Rabu, 14 November 2012

Malulah pada binatang!

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini

Bulir padi sebelum bisa menjadi beras yang mempunyai nilai lebih dibanding ketika ia masih menjadi gabah juga harus melalui proses panjang yang ruwet dan melelahkan baginya, ia harus diirik dari ikatannya, ditumbuk, ditampi, baru kemudian di bersihkan, direndam dalam dinginnya air lalu direbus dengan uap panas sehingga akhirnya menjadi nasi yang pantas untuk dipersembahkan kepada Tuhan ataupun dimakan oleh manusia. Demikian pula manusia harus melalui bermacam suka dan duka di bhumi, mengalami berbagai cobaan, bencana, penderitaan, kehilangan, ataupun kesedihan agar keindahan bhatinnya semakin bersinar terang. Menakuti ujian hidup untuk menjadi lebih baik sama bodohnya dengan anak kecil yang tidak mau meninggalkan kegiatan bermainnya di taman kanak-kanak hanya karena ia merasa bisa selalu bersenang-senang tanpa harus memikirkan pelajaran ataupun tugas yang akan didapatkan saat meningkat ke jenjang yang lebih tinggi. Hanya murid pintar yang akan menanti ujian dengan gembira karena ia tahu bahwa setiap ujian akan membawanya semakin dekat dengan jenjang yang lebih tinggi dimana kesempatan untuk mengetahui hal yang lebih luas juga terbuka lebar.





Tengoklah kembali perjalanan hidup Sang Budha, beliau lahir sebagai putra seorang raja yang hidupnya ditunjang oleh segala bentuk kemewahan dan kenyamanan, tapi akhirnya melakukan penyangkalan diri setelah menyadari bahwa hidup hanya terbagi menjadi beberapa tahap saja yakni, badan dilahirkan, ia tumbuh beberapa waktu, kemudian badan merosot karena usia atau penyakit lalu mati. Bahkan ada yang tak sempat menikmati usia senja sudah mati muda karena salah memaknai hidup ataupun tak kuat menghadapi permasalahan.
Untuk mendapatkan kesadaran atau pikiran baik seperti yang dialami Sang Budha, tentu kita harus mencari pergaulan dengan orang-orang yang sedang atau telah melakuan penyangkalan akan hal-hal duniawi. Sebab lingkungan pergaulan sangat mempengaruhi pembentukan sifat dan karakter seseorang. “….katakan siapa temanmu, maka akan kukatakan siapa dan bagaimanakah dirimu!” yang artinya bahwa jika seseorang lebih banyak bergaul dan memiliki teman dari para peminum, maka dapat ditebak bahwa orang itu juga akan memiliki sifat dan kebiasaan seperti kelompoknya itu.demikian pula sebaliknya
    
     Selama ini manusia terlalu takabur dengan predikat mahluk paling sempurna dibandingkan dengan mahluk hidup lainnya. Tapi benarkah dengan predikat itu manusia telah bisa menghargai dan menggunakan sisi kemanusiaanya dengan benar? Binatang walaupun diklaim oleh manusia sebagai mahluk rendahan yang tak berperasaan, tapi binatang tak pernah melakukan kejahatan dan kebengisan seperti apa yang dilakukan manusia kepada mereka atau sesamanya. lihatlah, sebuas-buasnya serigala ia tak akan memakan atau membantai serigala lainnya. Berbeda dengan manusia yang menyatakan diri sebagai mahluk paling beradab, ia menciptakan senjata pemusnah massal, merakit bom lalu meledakkannya untuk membantai manusia lainnya. Manusia mengadu mahluk lain untuk saling membunuh satu sama lain sebagai sebuah kesenangan, ataupun mengambil nyawa hidup hewan yang tak pernah punya salah apapun kepada mereka hanya demi untuk memenuhi tuntutan lidah dan perut.
Lihatlah burung Krauca, mereka begitu setia satu sama lain dengan pasangannya, lihat juga kebiasaan musang yang hanya bersenggama pada saat musim berkembang biak. Tidak seperti manusia yang memperturutkan birahinya tanpa kendali. Berganti pasangan semaunya tanpa memperdulikan kemerosotan badan yang akan terjadi karenanya.
     Sang waktu telah menyaksikan bahwa di jaman Kali ini, bhumi begitu berat dihuni oleh manusia-manusia yang kelakuannya tak lebih baik daripada mahluk dibawahnya. Tengoklah cara hidup ayam jantan, ia tak kan segan kawin dengan saudara bahkan ibunya sendiri jika ia hendak melakukannya dan kecenderungan seperti ini sekarang ada pada diri manusia. Lihat juga kebiasaan sang ular yang tega memangsa anaknya, kejahatan seperti ini juga dilakukan oleh manusia dengan membantai keluarganya sendiri atau darimanakah budaya tidak tahu malu guna melakukan adegan mesum di hadapan orang banyak hadir kalau bukan dari kebiasaan para anjing. Kemerosotan moral yang kian menjadi-jadi telah menjadikan manusia berkelakuan menyimpang dari kodrat kemanusiaannya, mereka memakai wujud manusia tetapi ingin memperoleh kebebasan seperti margasatva. Beberapa orang mungkin akan menyanggah dengan mengatakan bahwa burung, ternak, atau binatang lainnya memiliki kebebasan penuh untuk makan apapun yang mereka inginkan, kawin semaunya, atau pergi sekehendak hatinya. Lalu kenapa manusia yang merupakan mahluk paling tinggi tidak boleh mendapatkan kebebasan seperti yang diperoleh para mahluk lainnya yang lebih rendah ? memang, sepintas argument itu kelihatan sangat masuk akal, tapi coba kita bertanya kepada orang yang sok pintar itu, kebebasan macam apakah yang dinikmati oleh  para binatang? Tidak diragukan, jawabannya adalah kebebasan binatang. Hewan memperoleh kebebasannya sebagai hewan adalah wajar dan tidak ada salahnya. Tapi sebagai manusia, tentu tidak akan layak dan tidak pantas jika menghendaki kebebasan seperti margasatva lainnya. Manusia tidak boleh lupa bahwa kebebasan yang diberikan Tuhan padanya hanyalah kebebasan untuk menentukan pilihan yang didasari atas viveka dan kebebasan dari perbudakan indera. Tubuh dapat dimisalkan sebagai sebuah kereta yang ditarik oleh kelima kuda (indera) yakni Mata, Telinga, Mulut/lidah, hidung, kulit/sentuhan, bayangkan jika jiwa sebagai penumpang kereta tidak bisa menggunakan budhi / akal sehat untuk menarik tali kekang pikiran guna mengendalikan semua kuda (indera) tersebut, dan malah membiarkan masing-masing indera mencari kepuasannya sendiri (mata ingin melihat sesuatu yang tak pantas, telinga ingin mendengar gosip murahan, lidah menginginkan makanan enak dan membicarakan kejelekan orang lain) tidakkah kereta dan penumpangnya akan berada dalam keadaan bahaya karena semua kuda berlari tanpa arah dan tanpa kendali. Oleh karenanya manusia harus mulai sadar untuk membebaskan dirinya dari belenggu kenikmatan indera yang bersifat sementara dan bukannya menyerah lalu menjadi korban tidak berdaya bagi kelima indera tersebut. Memanjakan indera sama halnya dengan menggiring kita kepada kesulitan. Ambillah contoh beberapa binatang yang akhirnya terperangkap dalam jaring kesulitan bahkan kematian karena terperdaya hanya oleh satu inderanya saja. Gajah walaupun mempunyai kekuatan raksasa, tetapi ia kalah oleh satu sentuhan dari tongkat pawang yang kecil. Kalaketu menjadi korban penglihatannya, karena tertarik oleh nyala api akhirnya mati terbakar, ikan karena terperdaya oleh indera pengecapnya tertarik oleh rasa cacing lalu makan umpan sang pemancing, begitu halnya dengan lebah yang terperangkap oleh indera penciumannya akhirnya binasa karena godaan tersebut. Bayangkan kehancuran apa yang diterima manusia yang menyerah akan tuntutan kelima inderanya akan hal-hal keduniawian. Kenikmatan yang diperoleh dari indera hanya sementara dan berakhir dalam duka. Keinginan timbul suatu waktu dan segera akan berakhir pada saat berikutnya. Misalkan saja saat ini kita menginginkan pisang, segera setelah memakan 2 buah pisang, kita akan kenyang dan enggan pada makanan itu. Sekarang ingin berikutnya muak. Nikmat dan muak cepat sekali berganti! Karenanya dengan menyadari bahwa kenikmatan yang diperoleh indera hanya bersifat sementara dan tidak kekal, kita harus dapat melakukan diskriminasi, ketidak terikatan, dan akhirnya mampu mengendalikan indera itu sendiri. Indera harus diusahakan selalu dalam keadaan sibuk dalam cara yang benar sehingga tidak akan menimbulkan kesulitan.

Manusia harus diberikan pelajaran dan pengertian yang benar tentang nilai-nilai yang menjadikan mereka pantas disebut sebagai manava-madava Seperti nilai kebenaran (Satya), kebajikan (Dharma), kedamaian (Shanti), kasih sayang (Prema) dan juga tindakan tanpa kekerasan (Ahimsa). Manusia juga harus mau belajar dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Ambilah contoh pepohonan, sepanjang hidupnya ia melakukan pelayanan dengan menyediakan buah dan daunnya untuk keperluan mahluk lain, dengan daunnya yang rindang, ia memberikan keteduhan di musim panas, akarnya menyimpan air untuk persediaan mahluk lain di musim kemarau dan pada saat kematiannya, ia juga masih membantu manusia dengan menyediakan badannya sebagai kayu bakar ataupun bahan membuat rumah. Pada diri binatang kita  juga bisa belajar banyak, seperti dalam hal kesetiaan pada sesama, disiplin, serta kerjasama, manusia harus bercermin pada koloni semut. Semut telah menjadikan antre sebagai budaya, kerjasama sebagai peradaban dan kerja keras sebagai kebiasaan sedangkan manusia, diatur-pun untuk seperti itu susah. Ini adalah bukti bahwa manusia masih lebih suka berbicara daripada bekerja, sedangkan semut memang lebih banyak bekerja daripada berteori. Pada seekor anjing, manusia dapat belajar tentang kesetiaan, keberanian, kewaspadaan, serta pemanfaatan waktu istirahat secara efektif. Walaupun anjing memiliki waktu tidur yang relatif singkat, tapi ia benar-benar pulas dalam tidurnya dan segera akan terjaga jika ada sesuatu yang mencurigakan. Dan walaupun beberapa orang bahkan memperlakukannya dengan tidak adil dengan kucing yang selalu bisa dekat dengan majikan, tidur di sofa dan mendapat makanan lebih enak daripada anjing, tapi anjing tetap menunjukkan kesetiaannya untuk mengabdi. Dalam hal yang paling penting tentang pemaknaan hidup, manusia harus belajar spiritual pada seekor kupu-kupu. Kupu-kupu bermula dari telur dan kemudian menetas menjadi ulat. Semua orang tahu bahwa ulat adalah binatang yang menjijikkan dan merugikan sehingga dibenci oleh manusia, tetapi dengan kesadarannya ia membangun sebuah tekad kuat guna merubah diri agar tidak lagi menjadi pengganggu yang memiliki sifat dan kebiasaan jelek tapi sebaliknya menjadi penolong yang memberikan kebahagiaan bagi mahluk lain. Dengan kesungguhan tapa dan pengendalian dirinya ketika dalam kepompong, akhirnya menarik rahmat Tuhan kepadanya sehingga dianugrahi wujud baru sebagai kupu-kupu yang cantik yang bertugas membantu penyerbukan. Jadi kalau tumbuh-tumbuhan dan binatang saja mampu melakukan hal besar seperti itu, tidakkah manusia seharusnya juga mampu melakukan hal yang lebih baik, setidak-tidaknya memperbaiki kualitas hidup agar terbebas dari penderitaan duniawi berupa aneka permasalahan hidup. Bebas dari siklus reinkarnasi, lalu pulang ke kerajaan Tuhan yang dipenuhi dengan aneka kebahagiaan dan kekekalan (Sat cit ananda).

Tidak ada komentar: