Kamis, 06 Desember 2012

BHAGAVATAM Part 11 : AMANAT SRI KRISHNA UNTUK ARJUNA.



Mendengar perkataan Arjuna, Dharmaraja yang tenggelam dalam renungan dan sedang mengingat-ingat pertolongan, rahmat, kasih serta simpati yang telah mereka peroleh dari Sri Krishna, tiba-tiba menegakkan kepalanya dan bertanya, "Arjuna? Apa yang Adinda katakan! Malapetaka apa yang Dinda alami di jalan? Ceritakan selengkapnya kepada kami Adik terkasih!", dan perlahan-lahan diangkatnya dagu Arjuna ketika menanyakan hal itu. Arjuna menatap wajah kakaknya sambil berkata, "Kakanda, segala keahlian dan kemampuan saya telah meninggalkan saya bersama dengan Sri Krishna. Sekarang saya tidak memiliki kesaktian apa-apa, tidak mampu berprestasi lagi, lebih lemah daripada yang paling lemah, sungguh, saya tidak memiliki daya hidup lagi."         

"Kakanda, dengarlah. Orang yang amat sial ini tidak mendapat kesempatan mendampingi Bhagawan Waasudewa ketika Beliau mangkat ke akhirat walaupun pada waktu itu Beliau berada di Dwaraka. Saya belum memperoleh cukup pahala untuk mendapatkan kesempatan itu. Saya tidak dapat memperoleh darsan ayah surgawi kita sebelum beliau pergi. Setelah itu, Daruka, kusir Beliau, menyampaikan kepada saya amanat yang telah Beliau berikan untuk saya ketika akan berpulang. Dalam amanat itu Beliau menulis sendiri sebagai berikut."    


Sambil berkata demikian, dari lipatan pakaian dikeluarkannya sepucuk surat yang dianggapnya lebih berharga dari hidupnya sendiri karena berasal dari Sri Krishna dan Beliau tulis sendiri. Diletakkannya surat itu di tangan kakaknya. Dharmaraja menerimanya dengan hormat dan sigap bercampur rasa cemas. Ditekannya surat itu pada matanya yang berkaca-kaca; ia berusaha membaca dan mengartikannya melalui genangan air matanya, tetapi tidak berhasil.

Amanat itu dimulai sebagai berikut, "Arjuna, ini perintahku; laksanakan tanpa ragu. Jalankan tugas ini dengan tabah dan sungguh-sungguh." Setelah menyatakan perintah tersebut, Krishna memaparkan tugas yang diperintahkannya dengan kata-kata sebagai berikut. "Aku telah menyelesaikan misi yang merupakan tujuan kedatanganku. Aku tidak ada berada di dunia lebih lama lagi dengan tubuh ini. Aku meninggalkannya. Tujuh hari lagi sejak hari ini, Dwaraka akan tenggelam ke dalam samudera; lautan akan menelan segala-galanya kecuali rumah bekas tempat tinggalku. Karena itu, Anda harus membawa para ratu dan wanita-wanita lain yang yang masih hidup, bersama dengan anak-anak, bayi dan orang-orang jompo, menuju kota Indraprastha. Aku pergi dan segala tanggung jawab terhadap wanita dan suku Yadawa yang masih hidup kuletakkan di tangan Anda. Jagalah mereka seperti Anda menjaga hidup Anda sendiri. Aturlah kediaman mereka di Indraprastha dan lindungi mereka dari bahaya." Penutupnya berbunyi sebagai berikut, "Demikian yang ditulis Gopala ketika berangkat menuju kediaman beliau."

Dharmaraja selesai membaca amanat itu. Ia melihat air mata Bhima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa bercucuran; mereka duduk bersila bagaikan batu cadas tanpa menyadari apapun juga lainnya. Arjuna berkata, "Kakanda, saya tidak ingin hidup lebih lama sedetikpun tanpa Bhagawan diantara kita, saya berniat menenggelamkan diri di laut yang akan menelan Dwaraka. Saya memutuskan akan membelah kepala saya dengan busur ini lalu mati. Tetapi perintah ini memaksa saya bertahan; perintah Beliau yang menguasai jagad raya mengikat saya pada Bumi ini. Saya tidak mempunyai waktu untuk merencanakan suatu tindakan; segalanya harus dilaksanakan dengan cepat."

"Maka saya atur agar diselenggarakan upacara terakhir untuk mereka yang telah meninggal, sesuai dengan petunjuk kitab-kitab shaastra. Saya amat cemas, takut kalau-kalau lautan menelan Dwaraka sebelum para wanita, anak-anak, dan orang-orang tua diungsikan, maka saya suruh mereka agar segera meninggalkan kota itu menuju ke Indraprastha sesuai dengan perintah Krishna. Kami meninggalkan Dwaraka tanpa keinginan untuk pergi dan berhasil mencapai perbatasan Panchanada (Punjab) dengan berat hati karena tidak hadirnya Sri Krishna. Saya terpaksa harus maju terus karena menaati perintah Bhagawan dan memikul beban orang-orang tersebut sesuai dengan petunjuk Beliau."

"Pada suatu hari ketika matahari terbenam, perjalanan kami terhambat oleh sungai yang meluap deras. Kami tidak berani menyeberanginya dalam kegelapan, maka saya memutuskan untuk berkemah di tepi sungai malam itu. Kami kumpulkan semua perhiasan dan barang-barang berharga milik wanita dan kami simpan di tempat yang aman. Para ratu turun dari pelangkin dan para dayang berpencar untuk istirahat. Saya pergi ke sungai untuk melakukan upacara doa senja dan berjalan dengan menyeret diri secara paksa karena amat sedih berpisah dengan Sri Krishna. Sementara itu kepekatan malam menyelubungi tempat tersebut dan segera kami mendengar jerita perang suku barbar liar dari kegelapan di sekitarnya. Saya berusaha melihat dalam gelap gulita dan mendapati gerombolan suku liar penghuni hutang menyerbu ke arah kami dengan tongkat, tombak dan belati. Mereka merampas perhiasan serta barang-barang berharga; mereka mulai menyeret para wanita dan mengikat tangan serta kaki mereka."        

"Saya berteriak pada mereka dan mengancam serta menakut-nakuti mereka. Mengapa kalian datang seperti kelekatu yang jatuh di api," tanya saya. Kenapa kalian seperti ikan yang menemui ajal karena menginginkan cacing umpan pemancing?" demikian saya katakan kepada mereka. Jangan menghadapi kematian dalam usaha sia-sia untuk merampok kami," saya ingatkan mereka. "Saya kira kalian tidak tahu siapa saya ini. Apakah kalian belum pernah mendengar tentang pemanah yang ditakuti, Arjuna, putra Pandu, yang melumpuhkan dan menaklukan penakluk tiga dunia yaitu : Drona, Bhisma, dan Karna? Sekarang akan saya kirim kalian semua ke kerajaan maut dengan dentangan busur ini, senjata Gandiwa saya yang tiada bandingnya. Larilah sebelum kalian binasa, jika tidak, umpani busur ini dengan jiwa kalian," demikian saya nyatakan.  

"Meskipun demikian, mereka terus saja melakukan perbuatan jahatnya tanpa rasa takut; serangan ganas mereka tidak berkurang; mereka menyerbu perkemahan kami, bahkan berani menyerang saya. Saya bersiaga dan memasang panah sakti untuk menghabisi mereka semua. Tetapi, aduh, terjadilah hal yang mengerikan; saya tidak dapat menjelaskan bagaimana atau mengapa hal itu dapat terjadi. Saya tidak dapat mengingat satu pun mantra suci untuk mengisi senjata itu dengan kekuatan. Saya lupa cara untuk mengisi dan mencabutnya. Saya tidak berdaya." 

"Di depan mata saya perampok menyeret dan menculik para ratu, para dayang, dan lain-lainnya. Dalam penderitaan lahir batin mereka berteriak-teriak memanggil saya, "Arjuna, Arjuna! Selamatkan kami, tolonglah kami; tidakkah anda dengar seruan kami? Mengapa anda tidak memperdulikan jerit tangis kami? Apakah anda menyerahkan kami pada para bandit ini? Kalau kami tahu nasib kami akan begini, lebih baik kami mati tenggelam di laut seperti Dwaraka, kota kami tercinta." Saya mendengar semua dalam kesedihan yang tidak terlukiskan; saya melihat semuanya. Mereka menjerit-jerit berusaha melarikan diri ke segala jurusan, para wanita, anak-anak dan orang jompo. Bagaikan singa ompong yang tidak berkuku, saya tidak dapat berbuat apa-apa kepada para bajingan itu. Saya tidak dapat merentangkan busur saya. Saya serang mereka dengan anak panah dalam genggaman saya, tetapi persediaan panahpun habis dengan cepatnya. Hati saya mendidih karena sangat marah dan malu. Saya menjadi muak pada kepengecutan saya. Saya merasa seakan-akan saya sudah mati. Segala usaha saya sia-sia belaka. Tempat anak panah yang isinya tidak dapat habis ternyata kehilangan tuahnya setelah Waasudewa meninggalkan kita."   

"Keperkasaan dan keterampilan saya lenyap bersama Sri Krishna ketika Beliau meninggalkan alam ini. Jika tidak, bagaimana kesialan semacam ini dapat terjadi sehingga saya hanya menjadi saksi yang tidak berdaya ketika wanita dan anak-anak yang dipercayakan kepada saya diculik. Di satu pihak hati saya menderita karena berpisah dari Sri Krishna di lain pihak saya menderita batin karena tidak bisa melaksanakan perintah Beliau. Seperti tiupun angin kencang yang mengobarkan api, bencana ini menambah kesedihan hati saya. Dan para ratu mereka yang biasanya tinggal di istana emas dalam puncak kemewahan! Jika saya renungkan nasib mereka di tangan orang-orang biadab yang ganas itu, hati saya remuk redam. Oh Tuhan! Oh Krishna! Untuk inikah Paduka selamatkan kami dari bahaya pada masa lampau, untuk menimpakan hukuman yang dahsyat ini kepada kami?"       

Arjuna menangis keras-keras dan membenturkan kepalanya ke dinding dengan putus asa sehingga ruangan itu dipenuhi denga duka cita; setiap orang menggigil dalam keputusasaan. Batu cadas yang paling keraspun pastilah luluh karena simpati. Aliran air mata yang hangat merebak dari mata Bhima. Dharmaraja ketakutan ketika melihat adiknya menangis seperti itu. Ia pergi ke dekatnya dan berbicara dengan lembut serta penuh kasih untuk menghiburnya. Setelah beberapa waktu Bhima dapat menguasai diri; ia bersujud di kaki Dharmaraja dan berkata, "Kakanda, saya tidak ingin hidup lebih lama lagi. Berilah saya izin. Saya akan pergi ke hutan untuk mengakhiri hidup saya sambil mengucapkan nama Krishna dan mencapai surga. Tanpa Krishna, dunia ini seperti neraka bagi saya." Disekanya air matanya yang hangat dengan saputangan.        

Sahadewa yang selama itu diam, mendekati Bhima dan berkata, "tenangkan diri Kakanda, jangan terbawa emosi. Ingatkah Kakanda akan jawaban Krishna kepada Dhritarastra dalam sidang terbuka tempo hari ketika Beliau pergi kesana untuk merundingkan perdamaian di antara kita?"

Bhima berkata, “ketika di istana Dhritarastra Krishna ditanya oleh Duryodhana, Dussasana, dan lain-lainnya, mengapa Beliau menjadi penengah dalam pertengkaran keluarga antara Kaurawa serta Pandawa dan lebih menyayangi pihak yang satu daripada pihak yang lain seakan-akan Pandawa merupakan kerabat yang lebih dekat dengan Beliau daripada Kaurawa, apakah jawaban Sri Krishna. Sekarang berusahalah mengingat jawaban itu. Bayangkanlah kejadian itu di hadapan Kakanda, Beliau berjalan hilir mudik seperti anak singa dan mengaum, “Apa yang Anda katakan? Apakah Kaurawa sama dekatnya kepada saya, seperti Pandawa? Tidak, mereka tidak akan pernah berada pada tingkat yang sama. Dengar akan saya beritahukan kepada kalian pertalian keluarga yang mengikat saya pada Pandawa; untuk badan saya ini, Dharmaraja dapat diibaratkan dengan kepala, Arjuna dapat iibaratkan dengan bahu dan kedua tangan; Bhima seperti tubuh; Nakula dan Sahadewa ibarat kedua kaki. Bagi badan yang tersusun seperti itu, Krishna adalah jantungnya. Anggota tubuh bergerak dengan kekuatan jantung; tanpa jantung mereka tidak bernyawa.”   

“Apakah arti pernyataan ini bagi kita? Itu berarti kita Pandawa tidak akan hidup karena jantungnya tidak berfungsi lagi. Kita akan menghadapi kehancuran. Bhagawan yang merupakan pengejawantahan waktu berusaha melebur kita ke dalam Beliau. Kita harus siap menjawab panggilan Beliau.”

Bersambung kebagian...." Dimulainya Era Jaman Kali"

1 komentar:

Komang Setiabudi mengatakan...

Blog yang sangat menarik.
Patut dikembangkan. Cocok untuk memberi pencerahan.

Semoga sukses

Best regards,

Komang Setiabudi
http://bali-worldresorts.blogspot.com/