Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Sebagaimana kita sadari bersama, terdapat 2 mazab besar
dalam hindu, dimana yang satu merupakan penganut Shivaisme yang menempatkan
Deva Shiva sebagai Tuhan alam semesta, dan yang lainnya adalah penganut
Vaishnava yang menempatkan Sri Vishnu / Narayana sebagai Tuhan. Dalam faham
Vaishnava dimana Sri Krishna menjadi sumber utama munculnya Sri Vishnu
(Garbhodakasayi Vishnu, Ksirodakasayi Vishnu, Karanodakasayi Vishnu), faham
yang dianutnya adalah Personal God atau Suguna Brahman sedangkan Shivaisme
melalui filsafat mayavadi lebih menekankan pemahaman tentang Tuhan sebagai
Brahman (Nirguna atau impersonal God). Prinsip Mayavadi yang dikemukakan oleh
Sri Sankaracharya yang merupakan penjelmaan dari deva Shiva sengaja dibuat
demikian dengan melihat situasi yang terjadi pada saat itu, dimana faham Budha
yang tidak mengakui Veda dan keberadaan Tuhan sedang berkembang pesat, sehingga
untuk membawa kembali keyakinan mereka yang telah memudar kepada Veda, maka
Sankaracharya mengetengahi masalah tersebut dengan menyatakan bahwa Tuhan itu
ada tetapi tidak berwujud.
Menurut teologi Siva, Tuhan, Jiva dan benda-benda di alam
semesta ini adalah nyata. Secara terminologis mereka menyebut Tuhan sebagai “Pati”,
sedangkan Jiva disebut “Pasu” dan benda-benda di alam material
disebut “Pasa”. Dari ketiga ini mereka beranggapan bahwa Pati-lah
yang paling tinggi dan dipuja dengan sebutan Siva atau Hara. Siva dianggap
sebagai sumber dari Trimurti (Brahma, Visnu dan Rudra)-Shiva purana. Disamping
itu Siva juga disebut sebagai Iswara dan Maheswara. Selain itu, Kesamaan Siva dengan Tuhan Sri
Hari diperlihatkan dimana Siva tidak akan pernah mengalami kematian dan
kehancuran secara fisik meskipun suatu saat terjadi maha pralaya dimana semua
unsur alam material hancur dan terserap kembali kepada pori-pori maha visnu
karena Siva berkedudukan di alam rohani Kailasa yang kekal abadi. Oleh karena
itulah faham Shiva banyak dianut oleh masyarakat india khususnya didaerah
selatan, dan juga dalam penyebarannya ke Indonesia dan Bali pada khususnya. Uraian tentang faham Mayavada yang diajarkan
dewa Shiva dalam penjelmaannya sebagai Sri Sankaracharya, dapat kita lihat di
dalam Padma Purana – Uttara Kanda 25.7: dimana Dewa Siva berkata;
mayavadam asac chastram // pracchannam baudham ucyate
mayaiva kalpitam devi // kalau Brahmana rupena”
“Wahai Devi istriku, pada jaman Kali aku akan lahir sebagai
seorang Brahmana dan menjelaskan Veda dengan filsafat palsu mayavada
yang mirip dengan filsafat Buddha”
Tujuan kemunculan Dewa Siva sebagai Sankaracarya tidak lain
adalah untuk meneruskan misi Buddha Gautama dalam meluruskan penyimpangan
penerapan ajaran-ajaran Veda. Yaitu dengan cara menyusun filsafat baru yang
mirip dengan filsafat Buddha tetapi juga tidak sama dengan penafsiran Veda
sesungguhnya. Dengan demikian penganut Buddha kembali menjadi penganut Veda dan
tentunya tidak melupakan misi yang sebelumnya, yaitu agar penganut Veda tidak
menyalahkan artikan korban suci untuk kepentingan nafsu, membunuh binatang dan
juga mengembalikan prinsip catur varna. Hal ini dapat kita lihat dalam
pernyataan Dewa Siva dalam sloka Padma Purana yang lain;
“Istriku Parvati, dengarlah penjelasan bagaimana aku
menyebarkan kebodohan melalui filsafat Mayavada. Hanya dengan
mendengarnya saja, bahkan seorang yang sangat maju sekalipun akan jatuh. Dalam
filsafat ini, yang sebenarnya sangat menyesatkan bagi orang awam. Aku akan
menafsirkan secara keliru makna sejati ajaran-ajaran Weda, dan menganjurkan
seseorang untuk meninggalkan segala jenis kegiatan untuk mencapai pembebasan
dari karma. Dalam filsafat mayavada itu, aku menyatakan bahwa jivatma
(sang roh) dan Paramatma (Tuhan) adalah tunggal dan memiliki
sifat-sifat yang sama”
Mayavada berasal dari kata
Maya (tenaga material yang mengkhayalkan) dan Vada (paham pemikiran atau
filsafat). Jadi mayavada berarti filsafat tentang maya, tenaga
yang mengkhayalkan atau filsafat tentang khayalan.
Sesuai dengan ajaran Sankaracharya, pondasi ajaran Mayavada
adalah sebagai berikut;
1. Brahma Satyam
(hanya Brahman yang sejati)
2. Jagan Mithya (Alam
material beserta isinya tidak nyata / palsu)
3. Jivo Brahmaiva na aparah
(Atman/Jiva identik dan sama dengan Brahman/Tuhan
Ketiga pernyataan filosofis tersebut tercantum dalam kitab Sariraka
Bhasya yang ditulis oleh Sankaracarya sendiri dan merupakan
penjelasan/komentar atas kitab Vedanta Sutra (yang juga disebut Sariraka
Sutra) karya sang penyusun Veda yaitu Krishna Dvaipayana atau Vyasadeva,
atas nasehat Dewarishi Narada, yang sebelumnya telah menulis kitab Bhagavata
Purana / Srimad Bhagavatam sebagai penjelasan/komentar Vedanta Sutra yang telah
ditulisnya.
Menurut filsafat mayavada, Brahman
adalah Tuhan tanpa wujud (nirakara), tanpa sifat apapun (nirguna)
dan tanpa ciri apapun (nirvisesa). Sebab, kata Sankara, jika Tuhan
berwujud,maka Ia tidak mungkin menjadi sumber segala sesuatu. Bila sesuatu itu
telah menjadi banyak beraneka-ragam, wujudnya itu akan berubah dan tidak ada
lagi. Contoh, sebatang kayu tidak akan ada lagi karena telah berubah menjadi
rak, meja dan kursi. Berdasarkan logika dan argumen materialistik ini Sankara
berani menyatakan bahwa Rishi Vyasa telah secara keliru menjelaskan tentang
Tuhan seraya berkesimpulan bahwa Brahman impersonal (tanpa wujud, sifat
dan ciri) inilah yang satyam, benar, nyata, dan sejati sebagai sumber
segala sesuatu.
Menurut Sankara, jagat (alam dunia) yang terwujud ini adalah
sesungguhnya mithya, tidak nyata, tidak sejati alias palsu, sebab ia
adalah produk maya, ilusi/khayalan. Menganggap dunia sebagai nyata atau
sejati adalah sama saja dengan menganggap seutas tali sebagai
seekor ular. Atau menganggap kulit kerang yang berkilauan (diterpa cahaya
matahari) sebagai sekeping perak.
Menurut filsafat mayavada, sang jiva
(makhluk hidup) adalah sama dan identik dengan Brahman (Tuhan).
Fakta ini sesuai dengan pernyataan sloka-sloka Veda sebagai
berikut. “Aham brahmasmi”, Aku adalah Brahman (Brhad Aranyaka
Upanisad 1.4.10). “Ayam atma Brahman”, sang Atma adalah Brahman
itu juga (Mandukya Upanisad sloka 2). “So’ ham asmi”, diriku
adalah Ia (Brahman) itu (Isa Upanisad sloka 16). Berdasarkan
sloka-sloka tersebut,”Atman braman aikyam”, atman adalah sama dengan Brahman.
Atau sang makhluk hidup (jiva) adalah sama dengan Tuhan (Brahman).
Oleh karena menganggap sang makhluk hidup (jiva) yang
kecil, remeh dan tidak berdaya sama dengan Tuhan (Brahman) yang maha
kuasa, maka filsafat mayavada ini disebut Advaita-Vada,
filsafat non dualistik, yakni filsafat yang tidak mengakui adanya
perbedaan antara jiva (makhluk hidup) dengan Tuhan (Brahman).
Namun walaupun filsafat mayavada yang diajarkan
Sankaracharya ini kelihatan berbeda dari Vedanta, kita hendaknya menyadari
maksud dibalik semua itu, serta mengerti situasi yang melatar belakangi
diturunkannya ajaran dimaksud. Sebab walaupun terkesan memiliki konsep yang
bertolak belakang, Sri Sankaracharya ketika akan mengakhiri lila-Nya menuliskan
satu syair terkenal dengan judul, Bhaja Govindam, yang walaupun masih
samar-samar tetapi jelas beliau mengisyaratkan tentang tujuan akhir mahluk
hidup untuk dapat mencapai kaki padma Sri Govinda. “Vaisnavanam yatha sambhuh, diantara semua penyembah (bhakta)
Visnu, Sambhu (Siva) adalah yang paling utama” (Bhag. 12.1.36). Kepada
Sankarsana, Siva juga berdoa sebagai berikut; “Om namo bhagavate maha
puruñaya sarva guëa daukhauy anantasya vyaktaya nama iti …. O Tuhanku, saya
sujud kepada-Mu dalam perwujudan-Mu sebagai Sankarsana. Anda adalah sumber
segala kekuatan rohani. Meskipun Anda memiliki sifat-sifat tak terbatas, Anda
tetap tak dikenal oleh mereka yang bukan penyembah-Mu” (Bhag. 5.17.17). Dalam
doa-doa pujian yang diajarkan kepada para Praceta (Bhag.4.24.33- 69), Siva
menyatakan bahwa Visnu atau Hari adalah pujaannya. Siva antara lain berdoa,
“Tuhan maha pengasih, orang-orang bijaksana sadar bahwa jika mereka tidak
memuja diri-Mu, maka seluruh hidupnya akan sia-sia. Mereka tahu bahwa Anda
adalah parambrahman dan Paramatmä. “Meskipun seluruh jagat takut kepada diriku
Rudra yang memusnahkan segala sesuatu pada hari pralaya (kiamat), namun orang
bijaksana menjadikan Anda tujuan yang tidak pantas ditakuti”. Maka beranjak dari pemaparan ini masing-masing
kelompok spiritual hendaknya menyadari bahwa semua jalan yang diberikan pada
akhirnya akan menuju kepada satu sumber yang sama yakni Govinda Krishna.
Sehingga tidak menjadi masalah jika satu kelompok atau agama menganggap bahwa
Tuhan itu impersonal, toh pada intinya konsep itu adalah tahapan. Kita tidak
bisa memaksa dan mengharuskan semua orang agar langsung bisa menerima faham
bahwa Tuhan itu Personal. Selanjutnya sesuai dengan ayat diatas “Vaisnavanam yatha sambhuh,
diantara semua penyembah (bhakta) Visnu, Sambhu (Siva) adalah yang paling
utama” (Bhag. 12.1.36). jadi sungguh tidak masuk akal jika kelompok spiritual
yang telah melabel dirinya sebagai Vaishnava, memandang rendah kelompok
spiritual lain yang bernaung dibawah panji-panji identitas Shiva sebab Shiva
adalah Vaishnava teragung bahkan ‘mungkin’ lebih agung dari pecinta Krishna
yang diberikan gelar ‘Maharaj’ oleh para muridnya. Shiva adalah ibarat 2 sisi
mata uang. Ia memiliki berkah material dan juga spiritual. Tergantung kita mau
meminta yang mana. Pemuja Siva yang taat
akan diarahkan oleh Siva sendiri untuk memuja Sri Hari karena ekspansi Siva
yang berasal dari Govinda adalah perwujudan kepribadian yang bertindak sebagai
Bhakta Govinda yang paling agung dan memberikan contoh bagi jiva-jiva yang
sedang belajar menekuni bhakti. Namun begitu,
jikalaupun ada pemuja Shiva yang lebih mementingkan aspek material duniawinya
seperti pemujaan untuk mendapatkan kesidhian, kemakmuran, kemashyuran, dan lain
lain, tetap saja sebagai seorang yang melabel diri Vaishnava tidak mempunyai
hak untuk menyalahkan mereka. Sebagai saudara sepengembaraan di bhumi kita
hanya boleh memberikan saran untuk maju, tetapi bukan mengharuskan mereka untuk
mengikuti jalan kita, Karena itu sangat bergantung kepada akumulasi karma dan
juga Rahmat dari Tuhan.
Memuja Tuhan dalam kekosongan
Perdebatan mengenai apakah Tuhan memiliki wujud atau tidak
seakan menjadi sebuah hal yang tidak berkesudahan dimana masing-masing
penganutnya memiliki argument kuat yang sulit dibantah. Lalu bagaimanakah Tuhan
itu sebenarnya ? Personal apa impersonal ? Saguna atau Nirguna ?
Memuja Tuhan dalam aspek kekosongan atau yang tidak
digambarkan seperti paham yang dianut agama Islam, agama Buddha dan juga
penganut Shivaisme tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang salah, demikian
sebaliknya penganut kekosongan tidak bisa mengklaim bahwa pemakaian wujud dalam
pemujaan sebagai bentuk kemusrikan karena mempersamakan Tuhan dengan manusia.
Veda menjelaskan bahwa Tuhan memiliki tiga aspek utama, yaitu Paramatman (Yang
ada di mana-mana dan meresapi ciptaannya), Bhagavan (Tuhan yang berwujud
pribadi) dan Brahman (Tuhan yang tidak berwujud/Nirguna) sebagaimana disinggung
dalam Bhagavad Gita bab 12. Jadi dari segi penggambaran Tuhan, Hindu
juga memberikan solusi yang lengkap. Jika anda tertarik dengan aspek Tuhan yang
ada di mana-mana dan selalu menyertai diri anda dalam diri anda, maka anda
dapat memuja aspek Paramatman. Jika anda tertarik dengan Tuhan yang berwujud
pribadi, maka silahkan memuja Avatara-avatara Tuhan, namun jika anda lebih suka
kepada kekosongan dan aspek Tuhan yang tidak berwujud, silahkan memuja Tuhan
dalam Aspek Brahman. Tuhan adalah ibarat 2 sisi uang logam yang saling
melengkapi. Ibarat sinar matahari dengan planetnya. Jika tidak ada planet yang
mewujud maka tidak mungkin ada sinar, demikian halnya jika planet atau wujud
ada tetapi tidak ada sinar, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai matahari.
Jadi mari saling menghargai perbedaan yang ada untuk bisa dijadikan pelengkap,
sebab tatanan hidup memang harus terbentuk dari 2 hal yang berbeda (hidup-mati,
terang-gelap, personal-impersonal, dll)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar