Jumat, 25 Juli 2014

SERIAL MAHADEVA , TAYANGAN SYIRIK ?

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Serial Mahadeva yang menempatkan Dewa Shiva sebagai Tuhan, jelas-jelas bertentangan dengan hukum qur’an yang tidak memperbolehkan penganutnya untuk menyembah sosok lain sebagai yang Maha besar, atau dengan istilah lain bahwa penganut qur’an tidak dibolehkan sama sekali untuk mempersamakan Allah dengan apapun juga yang diciptakan-Nya, apalagi sampai memberikan doa pujian atau persembahan yang sama seperti apa yang diberikan kepada Tuhan dalam nama Allah, sebab itu bisa dikatagorikan sebagai perbuatan “Syirik” yang bisa berakibat hilangnya pahala dari semua kebaikan sebagaimana  Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. "yang artinya : Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-Nabi) sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi"[Az-Zumar: 65]




Karena itu, barangsiapa menyembah selain Allah berarti ia meletakkan ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak, dan itu merupakan kezhaliman yang paling besar. Allah tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik kepadaNya, jika ia meninggal dunia dalam kemusyrikannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman. "Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar".[An-Nisaa': 48]

Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan Surga kepadanya, dan tempatnya ialah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun"[ Al-Maa'idah: 72] Syirik adalah dosa besar yang paling besar, kezhaliman yang paling zhalim dan kemungkaran yang paling mungkar sehingga ganjarannya adalah  masuk neraka.
Demikianlah beberapa ayat yang cukup ampuh untuk menanamkan ketakutan kepada mereka yang mengimaninya terlebih bagi penganut keyakinan yang memposisikan pencapaian Sorga sebagai tujuan akhir. Sehingga segala upaya akan mereka tempuh untuk segera mengakhiri hal yang bagi mereka itu merupakan kemusyrikkan sehingga diri mereka sendiri dan juga kaum mereka bisa terselamatkan. Tentu saja ayat tersebut tidak bisa dikatakan salah walau tidak sepenuhnya juga bisa dikatakan benar jika ia dipaksakan penggunaannya pada situasi dan tempat yang tidak tepat. Sebab jika kita mau bijaksana, tentu kita akan melihat kembali sejarah dari turunnya wahyu dimaksud. Baik mengenai tempat, kondisi, maupun orang-orang yang harus menerimanya. Sama halnya dengan ayat suci yang berbunyi “Laillahailallah” – Hanya ada satu Tuhan yang dipanggil Allah. Ini tentu sangat benar jika kita kembali melihat sejarah bangsa arab pada waktu wahyu itu diturunkan, bagaimana kaum Jahiliyah yang telah mengabaikan pemujaan kepada Allah di Mekkah lalu menggantikannya dengan beberapa patung dari tokoh hebat yang mereka idolakan ataupun perupaan dewa yang berasal dari hayalan mereka. Sehingga kesemua patung pujaan yang hampir berjumlah 360-an itu, yang telah menggeser fungsi Kabbah akhirnya harus dimusnahkan lalu dilabeli sebagai Berhala yang sama sekali tidak boleh dipuja. Sebab satu-satunya Tuhan yang bisa dipuja hanyalah Allah sehingga untuk selanjutnya, tidak ada lagi yang boleh mempersamakan beliau dengan ciptaan apapun. Namun perlu diingat bahwa kejadian itu adalah di semenanjung Arab yang pada waktu itu pemujaan kepada Tuhan telah disimpangkan oleh kaum Jahiliyah. Kejadian itu tidak ada di India yang walaupun juga menggunakan beberapa patung sebagai media pemujaan, tetapi itu tidak dibuat berdasarkan khayalan manusia tetapi lebih mengacu kepada petunjuk sastra. Sama seperti pemujaan kepada Batu hitam Hajar Al Aswad di Mekkah sampai saat ini yang juga hampir sama dengan pemujaan Lingga yoni yang merupakan simbul dari Shiva Shakti ataupun Batu Salagram yang merupakan perwujudan dari Sri Vishnu. Oleh karena itulah maka penempatan suatu ayat dari kitab suci hendaknya selalu mengacu kepada situasi, tempat, maupun orang-orang yang berkenaan dengan hal dimaksud. Sama halnya dengan aturan untuk berkendara di sebelah kiri bagi pengguna jalan. Ini adalah hal benar menurut peraturan perundangan di Indonesia. Tetapi tidak akan menjadi benar dan cenderung berbahaya jika aturan itu dipaksakan untuk diberlakukan di Negara eropa yang justru menggunakan aturan terbalik, yakni berkendara di ruas kanan jalan. Maka demikianlah sikap kita seharusnya dalam menyikapi serial Mahadewa ini. Bagi mereka yang antipati dengan keyakinan Vedanta, tentu mereka tidak dipaksakan untuk ikut menonton tayangan dimaksud sebab dalam serial itupun tidak ada sebuah rekayasa yang sengaja disusupkan untuk menggiring umat agama lain untuk meyakini kebenaran suatu agama tertentu seperti yang sering dilakukan oleh beberapa produser sinetron di negeri ini.

(Wr Hari)

Tidak ada komentar: