Senin, 04 Maret 2013

Vaishnava Vs Shivaisme

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini


Sebagaimana kita sadari bersama, terdapat 2 mazab besar dalam hindu, dimana yang satu merupakan penganut Shivaisme yang menempatkan Deva Shiva sebagai Tuhan alam semesta, dan yang lainnya adalah penganut Vaishnava yang menempatkan Sri Vishnu / Narayana sebagai Tuhan. Dalam faham Vaishnava dimana Sri Krishna menjadi sumber utama munculnya Sri Vishnu (Garbhodakasayi Vishnu, Ksirodakasayi Vishnu, Karanodakasayi Vishnu), faham yang dianutnya adalah Personal God atau Suguna Brahman sedangkan Shivaisme melalui filsafat mayavadi lebih menekankan pemahaman tentang Tuhan sebagai Brahman (Nirguna atau impersonal God). Prinsip Mayavadi yang dikemukakan oleh Sri Sankaracharya yang merupakan penjelmaan dari deva Shiva sengaja dibuat demikian dengan melihat situasi yang terjadi pada saat itu, dimana faham Budha yang tidak mengakui Veda dan keberadaan Tuhan sedang berkembang pesat, sehingga untuk membawa kembali keyakinan mereka yang telah memudar kepada Veda, maka Sankaracharya mengetengahi masalah tersebut dengan menyatakan bahwa Tuhan itu ada tetapi tidak berwujud.
Menurut teologi Siva, Tuhan, Jiva dan benda-benda di alam semesta ini adalah nyata. Secara terminologis mereka menyebut Tuhan sebagai “Pati”, sedangkan Jiva disebut “Pasu” dan benda-benda di alam material disebut “Pasa”. Dari ketiga ini mereka beranggapan bahwa Pati-lah yang paling tinggi dan dipuja dengan sebutan Siva atau Hara. Siva dianggap sebagai sumber dari Trimurti (Brahma, Visnu dan Rudra)-Shiva purana. Disamping itu Siva juga disebut sebagai Iswara dan Maheswara.  Selain itu, Kesamaan Siva dengan Tuhan Sri Hari diperlihatkan dimana Siva tidak akan pernah mengalami kematian dan kehancuran secara fisik meskipun suatu saat terjadi maha pralaya dimana semua unsur alam material hancur dan terserap kembali kepada pori-pori maha visnu karena Siva berkedudukan di alam rohani Kailasa yang kekal abadi. Oleh karena itulah faham Shiva banyak dianut oleh masyarakat india khususnya didaerah selatan, dan juga dalam penyebarannya ke Indonesia dan Bali pada khususnya. Uraian tentang faham Mayavada yang diajarkan dewa Shiva dalam penjelmaannya sebagai Sri Sankaracharya, dapat kita lihat di dalam Padma Purana – Uttara Kanda 25.7: dimana Dewa Siva berkata;
mayavadam asac chastram // pracchannam baudham ucyate
mayaiva kalpitam devi  // kalau Brahmana rupena”
“Wahai Devi istriku, pada jaman Kali aku akan lahir sebagai seorang Brahmana dan menjelaskan Veda dengan filsafat  palsu mayavada yang mirip dengan filsafat  Buddha”
Tujuan kemunculan Dewa Siva sebagai Sankaracarya tidak lain adalah untuk meneruskan misi Buddha Gautama dalam meluruskan penyimpangan penerapan ajaran-ajaran Veda. Yaitu dengan cara menyusun filsafat baru yang mirip dengan filsafat Buddha tetapi juga tidak sama dengan penafsiran Veda sesungguhnya. Dengan demikian penganut Buddha kembali menjadi penganut Veda dan tentunya tidak melupakan misi yang sebelumnya, yaitu agar penganut Veda tidak menyalahkan artikan korban suci untuk kepentingan nafsu, membunuh binatang dan juga mengembalikan prinsip catur varna. Hal ini dapat kita lihat dalam pernyataan Dewa Siva dalam sloka Padma Purana yang lain;
“Istriku Parvati, dengarlah penjelasan bagaimana aku menyebarkan kebodohan melalui filsafat Mayavada. Hanya dengan mendengarnya saja, bahkan seorang yang sangat maju sekalipun akan jatuh. Dalam filsafat ini, yang sebenarnya sangat menyesatkan bagi orang awam. Aku akan menafsirkan secara keliru makna sejati ajaran-ajaran Weda, dan menganjurkan seseorang untuk meninggalkan segala jenis kegiatan untuk mencapai pembebasan dari karma. Dalam filsafat mayavada itu, aku menyatakan bahwa jivatma (sang roh) dan Paramatma (Tuhan) adalah tunggal dan memiliki sifat-sifat yang sama”
Mayavada berasal dari kata Maya (tenaga material yang mengkhayalkan) dan Vada (paham pemikiran atau filsafat). Jadi mayavada berarti filsafat  tentang maya, tenaga yang mengkhayalkan atau filsafat  tentang khayalan.
Sesuai dengan ajaran Sankaracharya, pondasi ajaran Mayavada adalah sebagai berikut;
1.    Brahma Satyam (hanya Brahman yang sejati)
2.    Jagan Mithya (Alam material beserta isinya tidak nyata / palsu)
3.    Jivo Brahmaiva na aparah (Atman/Jiva identik dan sama dengan Brahman/Tuhan
Ketiga pernyataan filosofis tersebut tercantum dalam kitab Sariraka Bhasya yang ditulis oleh Sankaracarya sendiri dan merupakan penjelasan/komentar  atas kitab Vedanta Sutra (yang juga disebut Sariraka Sutra) karya sang penyusun Veda yaitu Krishna Dvaipayana atau Vyasadeva, atas nasehat Dewarishi Narada, yang sebelumnya telah menulis kitab Bhagavata Purana / Srimad Bhagavatam sebagai penjelasan/komentar Vedanta Sutra yang telah ditulisnya.
Menurut filsafat  mayavada, Brahman adalah Tuhan tanpa wujud (nirakara), tanpa sifat apapun (nirguna) dan tanpa ciri apapun (nirvisesa). Sebab, kata Sankara, jika Tuhan berwujud,maka Ia tidak mungkin menjadi sumber segala sesuatu. Bila sesuatu itu telah menjadi banyak beraneka-ragam, wujudnya itu akan berubah dan tidak ada lagi. Contoh, sebatang kayu tidak akan ada lagi karena telah berubah menjadi rak, meja dan kursi. Berdasarkan logika dan argumen materialistik ini Sankara berani menyatakan bahwa Rishi Vyasa telah secara keliru menjelaskan tentang Tuhan seraya berkesimpulan bahwa Brahman impersonal (tanpa wujud, sifat dan ciri) inilah yang satyam, benar, nyata, dan sejati sebagai sumber segala sesuatu.
Menurut Sankara, jagat (alam dunia) yang terwujud ini adalah sesungguhnya mithya, tidak nyata, tidak sejati alias palsu, sebab ia adalah produk maya, ilusi/khayalan. Menganggap dunia sebagai nyata atau sejati adalah sama saja dengan menganggap seutas tali  sebagai  seekor ular. Atau menganggap kulit kerang yang berkilauan (diterpa cahaya matahari) sebagai sekeping perak.
Menurut filsafat  mayavada, sang jiva (makhluk hidup) adalah sama dan identik dengan Brahman (Tuhan). Fakta  ini  sesuai dengan pernyataan sloka-sloka Veda sebagai berikut. “Aham brahmasmi”, Aku adalah Brahman (Brhad Aranyaka Upanisad 1.4.10). “Ayam atma Brahman”, sang Atma adalah Brahman itu juga (Mandukya Upanisad sloka 2). “So’ ham asmi”, diriku adalah Ia (Brahman) itu (Isa Upanisad sloka 16). Berdasarkan sloka-sloka tersebut,”Atman braman aikyam”, atman adalah sama dengan Brahman. Atau sang makhluk hidup (jiva) adalah sama dengan Tuhan (Brahman).

Oleh karena menganggap sang makhluk hidup (jiva) yang kecil, remeh dan tidak berdaya sama dengan Tuhan (Brahman) yang maha kuasa, maka filsafat  mayavada ini disebut Advaita-Vada, filsafat  non dualistik, yakni filsafat yang tidak mengakui adanya perbedaan antara jiva (makhluk hidup) dengan Tuhan (Brahman).
Namun walaupun filsafat mayavada yang diajarkan Sankaracharya ini kelihatan berbeda dari Vedanta, kita hendaknya menyadari maksud dibalik semua itu, serta mengerti situasi yang melatar belakangi diturunkannya ajaran dimaksud. Sebab walaupun terkesan memiliki konsep yang bertolak belakang, Sri Sankaracharya ketika akan mengakhiri lila-Nya menuliskan satu syair terkenal dengan judul, Bhaja Govindam, yang walaupun masih samar-samar tetapi jelas beliau mengisyaratkan tentang tujuan akhir mahluk hidup untuk dapat mencapai kaki padma Sri Govinda. “Vaisnavanam yatha sambhuh, diantara semua penyembah (bhakta) Visnu, Sambhu (Siva) adalah yang paling utama” (Bhag. 12.1.36). Kepada Sankarsana, Siva juga berdoa sebagai berikut; “Om namo bhagavate maha puruñaya sarva guëa daukhauy anantasya vyaktaya nama iti …. O Tuhanku, saya sujud kepada-Mu dalam perwujudan-Mu sebagai Sankarsana. Anda adalah sumber segala kekuatan rohani. Meskipun Anda memiliki sifat-sifat tak terbatas, Anda tetap tak dikenal oleh mereka yang bukan penyembah-Mu” (Bhag. 5.17.17). Dalam doa-doa pujian yang diajarkan kepada para Praceta (Bhag.4.24.33- 69), Siva menyatakan bahwa Visnu atau Hari adalah pujaannya. Siva antara lain berdoa, “Tuhan maha pengasih, orang-orang bijaksana sadar bahwa jika mereka tidak memuja diri-Mu, maka seluruh hidupnya akan sia-sia. Mereka tahu bahwa Anda adalah parambrahman dan Paramatmä. “Meskipun seluruh jagat takut kepada diriku Rudra yang memusnahkan segala sesuatu pada hari pralaya (kiamat), namun orang bijaksana menjadikan Anda tujuan yang tidak pantas ditakuti”.  Maka beranjak dari pemaparan ini masing-masing kelompok spiritual hendaknya menyadari bahwa semua jalan yang diberikan pada akhirnya akan menuju kepada satu sumber yang sama yakni Govinda Krishna. Sehingga tidak menjadi masalah jika satu kelompok atau agama menganggap bahwa Tuhan itu impersonal, toh pada intinya konsep itu adalah tahapan. Kita tidak bisa memaksa dan mengharuskan semua orang agar langsung bisa menerima faham bahwa Tuhan itu Personal. Selanjutnya sesuai dengan ayat diatas “Vaisnavanam yatha sambhuh, diantara semua penyembah (bhakta) Visnu, Sambhu (Siva) adalah yang paling utama” (Bhag. 12.1.36). jadi sungguh tidak masuk akal jika kelompok spiritual yang telah melabel dirinya sebagai Vaishnava, memandang rendah kelompok spiritual lain yang bernaung dibawah panji-panji identitas Shiva sebab Shiva adalah Vaishnava teragung bahkan ‘mungkin’ lebih agung dari pecinta Krishna yang diberikan gelar ‘Maharaj’ oleh para muridnya. Shiva adalah ibarat 2 sisi mata uang. Ia memiliki berkah material dan juga spiritual. Tergantung kita mau meminta yang mana.  Pemuja Siva yang taat akan diarahkan oleh Siva sendiri untuk memuja Sri Hari karena ekspansi Siva yang berasal dari Govinda adalah perwujudan kepribadian yang bertindak sebagai Bhakta Govinda yang paling agung dan memberikan contoh bagi jiva-jiva yang sedang belajar menekuni bhakti. Namun begitu, jikalaupun ada pemuja Shiva yang lebih mementingkan aspek material duniawinya seperti pemujaan untuk mendapatkan kesidhian, kemakmuran, kemashyuran, dan lain lain, tetap saja sebagai seorang yang melabel diri Vaishnava tidak mempunyai hak untuk menyalahkan mereka. Sebagai saudara sepengembaraan di bhumi kita hanya boleh memberikan saran untuk maju, tetapi bukan mengharuskan mereka untuk mengikuti jalan kita, Karena itu sangat bergantung kepada akumulasi karma dan juga Rahmat dari Tuhan.

       
Memuja Tuhan dalam kekosongan
Perdebatan mengenai apakah Tuhan memiliki wujud atau tidak seakan menjadi sebuah hal yang tidak berkesudahan dimana masing-masing penganutnya memiliki argument kuat yang sulit dibantah. Lalu bagaimanakah Tuhan itu sebenarnya ? Personal apa impersonal ? Saguna atau Nirguna ?
Memuja Tuhan dalam aspek kekosongan atau yang tidak digambarkan seperti paham yang dianut agama Islam, agama Buddha dan juga penganut Shivaisme tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang salah, demikian sebaliknya penganut kekosongan tidak bisa mengklaim bahwa pemakaian wujud dalam pemujaan sebagai bentuk kemusrikan karena mempersamakan Tuhan dengan manusia. Veda menjelaskan bahwa Tuhan memiliki tiga aspek utama, yaitu Paramatman (Yang ada di mana-mana dan meresapi ciptaannya), Bhagavan (Tuhan yang berwujud pribadi) dan Brahman (Tuhan yang tidak berwujud/Nirguna) sebagaimana disinggung dalam Bhagavad Gita bab 12. Jadi dari segi penggambaran Tuhan, Hindu juga memberikan solusi yang lengkap. Jika anda tertarik dengan aspek Tuhan yang ada di mana-mana dan selalu menyertai diri anda dalam diri anda, maka anda dapat memuja aspek Paramatman. Jika anda tertarik dengan Tuhan yang berwujud pribadi, maka silahkan memuja Avatara-avatara Tuhan, namun jika anda lebih suka kepada kekosongan dan aspek Tuhan yang tidak berwujud, silahkan memuja Tuhan dalam Aspek Brahman. Tuhan adalah ibarat 2 sisi uang logam yang saling melengkapi. Ibarat sinar matahari dengan planetnya. Jika tidak ada planet yang mewujud maka tidak mungkin ada sinar, demikian halnya jika planet atau wujud ada tetapi tidak ada sinar, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai matahari. Jadi mari saling menghargai perbedaan yang ada untuk bisa dijadikan pelengkap, sebab tatanan hidup memang harus terbentuk dari 2 hal yang berbeda (hidup-mati, terang-gelap, personal-impersonal, dll)

Tidak ada komentar: