Jumat, 10 Oktober 2014

Mahabharata, Kisah kehidupan untuk dijadikan Tuntunan bukan sekedar tontonan

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini


Selama sungai-sungai masih mengalirkan airnya dan semasih gunung-gunung tegak berdiri, maka kisah Ramayana dan Mahabharata akan tetap dikenang dan dijadikan teladan hidup bagi masyarakat manusia. Begitulah 2 epos besar yang masuk dalam kelompok Itihasa ini dipuja oleh Dewa Brahma. Kenyataannya bahwa 2 Wiracarita besar ini memang tidak pernah lekang oleh waktu sampai saat sekarang, Ia dituturkan dari generasi ke generasi dengan sajian yang sangat beragam, mulai dari penyampaian kisah kehidupan ini dalam proses belajar antara guru dan murid, dengan membuatnya sebagai syair untuk dinyanyikan, dibuatkan sebagai pertunjukan drama, Sendratari atau pewayangan sampai dengan cara modern yakni mengemasnya sebagai film kolosal.

Mahabharata sebagaimana namanya merupakan cerita dan gambaran kehidupan manusia yang begitu kompleks. Karena mengandung unsur  yang sangat lengkap, mendetail, dan disertai pemaparan dialog dan kisah yang sangat masuk akal serta tetap bisa diterima logika walaupun kisah itu terjadi sudah hampir puluhan ribu tahun silam. Mahabharata memberikan gambaran nyata tentang kehidupan manusia sehari-hari yang selalu diwarnai oleh dualitas, oleh rasa suka dan tidak suka, kebahagiaan dan penderitaan, maupun kebaikan dan kejahatan. Maka demikianlah ketika kisah ini kembali disajikan dalam format film yang lebih modern dengan didukung oleh para pemain yang telah menguasai dunia acting dengan baik, kisah Mahabharata yang ditayangkan oleh salah satu TV swasta di Indonesia ini mampu menyedot perhatian masyarakat nusantara walaupun jam tayangnya begitu larut malam. Insting diri sebagai jiwa yang pernah mengenal peradaban Sanatana Dharma seakan ditarik muncul ke permukaan walaupun sekarang mereka telah mengimani keyakinan lain dari apa yang pernah dianut nenek moyangnya dulu. Terlepas dari status social, gender, maupun agama yang dianutnya, Mahabharata telah sukses menjadi pemersatu bangsa dalam melihat agungnya peradaban dan ajaran Vedanta. Oleh karena itu tentu akan menjadi hal yang memalukan jika kita sebagai umat hindu sebagai pewaris dari ajaran ini justru mengabaikan hal tersebut dengan menganggap dan menikmati kisah ini hanya sebagai tontonan semata dan bukannya sebagai tuntunan hidup.

Bertolak dari semangat inilah, maka saya berusaha mengumpulkan ajaran, wejangan ataupun nasehat Tuhan Sri Krishna sebagai tokoh utama dalam kisah ini, untuk bisa kita pakai bahan renungan, ingatan, dan juga dasar hukum yang benar dalam kita menjalani hidup bermasyarakat. Bukankah kisah dan kejadian yang disajikan dalam epos ini begitu relevan dengan persoalan hidup yang sedang kita jalani saat ini. Misalnya ketika kita dihadapkan pada sebuah tradisi budaya yang seringkali membuat kita tak berdaya untuk melihat sebuah kebenaran agama. Karena keduanya antara adat dan agama kadang menjadi sebuah kesatuan yang saling melengkapi tapi juga bisa saling mengaburkan. Memang Berenang-renang dalam lautan tradisi akan menjadi hal yang cukup menyenangkan, tetapi alangkah konyolnya jika karena kesenangan itu lalu kita membiarkan diri  sampai terseret arus tradisi yang bisa menenggelamkan kebenaran itu sendiri.
Kita bisa belajar dari salah satu bagian dari epos Mahabharata ini dimana aturan yang berusaha dipertahankan sebagai sebuah kebenaran, akhirnya harus mengalah pada kebenaran waktu yang dijelaskan oleh Vasudeva Krishna untuk memperbaharui mind set manusia di ketika itu. Memang Para Avatara, Nabi, Mesias, dan setiap sadguru. Akan melakukan pembaharuan sekaligus revitalisasi terhadap sistem yang sudah usang, dan kadaluarsa. Mereka akan datang untuk menyampaikan dan mengingatkan kembali manusia bahwa budaya adalah produk cita rasa manusia yang tidak terlepas dari unsure Trikona yakni diciptakan atau dibuat, dipelihara dan dijaga, lalu dihilangkan atau diperbaharui kembali agar sesuai dengan keadaan, maupun tempat dimana aturan itu diberlakukan.


Mari kita refresh dan renungkan kembali penggalan kisah ketika perkawinan Pancali dan Subhadra devi dengan Arjuna dilangsungkan dalam pertentangan sebuah tradisi.
Saat itu atas nasehat Shakuni, Duryudana minta Karna mengikuti Svayamvara memperebutkan Draupadi. Perkawinan Duryudana dengan putri kerajaan Panchali akan menambah kekuatan Hastina. Akan tetapi raja Draupada setelah belajar pada Sri Krishna menolak, Draupadi akan dijodohkan dengan pengikut Svayamvara. Alasan Duryudana bahwa Kakek Bhisma memperebutkan putri lewat Svayamvara untuk dihadiahkan kepada adiknya yang menjadi putra mahkota Hastina sudah diterima masyarakat dan sudah menjadi tradisi bangsa Arya. Drupada mengingatkan bahwa salah seorang putri (Dewi Amba) tidak suka dirinya dihadiahkan kepada adik Bhisma, dia ingin Bhisma yang mengawininya. Ini adalah masalah satria mewakili dalam Svayamvara. Drupadi hanya diberikan kepada pengikut Svayamvara.
Duryudana yang marah minta Karna mengikuti Svayamvara bagi Karna sendiri. Krishna yang berpikiran jernih dan bebas dari tradisi yang mengikatnya mengatakan kepada Draupadi bahwa kita tidak boleh membeda-bedakan status kebangsawanan seseorang, akan tetapi bila Draupadi tidak senang dengan Karna, dia bisa menolaknya. Karena wanita yang akan menjadi istri, yang akan merasakan akibatnya. Draupadi menolak Karna untuk bertanding dan menunggu Arjuna datang mengikuti Svayamvara.
Permaisuri dari Lima Bersaudara
Akibat kesalahan ucap Ibu Kunti, Pandawa dan Draupadi berada dalam dilema. Berdasar tradisi saat itu seorang istri hanya mempunyai seorang suami. Sebuah masalah pelik muncul, bila Draupadi kawin dengan Arjuna, maka keempat saudaranya akan membujang seumur hidup dan pergi mengembara agar kata-kata Kunti tidak berlaku. Resi Vyaasa mengingatkan bahwa bila hal itu yang terjadi maka Yudistira tidak bisa menjadi raja Hastina, karena raja harus mempunyai permaisuri. Sedangkan Arjuna tidak mungkin menjadi raja karena yang lahir lebh dahulu sebelum Duryudana hanyalah Yudistira dan Bhima. Bila Duryudana menjadi raja, maka dipastikan rakyat akan sengsara, karena yang dipikirkan oleh Duryudana hanyalah kesejahteraan raja bukan kesejahteraan rakyatnya. Arjuna kemudian minta Draupadi kawin dengan Yudistira. Leluhur kita dari Nusantara menganggap Draupadi kawin dengan Yudistira sehingga masalah terselesaikan dan bisa mensosialisaikan ke masyarakat yang tidak mengenal poliandri. Akan tetapi Draupadi menolak, dia sudah menolak Karna ikut Svyamvara atas nama Duryudana, mengapa Arjuna ikut Svayamvara atas nama Yudistira?
Bagi Sri Krishna, yang sudah tahu apa yang terjadi di masa depan, maka beliau tahu bahwa “alat” Keberadaan untuk menegakkan dharma adalah lima Pandawa sebagai satria dan Draupadi sebagai pemersatu Pandawa. Draupadi akhirnya berani mengorbankan kehormatannya kawin dengan lima Pandawa demi penegakan dharma, demi kesejahteraan rakyat Hastina dan menghilangkan ego putri raja yang seharusnya kawin dengan seorang suami saja. Ini adalah tindakan yang sangat “berani” dan Sri Krishna mendukungnya.
Tradisi memang ditentang, akan tetapi bila melihat sejarah peradaban manusia, maka dalam kitab Srimad Bhagavatam dikisahkan 10 bersaudara Praceta putra-putra Raja Prachinabarhis, kawin dengan seorang putri bernama Pramloca. Dari rahim Pramloca lahirlah Daksha. Daksha sebagai prajapati yang pernah melawan Shiva dan membuat putrinya sendiri, Dewi Sati bunuh diri, sekarang lahir lagi sebagai putra Pramloca dengan sepuluh Praceta. Daksha ini disebutkan tidak kalah dibanding Brahma, Sang Pencipta. Semua anak-anak dan cucu-cucu Daksha menurunkan anak keturunan manusia yang memenuhi dunia saat ini.
Draupadi telah berkorban demi persatuan Pandawa, sehingga Pandawa juga berkorban, bahwa hanya Draupadilah permaisuri mereka, Tidak ada istri lain yang tinggal di istana mereka. Selama satu tahun Draupadi hanya menjadi istri satu Pandawa, dan pandawa yang lain tidak boleh masuk kamar Draupadi.


Perkawinan Subhadra dengan Arjuna Melawan Tradisi Perjodohan Perkawinan oleh Orang Tua
Shakuni yang ingin memperkuat Hastina, minta Duryudana belajar ilmu gada kepada Balarama, kakak Krishna dan Subhadra. Akhirnya Subhadra dijodohkan dengan Duryudana. Subhadra sendiri tidak menyukai Duryudana, di hatinya hanya ada Arjuna. Sri Krishna mengatur siasat agar Subhadra bertemu Arjuna yang sedang menjalani pengasingan setelah menabrak komitmen Pandawa terhadap Permaisuri Draupadi.

Subhadra didukung Krishna untuk “kawin lari” dengan Arjuna. Krishna sendiri telah melarikan Rukmini yang telah dijodohkan dengan Shisupala. Demi menghormati perasaan wanita, Sri Krishna mulai mendobrak tradisi. Selama ini banyak wanita terpaksa kawin dengan orang yang tidak dicintainya.
Kakek Pandawa, Bhisma berpegang pada tradisi bahwa bila sudah dijodohkan maka melawan tradisi tersebut tersebut adalah tindakan adharma. Krishna menyampaikan kepada Bhisma bahwasanya tradisi itu seperti buah mangga. Sewaktu lahir, terasa pahit dan hanya orang tertentu yang berani memakannya. Ketika tradisi menjadi mangga yang masih muda, yang melaksanakan masih sedikit, maka terasa asam bagi sebagian besar orang. Akan tetapi saat tradisi sudah menjadi mangga yang masak, terasa manis, maka semua orang ingin melaksanakan tradisi tersebut. Ada waktunya buah “tradisi” sudah menjadi busuk dan mengikuti tradisi menjadi tidak menyenangkan. Orang yang berpegang pada tradisi mengatakan bahwa mereka yang melanggar tradisi dianggap sesat. Akan tetapi pada kenyataannya orang sudah tidak nyaman dengan tradisi tersebut sehingga masyarakat menjadi munafik, takut dianggap sesat padahal sudah tidak melaksanakannya.
Bhisma merenung dan bertanya, siapa yang berhak mengatakan sebuah tradisi sudah busuk? Apakah kitab menyatakan demikian, ataukah Sri Krishna yang menyatakan bahwa sebuah tradisi sudah busuk? Sri Krishna tersenyum, yang mengatakan tradisi masih manis atau sudah busuk adalah Sang Kala, waktu. Krishna menambahkan bahwa saat itu adalah waktunya Sankranti bagi Hastinapura, matahari sedang berubah arah. Kebiasaan lama akan berganti dengan kebiasaan baru. Setiap orang harus menentukan dirinya akan berpihak pada pola lama atau berganti memasuki pola baru.
Berdasarkan pernyataan langsung dari Tuhan Sri Krishna ini kita seakan disindir bahwasannya sikap kaku dalam menerima perubahan jaman untuk merombak dan memperbaharui sebuah tradisi budaya adalah sikap kolot dan kekanak-kanakan yang bisa menjadi boomerang bagi penderitaan kita sendiri. Oleh karena itu sangat tepat jika setiap kali memberikan arahannya, Sri Krishna selalu menyudahinya dengan suatu pernyataan (Pikirkanlah hal itu). Om Shanti Shanti Shanti Om.
 

Tidak ada komentar: