Sabtu, 17 November 2012

Tumpek kandang, Otonan ataukah penyembelihan binatang?

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini


Pada hari ini umat hindu di Bali merayakan sebuah hari raya khusus yang ditujukan kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai binatang piaraan. sebuah ritual keagamaan yang dikenal dengan nama "Tumpek Kandang" yang bagi penganut kepercayaan hindu memaknainya sebagai Otonan atau selamatan bagi para binatang khususnya yang dipelihara atau dikandangkan atas jasa-jasanya yang telah membantu manusia dalam melakukan aktivitas kesehariannya. upacara ini biasanya lebih ditujukan kepada manusia yang melakoni hidupnya sebagai masyarakat agraris yang berpencaharian sebagai petani. sebab jaman dulu untuk mengolah sawah dan ladang, keberadaan hewan ternak seperti sapi amat sangat diperlukan untuk membantu kelancaran tugas-tugas mereka. lalu bagaimana halnya dengan jaman sekarang dimana tenaga sapi sudah mulai tergantikan dengan mesin traktor ? apakah ritual keagamaan ini masih bisa bertahan dan dimaknai sebagaimana pertama kalinya budaya ini diwariskan sesuai dengan maksud dan tujuan yang sebenarnya.
untuk mengetahui masalah ini, saya akan mencoba mengulasnya dari pengertian, sumber, dan pemaknaannya menurut tradisi kekinian.

Hari raya Tumpek Kandang hadir setiap 210 hari sekali, tepatnya pada Saniscara Kliwon wuku Uye. Secara etimologi, kata tumpek berarti hari Sabtu Kliwon dalam sistem kalender Jawa-Bali, sedangkan kata kandang berarti rumah hewan piaraan atau dimaksudkan adalah binatang piaraan itu sendiri (Tim, 2002:123). Bagi umat Hindu di Bali khususnya, upacara ini disebut juga Tumpek Wawalungan atau Oton Wewalungan atau Tumpek Kandang, yaitu hari selamatan binatang-binatang piaraan (binatang yang dikandangkan) atau binatang ternak (wawalungan). Mengenai Tumpek Kandang sebagaimana tersurat dalam Lontar Sunarigama adalah sebagai berikut. ”Uye, Saniscara Kliwon, Tumpek Kandang, prakrti ring sarwa sato, patik wenang paru hana upadana nia, yan ia sapi, kebo, asti, salwir nia satoraja, upadania: tumpeng, tebasan, pareresikan, panyeneng, jerimpen. Yan ing Bawi : Tumpeng, penyeneng, canang raka. Yan ring babi ina : anaman bakkok, belayang tunggal lawan sagawon. Yan ing sarwa paksi: ayam, itik, angsa, dolong, titiran, kukur, kunang salwir nia: anaman manut rupania, yang paksi anaman paksi, yan ayam anaman ayam, duluran nyeneng, tetebus mwang kembang pahes, kalingania iking widhana ring manusa, amarid saking Sanghyang Rare Angon, wenang ayabin, pituhun ya ring manusa, sinukmaning sato, paksi, mina, ring raganta wawalungan, Sanghyang Rare Angon, cariranira utama”. Artinya : ”Wuku Uye, pada Saniscara Kliwon, adalah Tumpek Kandang, yaitu hari untuk mengupacarai semua jenis binatang ternak dan binatang lainnya. 
Adapaun upacaranya: jika Sapi, Kerbau, Gajah, dan binatang besar lainnya (sato agung) adalah tumpeng, tetebasan, pareresik, penyeneng, dan jerimpen. Kalau terhadap Babi jantan (Kaung) adalah tumpeng tebasan, penyeneng, dan canang raka. Kalau ternak Babi betina (Bangkung) persembahannya adalah ketupat belekok, belayang tunggal, dan sagu. Kalau untuk jenis burung, ayam, itik, titiran, demikian pula perkutut, dan sejenisnya maka persembahannya adalah ketupat menurut bentuk rupanya, yaitu kalau burung berupa ketupat burung, kalau ayam dengan ketupat berupa ayam. Lain daripada itu juga dengan banten penyeneng, tetebus, dan kembang payas. 

Dalam kalimat yang bergaris bawah diatas, jelas sekali dapat kita baca bahwasannya upacara atau ritual tumpek kandang ini bukanlah ditujukan semata-mata untuk hewan piaraan yang dikandangkan saja namun lebih ditekankan kepada semua jenis binatang namun juga tidak berarti bahwa semua jenis hewan seperti kecoak, ular, kalajengking, serta binatang liar lainnya diberikan persembahan karena kebetulan hewan piaraanlah yang dirasa paling dekat dan dirasa paling bisa memberikan manfaat oleh manusia dalam mengelola hidup ini jadi masih menjadi sebuah kewajaran kalo lantas ternak hewan yang dikandangkan saja yang dipakai sebagai media untuk mewakili rasa terima kasih kepada mereka yang lalu diwujudkan dalam bentuk persembahan sesajen ini.
Lantas bagaimana halnya dengan anjing,kucing, burung, ikan, dan beberapa hewan peliharaan yang lain, yang juga sangat besar andilnya dalam memberikan kebahagiaan kepada manusia. Kenapa hanya sapi dan babi saja yang selama ini menjadi prioritas. Dari persoalan inilah seyogyanya umat hindu mulai belajar berpikir secara rasionalitas bahwasannya ritual keagamaan apapun namanya jangan hanya dimaknai secara tekstual semata tanpa digali maknanya dan juga revitalisasinya dalam kehidupan nyata sehari-hari. 
Tentu saja semua hewan pada saat hari raya Tumpek Kandang ini memiliki porsi yang sama dalam hal menerima rasa kasih sayang manusia jika benar ritual keagamaan ini ditujukan untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai dewa yang berkuasa atas kehidupan mahluk hidup khususnya binatang yang mana dalam hal ini dikenal sebagai Sang Rare Angon sebagai pengejawantahan Dewa Shiva. Memaknai upacara keagamaan Tumpek Kandang jangan lagi hanya dimaknai sebagai kegiatan membuat persembahan kepada binatang tanpa disertai dengan tindakan nyata untuk mengasihi mereka. Memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan dan juga pernyataan rasa terima kasih kita kepada binatang piaraan yang telah membantu dalam pekerjaan ataupun menciptakan suasana indah di dalam rumah bisa kita wujudkan dengan cara memberikan perhatian lebih pada hari Tumpek kandang dan juga meneruskan kasih sayang itu pada hari hari selanjutnya. Agar jangan umat hanya berorintasi pada kulit luar agama yang bernama ritual saja tetapi secara perlahan harus terbina dan terarahkan menuju kepada spirit atau jiwa dari ritual itu sendiri. Sesuatu yang lazim dikenal dengan nama spiritual keagamaan.

Pada saat hari raya Tumpek kandang, Anjing seharusnya dimandikan lalu diberikan makanan yang lebih baik dan bukan hanya sisa-sisa makanan saja sebab anjing telah begitu berjasa dalam menjaga keamanan keluarga, sebagai satpam yang memberitahu tuannya akan tamu yang tak dikenal ataupun yang tak diundang pada malam hari. Demikian juga ayam dan burung yang setiap pagi berkokok untuk mengingatkan si pemilik bahwa hari sudah pagi, yang mana ditimpali lagi oleh kicauan si burung yang begitu merdu menambah indahnya suasana untuk memulai aktifitas. Mereka ini secara tidak sadar telah banyak memberikan manfaat kepada kehidupan manusia, jadi sangat pantas untuk diberikan rasa terima kasih. Walaupun tidak mesti disuguhi sesajen, tetapi setidak-tidaknya ada moment bagi mereka untuk diperlakukan lebih istimewa dari hari-hari biasa. Bukan seperti fenomena yang terjadi di masyarakat selama ini, bahwasannya ritual Tumpek kandang yang harusnya dipakai moment untuk berucap rasa syukur kepada mereka justru dijadikan tonggak untuk mengakhiri hidup mereka dengan alasan klise…..(Persembahan) Mereka dikorbankan sebagai tumbal atas nama kelengkapan banten pada hari dimana mereka seharusnya menikmati momentum paling berharga dalam hidupnya. Padahal dalam kelengkapan upacara seperti yang dinyatakan dalam lontar sundarigama diatas sudah jelas tidak ada unsur persembahan dagingnya sebagaimana hal ini juga dipertegas oleh Tuhan Sri Krishna dalam Bhagavad Gita Bab.9.26  (jangan-jangan selama ini telah terjadi miskonsepsi dari umat yang sebenarnya lebih ditekankan pada aspek Atmanastuti atau rasa dalam membuat ritual tanpa logika sehingga persembahan kepada Tuhan kok malah menggunakan hewan tak bersalah sebagai korban persembahan, padahal mereka menyatakan bahwa Sang Hyang Iswara (Tuhan) yang mana dalam hal ini disebut Sang Rare Angon juga bersemayam dalam diri para binatang itu. 

Bukankah menjadi sebuah kelucuan jika disatu sisi memuja Tuhan tetapi di sisi lain malah memaksa Tuhan keluar dari badan wadag binatang yang juga ditempatinya. Sungguh sebuah ironi yang mirip dengan aksi para terorisme yang sangat senang mempersembahkan jeritan dan daging manusia lainnya dalam sebuah pengeboman yang katanya dilakukan demi untuk menjalankan perintah Tuhan demi untuk menegakkan kebenaran jihad versi mereka dengan menumpas kaum kafir yang tidak mengakui kebenaran agama dan Tuhan mereka)
Memperlakukan binatang seperti halnya manusia, merupakan kesadaran humanis eksistensial bahwa binatang (juga tumbuh-tumbuhan) turut membangun eksistensi manusia. Dapat dibayangkan ketika manusia tanpa tumbuh-tumbuhan dan binatang, mustahil eksistensinya akan terjaga di dunia ini. Sementara itu, kesadaran kosmis bahwa upacara tumpek merupakan cara manusia membangun dan melestarikan lingkungan alam dan budayanya. Pelestarian lingkungan alam ditujukan untuk keselamatan bumi pertiwi, tumbuh-tumbuhan dan binatang di dalamnya, sedangkan pelestarian lingkungan budaya bahwa melalui upacara ini manusia menyatakan sikap hidupnya kepada alam dan lingkungan sehingga manusia dapat menyelaraskan diri dengan harmoni semesta. Dengan demikian Tumpek Kandang adalah cara umat Hindu membangun kesadaran universal untuk mewujudkan kebahagiaan dunia, seperti dijelaskan dalam Yajurveda XVI.48 ”Berbuatlah agar semua orang, binatang-binatang dan semua makhluk hidup berbahagia”. 

Selain itu, segala persembahan dalam konteks bhakti sesungguhnya adalah kasih. Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan "Saniscara Kliwon Uye pinaka prakertining sarwa sato". Artinya, hari itu hendaknya dijadikan tonggak untuk melestarikan semua jenis hewan. Sementara itu, dalam Sarasamuscaya juga disebutkan "Aywa tan masih ring sarwa prani, apan prani ngaran prana", yang artinya janganlah tidak sayang kepada binatang karena binatang dan semua makhluk adalah kehidupan. Dengan demikian pelaksanaan Tumpek Kandang merupakan pembiasaan dan pembudayaan umat Hindu dalam mengembangkan kasih sayang kepada semua makhluk. Dalam ajaran Hindu, diyakini bahwa Tuhan Yang Mahaesa adalah jiwa semua makhluk sehingga kasih kepada semua makluk adalah kasih kepada Tuhan. Umat Hindu mewujudkannya dalam Puja Tri Sandhya yang menyatakan ”Sarvaprani hitankarah” (hendaknya semua makhluk hidup berbahagia). Ini adalah doa universal untuk keseimbangan jagat raya dan segala isinya. 

Bahkan, jika dicermati lagi, hewan bisa memberikan pesan-pesan penting bagi kehidupan manusia. Hewan kerap lebih awal memberi isyarat akan terjadinya bencana sehingga manusia yang berakrab dengan sasmita alam akan bisa mengetahui bencana segera menerjang. Tengok saja bencana Tsunami yang diawali tanda-tanda hijrahnya burung-burung atau gunung merapi meletus diawali dengan. Hewan-hewan tiada henti memberi tanda alam bagi keselamatan manusia. Oleh karena itu mari jadikan hari ini sebagai tonggak guna memberikan kasih yang lebih baik kepada mereka karena mereka diciptakan adalah sebagai teman untuk meniti perjalanan panjang menggapai tujuan hidup dan bukannya diperuntukkan untuk memenuhi tuntutan lidah manusia yang selalu mendambakan daging mereka yang empuk.


Berikanlah kasih jika engkau berharap mendapatkan kasih.



Tidak ada komentar: