Kamis, 06 Desember 2012

BHAGAVATAM Part 9: KENAIKAN SRI KRISHNA



Dharmaraja yang amat sedih atas kepergian paman dan bibinya, Dhritarastra dan Gandhari, tertimpa penderitaan lain yang tidak tertahankan bagaikan jarum yang ditusukkan di dalam kuku. Kemanapun berpaling, ia mulai melihat berbagai pertanda buruk dalam kerajaannya. Ia melihat noda-noda kebohongan, kekejaman, dan ketidakadilan dalam perbuatan orang-orang di sekitarnya. Pertanda buruk menghadang setiap langkahnya dan mengacaukan pandangannya.

Akibatnya, ia dicekam kesedihan yang tidak dapat dijelaskan. Parasnya memucat dirongrong kekhawatiran. Ia selalu resah dan cemas. Adik-adiknya melihat hal ini dan karena mereka sendiri juga menjadi gelisah maka Bhima, Nakula dan Sahadewa menemui kakaknya yang tertua dan mengutarakan keinginan mereka untuk mengetahui penyebab kemurungannya yang aneh. Mereka berdiri di hadapannya dengan tangan tertangkup dan bertanya, “Raja dan junjungan! Dari hari ke hari kami lihat roman muka Kakanda makin suram; tampaknya Kakanda tenggelam dalam kesedihan yang tidak dapat diduga, tenggelam makin lama makin dalam dengan berlalunya waktu. Kakanda menjadi terlalu lemah untuk berdiri tegak. Jika ada diantara kami yang telah menyedihkan hati Kakanda, mohon beritahukan kepada kami; kami akan berhati-hati agar tidak mengulangnya lagi dan kami nohon agar diampuni. Jika semua kesedihan ini disebabkan oleh hal lain, Kakanda hanya perlu memberitahukannya kepada kami, kami bersedia korban jiwa untuk memperbaiki keadaan dan memulihkan ketenangan hati Kakanda. Bila Kakanda memiliki pahlawan-pahlawan yang patuh seperti kami untuk mengoreksi siapa saja yang bersalah betapapun tinggi kedudukannya dan betapapun besar kekuasaannya, tidak layaklah Kakanda bersedih hati. Beritahukanlah sebabnya kepada kami dan perintahkanlah apa yang harus kami perbuat.” Demikian mereka memohon.  

 
Dharmaraja menjawab, “Apa yang dapat saya katakan kepada Adinda, adik-adikku terkasih? Dimana-mana saya melihat berbagai alamat buruk. Dari rumah penduduk biasa hingga ke pertapaan orang-orang suci dan kaum arif bijaksana, kemanapun saya melayangkan pandangan, saya hanya melihat hal-hal yang tidak baik, kesialan, kemalangan, dan tiadanya kegembiraan. Saya menghibur diri bahwa ini hanyalah akibat imaginasi saya yang kacau dan saya berusaha sekuat tenaga mengumpulkan keberanian serta kepercayaan pada diri sendiri. Saya tidak suka menjadi korban rasa takut saya sendiri. Tetapi saya tidak berhasil. Mengingat-ingat hal itu hanya membuat rasa takut saya makin bertambah.”   

Kesedihan saya menjadi lebih parah karena saya juga melihat beberapa kejadian yang bertentangan dengan moralitas dan dahma yang telah ditetapkan. Hal ini tidak hanya saya saksikan sendiri, sidang pengadilan di kerajaan in pun telah menerima berbagai permohonan dan tuntutan berkenaan dengan kejahatan, ketidakadilan, kebengisan, dan pelanggaran yang membuat saya amat sedih.”    


“Saya melihat beberapa situasi yang lebih buruk lagi. Kemarin sore ketika saya kembali dari perjalanan keliling kerajaan, saya lihat seekor induk sapi tidak mau merawat dan menyusui bayinya yang baru lahir! Ini aneh sekali dan bertentangan dengan kodratnya. Saya lihat beberapa perempuan jalang hilir mudik tanpa tujuan di pasar. Saya berharap mereka akan lari pulang ketika melihat saya, tetapi rupanya tidak. Tidak demikian. Mereka tidak memiliki rasa hormat lagi kepada penguasa, mereka terus saja berkeliaran, seakan-akan saya tidak ada disitu, mereka tetap berbicara tanpa kendali kepada kaum pria. Saya menyaksikan semua ini dengan mata kepala saya sendiri. Saya hanya meneruskan perjalanan meninggalkan tempat yang mengerikan itu.” 



“Di dekat Rajbhavan, ketika saya akan masuk, saya lihat seorang brahmin berjualan susu dan yoghurt! Saya lihat orang-orang keluar dari rumah mereka lalu menutup pintu yang mereka tinggalkan! Saya lihat mereka memasang suatu gumpalam besi disitu agar tidak dapat dibuka orang lain. (Rupanya Dharmaraja menyebutkan kunci gembok yang merupakan barang aneh dalam kerajaannya karena sebelumnya tidak seorangpun mengkhawatirkan adanya pencuri.) Saya menjadi amat prihatin karena adanya semua perubahan yang menyedihkan ini.”      

“Saya berusaha melupakan kejadian-kejadian ini dan mulai melakukan upacara doa senja hari, upacara suci memasukkan persembahan ke dalam api yang telah dikuduskan, lalu apa yang terjadi? Apinya tidak dapat dinyalakan walau saya telah berusaha sedapat-dapatnya. Oh, bencana apakah ini. Kekhawatiran saya bahwa semua kejadian ini merupakan alamat buruk yang menunjukkan suatu malapetaka besar diperkuat pula oleh beberapa kejadian lain. Setiap menit semua kejadian ini memperkuat firasat buruk saya. Saya mendapati diri saya terlalu lemah untuk mengatasi semua itu. Barangkali jaman kali telah mulai atau akan dimulai.”    

“Sebab bagaimana lagi kita dapat menjelaskan kejadian-kejadian semacam ini : seorang istri bertengkar dengan suaminya dan berdebat di depan hakim di pengadilan agar ia diizinkan pergi kepada orang tuanya dan suaminya ditinggalkannya sendirian. Bagaimana saya dapat menghadapi tuntutan semacam itu di pengadilan agar ia diizinkan membubarkan perkawinannya dan pulang ke rumah orang tuanya dengan meninggalkan suaminya? Bagaimana saya dapat mengabaikna hal yang begitu saya benci?  

“Mengapa terus menceritakan aneka peristiwa ini? Kemarin kuda-kuda di kandang kerajaan mulai menangis, Dinda dengar bukan? Para sais melaporkan bahwa mereka mengucurkan air mata banyak sekali. Sahadewa berusaha menyelidiki apa yang membuat binatang-binatang itu demikian sedih, tetapi ia tidak dapat menemukan sebabnya sehingga ia merasa amat heran dan khawatir. Ini merupakan pertanda kehancuran besar-besaran, bukannya suatu bahaya kecil atau kejahatan yang sepele.” Dharmaraja menopangkan dagunya pada tangan kanannya dan dian sejenak dalam pemikiran yang mendalam.      

Bhima tidak putus asa. Ia tertawa mencemoh dan berkata “Kejadian dan peristiwa yang Kakanda sebutkan mungkin telah berlangsung’ saya tidak menyangkalnya, tetapi bagaimana hal itu dapat membawa bencara bagi kita? Mengapa harus putus harapan? Semua penyimpangan ini dapat diluruskan lagi dengan tindakan administratif dan pelaksanaannya secara tegas. Sungguh mengherankan bahwa Kakanda demikian mencemaskan masalah-masalah kecil yang dapat kita perbaiki. Atau apakah Kakanda khawatir bahwa perang akan berkecamuk lagi? Barangkali Kakanda ingin menghindari kerusakan dan kehancuran yang mungkin timbul bila perang berkobar lagi. Itu adalah hal yang mustahil karena semua musuh telah kita tumpas bersama kaum kerabatnya. Kita berlima saja yang tinggal dan kita harus mencari teman atau musuh hanya diantara kita sendiri. Tidak mungkin ada persaingan diantara kita sekalipun hanya dalam mimpi. Jadi, apa pula yang meresahkan Kakanda? Saya tidak dapat mengerti mengapa Kakanda sedih dan menderita. Orang-orang akan menertawakan Kakanda bila berbagai masalah sepele ini dimasukkan ke dalam hati hingga Kakanda kehilangan ketentraman hati.” Bhima mengatakan hal ini dan memindahkan gadanya yang besar dari tangan kanan ke tangan kiri sambil tertawa setengah mengejek.

Mendengar hal ini Dharmaraja menjawab, “Dalam hal ini saya juga memiliki kemampuan pertimbangan dan kecerdasan yang sama dengan Adinda. Sedikitpun saya juga tidak takut bahwa musuh akan mengalahkan kita. Bukankah kita telah menumbangkan para pejuang kenamaan Bhisma, Drona, dan lain-lain, yang seorang diri saja dan satu anak panah dapat menghancurkan tiga dunia? Apa yang dapat dilakukan musuh kepada kita? Dan apa yang dapat meresahkan kita yang mampu menanggung bencana paling dahsyat dengan tabah? Bagaimana mungkin timbul pertikaian di antara kita sekarang setelah berdiri bahu membahu dengan teguhnya pada masa yang sulit?”

“Mungkin Adinda menduga saya merasa takut akan sesuatu yang terjadi pada diri saya sendiri. Tidak. Saya tidak akan pernah mengkhawatirkan apa saja yang mungkin terjadi pada saya karena tubuh ini hanya ibarat gelembug di permukaan air. Tubuh terbentuk dari lima unsur dan akan lebur kembali ke dalam anasir-anasirnya. Kematian atau kehancuran tubuh ini harus terjadi pada suatu waktu; tubuh sudah ditakdirkan untuk binasa, mati, membusuk, menjadi debu atau lumpur. Saya tidak memperdulikan nasibnya.”         

 
Saya hanya cemas tentang satu hal. Saya akan menceritakan kepada Adinda sekalian tanpa berusaha menyembunyikan kegentingannya. Dengarlah! Hingga sekarang ini sudah kira-kira tujuh bulan saudara kita Arjuna pergi ke Dwaraka. Meskipun demikian, kita belum mendengar kabar apapun tentang kesejahteraan dan keselamatan penguasa Dwaraka. Arjuna belum mengirim utusan atau kabar, setidak-tidaknya untuk memberitahu bahwa ia telah tiba di Dwaraka. Tentu saja saya sama sekali tidak khawatir tentang Arjuna dan apakah ia sudah sampai di Dwaraka atau belum. Saya tahu, tidak ada musuh yang dapat bertahan menghadapinya. Selain itu, seandainya ada sesuatu yang tidak diinginkan terjadi padanya, pastilah Sri Krishna sendiri telah mengirim kabar untuk memberitahu kita; ini tidak perlu diragukan lagi. Karena itu, saya yakin bahwa tidak ada alasan apa pun untuk mengkhawatirkan Arjuna.”    

“Biarlah saya ungkapkan bahwa saya justru merasa cemas tentang Sri Krishna sendiri. Dengan berlalunya waktu, setiap menit kekhawatiran saya bertambah. Kesedihan hati saya tidak tertahankan. Saya diliputi rasa takut bahwa mungkin Beliau meninggalkan dunia ini dan kembali ke tempat tinggal Beliau yang abadi. Adakah alasan yang lebih besar untuk merasa sedih?”

“Jika bencana ini benar-benar telah terjadi, saya tidak akan memerintah negeri ini lagi yang telah menjadi janda karena kepergian junjungannya. Bagi kita Pandawa, Waasudewa adalah gabungan kelima prana kita; bila Beliau berpulang, kita ini hanya jasad yang tidak memiliki daya hidup lagi. Bila Bhagawan berada di dunia, pertanda-pertanda naas semacam itu tidak akan berani menampakkan dirinya. Kejahatan dan ketidakadilan hanya dapat bergerak dengan leluasa bila Beliau tidak hadir; saya tidak meragukan hal ini. Nurani saya menyatakan hal ini dengan jelas; ada sesuatu yang memberitahu saya bahwa itu benar.”  

Ketika Dharmaraja memberi penjelasan seperti itu, adik-adiknya merasa sangat sedih. Mereka kehilangan segenap keberanian. Bhimalah yang pertama-tama pulih sekadar untuk dapat berbicara. Ia mengumpulkan keberanian walaupun dilanda kesedihan. Katanya, “Karena Arjuna belum kembali atau karena kita belum mendapat kabar darinya, janganlah Kakanda membayangkan bencana besar semacam itu dan mulai mengimajinasikan malapetaka. Pastilah ada sebab lain mengapa tidak ada kabar dari Arjuna; jika tidak demikian mungkin Krishna lupa memberitahu kita. Marilah kita menunggu dan mencari keterangan lebih lanjut. Janganlah kita mengikuti fantasi yang ditimbulkan oleh pikiran yang tegang. Janganlah kita menutup khayal itu dengan selubung kebenaran. Saya merasa terdorong untuk berbicara seperti ini karena rasa takut seseorang sering dapat menyebabkan timbunya kekhawatiran yang bukan-bukan seperti itu.”   

Dharmaraja tidak mau menerima argumentasi ini. Jawabnya, “Apapun yang Dinda kemukakan, betapa pun mahirnya Dinda berdebat, Kakanda merasa bahwa interpretasi Kanda benar. Jika tidak, bagaimana gagasan semacam itu dapat timbul dalam pikiran Kanda? Lihatlah, bahu kiri Kakanda menggigil! Ini merupakan tanda yang menguatkan kekhawatiran Kakanda bahwa hal ini benar-benar telah terjadi. Adinda tahu bahwa merupakan pertanda buruk bila bahu kiri pria gemetar dan bahu kanan pada wanita. Sekarang hal ini telah terjadi pada tubuh Kakanda, dan ini merupakan pertanda buruk. Bukan hanya bahu, seluruh diri Kanda –badan, pikiran, akal budi – semuanya menggigil. Mata Kakanda memudar dan pandangan Kanda mengabur dengan cepatnya. Kakanda melihat dunia ini seperti anak piatu yang kehilangan kemampuan pelindung dan junjungannya. Kakanda telah kehilangan kemampuan untuk mendengar. Kaki Kakanda gemetar tanpa daya. Seluruh anggota badan kakanda menjadi lemas, tidak mengandung daya hidup lagi.”

 
“Adakah bukti lebih besar yang Dinda perlukan untuk menyatakan bahwa Bhagawan telah mangkat? Percayalah kepada Kakanda, adik-adik terkasih. Sekalipun Dinda tidak percaya, fakta tidak akan berubah. Bumi bergetar di bawah kaki kita. Tidakkah kalian mendengar kegaduhan mengerikan yang timbul dari hati bumi yang amat menderita? Waduk dan danau terguncang hingga bergelora. Angkasa, udara, Api, air, dan tanah semuanya meratapi nasib karena telah kehilangan junjungannya.”  

“Berapa banyak bukti lagi yang Dinda perlukan agar yakin? Beberapa hari yang lalu ada berita bahwa terjadi hujan darah di beberapa tempat di kerajaan kita.”

Mendengar ini, air mata mengalir di pipi Nakula dan Sahadewa bahkan sewaktu mereka berdiri di depan kakak mereka. Hati mereka tertusuk kepedihan; mereka tidak mampu berdiri lagi karena kakinya menjadi lemas. 


Bersambung kebagian ..."Misteri dan Leela Sri Krishna"

Tidak ada komentar: