Rabu, 14 November 2012

Misionaris agama Part I

Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini



Walaupun seribu kitab suci mengatakan bahwa api itu dingin, hendaknya engkau jangan percaya
Seruan Weda itu mengisyaratkan agar kita mau mempelajari, memahami, dan mengamalkan isi kitab suci dengan tidak melepas nalar. Bukankah akal budhi (nalar) merupakan salah satu kelebihan manusia dari mahluk hidup lainnya. Jika kecerdasan dan akal budhi diabaikan, lalu apa bedanya manusia dengan hewan ?
Penafsiran umat terhadap ajaran agama seringkali seperti menatap langit yang ada di atas kepalanya. Langit yang dianggapnya tertinggi pastilah langit yang dijunjungnya. Sedangkan bagian langit yang lain akan tampak sangat rendah baginya. Mereka jarang mau tau bahwa langit itu hanya satu, sedangkan tinggi rendahnya langit terjadi karena keterbatasan penglihatannya sendiri. Kebenaran yang diajarkan masing-masing agama adalah kebenaran yang satu. Kebenaran itu menjadi berbeda karena pandangan, pengalaman, dan penafsiran yang berbeda pula. 

 Hal ini dapat diibaratkan dengan beberapa orang buta yang ingin mengenal gajah. Masing-masing dari mereka ternyata memiliki dan bersikukuh pada pendapatnya sendiri yang dianggapnya paling benar berdasarkan pengalaman yang dialaminya tentang ciri-ciri  dari gajah dimaksud. orang  buta yang memegang belalainya bersikukuh bahwa gajah itu seperti ular, sedangkan orang buta yang memegang kaki gajah juga bersikukuh mengatakan bahwa gajah itu seperti tiang besar, dan orang buta lainnya juga tidak mau kalah menyuarakan bahwa gajah itu seperti kipas karena ia telah meraba bagian kupingnya. Lalu manakah yang benar diantara semuanya ? tentu orang yang tidak buta (Bijaksana) yang mau melihat dari semua sisi yang paling benar untuk menyimpulkan bagaimana gajah itu yang sesungguhnya. Tentu saja untuk bisa menjadi seorang yang bijaksana yang memiliki pandangan luas tentang kebenaran, kita tidak boleh menutup mata seperti orang buta tadi lalu bersikukuh dengan fanatisme tak keruan tentang kebenaran diri sendiri yang belum jelas apalagi jika sudah berani menghakimi penilaian orang lain sebagai sesuatu yang salah.

        Kebenaran yang bersifat kekal abadi, sudah ada sebelum ajaran agama-agama ini diwahyukan. Dalam perumpamaan tadi, seekor gajah memang sudah ada sebelum diraba lalu diberikan pengertian yang beragam. Demikian halnya dengan ajaran agama yang diwahyukan Tuhan pastilah merupakan kebenaran yang obyektif. Tetapi karena manusia yang menerimanya, membukukannya, menyebarkannya, dan melaksanakannya, maka ajaran itu menjadi subyektif dan relative. Semestinya, setiap umat beragama berani bersikap kritis terhadap ajaran agama yang dianutnya.
Pertama, perlu dipertanyakan, apakah ayat suci tersebut benar-benar murni merupakan wahyu Tuhan, ataukah sudah mendapat penafsiran dari para penerima dan penyebar wahyu dimaksud.
Kedua, setiap pemeluk agama semestinya tidak perlu terlalu fanatic terhadap ayat-ayat kitab suci yang diyakini sebelum bisa terealisasikan dalam tindakan nyata. Sebab sesuatu akan bernilai benar jika telah ada kesesuaian antara yang tersurat atau terucap dengan apa yang terlaksana. Sebelum diwujudkan dalam tingkah laku, kebenaran itu belum dirasa ada sebab kebenaran dan kesalahan itu realita. Karena itu umat beragama seharusnya hidup dalam realitas. Ibaratnya orang tidak akan dapat merasakan manisnya gula batu hanya dengan mengunyah secarik kertas berisi tulisan ‘Gula batu’ atau dengan terus menerus mengatakan bahwa “Gula batu itu manis”. Ia baru boleh mengatakan bahwa gula batu itu memang manis jika sudah di dasarkan pada pengalamannya sendiri dengan mengambil gula batu yang sesungguhnya lalu meletakkannya di lidah.
Dewasa ini ada banyak sekali orang yang merasa diri paling suci dan terselamatkan di mata Tuhan hanya karena gelar yang disandangnya sebagai ahli hokum agama atau karena telah hafal ayat-ayat kitab suci agamanya berjuz-juz, atau beribu-ribu sloka dan mantra, namun realita dunia masih sepi dengan kebaikan murni yang menjangkau seluruh umat Tuhan. Masing-masing umat beragama hanya terpasung dengan kegiatan kebaikan dalam kelompoknya sendiri dan tidak jarang berusaha menyeret tetangga disekitarnya agar masuk dalam kelompok dan keyakinan mereka.


Tujuan akhir dari semua agama yang ada adalah penyatuan kembali para pengikutnya dengan Tuhan (Berkumpulnya kembali anak-anaknya dengan orang tuanya). Dengan demikian inti agama adalah kesadaran spiritual yang didalamnya terkandung unsur kebenaran, kebajikan, dan cinta kasih Ilahi yang universal. Pada tahap tersebut, tidak ada lagi label termasuk label agama yang seringkali mengkotak-kotakkan umat manusia antara yang satu dengan yang lainnya. Padahal jika ditelaah secara nalar, semua entitas hidup di bhumi ini hanyalah merupakan satu kesatuan, satu saudara, dan satu keluarga besar yang hidup di bhumi yang sama, menghirup udara yang sama, mendapat panas dari matahari yang sama, dan tentunya satu sumber penciptaan yakni Tuhan yang disebut dengan berbagai nama menurut selera masing-masing. Sementara ini pandangan umat  beragama tertentu yang menganggap bahwa agama yang dianutnyalah yang paling sempurna, paling baik, dan paling benar adalah pandangan orang-orang yang tidak bisa memakai nalarnya dalam beragama. Pandangan seperti inilah yang merupakan bibit perpecahan yang semestinya dikubur dalam dalam agar tidak bisa bertumbuh sedikitpun. Angapan yang menyatakan bahwa Tuhan hanya akan menerima amal soleh dari umat beragama tertentu saja serta akan mengabaikan kebaikan dari umat agama lain sesungguhnya telah mengecilkan dan member batasan pada kemaha kuasaan Tuhan yang seringkali dipuja sebagai “Yang maha Adil (Al-ALim) , Yang maha Pengasih dan penyayang (Al-Rahman, Al Rahim), dan lain-lain. Permasalahan berikutnya, bagimanapun sempurnanya suatu kitab suci, jika ajaran yang terkandung di dalamnya tidak dihayati dan diamalkan oleh para pengikutnya, maka kitab suci tersebut hanya akan menjadi kumpulan kata-kata indah yang secara perlahan akan kehilangan maknanya. Barangkali inilah yang pernah terjadi pada beberapa kitab suci berbagai agama yang pernah muncul di muka bhumi ini tetapi akhirnya lenyap ditinggalkan oleh umatnya. Agama itu sirna bukan karena ajarannya tidak benar tetapi karena ajaran itu tidak dilaksanakan secara murni.

Tidak ada komentar: