang mengilhami penulisan ini, bisa saya jelaskan bahwasannya pada hari Ekadasi (hari kesebelas setelah bulan-mati) pada bulan Margaseersha (Desember-Januari), menurut almanak Hindu, Sanjaya –yang merupakan sekretaris dari raja Drstaratha memaparkan dialog spiritual-holistis antara Sri Krishna dan Arjuna yang terjadi di medan perang Kuruksetra pada saat akan berlangsungnya perang besar Mahabharata. Kidung ajaran ketuhanan yang disampaikan oleh Personalitas Tuhan yang Maha Kuasa Sri Krishna ini yang kemudian dikenal dengan nama Bhagavad Gita. Dimana kata Bhagavad berarti Tuhan yang mengacu kepada Sri Krishna dan Gita yang berarti kidung /syair nyanyian. Kitab ini mengilhami begitu banyak yogi dan jutaan manusia di bhumi untuk kembali menyadari aspek dirinya sebagai atma penghuni badan yang telah lama terperdaya oleh pemahaman keliru tentang persamaannya dengan badan material.

Pada hari ini, para masyarakat kesadaran Krishna biasanya melakukan berbagai kegiatan spiritual seperti agni hotra, pembacaan Bhagavad gita secara keseluruhan, Sath sang, dan juga Harinam Sankirtan yajna. Mengingat susastra menyebutkan bagaimana efek rohani hari raya ini akan dapat meningkatkan kemajuan spiritual bagi yang melaksanakannya, sebagaimana pula dapat kita lihat dan baca dalam kitab suci Gita Mahatmya, yang merupakan kitab yang berisi puji-pujian Dewa Shiva terhadap keagungan dan kemuliaan Bhagavad Gita. 

Dalam kitab ini diriwayatkan bagaimana Sri Krishna dalam aspek-Nya sebagai Vishnu atau Narayana,memaparkan hubungan antara Bhagavad Gita dengan diri beliau sendiri. Sri Vishnu mengatakan kepada Laksmi Dewi bahwasannya beliau sendiri telah memanifestasikan diri sebagai Bhagavad Gita, dimana lima bab pertama adalah lima kepala beliau, sepuluh bab berikutnya adalah sepuluh lengan beliau, dan bab enam belas adalah bagian perut beliau sedangkan dua bab terakhir adalah dua kaki padma beliau. 
Dengan cara demikian seyogyanya semua orang dapat memahami sosok rohani dari Bhagavad Gita sebab Ia adalah penghancur segala dosa sehingga orang cerdas yang setiap hari mengucapkan satu bab, atau bahkan satu sloka, setengah sloka, atau setidaknya seperempat sloka, akan mampu mencapai kedudukan yang sama dengan apa yang telah dicapai oleh Susharma yakni kediamanku yang kekal. Berdasarkan hal inilah maka kitab suci Bhagavad Gita diperlakukan dengan sangat istimewa, dihormati dan dijunjung tinggi sebagaimana ia menjadi hamba bagi keagungan Tuhan. Karena Sri Krishna sendiri telah mewejangkan bahwa diri Krishna, nama, dan apa yang disabdakan-Nya tidak ada bedanya. Namun begitu tentu kita tidak akan menelan mentah-mentah segala kisah dalam kemuliaan Gita ini sehingga menimbulkan persepsi bahwasannya moksa atau Vaikutha loka tempat kerajaan Tuhan begitu mudahnya dicapai dengan hanya mengidungkan kitab suci Bhagavad Gita bahkan jikalaupun hanya membacanya seperempat sloka saja. Tuhan pasti mengetahui tingkat kesungguhan, kepasrahan bhakti, dan juga motiv kita melakukan sesuatu. 


Jika kita hanya membeo atau seperti burung beo yang bisa fasih mengucapkan sesuatu namun kurang menyadari makna dari apa yang dibicarakannya tentu karunia rohani Bhagavad Gita juga tidak akan bisa maksimal dicapai. Tuhan tidak ingin anaknya menjadi kaset atau rekaman CD yang mampu mengucapkan sloka sampai berjam-jam dan berhari-hari tanpa putus namun tiada menyadari keagungan mantra yang diperdengarkannya. Sloka Bhagavad Gita pada Bab I sloka 1 dimulai dengan kata “Dharma” lalu di Bab terakhir XVIII diakhiri dengan kata “Mama” yang jika kedua kata ini digabungkan maka akan menjadi Dharma mama (Kewajibanku). Bukankah Bhagavan mengajarkan kepada Arjuna agar melaksanakan kewajibannya sebagai seorang ksatria dengan tetap mendengarkan perintah-perintah beliau. Arjuna adalah cerminan dari diri kita sendiri, maka Bhagavan Krishna juga memerintahkan kepada kita untuk melaksanakan svadharma kita masing-masing dengan baik sebagaimana petunjuk beliau dari dalam kitab suci dan juga suara hati.

Perayaan Gita jayanti juga mengingatkan kita tentang kenapa Tuhan sampai ber’Avatara’ mewujudkan diri ke bhumi untuk mengajarkan rahasia ilmu pengetahuan itu kepada manusia yang dalam hal ini diwakili oleh arjuna. Lalu apakah Bhagavad Gita yang merupakan susu siap minum ini sudah bisa kita maknai sebagaimana adanya atau masih sebatas hafalan saja tanpa praktek yang jelas dalam kehidupan sehari-hari. Moksa atau tercapainya kesatuan dalam kerajaan Tuhan hanya bisa dicapai jika kita mengetahui peta dan cara yang jelas untuk itu. Moksa adalah gabungan dari dua kata yakni Moha dan Ksaya (Moha adalah kebingungan dan Ksaya adalah Pembebasan) jadi ia yang bisa dibebaskan dari kebingungan seperti situasi arjuna tentu akan bisa melihat peta yang jelas untuk memulai perjalanan menuju kerajaan Tuhan. Moksa adalah keadaan bebas dari kebingungan dan salah satu cara guna mencapai kebebasan dari kebingungan,dan kegelisahan di jaman ini adalah dengan cara membatasi keinginan atau Ceiling on Desires sebagaimana sering diwacanakan oleh Svami Sathya Narayana. Catur Purushaartha harus dikelompokkan menjadi dua bagian utama yakni Dharma; Artha dan Kama;Moksha, yang artinya bahwa dalam hidup ini segala harta harus dicari, dicapai,dan digunakan sesuai dengan Dharma, sehingga keinginan (Kama) kita bisa terfokus pada satu hal yakni untuk mencapai Moksa. Demikian halnya dengan penerapan catur asrama dalam kehidupan yang seharusnya selaras dengan usia. Sebab bagaimana mungkin Moksa bisa dicapai jika pada saat Brahmacari kita sudah melakoni hidup sebagai Grhasta, dan pada saatnya Wanaprasta (atau masa meninggalkan hal-hal yang bersifat keterikatan material) kita masih menggeluti pekerjaan sebagai Grhasta. Umur 50 tahun keatas seharusnya manusia sudah mulai meninggalkan urusan keduniawiannya dan secara bertahap memasuki kehidupan perenungan diri untuk mengumpulkan bekal perjalanan pulang kekerajaan Tuhan. Semoga perayaan Gita jayanti ini memberikan banyak kesadaran kepada kita semua bahwasannya jaman Kali yang dipenuhi dengan kegiatan berdosa ini seperti arus sungai yang siap menyeret kita kedalam pusaran materi yang semakin kuat guna menenggelamkan kita didalamnya. Dan bahwasannya kehadiran Bhagavad Gita sebagai pelampung dan tali penyelamat sudah ada di depan mata, sekarang tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Tidak ada komentar: