Kamis, 06 Desember 2012

BHAGAVATAM. Part 4 : YAJNA UNTUK MENEBUS DOSA



Upacara pemberian nama sang pangeran menimbulkan kegembiraan yang besar pada warga kerajaan, penghuni istana, dan anggota keluarga raja. Tetapi Yudhistira, sang sulung diantara Pandawa bersaudara, merasa bahwa ia harus melakukan sesuatu lebih dari itu; ia tidak merasa puas dengan sekadar pesta yang meriah. Sore itu juga ia memanggil para sesepuh, cendikiawan, pendeta, para raja bawahannya, dan tokoh-tokoh masyarakat agar datang menghadiri rapat; ia mohon agar Sri Krishna memimpin pertemuan itu dan menganugerahkan kegembiraan kepada semuanya. Maharesi Wyasa dan Resi Kripa juga hadir. 
Yudhistira datang ke ruang sidang, berdiri diam beberapa saat di hadapan hadirin, kemudian bersujud di kaki Bhagawan Krishna dan Maharesi Wyasa. Setelah itu ia berpaling kepada para raja, cendikiawan, dan tokoh-tokoh masyarakat sambil berkata, “Saya telah berhasil mengalahkan musuh dengan pertolongan, kerja sama, dan doa restu Anda sekalian, maupun dengan rahmat Bhagawan yang hadir disini, serta berkat restu para resi dan kaum bijak yang telah menyemayamkan Bhagawan dalam hati mereka. Dengan kemenangan ini kita dapat memperoleh kembali kerajaan kita yang hilang. Juga dengan rahmat dan berkat ini cahaya harapan telah bersinar dalam hati kita yang digelapkan oleh rasa putus asa memikirkan kelangsungan dinasti ini. Garis keturunan Pandawa akan diteruskan oleh pangeran yang hari ini oleh Bhagawan dinamai Parikshit. 

“Sementara semua ini membuat saya senang, saya harus menyatakan di hadapan Anda sekalian bahwa saya dilanda kesedihan bila merenungkannya dari segi yang lain. Saya telah melakukan dosa yang tidak terhitung lagi, membunuh sanak saudara sendiri. Saya merasa bahwa saya harus melakukan suatu penebusan untuk hal ini; jika tidak, tidak akan ada kebahagiaan bagi saya, bagi dinasti saya, atau rakyat saya. Karena itu, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mohon nasihat Anda sekalian mengenai hal ini. Diantara Anda sekalian banyak yang telah mengetahui kenyataan sejati dan mencapai brahmajnana; Maharesi Wyasa juga hadir disini. Saya berharap Anda menyarankan suatu acara penebusan agar saya dapat membebaskan diri dari timbunan dosa yang menggunung amat besar yang terkumpul akibat peperangan ini.
Ketika Yudhistira mengajukan permasalahan ini dengan penuh kerendahan hati dan amat menyesal, Sri Krishna berkata, “Yudhistira, Anda tersohor sebagai Dharmaraja; seharusnya anda memahami dharma. Anda memahami seluk beluk dharma dan moralitas, tentang keadilan, tentang perbuatan yang benar dan salah. Karena itu, saya heran mengapa Anda merasa sedih atas peperangan dan kemenangan ini. Tidakkah Anda tahu bahwa ksatria tidak berbuat dosa jika ia membinasakan musuh bersenjata yang datang ke medan perang untuk membunuh? Apapun juga luka, penderitaan, atau kerugian yang ditimpakan di medan laga daam pertempuran dengan musuh yang bersenjata, bebas dari dosa. Merupakan dharma ksatrialah untuk mengangkat senjata dan berjuang sampai saat terakhir-tanpa memiirkan dirinya sendiri-untuk menyelamatkan negaranya. Anda hanya melakukan darma Anda. Bagaimana mungkin karma “kegiatan” yang mengikuti darma ini bisa berdosa? Tidak pantaslah meragukan hal ini dan berputus asa. Dosa tidak dapat menyentuh, mengepung, atau mengganggu Anda. Seharusnya Anda bergembira atas perayaan pemberian nama pangeran yang baru lahir, dan bukannya merasa takut pada bencana khayalan serta berusaha menebus dosa yang tidak ada. Tenanglah, berbahagialah.”
Wyasa pun bangkit dari kursinya dan berkata kepada Raja. “Perbuatan yang berdosa dan tercela tidak dapat dielakkan dalam peperangan. Hal ini jangan menyebabkan rasa sedih. Tujuan utama perang adalah melindungi darma dari musuh-musuhnya. Jika hal itu selalu diingat, dosa tidak akan mempengaruhi para pejuang. Luka yang membusuk harus ditangani dengan pisau; operasi yang dilakukan bukanlah dosa. Jika seorang dokter menguasai ilmu bedah dan tahu bahwa seseorang membutuhkan pertolongan, tetapi tidak melakukan pembedahan untuk menyelamatkannya, maka dokter itu berbuat dosa. Demikian pula bila seorang ksatria tahu bahwa musuh merupakan sumber ketidakadilan, kekejaman teror, dan kekejian, tetapi dokter bedah tidak mau memotong bisul itu, walaupun tahu cara pengobatannya karena ia tidak mau menggunakan pisau (ahli bedah itu adalah ksatria), maka ia berdosa karena berdiam diri, bukannya karena menggunakan pedang. Dharmaraja, Anda berbicara dalam pengaruh maya. Saya dapat mengerti jika orang lain yang kurang arif memiliki keraguan seperti ini, tetapi saya heran bagaimana Anda bisa mengkhawatirkan dosa khayalan ini?
Meskipun demikian, jika perkataan saya kurang meyakinkan, saya dapat menyarakan suatu jalan keluar. Cara itu akan menghapuskan segala kekhawatiran dan ketakutan. Beberapa raja zaman dahulu melakukannya setelah peperangan selesai untuk menghapuskan akibat-akibat dosa. Upacara itu adalah aswamedha “pengurbanan kuda”. Jika Anda ingin, Anda juga dapat melakukan ritus ini sebagai upacara penebusan. Tidak ada keberatan untuk itu. Tetapi percayalah kepada saya, tanpa upacara penebusan pun Anda bebas dari dosa. Karena iman Anda goyah, saya menyarankan upacara ini demi kepuasan Anda.” Setelah menyatakan hal ini, Wyasa duduk kembali.
Mendengar ini, semua sesepuh, cendikiawan, dan tokoh masyarakat serentak bangkit serta bersoran sorai menyambut saran Maharesi Wyasa. Mereka berteriak, “Jaya, jaya.” Untuk menunjukkan persetujuan dan penghargaan. Mereka berseru, “Oh, alangkah baiknya, alangkah penting.” Dan mereka merestui usaha Dharmaraja untuk membebaskan diri dari dosa-dosa akibat perang. Tetapi Dharmaraja masih dibebani kesedihan; ia tidak bebas dari rasa takut. Matanya berkaca-kaca
Ia memohon kepada hadirin dengan amat memilukan, “Betapapun besar usaha Anda sekalian untuk menyatakan saya tidak berdosa, saya tidak yakin. Bagaimanapun juga pikiran dan perasaan saya tidak dapat menerima alasan Anda. Para raja yang melakukan peperangan mungkin telah membersihkan dirinya dengan aswamedha yaga. Itu hanya peperangan biasa yang lazim terjadi. Tetapi kasus saya sangat luar biasa. Dosa saya tiga kali lebih berat karena :
(1) saya telah membunuh sanak dan keluarga.
(2) saya telah membunuh para sesepuh yang suci seperti Bhisma serta Drona,
(3) saya telah membunuh banyak raja. 
Aduh, mengapa begini nasib saya! Betapa mengerikan perbuatan saya!”
“Tidak ada penguasa lain yang bersalah melakukan kejahatan sebesar ini. Bukan hanya satu, melainkan tiga aswamedha yaga harus dilangsungkan untuk melenyapkan beban ini. Hanya dengan demikianlah hati saya akan damai. Hanya dengan demikianlah dinasti saya dapat berbahagia dan aman sejahtera. Hanya setelah itulah administrasi kerajaan saya  aman dan berfaedah. Hal ini sebaiknya diterima oleh Maharesi Wyasa dan para sesepuh serta resi lainnya.”
Ketika Yudhistira mengucapkan hal itu, air matanya menitik di pipinya, bibirnya gemetar karena sedih, dan tubuhnya membungkuk dibebani penyesalan. Melihat hal ini setiap resi luluh hatinya dan merasa iba. Warga kerajaan tergerak oleh simpati. Wyasa dan bahkan Vaasudewa (Sri Krishna) pun terharu. Banyak pendeta tanpa sadar menitikkan air mata. Hadirin terdiam keheranan. Dalam sekejap semua mengerti betapa lembut hati Dharmaraja. Saudara-saudaranya yang lain, Bhima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa berdiri mengatupkan kedua tangan dengan sikap hormat dan rendah hati, menanti suatu petuah yang akan melegakan dari Bhagawan (Sri Krishna) yang duduk di singgasana kepemimpinan.
Dengan serentak sidang menyetujui tiga aswamedha yaga untuk meringankan kesedihan Dharmaraja. Seorang resi menyampaikan pendapat hadirin sebagai berikut, “Kami tidak akan menghalangi keinginan Baginda. Kami menerimanya dengan sepenuh hati. Kami akan menyelenggarakan yaga itu sebaik-baiknya sesuai dengan petunjuk shastra hingga ke upacara yang terakhir karena kami mengutamakan kedamaian hati Baginda lebih dari apapun juga lainnya. Kami bersedia melakukan apa pun juga yang akan memuaskan hati baginda.” Pernyataan ini disetujui oleh setiap orang yang hadir.
Mendengar ini Dharmaraja berkata, “Saya sungguh bahagia, saya merasa sangat bahagia.” Ia menyampaikan rasa terima kasih atas tawaran kerja sama ini. Ia berjalan ke tempat duduk Krishna dan Wyasa dan bersujud di kaki mereka. Dipegangnya kaki Krishna sambil memohon, “ Oh Madhusudana, tidakah Paduka mendengar doa saya? Tidakah Paduka lihat kesedihan saya? Saya mohon agar Paduka sudi menghadiri yaga yang akan diselenggarakan, agar Paduka menjamin pahalanya bagi saya, dan menyelamatkan saya dari beban dosa ini.” 

Krishna tersenyum dan mengangkat Yudhistira dari lantai di hadapan Beliau kemudian berkata, “Dharmaraja! Patilah saya akan mengabulkan doa Anda. Tetapi Anda telah menimpakan beban yang luar biasa beratnya pada bahu Anda sendiri. Yaga ini bukanlah masalah kecil. Apalagi penyelanggaranya adalah raja kenamaan, Dharmaraja! Itu berarti yaga tersebut harus diselenggarakan dalam ukuran yang sesuai dengan status Anda. Saya tahu Anda tidak memiliki dana untuk kegiatan yang sangat mahal ini. Para raja hanya memperoleh uang dari rakyatnya. Tidaklah terpuji jika uang yang diperas dari mereka dihabiskan untuk Yajna. Hanya uang yang diperoleh dengan baik dapat digunakan untuk upacara suci semacam itu, jika tidak, usaha itu bukannya membawa kebaikan tetapi bahkan akan mendatangkan kemalangan. Para raja bawahan anda pun tidak dapat menolong karena mereka pun menjadi melarat akibat perang yang baru usai. Jelas mereka tidak mempunyai apapun untuk disumbangkan. Setelah mengetahui semua ini, bagaimana Anda dapat menyetujui penyelenggaraan Aswamedha secara berturut-turut? Saya heran bagaimana Anda bisa begitu nekad dalam keadaan sesulit ini. Anda juga telah mengemukakan di depan umum dalam pertemuan yang dihadiri oleh para tokoh agung serta terkenal ini. Anda bahkan tidak memberitahu terlebih dahulu tentang gagasan yang mahal ini. Jika Anda memberitahukan terlebih dahulu kita akan dapat merencanakan suatu jalan keluar. Ah, ini belum terlambat sekali. Kita akan mengambil keputusan setelah mempertimbangkannya lagi. Tidak mengapa jika hal ini menyebabkan sedikit kelambatan.”
Dharmaraja mendengarkan perkataan Bhagawan Sri Krishna dan tertawa geli. “Bhagawan, saya tahu Paduka bermain drama dengan saya. Saya tidak pernah memutuskan suatu tindakan tanpa mempertimbangkan lebih dahulu. Saya juga tidak pernah merisaukan uang atau sarana yang diperlukan. Bila pelindung kami adalah Bhagawan, sumber rahmat yang tiada habisnya, mengapa saya harus merasa cemas tentang apa saja? Jika saya memiliki kalpataru “pohon yang memeunuhi segala keinginan” di kebun saya, mengapa saya harus merasa cemas mencari akar dan umbi-umbian? Bhagawan yang Mahakuasa yang telah melindungi kami bagaikan kelopak mata melindungi biji mata selama bertahun-tahun yang mengerikan ini pastilah tidak akan membiarkan kami dalam keadaan ini.”
“Bagi Paduka yang dapat menghembuskan pegunungan maha besar menjadi debu, kerikil kecil ini sama sekali bukan masalah. Padukalah harta saya, perbendaharaan saya. Paduka adalah napas saya. Apapun yang Paduka katakan, saya tidak akan ragu. Seluruh kekuatan dan harta saya hanyaah Paduka. Saya serahkan segala beban saya, termasuk beban pemerintaan dan beban baru penyelenggaraan tiga yaga ini pada kaki paduka. Paduka dapat melakukan apa saja sekehendak Paduka. Mungkin Paduka menilai perkataan saya dan membatalkan yaga. Saya tidak khawatir. Saya selalu senang apapun yang Paduka lakukan. Semuanya terserah pada kehendak Paduka, bukan saya.”
Bila Tuhan bersemayam dalam hati, tentu saja tidak diperlukan permohonan khusus. Krishna terharu; Beliau mengangkat Dharmaraja dan membantunya bangkit. “Tidak, saya hanya bergurau untuk menguji iman dan bakti Anda. Saya hendak memperlihatkan kepada rakyat Anda, betapa teguh kepercayaan Anda kepada saya. Anda tidak perlu mencemaskan apa pun juga. Keinginan Anda akan terkabul. Bila Anda mengikuti petunjuk saya, dengan mudah Anda akan memperoleh uang yang diperlukan untuk penyelenggaraan yaga tersebut. Anda dapat memperolehnya tanpa mengganggu para raja dan memeras rakyat.”
Mendengar ini, Dharmaraja merasa gembira. Ia berkata, “Bhagawan, kami akan menghormati perintah Paduka.” Kemudian Krishna berkata, “Dengarlah. Pada zaman dahulu seorang maharaja bernama Marut menyelenggarakan suatu yaga sedemikian rupa sehingga sampai sekarang pun tidak ada yang dapat menyamainya. Balairung tempat yaga itu dilangsungkan dan setiap benda yang ada hubungannya dengan upacara tersebut dibuat dari emas. Batu bata dari emas diberikan sebagai hadiah kepada para pendeta yang memimpin upacara, dan bukannya sapi yang diberikan melainkan patung sapi yang terbuat dari emas. Demikian juga bukan tanah yang diberikan melainkan piring-piring emas! Para brahmin tidak sanggup mengangkutnya pulang karena itu, mereka hanya membawa sebanyak yang dapat mereka pikul. Selebihnya mereka buang begitu saja. Potongan-potongan emas itu kini ada dalam jumlah yang besar untuk yaga yang akan Anda selenggarakan. Anda dapat mengambilnya.”
Dharmaraja tidak setuju; ia cemas dan merasa keberatan. Katanya, “Bhagawan, emas itu milik orang-orang yang menerima hadiah tersebut. Bagaimana saya dapat mnggunakannya tanpa izin mereka?” Krishna menjawab, “Mereka telah membuangnya dengan sadar sepenuhnya akan apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka buang. Sekarang mereka sudah tiada. Keturunan mereka sama sekali tidak mengetahui adanya harta ini. Emas itu kini terkubur di dalam tanah.
Ingatlah bahwa segala harta di dalam tanah yang tidak ada pemiliknya merupakan milik raja yang menguasai wilayah itu. Bila raja akan mengambilnya, tiada seorang pun berhak menentang. Bawalah segera harta itu dan siapkan penyelenggaraan yaga,” perintah Sri Krishna. 

Bersambung.....ke "Yajna dan Kedatangan Vidura"

Tidak ada komentar: