Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Veda bukan wahyu Tuhan ? ( Dari seri
buku “Hindu di balik tuduhan dan prasangka”)
Umat hindu boleh saja meyakini bahwa kitab suci mereka yakni Veda bersifat kekal, tak berawal, dan juga tidak berakhir. Bahwa catur Veda adalah sabda atau wahyu langsung dari Tuhan sehingga disebut sebagai kitab Sruti. Tapi apakah dalam pandangan umat lain, klaim umat hindu itu bisa mereka terima? Mustahil dan jangan harap. Kenyataannya, keyakinan umat hindu yang demikian justru dijadikan senjata ampuh untuk melecehkan hindu. Mereka menyebut Veda sebagai kitab buatan manusia dan Hindu adalah agama budaya. Karena apa ? hanya karena umat hindu tidak bisa menyebutkan tanggal, bulan, dan tahun berapa tepatnya Veda diwahyukan. Bagi sebagian orang, khususnya penganut agama abrahamik yang masih sangat meyakini pentingnya sejarah itu, kebenaran agama seolah sangat tergantung pada kebenaran sejarah. Ironis memang, sebab faktanya pertikaian dan konflik antara agama-agama abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam ) sejak ratusan tahun yang lalu itu, terjadi justru karena mereka saling beda pendapat dalam memaknai sebuah peristiwa sejarah. Misalnya, tentang siapa yang mati di salib, Yesus ataukah Yudas? Siapa anak Nabi Ibrahim yang akan dikorbankan, Ismail atau ishaq? Umat islam meyakini bahwa ismail yang hendak dikorbankan sedangkan umat Kristen bersikeras bahwa Ishhaq yang akan dikorbankan. Peristiwa ini melatarbelakangi lahirnya hari raya kurban bagi umat islam tetapi seolah tidak menjadi hal penting bagi umat kristiani. Bayangkan bahwa agama yang berada dalam satu rumpun inipun masih tidak pernah bisa hidup rukun karena masing-masing selalu mengklaim diri sebagai yang paling baik, paling benar, dan paling sempurna sekarang malah sudah mengomentari keyakinan lain. Entah apa pentingnya bagi peningkatan iman spiritual mereka untuk mengetahui tanggal pasti pewahyuan Veda.
Bagi umat islam, patokan mereka
adalah pewahyuan Al-qur’an. Nuzulul qur’an yang disebut pula sebagai “Malam
Lailatur Qadar’ adalah peringatan peristiwa bersejarah, yaitu saat Nabi Muhamad
pertama kali menerima wahyu dari Allah melalui perantaraan Malaikat Jibril
(Jabir,1997). Tim penterjemah Al-qur’an (1984:59) menyebut bahwa pewahyuan
pertama itu terjadi pada tanggal 6 agustus 610 masehi, sedangkan sumber lain
(Jabir,1997:26) menyebut peristiwa itu terjadi pada tanggal 22 Desember 610
masehi ketika Nabi Muhamad berusia 40 tahun. Wahyu itu, menurut berbagai
referensi, diterima oleh Nabi Muhamad ketika beliau sedang melakukan
tahannut (bermeditasi) di goa Hira, dekat kota Mekkah. Ayat-ayat selanjutnya
yang termuat dalam Qur’an diwahyukan sampai akhir hidup Nabi Muhamad, yaitu
selama selang waktu 22 tahun, 2 bulan, 22 hari (Jabir,1997). Begitu pula bagi
umat Kristiani. Kelahiran Yesus menjadi patokan penting, sebagai tonggak
sejarah penginspirasi lahirnya agama Katholik di kemudian hari. Kelahiran dan
nama Yesus (Al Masih) menginspirasi terciptanya penanggalan / kalender masehi
yang disepakati sebagai kalender internasional.
Pandangan miring terhadap
kitab-kitab Weda dan ajaran-ajarannya, bukan lagi merupakan hal yang baru.
Seperti diketahui, bahwa perkenalan dengan orang barat, khususnya perkenalan
orang eropa dengan ajaran Weda, dimulai dengan datangnya mereka sebagai
penjajah colonial di India pada abad 17 dan seolah sudah menjadi karakter umum
bangsa penjajah bahwa mereka akan selalu menganggap dirinya superior dan lebih
unggul dalam segala hal dibandingkan masyarakat yang dijajahnya terlebih dalam
hal agama dan kebudayaan. Tak terkecuali colonial inggris yang berlatar
belakang Kristen Eropa pada masa itu. Sejak pertama kalinya mereka berkenalan
dengan kitab-kitab Weda, mereka telah secara terang-terangan dan arogan
menyebut Weda sebagai hasil karya manusia primitive india yang penuh ketahayulan.
Karena itu mereka merasa berkewajiban untuk “menyelamatkan” dan membebaskan
penduduk india (Hindu) dari belenggu mistis, keterbelakangan, dan ketahayulan
yang telah berlangsung lama selama ribuan tahun sebagai akibat menjalankan
ajara Weda. Upaya ‘Penyelamatan’ itu dilakukan secara sistematis dan dengan
strategi yang matang terutama dengan terlebih dahulu mempelajari Weda lalu
mencari dan menunjukkan keburukannya. Tentu saja apa yang mereka anggap ‘Buruk’
itu hanya dinilai berdasarkan standar pemahaman dan sudut pandang agama serta
kitab suci mereka.
Upaya penyelamatan demikian juga
tercermin dalam paparan Frank Gaetamo Morales (Mandrasuta,2006 ; 39-42) yang
menguraikan bagaimana dampak penjajahan inggris terhadap perkembangan hindu di
India.
Dalam catatannya, Morales menulis
“…Sebuah kejadian tragis di dalam sejarah agama Hindu yang amat panjang kita
saksikan terjadi selama abad 19. Agama Hindu klasik, tradisional yang telah
bertanggung jawab atas perkembangan berlanjut selama ribuan tahun dari budaya,
arsitektur, music, filosofi, ritual, dan teknologi canggih, berada di bawah
serangan mematikan selama abad 19 di bawah penjajahan inggris seperti belum
pernah ada presedennya dalam sejarah dunia. Selama waktu singkat dalam abad
itu, keindahan dan keagungan kuno dari agama hindu klasik yang telah berdiri
tegak menghadapi ujian selama ribuan tahun kini menerima serangan ideology
secara langusng. Apa yang membuat periode ini dalam sejarah hindu
khususnya paling tragis adalah bahwa alat atau apparatus utama yang
dipergunakan oleh inggris dalam upayanya menghancurkan agama hindu tradisional
adalah putra-putri hindu itu sendiri yang telah dididik secara inggris, dan
secara spiritual di kooptasi. Melihat agama hindu melalui mata para tuan
inggris mereka, satu gelombang wabah abad 19 para intelektual hindu yang
diingriskan (Anglicized Hindu Intelectuals) merasa sebagai kewajiban suci
mereka untuk membaratkan atau memodernkan agama hindu tradisional supaya lebih
cocok dengan para tuan eropa yang menguasai negeri itu.
Morales menyebutkan, salah satu
fenomena yang terjadi selama perioda sejarah ini adalah pabrikasi atau
penciptaan dari satu gerakan yang dikenal dengan ‘ Neo Hinduisme’ (Agama Hindu
baru). Yang digunakan sebagai senjata efektif untuk menggantikan keyakinan
masyarakat india tradisional.
Senada dengan itu, Satvarupa (1997)
menyatakan bahwa sebelumnya pada abad 18, para misionaris Kristen eropa sengaja
menjalankan sebuah strategi besar dalam upaya mereka mengalihkan penduduk India
ke agama Kristen. Gagasan mengenai ini dicetuskan oleh colonel Boden, yang
kemudian pada tanggal 15 Agustus 1811 menghibahkan dana dalam jumlah sangat
besar kepada Universitas Oxford, di Inggris guna membentuk fakultas baru yang
khusus mempelajari hindu dan kebudayaan india. Monier William, yang
menjabat sebagai salah satu dekan pada fakultas oriental studies itu
menjelaskan misi dari pemberian dana dimaksud.
The special object of his (Boden’s)
munificent bequest was to promote the translation of the scriptures into
English…to enabale his countrymen to proceed in the conversion of the natives
of India to Christian Relegion. (terjemahannya : Tujuan khusus pemberian dana
hibah dalam jumlah besar olehnya (Kolonel Boden) adalah untuk meningkatkan
upaya penterjemahan kitab-kitab Weda ke dalam bahasa inggris…guna memungkinkan
warga Negara inggris dalam mempercepat pengalihan agama penduduk india asli ke
agama Kristen.
Sekali lagi perlu dicatat bahwa
tujuan penterjemahan kitab-kitab Weda ke dalam bahasa inggris pada masa itu
bukanlah agar Weda bisa dikenal dan dipelajari lebih luas oleh penduduk dunia
tapi justru sebaliknya. Para sarjana misionaris itu menterjemahkan,
mengomentari, serta mengulas ayat-ayat Weda berdasarkan sudut pandang dan
pemahaman mereka demi keuntungan agama Kristen .
Subramuniyasvami (1997:608) juga
menyebutkan ‘ketidak tulusan’ niat para misionaris inggris tersebut.
Menurutnya, cemoohan dan pelecehan sebagai tujuan dari penterjemahan
kitab-kitab Weda itu tergambar jelas dalam surat Max Muller, salah seorang ahli
sansekerta berkebangsaan jerman yang bekerja pada pemerintah colonial inggris
di india. Kepada istrinya di jerman pada tahun 1886, Ia menulis…..
“ I hope I shall finish the work,
and I feel convinced, though I shall not live to see it, yet the edition of
mine and the translation of the Weda will hereafter tell to great extent on the
fate of India and on growth of millions of souls in the country. It is the root
of their religion, and to show how them what the root is, I feel sure, is
the only way of uprooting all that has sprung from it during the last three
thousand years “
(Terjemahannya : Aku berharap dapat
menyelesaikan pekerjaan ini, dan aku yakin meskipun mungkin aku tidak sempat
menyaksikan dalam hidupku edisi terjemahanku dan terjemahan Veda lainnya akan
sangat menentukan nasib india kelak, dan perkembangan jutaan roh yang lahir di
negeri ini. (Kitab-kitab ini) adalah akar dari agama mereka dan aku yakin bahwa
satu-satunya cara untuk mencabut semua yang berkembang darinya sejak tiga ribu
tahun terakhir ini adalah dengan menunjukkan kepada mereka apa sebenarnya
(kelemahan-kelemahan) akar itu.
Kitab-kitab Weda berbahasa inggris
hasil terjemahan Max Muller beserta teman-teman misionarisnya, yang penuh bias
dan sentiment keagamaan itu hingga kini masih sangat banyak menghiasi rak-rak
perpustakaan penting dunia, dan dianggap sebagai buku pegangan standar dalam
mempelajari Weda, atau hindu serta kebudayaannya. Karena itu tidaklah
mengherankan jika siapapun yang saat ini membaca kitab-kitab itu, pasti segera
memiliki kesan negative terhadap ajaran hindu.
Memang terkesan agak aneh
ketiadaannya catatan tentang pewahyuan Weda ini. Ditemukannya kitab Rg Weda
sebagai kitab tertua di dunia, membuktikan bahwa masyarakat india kuno telah
mengenal budaya tulis menulis. Tapi anehnya mengapa tidak ada naskah atau
buku-buku yang mencatat sejarah India di masa itu? Misalnya di Yunani ada tokoh
bernama Herodotus yang mencatat peristiwa-peristiwa sejarah penting Yunani
purba. Begitu pula di Romawi kuno ada pencatat sejarah bernama Livy, tapi di
India kuno, tidak kita temukan ahli sejarah yang merekam dan mencatat
peristiwa-peristiwa penting di masa itu, berdasarkan urutan atau kronologi
kejadiannya. Apakah karena masyarakat India pada masa itu saking primitivenya
sehingga tidak mampu melakukan pencatatan ? tentu saja tidak, karena buktinya
mereka telah menulis Rg Veda. Menurut sejarahawan India, hal ini disebabkan
karena mereka telah menerima dan merasa cukup dengan versi sejarah yang ada
dalam sastra (kitab-kitab Weda). Kebudayaan masyarakat pada waktu itu kurang
mengganggap penting tradisi mengabadikan atau mencatat sejarah duniawi. (mereka
puas dengan menekuni ajaran agama yang telah diwariskan secara turun temurun,
dan mereka tidak pernah terbersit keinginan untuk mengoreksi keyakinan lain
dengan cara begitu-keterangan penulis).
Pengelompokan agama
menjadi agama langit dan agama bumi, tentu didasari pada asumsi tertentu yang
sesungguhnya tidak menjadi masalah selama asumsi itu tidak melecehkan apalagi
samapi merugikan agama lainnya. Persoalannya, yang mereka sebut agama langit
adalah agama yang bersumber dari wahyu Tuhan. Sedangkan agama bumi adalah hasil
pemikiran manusia tanpa ada campur tangan Tuhan sehingga konsekwensinya adalah
agama bumi tidak mendapat tempat dan dikatakan tidak diakui oleh Tuhan.
Karenanya menurut cara berfikir seperti ini, sia-sialah pemujaan atau praktek
keagamaan apapun yang dilakukan oleh penganut agama bumi. Sebelum membahas
lebih lanjut mengenai klaim yang memposisikan agama hindu sebagai agama bumi,
ada baiknya kita melihat apa pengertian wahyu itu sendiri. Menurut Lorens Bagus
(2005) dalam bukunya kamus filsafat, kata wahyu dalam bahasa Indonesia identi
dengan kata ‘reveal’ dalam bahasa inggris yang berarti :
1.
Reveal means : To make known (something hidden or kept
secret), disclose, divulge ( wahyu = menyingkap sesuatu yang
tersembunyi atau rahasia, mengungkapkan, membuka, atau memberitahukan)
2.
Reveal means : to expose, to view, to show, exhibit, display
( Wahyu = menunjukkan, melihat, menampakkan, menampilkan)
Sedangkan reveal religion (Agama
wahyu) seringkali didefinisikan sebagai “ Agama apapun pada umumnya, atau agama
tertentu yang dipandang sebagai agama yang didirikan, dikabarkan, dan
dikembangkan oleh campur tangan dan komunikasi dari Tuhan”
Sementara itu dalam kamus besar
bahasa Indonesia,(edisi 3, 2005 ;1265) kata ‘Wahyu’ diartikan sebagai petunjuk
dari Allah yang diturunkan hanya kepada para Nabi dan Rasul melalui mimpi, dan
sebagainya. Dan kata Nabi menurut pengertian kamus ini adalah orang yang
menjadi pilihan Allah untuk menerima wahyu-Nya.
Para sarjana Yahudi,
Kristen, dan Islam pada dasarnya setuju dengan pengelompokkan agama mereka
sebagai agama langit lalu agama-agama lain yang lahir sebelum dan sesudah
mereka disebut agama bumi. Dan menurut difinisi ini, agama langit akhirnya di
klaim sebagai agama yang lebih tinggi mutunya dibandingkan dengan agama bumi,
bahwa hanya agama langit yang memiliki kebenaran, bahwa jalan keselamatan hanya
ada pada agama mereka. Sedangkan agama bumi dituduh sebagai palsu dan
sesat.
Umat islam khususnya seolah mendapat
jaminan dari Al-qur’an bahwa Islam adalah agama wahyu terakhir yang merupakan
penyempurna agama dan kitab-kitab sebelumnya yang serumpun yaitu kitab Taurat
(Perjanjian lama) dan kitab Injil (Perjanjian baru) dan sudah barang tentu juga
dimaksudkan kepada kitab suci Veda. Pemikiran seperti itu dapat kit abaca pada
pengantar Al-Qur’an terbitan Depag tahun 1984. Halaman 38-39 dalam bagian yang
membahas “Perlunya Al-Qur’an diturunkan”
Sebagaimana telah dipaparkan
sebelumnya bahwa sulit sekali menemukan bukti empiris yang bisa membantu para
ahli sejarah dalam menentukan kapan secara pasti Veda diturunkan. Mengingat
dari beberapa sejarahawan yang mencoba melakukan hal tersebut mengalami banyak
perbedaan tentang angka yang pasti dan selalu berubah setiap kali ada penemuan
baru sehingga penelitian itu tidak bisa memberikan hasil yang memuaskan. Bahkan
seorang ahli bahasa sansekerta dari amerika mengatakan “ all dates given in
Indian literary history are pins set up to be bowled down again” yang
terjemahannya adalah : bahwa penanggalan apapun yang coba diberikan pada
sejarah kitab-kitab India adalah ibarat tancapan paku-paku pin yang setiap saat
harus siap dicabuti ulang “
Pada umumnya banyak pihak yang
mengakui bahwa pada masa lampau Weda lebih banyak diajarkan melalui tradisi
lisan atau oral. Karena memang daya ingat manusia jaman itu jauh lebih baik dan
tajam daripada ingatan manusia sekarang. Senada dengan ini, Dr.S.Radhakrishnan
juga mengakui bahwa para pemikir besar India tidak pernah melakukan pencatatan
atau mendokumentasikan sejarah perkembangan filsafat India karena para Acarya
Weda itu sendiri berpendapat bahwa penelitian lebih jauh mengenai asal-usul
kitab Weda tidak diperlukan lagi karena dalam kitab-kitab itu sendiri telah
terdapat keterangan mengenai asal-usul ajaran Weda. Satsvarupa (1997)
menyatakan bahwa para acarya meyakini asal-usul Weda adalah sebagai berikut :
Pertama, melalui tradisi lisan yang
bermula bersamaan dengan penciptaan alam semesta pada saat Tuhan menyabdakan
pengetahuan Weda kepada dewa Brahma (Mahluk hidup yang pertama ;red– bukan
manusia pertama!)
Kedua, melalui Rsi Vyasa atau Vyasa
dewa, penjelmaan Tuhan yang telah menuliskan kitab-kitab Weda pada awal jaman
Kali sekitar 5110 tahun yang lalu.
Secara umum, literature-literatur
hindu menempakan Vyasadewa atau Krishna Dwipayana Vyasa sebagai pengkodifikasi
Kitab-kitab Veda. Beliau memang bukan penerima langsung wahyu tersebut namun
hanya menulis atau mencatatnya demi keperluan masyarakat manusia di jaman Kali
yang menurut penglihatan beliau sudah akan sangat kehilangan kecerdasan dan
daya ingat. Hal ini dapat kita lihat pada Bhagavata Purana :
Ta eva veda durmedhair
// dharyante purusair yatha
Evam cakara bhagavan //
vyasah krpana-vatsalah
(Demikianlah Rsi Vyasadewa yang
mulia, yang sangat murah hati kepada rakyat awam, menyunting kita-kitab Veda
agar dapat diresapi oleh orang yang kurang cerdas.
Karma-sreyasi mudhanam //
sreya evam bhaved iha
Iti bharatam akhyanam //
krpaya munina krtam
(Atas kemurahan hatinya, Rsi yang
mulia itu menganggap bijaksana bahwa ini akan memungkinkan manusia mencapai
tujuan hidup tertinggi. Demikianlah beliau juga menyusun cerita sejarah besar
berjudul Mahabharata untuk para wanita, buruh, dan kawan-kawan orang yang sudah
dilahirkan dua kali / dwijati)
Dari sini akan semakin jelas bahwa
disamping mencatat kembali semua wahyu Tuhan yang dulunya hanya diajarkan
secara lisan menjadi sebuah kitab, Vyasadewa juga telah menulis kitab besar
Mahabharata yang didalamnya berisi kitab Bhagavad Gita. Kitab ini (Bhagavan
Gita) adalah kitab suci yang diakui dan diterima keagungan dan kebenarannya
secara universal oleh semua sekte hindu di dunia. Bahkan Bhagavad Gita disebut
dengan nama Pancama Veda atau Weda kelima. Meskipun Bhagavad Gita adalah bagian
dari kitab Mahabharta, yang dianggap sebagai kitab Smrti (sesuatu yang diingat),
tetapi Bhagavad Gita adalah juga merupakan Gita-Upanisad yang mana dalam
strutur atau sistematika kitab suci ditempatkan sebagai Veda Sruti (yang
didengar/ diterima langsung) sebagaimana Arjuna menerima pelajaran ini dari
Tuhan Sri Krishna sebelum dimulainya perang besar wangsa Kuru.
Mengenai kedudukan Bhagavad Gita
sebagai kitab terpenting bagi seluruh umat hindu, tergambar dalam pernyataan
Visvanathan (Sanjaya dan Maswinara, 2001 :98) sebagai berikut :
“ Aku rasa Bhagavad Gita adalah
kitab yang paling penting dalam Hindu, karena berbagai subyek yang dibahasnya
hanya dalam 700 sloka. Kitab ini menganjurkan perbuatan tanpa pamrih dan juga
penghancuran ego serta keinginan. Ia juga mengajarkan berbagai cara untuk
mengendalikan pikiran dan indera-indera. Semua ajaran Yesus tentang pengabdian
dan kesatuan dengan Tuhan pada bab 11, 12,13,14, dan 18 dengan kalimat seperti
“Masuklah kedalam-Ku, capailah Aku, patuhilah Aku, Sadari Aku, dan lain
sebagainya. Keindahan Bhagavad Gita sedemikian rupa sehigga penjelasannya
membutuhkan seseorang yang telah memiliki perubahan kesadaran yang sempurna dan
bukan hanya sekedar penampilan spiritualitas untuk dapat memahaminya……
Bhagavad Gita sebagaimana dikenal di
dunia barat sebagai Song of God atau Nyanyian Tuhan merupakan ajaran dari Tuhan
Sri Krishna yang telah mewujudkan dirinya ke dunia guna mengajarkan kembali
ajaran kehidupan yang sama seperti ketika diwahyukannya saat permulaan jaman
kepada dewa matahari.dan yang sekarang diajarkan kepada seluruh umat manusia
melalui Arjuna.
Dalam ayat-ayat kitab suci Bhagavad
Gita bisa kita temukan bahwa Arjuna mengalami peristiwa-peristiwa ajaib seperti
yang dialami oleh Nabi Musa, Nabi Isa (Yesus) ataupun Nabi Muhamad saat
menerima wahyu Tuhan pada jamannya masing-masing. Pada waktu itu di medan
perang Kuruksetra, Tuhan Sri Krishna memperlihatkan kepada Arjuna “banyak
sekali keajaiban yang belum pernah dilihat atau didengar oleh siapapun
sebelumnya” (Bhagavad Gita. 11.6) dan “ apapun yang ingin dilihat, baik yang
bergerak maupun yang tidak bergerak, apapun juga yang ingin dilihat baik saat
sekarang, masa lalu, maupun masa yang akan datang, berada secara lengkap di
dalam penampakan badan Tuhan (Bhagavad .Gita : 11.7). namun Sri Krishna juga
menyadari bahwa sebagai manusia biasa, Arjuna pasti tidak akan mampu melihat
semua kejadian itu, karenanya dalam ayat kedelapan dari sloka 11 itu Sri
Krishna bersabda : “ Tetapi engkau tidak dapat melihat-Ku dengan mata yang
engkau miliki sekarang. Karena itu, Aku akan memberikan mata rohani kepadamu.
Lihatlah kehebatan rohani-Ku” selanjutnya dengan penglihatan rohani yang
diberikan tiu, Arjuna dapat melihat seluruh alam semesta dengan berbagai
baiannya berada dalam perwujudan Tuhan Sri Krishna (Bhagavad Gita 11.34)
Masih tetap meragukan bahwa Weda adalah juga wahyu Tuhan ? masih meragukan
kwalifikasi Arjuna sebagai orang yang pantas menjadi penerima wahyu Tuhan ?
kalau hal itu masih dipertanyakan, maka kita bisa merujuk pada penjelasan dalam
Al-qur’an (Tim penerjemah-1984:41) yang menyatakan bahwa agama bukanlah hasil
pemikiran umat manusia, seperti pernyataan ini “ Persoalan apakah agama
itu merupakan produk daripada manusia ? maka jawabannya sudah barang
tentu bahwa ia bukan hasil pemikiran manusia; dan sebabnya adalah banyak. Agama-agama
yang merata di dunia ini mempunyai ciri-ciri yang khas seperti :
Pertama, menurut ukuran yang biasa,
maka para pembawa agama adalah orang-orang biasa. Mereka tidak mempunyai
kekuatan dan kekuasaan yang lebih tinggi. Namun sungguhpun demikian, mereka
berani memberikan ajaran kepada orang-orang besar maupun orang-orang kecil. Dan
dalam waktu tertentu mereka dengan pengikut-pengikutnya meningkat daripada
kedudukan yang rendah sampai kedudukan yang tinggi. Ini membuktikan bahwa
mereka itu dibantu oleh kekuasaan yang lebih Agung (Tuhan)
Kedua, semua pembawa agama itu,
adalah orang-orang yang sejak sebelum jadi Nabi telah dihargai dan dinilai
tinggi oleh masyarakatnya karena ketinggian budi pekertinya, sekalipun oleh
orang-orang yang kemudian hari menjadi musuhnya. Setelah mereka itu menyatakan
tentang kenabiannya. Oleh karena itu, tidak masuk akal sama sekali bahwa mereka
yang tidak pernah berdusta kepada manusia dengan serta merta berdusta terhadap
Tuhannya. Pengakuan universal tentang kesucian dari kehidupannya, sebelum
mereka menyiarkan agama yang mereka bawa, adalah suatu bukti tentang kebenaran
pengakuan mereka.
Al-qur’an telah menekankan hal ini
dengan menyatakan : Katakanlah “Jikalau Allah menghendaki, niscaya aku tidak
akan membacakannya kepadamu dan tidak (pula) Allah memberitahukannya kepadamu.
Sesungguhnya aku telah tinggal bersamamu beberapa hari sebelumnya. Apakah kamu
tidak memikirkannya ? (surat (10) Yunus ayat 16).
Bahwa kitab suci agama bukanlah
merupakan hasil pemikiran manusia sudah sangat jelas tergambar dalam keyakinan
hindu bahwasannya Weda bersifat Apauruseya yang berarti bukan karya manusia.
Yang mana pernyataan ini diperkuat lagi dalam ayat Bhagavata Purana 6.3.19
sebagai berikut ;
Dharmam tu saksad
bhagavat-pranitam
na vai vidur rsyao napi devah
Na siddha-mukhya asura
manusyah
kuto nu vidyadhara-caranadayah
(Prinsip-prinsip dharma (Agama) yang
sejati diciptakan oleh kepribadian Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun berada
sepenuhnya dalam sifat kebaikan, bahkan seorang rsi agung yang mendiami
planet-planet tertinggi sekalipun tidak dapat menetapkan prinsip-prinsip dharma
yang sejati, tidak pula para dewa atau para pemimpin siddhaloka, apalagi para
asura, manusia biasa, para Vidyadhara maupun para carana.” Lantas mengenai
kwalifikasi manusia yang dipilih sebagai penerima wahyu, maka para rsi maupun
Arjuna sendiri sangat memenuhi criteria untuk hal ini. Simaklah Bhagavad Gita
Bab I sloka 26-38 dan juga Bab II sloka 5 dengan jelas menerangkan tingginya
budi pekerti, kemuliaan, kemurahan hati, dan kesetiaan Arjuna pada
prinsip-prinsip moral, serta kerelaannya untuk selalu berkorban demi
kebahagiaan mahluk lain, sehingga akhirnya ia terpilih menjadi penerima wahyu
Tuhan yang kemudian dikenal sebagai Kitab Bhagavad Gita. Jadi rasanya aneh dan
terkesan mencari-cari kesalahan dan kelemahan orang lain saja, penilaian yang
lebih dilandasi oleh rasa arogansi, superioritas serta fanatisme sempit
kalau para penganut agama Abrahamik itu masih menganggap bahwa Weda bukanlah
agama wahyu Tuhan padahal dari semua keterangan itu sudah jelas bahwa kitab
Weda diajarkan langsung oleh Tuhan ataupun penjelmaan beliau sebagai Avatara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar