Selasa, 20 November 2012

Menepis keraguan

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini



Berbagai macam predikat yang disandang oleh Bali seperti misalnya “sebutan sebagai Pulau sorga, Pulau Dewata, Pulau Seribu Pura, maupun aneka predikat yang lain, sungguh merupakan hiasan indah bagi telinga yang jika tidak dimaknai dengan baik kadang justru bikin kita mabuk karenanya. Ya mabuk karena sanjungan dan lupa diri karena banyaknya pujian. Dulu sebelum Paddy’s club luluh lantah oleh Bom Bali I, masyarakat hindu etnis bali kadang suka sesumbar mengatakan bahwa bali yang dikenal dengan nama Pulau Dewata dengan makna kiasnya bahwa Pulau Bali yang merupakan stananya para Dewa tidak mungkin akan dibiarkan untuk dirusak oleh para teroris.
Demikianlah ketika kekacauan melanda negeri ini, Bom meledak di Solo, mengguncang Poso, dan juga perang etnis yang berbau sara di Kalimantan ataupun di Ambon, Bali dan masyarakatnya masih tenang-tenang saja, mabuk dalam kebanggaan bahwa tanah bali adalah tanah suci dan tidak mungkin diusik oleh ulah kaum maksiat. Masyarakat bali lupa bahwa pulau sorga atau pulau dewata hanyalah sebutan yang diberikan oleh manusia yang didasarkan pada sisi kepentingannya semata. Ya sorga bagi mereka yang mempunyai uang banyak sehingga mampu memfasilitasi hidup dengan nyaman, menikmati keindahan alam bali yang memang memukau sambil dilayani para gadis belia yang cantik-cantik. Dan juga sorga bagi kaum pendatang yang ikut memanen dollar tanpa mau ikut menjaga keajegan budaya hindu yang menjadi sumber daya tarik wisatawan. Sanjungan dan pujian itu telah membuat penghuni asli pulau dewata linglung serta melakukan pembiaran terhadap berbagai macam budaya luar masuk dan meracuni kesucian pikiran masyarakatnya. Pergaulan bebas serta tarian seronok yang tidak dikenal masyarakat bali kini telah menjadi hal umum yang bisa ditemui di beberapa klub malam. 


Kini pulau dewata sudah tidak murni lagi menjadi tempat berstananya para dewa karena yang namanya sorga tentu tidak akan tercemari oleh ulah salah seperti itu sehingga beberapa tempat yang dulunya menjadi tempat para dewata  telah digantikan oleh para denawa. Tempat yang dulu dipakai untuk merenung atau meditasi akhirnya berubah menjadi tempat untuk menghitung materi. Sehingga masyarakat bali yang dulu dikenal sebagai masyarakat lugu, kini seperti telah tercabut dari akar budayanya menjadi pribadi pribadi agresif yang tidak lagi ramah kepada saudara se-bali. Perang antar banjar dan pencurian yang dilakukan oleh masyarakat bali sendiri adalah contoh nyata tentang hal ini. Bom Bali I yang kemudian disusul dengan Bom Bali II akhirnya menunjukkan dengan paksa kepada para penghuni sorga ni, bahwa sorga yang indah ini sudah mulai rusak tatanannya oleh mereka yang antipati kepada keyakinan hindu yang dianggapnya sebagai agama bhumi primitive dan pemuja berhala yang perlu diselamatkan, rusak oleh mereka yang cenderung mengagungkan glamornya kehidupan duniawi diatas agama dan moral, dan juga dirusak oleh kebanggaan masyarakatnya sendiri yang dirasuki ego palsu dengan menganggap bahwa apa yang dilakoninya selama ini dalam kehidupan beragama adalah hal paling benar sehingga menjadikan para dewa betah tinggal di pulau ini.

Beginilah jika kita sedang berada dalam keadaan mabuk yang membuat seluruh indera juga kabur sehingga sulit untuk mengenali serta memahami sesuatu dengan baik. Dalam hal kehidupan beragama, hal yang sama juga hamper sering terjadi dimana sebagian masyarakat hindu bali yang telah ditanamkan prinsip hidup menerima budaya apa adanya sangat sulit menerima perubahan karena dicekoki dogma ketakutan akan murka para dewa / leluhur dengan istilah kepanesan atau kepongor. Sehingga jika ada kebiasaan yang tampil beda dari apa yang telah mereka lakoni selama sebelumnya, masyarakat cenderung merasa antipati sebelum mereka melakukan penyelidikan terhadap budaya yang menurut mereka “Baru”. Disamping itu, budaya anak negeri yang tidak membiasakan suka membaca juga turut memberikan andil besar terhadap gaya hidup masyarakatnya termasuk di dalamnya masyarakat hindu etnis bali. Mereka cenderung berpuas diri dengan kegiatan keagamaan yang telah dijalani bertahun-tahun seperti itu lalu lalai akan kebutuhan dan tuntutan jaman. Ketika akses informasi bergerak cepat melalui kemajuan iptek seperti internet, generasi muda hindu juga belum begitu banyak yang mau dan mampu mempergunakannya guna mencari informasi yang bisa mempertebal keyakinannya terhadap hindu. Sementara di umat agama lain, bahkan dari masa kanak-kanak telah diajarkan untuk membaca isi kitab suci agamanya secara rutin sehingga mereka punya keyakinan yang kuat serta tidak mudah terprovokasi untuk pindah kekeyakinan orang lain. Pernah seorang teman ketika ditanya doa makannya dalam hindu Ia tidak tahu dan malah lebih fasih mengucapkan do’a dalam agama lain. Ironisnya bahkan ia mengklaim bahwa hindu adalah budaya bali dan muncul pertama kali di bali sehingga jika ada kelompok spiritual keagamaan yang memakai budaya lain dari budaya lokal bali pasti akan dicapnya sebagai hal aneh dan merupakan serpihan dari agama hindu bali. Sungguh sangat disayangkan jika ada banyak generasi muda hindu yang mempunyai wawasan sempit seperti demikian sebab hanya akan membuat agama minoritas ini semakin kecil dalam himpitan agama lain yang semakin mencengkeramkan pengaruhnya di tanah bali. Sehingga bali yang dulu dikenal sebagai pulau seribu pura bukan tidak mungkin nanti akan berubah predikat menjadi pulau seribu masjid, atau seribu gereja. (Realita di lapangan membuktikan bahwa pertumbuhan tempat ibadah agama lain sudah bertumbuh sangat banyak tanpa dibarengi dengan semangat yang baik dalam membina kerukunan hidup beragama.)
Tulisan ini hadir sebagai suluh kecil bagi generasi muda hindu tercinta untuk bisa lebih membuka wawasan, guna menyikapi berbagai kelompok spiritual hindu yang ada yang sesungguhnya tampil sebagai pilar lain bagi kejayaan hindu. Sesuatu yang bahkan tidak seharusnya menjadi kecemasan jika saja kita mau melihat, mendengar, ataupun melakukan penyelidikan langsung terhadapnya. Sungguhlah bijaksana jika kita menyadari bahwa Tuhan memberikan kita dua mata, dua telinga, dan hanya satu mulut, tujuannya adalah agar kita bisa lebih banyak melihat dan mendengar daripada sekedar berbicara yang tidak perlu, berbohong, memberikan kesimpulan dangkal, apalagi menjelekkan sesuatu yang belum pasti kebenarannya.
Beberapa pertanyaan dan jawaban singkat yang bisa dipakai renungan bagi generasi muda hindu untuk hal ini adalah seperti berikut :

1. JIKA HINDU MEMANG BERASAL DARI DARATAN  INDIA, LALU KENAPA PELAKSANAAN KEAGAMAANNYA TIDAK SAMA DENGAN HINDU YANG ADA DI BALI
                Ibarat bola salju yang menggelinding dari puncak pegunungan lalu turun melalui berbagai tempat, bola salju itu akan
tertempel oleh beberapa unsur yang dilaluinya. Semakin jauh bola salju itu menggelinding, maka akan semakin banyak dan semakin tebal juga permukaan yang menyelimuti dan menutupinya. Demikian halnya dengan perjalanan agama hindu dari daratan India menuju tanah Bali dwipa. Ia telah diikuti oleh balutan berbagai budaya yang berasal dari tiap daerah yang dilalui sebelumnya.
       Intisari dari ajarannya tentu tetap sama hanya saja tata cara pelaksanaannya yang mungkin berbeda karena masing-masing daerah mempunyai ciri khas budayanya sendiri apalagi masyarakat bali pada waktu itu memang telah memeluk paham animisme dan dianimisme serta adanya beberapa madzab / sekte yang memperkenalkan sistem persembahan dengan memakai binatang sebagai kurban. Namun demikian, karena semua ajaran itu sama-sama berasal dari Veda,  maka doa pujian yang berupa Gayatri mantram, serta sebutan untuk dewa-dewa utama yang dipuja tetap sama walaupun kenyataannya di Bali memang lebih banyak terlihat pemujaan kepada Leluhur dan para Rsi yang telah membangun banyak pura Sad Kahyangan di Bali. Ida pandita saat nuur tirta yang juga masih memanggil spirit sungai-sungai suci di india, seperti sungai suci Gangga, Yamuna, Godawari, Sarasvati,dll yang menunjukkan bahwa Hindu memang berasal dari India, bukan lahir di bali. Berbeda jika hindu memang muncul pertama kali di tanah Bali, tentu nama-nama dewanya juga memakai produk khas dalam negeri alias nama bali asli seperti dewa jontol, dewa gelebeg, dll. Sang Pinanditapun jika nuur tirta tak usah lagi memakai bahasa sansekerta dan memanggil spirit sungai suci dari India, karena tentu akan lebih praktis jika beliau memanggil spirit beberapa sungai / tukad yang ada di Bali seperti tukad yeh juwuk atau tukad bangkung saja. 

Jadi sungguhlah aneh jika kita sebagai umat hindu justru merasa alergi dengan budaya india sebagai tanah kelahiran Veda dan sebaliknya sangat bersimpati dengan budaya barat yang tak ada kaitannya dengan sejarah hindu di Bali.
       Masuknya budaya India ke nusantara sebenarnya bukanlah hal baru yang terjadi dalam beberapa dekade belakangan ini saja. Dalam lontar Markandya purana dapat kita simak bahwasannya pada sekitar tahun 158 masehi atau tahun 80 saka, seorang suci dari tanah Bharatavarsa (India) yakni Rsi Markandya telah datang ke bali dan memulai pembangunan suci di lereng gunung agung dengan menanam panca datu. Tempat yang kini dikenal dengan nama pura besakih. Begitu juga halnya dengan mpu Kuturan dan Dang Hyang Nirartha yang telah berjasa mengkonsep hindu seperti yang kita warisi Sekarang. Mereka juga datang dengan goresan budaya india sebagai cikal bakal kemunculan ajaran hindu sehingga sungguhlah tidak mungkin jika agama hindu mau dipisahkan dari sejarah awalnya di India. Pelaksanaan tata cara keagamaan bukanlah tolak ukur untuk bisa menilai kehinduan seseorang.

2 KITA SUDAH BERAGAMA HINDU, LALU KENAPA HARUS IKUT KELOMPOK SPIRITUAL JIKA ITU MEMANG SAMA-SAMA HINDU ? TIDAKKAH INI TANDA PENGHIANATAN AGAMA
      Pertanyaan yang sama akan muncul, kenapa seorang murid harus mengikuti les tambahan atau bahkan les privat jika subject yang diajarkan disekolah formal juga sama ?

Seorang murid pintar dan ingin maju bisa diibaratkan dengan sadhaka dalam jalan bhakti. Ia sadar bahwasannya waktu dan penjelasan materi yang disampaikan dalam kelas formal kadang terbatas karena harus menyesuaikan dengan tingkat pemahaman banyak orang. Tapi di kelas tambahan atau dengan guru privat, seseorang bisa menggali ilmu sebanyak banyaknya yang kadang tidak sempat dijelaskan dalam kelas formal. Demikian juga dalam kelas tambahan, proses belajarnya akan jauh lebih terarah sehingga hasil yang ingin dicapaipun akan lebih tampak pasti.
Wejangan wejangan yang diulas di berbagai kelompok spiritual lebih dari sekedar kupasan tapi Guru-guru suci tersebut  membedah dan menunjukkan kebesaran serta keagungan isi kitab suci dari semua agama yang pada esensinya sama sehingga manusia menyadari bahwa mereka satu, dan bahwa Tuhan yang sama yang dipanggil dengan banyak nama, telah memberikan petuahnya bagi seluruh umat manusia dengan mengacu kepada tempat, waktu dan kebutuhan pada saat diturunkannya kitab bersangkutan sehingga sesuatu yang kelihatan berbeda itu sebenarnya hanya berasal dari satu sumber yang sama yakni ajaran cinta kasih. Yakni kasih kepada Tuhan, kasih kepada sesama, dan kasih kepada mahluk lainnya. Jadi mengikuti kegiatan di berbagai kelompok spiritual bisa diibaratkan dengan pendalaman materi belajar tentang apa-apa yang telah didapat dalam pengajaran di agama formal. Beragama juga bukan hanya dipakai pengakuan dan identitas diri saja tetapi lebih kepada bagaimana orang yang mengaku beragama itu mengetahui, memahami, lalu menjalankan dalam kehidupannya sehari-hari intisari dari ajaran agamanya tersebut. Mengaku beragama tapi tidak tahu siapa yang ia puja atau kurang mengerti kenapa ia melakukan apa, hanyalah tanda dari kekerdilan spiritual.Selidikilah dulu segala sesuatunya sebelum kita membuat suatu pernyataan karena Tuhan telah menganugrahi kita dengan 2 mata dan 2 telinga tetapi hanya 1 mulut yang artinya kita harus lebih banyak mendengar dan melihat faktanya daripada sibuk berkomentar tentang sesuatu yang belum jelas “. Semua wacana Guru-guru suci di kelompok spiritual itu bersumberkan pada Veda yang dipakai pedoman tertinggi bagi umat hindu. Lalu bagaimana mungkin hal itu bisa diklaim sebagai tanda penghianatan terhadap agama sendiri. Veda memang merupakan kitab suci tertua dan terlengkap sehingga perlu waktu yang cukup lama dari beberapa kelahiran untuk bisa mengetahui apalagi mengerti semua bagian daripada kitab suci Veda apalagi jika kita tidak pernah mempelajarinya lalu berani mengklaim diri paling hindu padahal sesungguhnya kita baru pada tingkat umat hindu yang paling/bingung. Karena tidak mengetahui bahkan cenderung alergi dengan ajaran Veda yang dikemas dengan cara lain

3. KENAPA HARUS MEMPELAJARI AJARAN LAIN KALAU AJARAN DI HINDU SAJA BELUM BISA ?
       Pernyataan “mlajah agame pedidi dogen sing telah sube melajahin ane len-len” - Mempelajari agama sendiri saja tidak habis sudah mempelajari yang lain, mengisyaratkan 2 buah pengertian. Dimana yang satu berarti bahwa mungkin orang yang bersangkutan telah mengetahui bahwa kitab suci Veda memang bukan merupakan kitab suci tunggal tapi tersusun dari berbagai sastra lain yang jumlahnya ratusan. Drs. I wayan Suja dalam bukunya yang berjudul “Tafsir keliru terhadap Hindu” (1999 – 20,21) Berdasarkan sumbernya, Veda dapat digolongkan menjadi dua kelompok yakni  Veda sruti dan Veda smrti. Veda sruti merupakan wahyu langsung dari Tuhan yang diterima oleh para Maharsi (Rasul/Nabi). Kemudian berdasarkan isinya, Veda sruti digolongkan menjadi empat, sehingga disebut dengan catur Veda, yang meliputi Rg Veda, Sama Veda, Yajur Veda, dan Atharva Veda. 

Masing-masing Veda ini terbagi atas 3 bagian yaitu bagian Samhita, Brahmana, dan bagian Aranyaka / Upanisad.
A). Samhita, yakni himpunan mantra-mantra Veda yang mengandung mantra upasana (doa kebaktian, pemujaan, ucapan syukur, mantra-mantra upacara sorban), ajaran filsafat dan tata fusila, pendidikan, dan lain-lain.
       - Rg Veda Samhita, mengandung 1.028 surta (himne),10.589 mantra. Rg Veda memuat perkembangan pemikiran dari pola berpikir sederhana sampai menuju pehamanan monotheisme. Kitab ini sangat menekankan kebenaran, dan kebenaran itu esa adanya.
       - Yajur Veda Samhita, terdiri atas 1.975 mantra dan 41 adhyaya (bab). Yajur Veda memuat tentang pelaksanaan upacara atau yajna. Yang mantra-mantranya banyak diambil dari Rg Veda.
       - Sama Veda Samhita, terdiri atas 1.875 mantra, kitab ini memuat mantra-mantra yang telah dilengkapi dengan tanda nada untuk berbagai irama (melodi). Teks Sama Veda mengandung aturan tentang cara memainkan musik. Dari 1.875 mantra yang terdapat dalam kitab ini, hanya 75 mantra yang tidak berasal dari Rg Veda.
         - Atharva Veda Samhita, terdiri atas 5.977 mantra yang sangat bermanfaat bagi kehidupan, berisi tentang mantram untuk mengusir kejahatan, memohon kemakmuran, mengembangkan cinta kasih dan keharmonisan antara suami-istri, murid dengan guru, dll.

B).     Brahmana, yaitu uraian yang panjang tentang ketuhanan (teologi) teristimewa observasi tentang jalannya upacara sorban atau mistis dari upacara sorban yang dilakukan oleh individu maupun kelompok.
C).   Aranyaka dan Upanisad, kedua jenis kitab ini memuat tentang makna   simbolik dari upacara keagamaan, hakikat filosofinya, inti sari kitab-kitab samhita yang merupakan dasar kebenaran bagi seseorang yang mencari pencerahan spiritual. Secara formal, disebutkan ada 108 upanisad, termasuk di dalamnya adalah kitab suci bhagavad Gita yang dikenal sebagai Veda relima (Pancama Veda).
Veda Smrti memuat penjelasan terhadap Veda Sruti, dan bukan tergolong wahyu Tuhan. secara umum, kitab-kitab ini dikenal sebagai susastra Veda yang meliputi :
A).Wedangga, yaitu buku-buku sumber yang dapat dijadikan penuntun untuk mempelajari dan mendalami mantram-mantram  Veda, yaitu : Siksa (Ilmu ponetik), Vyakarana (Ilmu tata bahasa), Nirukta (Ilmu etimologi), Chanda (Ilmu irama), Jyotisa (Ilmu astronomi dan astrologi), Palpa (Ilmu tentang upacara korban)
B).Upaveda, meliputi Ayurveda (Ilmu kedokteran), Dhanurveda (Ilmu persenjataan), Gandharvaveda ( Ilmu kesenian), Arthasastra (Ilmu pemerintahan, kepemimpinan, sosial, budaya, dll)
C).Upangaveda, meliputi Darsana (Filsafat), Agama, Purana (18 Mahapurana, 18 Upa purana, dan Itihasa), Kamasastra, dan Dharmasastra.

 Pengertian kedua tentang pernyataan diatas kadang juga berarti bahwa orang yang bersangkutan memang tidak pernah membaca apalagi mengetahui secara benar esensi dari kitab suci agamanya. Sehingga memunculkan pernyataan “Agame pedidi-Agama sendiri” dengan ajaran lain sebagai klaim atas kelompok study spiritual yang telah dianggapnya bukan menjadi bagian dari hindu. jika saja orang yang bersangkutan memang membaca kitab sucinya dengan benar, tentu mereka akan melihat dan mendengar bahwa apa yang dilakukan kelompok study spiritual dalam hal ini Sai Study Group telah merujuk atau berpedoman pada sumber yang jelas yakni Veda sebagai hukum tertinggi Veda. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan Tuhan Sri Krishna yang pernah menyabdakan dalam Bhagavad Gita; Bab 15 sloka 15

Sarvasya caham hrdi sannivisto  //   Mattah smrtir jnanam apohanam ca
Vedais ca sarvair aham eva vedyo  //   Vedanta-krd Veda-vid eva caham

(Aku bersemayam di dalam hati semua mahluk. Ingatan, pengetahuan, dan pelupaan berasal dari-Ku. Akulah yang harus diketahui dari segala Veda. Memang akulah yang menyusun vedanta dan Akulah yang mengetahui Veda.

Pernyataan Tuhan Sri Krishna ini seakan mengingatkan pada kita bahwa Veda yang tersusun dari beberapa bagian yang sangat banyak itu akan begitu sulit dipelajari keseluruhannya jika mengandalkan daya ingat manusia sekarang yang kian terbatas, oleh karena itu beliau memberikan jawaban dan kesimpulan-Nya bahwa tujuan utama dari mempelajari Veda sesungguhnya hanyalah untuk mengetahui serta memahami beliau (Tuhan - Brahma Vidya).

Sekarang sudahkah kita sebagai umat hindu melakukan usaha kearah itu yakni berusaha mengenali siapa Tuhan kita, apa isi ajaran, perintah, dan larangan beliau yang tertuang dalam kitab-kitab suci agama ataupun sekedar memahami darimana kita berasal, apa tujuan kita dilahirkan, lalu kemana tujuan kita setelah badan ini hancur / mati ?. Selama ini yang terjadi justru masih banyak umat hindu yang justru menyangsikan isi kitab sucinya sendiri. Menganggap bahwa itihasa (Mahabharata dan Ramayana) hanya sekedar mitologi / cerita semata. Walaupun telah banyak bukti yang bisa menguatkan bahwa sejarah besar itu memang pernah terjadi di muka bhumi ini dan bahwa Tuhan pada saat itu juga telah hadir di tengah-tengah umat manusia untuk menegakkan kembali prinsip-prinsip dharma dalam wujud Sri Rama dan Sri Krishna. Jadi sungguhlah ironi jika kita yang mengaku paling hindu ternyata hanya menganggap Tuhan yang telah mewujud dengan nama dan rupa Sri Rama ataupun Sri Krishna tidak lebih dari sekedar tokoh pewayangan ataupun tokoh kartun animasi lantaran selama ini kisah kemuliaan beliau diperkenalkan dalam pentas wayang, film kartun, ataupun kidung pesanthian saja.

4. HINDU SUDAH MENJADI AGAMA MINORITAS, KALAU SEKARANG BERBAGAI  ALIRAN YANG MELABEL DIRINYA SEBAGAI KELOMPOK STUDY SPIRITUAL DIBIARKAN BERKEMBANG, TIDAKKAH INI JUSTRU AKAN MEMBUAT UMAT HINDU SEMAKIN TERKOTAK-KOTAK DALAM KELOMPOKNYA SENDIRI. APALAGI DIANTARA KELOMPOK STUDY ITUPUN MEREKA MASIH MEMILIKI PERBEDAAN DALAM MEMAHAMI KONSEP KETUHANANNYA.       
Ketakutan bahwasannya kelompok study spiritual akan menjadi penyebab terpecahnya agama hindu sungguh merupakan kecemasan yang terlalu mengada-ada. Bukankah umat hindu sudah mengetahui dan merasakan bahwa lembaga terhormat umat hindu yang bernama Parisada sempat mau terpecah bukan oleh kelompok study spiritual tetapi justru oleh para sesepuh yang pernah duduk di lembaga tersebut yang tetap berusaha mempertahankan cara pandangnya sendiri dalam mengayomi umat dengan menakuti segala macam perubahan yang datang dari para cendikiawan hindu. Demikian halnya kenyataan bahwa banyak saudara kita yang hijrah ke agama lain adalah karena ketatnya aturan adat

Masalah perbedaan pandangan dalam memahami konsep ketuhanan sebenarnya tidak hanya ada dalam kelompok study saja tetapi umat secara keseluruhan. Ada yang meyakini bahwa Tuhan itu mempunyai wujud, Personal God, atau Saguna Brahman, tetapi ada juga yang meyakini bahwa Tuhan itu tidak berwujud, Impersonal God, atau Nirguna Brahman. Hal ini tidaklah menjadi masalah karena Tuhan tidak dibatasi oleh nama dan rupa apapun, Tuhan bisa membuat dirinya mewujud ataupun sebaliknya. Bukankah mengatakan Tuhan itu hanya begini atau begitu merupakan tanda bahwa kita sedang membatasi Tuhan yang maha sempurna dan tak terbatas apapun. 
      Sebagaimana kita ketahui bahwa di dunia, ada 2 kelompok besar yang menyokong keutuhan hindu yakni kelompok Vaisnava yang menganggap bahwa Tuhan tertinggi itu adalah Sri Krishna / Narayana / Sri Vishnu serta beranggapan bahwa Tuhan itu memiliki kepribadian / memiliki wujud.  Di lain sisi kelompok Sivaisme yang beranggapan bahwa Tuhan itu adalah Mahadeva / Shiva yang tidak dibatasi oleh wujud itu saja. namun demikian toh kelompok ini tidak saling mempertentangkan keyakinannya sendiri sebagai yang paling benar karena menyadari walaupun konsep ketuhanannya berbeda, tapi mereka berada pada satu payung besar yang bernama Hindu Dharma. Hal serupa juga bisa dilihat dari jamannya Mpu Kuturan di tanah Bali dwipa ketika beliau menjumpai begitu banyak ada sekte yang berkembang di bali seperti Sekte Vaishnawa, bhujangga, Sakta, pasupata, Bhairawa, Ganapata, dll. Beliau tanggap menemui para pemimpin sekte tersebut guna merumuskan cara untuk mewadahi semua kepentingan dan keyakinan dari semua golongan tersebut agar tidak terjadi benturan satu dengan yang lainnya. Sehingga kemudian lahirlah ide untuk mendirikan Tri kahyangan sebagai media pemersatu dan toleransi antar umat sekeyakinan ataupun dengan keyakinan lainnya. Berbeda dengan situasi Sekarang dimana para sesepuh yang dijadikan tokoh panutan di tempatnya masing-masing justru lebih banyak memupuk kecemasan dan kecurigaan terhadap perkembangan kelompok spiritual  tanpa melakukan pendekatan dan penyelidikan langsung terhadap apa yang ditakutinya. Toleransipun kadang hanya diperuntukkan bagi perkembangan agama laen yang jelas-jelas semakin mempersempit gerak umat hindu dan justru membatasi gerak kelompok study spiritual yang nyata-nyata  telah memberikan kontribusi dan andil besar bagi kejayaan dan ajeg hindu di nusantara. Isu membentuk agama hindu versi Bali-pun semakin membuat leluasa pergerakan para misionaris agama lain guna menjaring domba-domba (umat hindu) yang mereka anggap sesaat untuk bisa digiring masuk ke dalam kelompoknya. Sungguh suatu yang menggelikan jika hindu yang sudah minoritas kita dikotakkan lagi dengan hindu versi baru karena alergi budaya india yang jelas-jelas merupakan sumber dari agama hindu itu sendiri. Tapi jika keinginan untuk memurnikan agama hindu Bali itu bebas dari intervensi dan pengaruh budaya india itu terjadi, pastinya, mantra, doa pujian, dan nama-nama dewanya pasti juga akan memakai nama bali asli. Seperti apa ? Kita hanya bisa menunggu.


5. BENARKAH TUHAN ITU ADA DAN BISA DILIHAT OLEH MANUSIA ? NYATANYA BEBERAPA ILMUAN YANG TELAH MELAKUKAN PERJALANANNYA KELUAR ANGKASA TIDAK PERNAH MENJUMPAI TUHAN DISANA.


Beginilah salah satu dampak kemajuan IPTEK di jaman modern yang jika tidak dimaknai dengan benar sehingga menghantarkan manusia pada jenis kesombongan yang paling berat, menganggap bahwa manusia dengan akal pikirannyalah yang sedang menentukan nasib dunia. Kita bisa melihat bahwa di negara-negara yang teknologinya telah maju, banyak ditemukan orang Atheis, yang tidak percaya dengan apa yang disiratkan dalam kitab-kitab suci agamanya dan bahkan sampai tidak mengakui keberadaan Tuhan, hanya karena mereka tidak bisa membuktikan secara kasat mata atau menurut pengetahuan logika mereka bahwa Tuhan memang ada. Hal ini hampir sama dengan orang yang menyangkal bahwa tidak ada minyak di dalam buah kelapa hanya karena ia tidak melihat wujud minyak secara langsung dalam buah itu. Tapi kebenarannya apakah minyak memang tidak ada? Coba ia mau melakukan sedikit usaha dengan memarut kelapa itu, memeras airnya kemudian merebusnya, tentu minyak itu akan tampak karena buah kelapa memang mengandung minyak, dan minyak ada dalam buah kelapa. Inilah kebenarannya. Hal yang sama juga dapat dijelaskan dengan analogi sebuah gelombang siaran di udara. Bagi orang yang tidak mau melakukan usaha untuk menghidupkan TV, lalu mengarahkan antena pada frekwensi yang benar, tentu akan menyangkal bahwa tidak ada gelombang siaran di udara karena mata kasat mereka tidak mampu melihatnya. Tapi kebenarannya adalah bahwa gelombang siaran itu memang ada jika kita mau mencarinya. Sama dengan keberadaan Tuhan, God, Supersoul, atau nama apapun yang kita sukai untuk memanggil beliau, kesempurnaan beliau tidak akan bisa dipahami oleh indera manusia yang tidak sempurna apalagi jika kita tidak pernah mengarahkan antena pikiran kita pada frekwensi  yang benar tentang keberadaan beliau yang sebenarnya sangat dekat dan berada di sekitar kita. Contohnya siapakah yang memerintahkan jantung agar memompa darah keseluruh bagian tubuh sehingga manusia bisa hidup, siapakah yang mengikat lautan agar tidak menyerbu daratan padahal setiap hari ia dipenuhi air dari berbagai sungai. Siapakah yang merancang sistem tubuh ini agar bisa melihat, mendengar, merasakan, dan lain sebagainya. Apakah dengan kepintarannya manusia mampu melakukan hal itu. Walaupun sekarang sudah bisa diciptakan robot yang bisa berjalan dan menari serta bekerja menurut perintah manusia, tetapi kemampuan robot itupun terbatas dan tetap tidak bisa memiliki rasa ataupun mampu berketurunan layaknya robot yang diciptakan Tuhan dengan nama mahluk hidup.

 Alam adalah perpustakaan yang paling besar dimana kita bisa belajar tentang kemaha kuasaan Tuhan dan menyadari bahwa kita sebenarnya terlalu kecil dihadapan beliau. Andai saja kita berdiri diantara beberapa orang, kita bahkan sering sudah tidak terlihat. Coba jika dilihat dari puncak menara, kita bahkan akan tampak hanya sebesar gundukan batu, dan jika dilihat dari jarak yang lebih tinggi lagi dengan memakai pesawat, kita akan kelihatan tidak lebih dari seonggok debu. Bayangkan manusia di hadapan Tuhan yang Maha besar yang seluruh alam semesta ini saja hanya berada di bawah telapak kaki-Nya ( Tuhan sebagai Vamana Avatara menempatkan langkah kaki pertama-Nya memenuhi seluruh jagat raya ). Jadi alangkah angkuh dan sombongnya jika manusia berani menyangkal keberadaan beliau. Namun inilah kenyataannya bahwa manusia modern lebih cenderung mempergunakan logikanya yang terbatas sebagai alat untuk mengukur  kebesaran Tuhan yang tiada batas sehingga manusia tumbuh menjadi pribadi congkak.

 

Tidak ada komentar: