Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Istilah jalan keselamatan ataupun Juru selamat dalam
hubungannya dengan agama maupun berbagai kelompok spiritual yang ada, bukanlah
merupakan hal baru sebab hal ini sudah
seringkali di perkenalkan khususnya oleh para misionaris agama ataupun penekun
spiritual yang hanya meng-Copas (Copy Paste) sebuah ajaran tanpa memproses
kesesuaiannya melalui Viveka yang diberikan Tuhan. Sehingga seringkali
kebenaran dipaksakan untuk situasi, tempat, maupun kepada orang yang tidak
tepat. sehingga perdebatan dan pertentanganpun akhirnya muncul sebagai akibat
dari kesalahan menempatkan kebenaran di tempat yang tepat. Sebagai misal,
seorang misionaris kriten militan akan bersikukuh dengan penuh keyakinan
bahwasannya hanya ada satu juru selamat yang telah dikirim ke bhumi untuk
menyelamatkan manusia dari kubangan dosa, yakni Yesus Kristus.“Tidak ada satu agama manapun di dunia
ini yang sebaik dan semudah Kristen, hanya di Kristenlah kita dapat menemukan
kenyataan bahwasanya hanya dengan percaya pada Yesus dan menyerahkan diri
kepadanya, maka segera dosa-dosa kita akan di hapuskan. Yesus datang ke dunia
ini untuk menghapuskan dosa-dosa manusia yang percaya kepadanya. Tidak terdapat
satu manusiapun di dunia ini yang luput dari dosa, karena untuk dapat terbebas serta
murni dari dosa sangatlah sulit, sehingga satu-satunya jalan yang mudah dan
pasti untuk mencapai kerajaan Tuhan hanyalah dengan percaya pada Yesus Kristus.”
Tentu saja pernyataan ini benar jika kita mengimani diri sebagai seorang
Kristen, tetapi akan menjadi sesuatu yang tidak benar jika statement yang sama
kemudian kita berikan kepada orang lain di luar keyakinan Kristen sebab diluar Kristen, seperti Islam, juga
memiliki hal yang sama dengan kemasan berbeda. “Dalam ajaran Islam, iman
mendasar yang harus dimiliki adalah yakin dan percaya bahwa hanya ada satu
Tuhan, yaitu Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah. Disamping itu umat muslim
juga harus percaya pada adanya kiamat, penghakiman akhir, padang masyar, dan syurga
(sorga), keyakinan bahwa Islam adalah agama terakhir yang menyempurnakan
agama-agama sebelumnya dan hanya Islam-lah satu-satunya jalan mencapai Tuhan,
Allah.” Maka demikian pulalah bagi para penganut Sanathana Dharma-Hindu, yang juga
memiliki keyakinan bahwa mereka mempunyai Juru selamat yang dikenal dengan nama
Sri Krishna. Satu-satunya kepribadian Tuhan yang tertinggi (Ishvara Parama
Krishna) sebagaimana tersirat dalam bait mantram Narayana Upanisad ‘Eko
Narayana Na Dwityo ‘sti kascit’ – Hanya ada satu Tuhan, Ia yang disebut
Narayana / Krishna. Sama sekali tiada duanya. Pengertian ini hampir bisa
disamakan dengan bait ‘La ilahailallah’ – Tiada Tuhan selain Allah. Petunjuk
tentang jalan keselamatan ini dalam faham Sanatana Dharma dapat kita lihat
dalam Bhagavad Gita Bab 4.36-37; dimana Sri Krishna bersabda “api ced asi päpebhyaù sarvebhyaù
päpa-kåt-tamaù sarvaà jïäna-plavenaiva våjinaà santariñyasi yathaidhäàsi
samiddho ‘gnir bhasma-sät kurute ‘rjuna jïänägniù sarva-karmäëi bhasma-sät
kurute tathä, Walaupun engkau dianggap sebagai orang yang paling berdosa
diantara semua orang yang berdosa, namun apabila engkau berada didalam kapal
pengetahuan rohani, engkau akan dapat menyeberangi lautan kesengsaraan. Seperti
halnya api yang berkobar mengubah kayu bakar menjadi abu, begitu pula api
pengetahuan membakar segala reaksi dari kegiatan material sehingga menjadi abu,
wahai Arjuna”. jadi dalam sloka ini, setidaknya kita dapat menarik kesimpulan
bahwasanya dosa dalam konsep Veda juga dapat dihapuskan. Kegiatan material dan
kegiatan berdosa ini dapat segera hilang dan diampuni oleh Tuhan Yang Maha Esa
setelah kita insaf dalam pengetahuan rohani dan menyerahkan diri kepada Beliau.
Dengan demikian sangat jelas bahwa dimasing-masing agama
ataupun kelompok Spiritual, Tuhan, Rsi, atau Nabi yang merupakan utusan beliau
telah memberikan petunjuk tentang jalan keselamatan dan juru selamat bagi
pengikutnya masing-masing yang pada dasarnya akan menuju pada satu sumber yang
sama walaupun terlabel dan terkemas dengan cara yang berlainan. Jalan
keselamatan ataupun juru selamat tidak hanya dimiliki oleh satu agama atau satu
kelompok spiritual saja.
Benarkah hanya
dengan memakai tanda-tanda Vaisnava atau Diksa, bhakti seseorang baru akan bisa
diterima oleh Tuhan ?
Sebuah pernyataan yang sangat menggelitik adalah ketika mendengar
bahwasannya hanya setelah melalui proses Diksa, pengangkatan seorang guru atau
pemakaian tanda-tanda Vaisnava seperti tilaka, sikha, tulasi, dan japa sajalah
bhakti seseorang baru bisa diterima, membuat saya merasa kecewa sekaligus
bersedih karena Tuhan Sri Krishna yang merupakan orang tua bagi semua mahluk
hidup sebagaimana yang Beliau nyatakan dalam Bhag.Gt :9.17 Pitaham asya jagato
// Matadatta pitamaha… – Aku adalah ayah, ibu, dan kakek…..akhirnya dibatasi
hubungannya dengan beberapa anak-Nya hanya karena tidak memakai atribut yang
sama dengan saudaranya yang lain. Apakah Tuhan sebegitu sempitnya menilai
bhakti seseorang? Dan apakah kwalitas bhakti bisa dinilai dari faktor
lahiriahnya saja. China Katta ini mungkin bisa memberikan sedikit gambaran agar
kita tidak Aparad membatasi kemahakuasaan Tuhan yang tiada batas hanya dengan menggunakan
alat indera material yang serba terbatas sebagai alat ukur.
Bhakti Sabari (Dari buku Chinna Katta jilid I)
Sabari adalah seorang wanita yang tinggal di pertapaan Rsi
Matangga, yang karena kwalitas hatinya yang murni membuat Sri Rama menerima
persembahan buah darinya setelah terlebih dahulu dicicipinya. Walaupun secara
mata jasmani, hal ini kelihatan sangat tidak sopan dan tidak wajar.
Sabari adalah seseorang yang berhati lembut dan penuh belas
kasihan. Pada saat ia sudah beranjak dewasa, perkawinannya diatur oleh orang
tuanya sedemikian rupa. Sebagai adat kebiasaan adiwasis, maka dalam ritual
perkawinan itu akan dipersembahkan seekor domba kepada perwujudan Dewi yang
dipuja di didesa itu sehari sebelum upacara pernikahan berlangsung agar
pasangan itu mendapatkan restu. Ketika Sabari mengetahui tentang rencana
penyembelihan hewan yang akan dijadikan kurban itu, ia menangis, disembahnya
orang tuanya sambil memohon agar kambing itu diselamatkan. Ia berkata
“Bagaimana mungkin perkawinan kami akan bahagia jika diawali dengan jeritan
kematian kambing yang tak memiliki salah apapun kepada kami ini?” tetapi
argument itu tidak dihiraukan para tetua lalu meneruskan ritual yang kejam itu.
Sabari akhirnya melarikan diri dan lari kehutan. Menjauhkan diri dari kumpulan
para dogmatis ritual itu. Ketika fajar menyingsing, orang tuanya dan mempelai
laki-laki tenggelam dalam kesedihan dan kekhawatiran karena kehilangan mempelai
perempuan. Mereka memeriksa seluruh daerah itu, sementara itu, tanpa diketahui Sabari
berbaring di antara semak-semak yang lebat untuk menyembunyikan dirinya. Karena
lelah mencari dan tidak menemukan Sabari, akhirnya para penduduk desa pulang
sambil berkata “Ia tidak mungkin pergi ke pertapaan, karena wanita tidak akan
diijinkan tinggal disana”. Sabari mendengar kata-kata ini dan mendapatkan ide
serta kesimpulan bahwa pertapaan akan menjadi tempat bersembunyinya yang aman.
Ia yakin bahwa beberapa pertapa pasti akan mau berbelas kasihan kepadanya.
Demikianlah akhirnya ia sampai di pertapaan Rsi Matangga dan setelah
mengutarakan kisahnya, akhirnya ia diijinkan tinggal di pertapaan. Disana
Sabari mendapat informasi bahwa Tuhan dalam wujud Sri Rama suatu hari akan
datang ke tempat itu karena beliau telah diasingkan selama 14 tahun dan beliau
berhasrat untuk menolong para Rsi dari gangguan para raksasa yang selalu
mengacaukan kegiatan bhakti mereka. Disebutkan bahwa Rama tengah mengembara dari
satu tempat ke tempat lainnya bersama istri-Nya; Dewi Sita dan juga
saudara-Nya, Laksmana.
Sejak hari itu yang ada dalam pikiran Sabari adalah
kerinduan yang teramat untuk bisa memperoleh dharsan Tuhan, kesempatan
menyentuh kaki-Nya ataupun berbicara dan mempersembahkan sesuatu kepada Sri
Rama. Hatinya penuh dengan Ramarasa, manisnya prinsip Rama. Ia tidak melakukan
japam, dhyanam, ataupun latihan spiritual. Waktunya dihabiskan untuk
mempersiapkan kunjungan Rama ke tempat itu. Sambil membersihkan jalan, ia juga
membersihkan hatinya dengan mengingat dan menyanyikan nama Rama. Ia berjalan
melewati semak semak dan menyingkirkan tanaman merambat dan mawar hutan yang
bergelantungan, karena ia bayangkan Rama tidak sempat menyisir rambut-Nya
sehingga menjadi kusut dan bisa tersangkut oleh tanaman menjalar. Gumpalan
tanah diratakannya dan semua duri ataupun kerikil dijauhkannya karena ia takut
kaki Sita yang lembut akan sakit jika menginjaknya. Ia selalu mengumpulkan buah
dan umbi-umbian yang ada di hutan lalu menyiapkannya karena tidak seorangpun
tahu kapan Rama akan datang. Ia tidak mau mengambil resiko tidak siap jika
mereka tiba-tiba datang. Dilicinkannya semua permukaan batu yang terletak di
tepi jalan di dalam hutan karena ia mengharap Rama, Sita, ataupun Laksmana akan
duduk disitu jika mereka kelelahan berjalan. Dengan demikian segala perbuatan
yang dilakukan Sabari hanyalah agar bisa menyenangkan Tuhan. Ia telah membuat
hatinya menjadi tempat yang layak bagi kemuliaan Tuhan ‘Rama Hrdaya’.
Hari demi hari berlalu, namun Rama, Sita, dan Laksmana belum
juga datang. Tetapi Sabari tidak pernah mengeluh ataupun menyerah. Sehingga
Tuhan yang maha tau menjawab bhakti itu dengan kunjungan mereka ke pertapaan
Rsi Matangga. Sinar kedewataan yang memancar dari wajah Sri Rama begitu
menenggelamkan hati Sabari, air mata kerinduannya tumpah tanpa bisa dibendung,
lalu ia menjatuhkan diri di kaki padma Sri Rama. Setelah puas melakukan
dandavat, Sabari menjamu mereka dengan hidangan buah dan umbi-umbian yang telah
dipersiapkannya. Namun sebelum ia memberikannya kepada Rama, setiap buah dan
umbi itu dicicipinya terlebih dahulu untuk memastikan bahwa semua yang
dipersembahkan kepada mereka hanyalah yang manis-manis saja. Beberapa orang
yang melihat kejadian ini menganggap Sabari sudah tidak waras karena tidak
mengindahkan sopan santun. Tapi tidaklah demikian apa yang menjadi penilaian
Tuhan. Tidak semata-mata bhakti yang diperlukan tetapi niat dan motiv dalam
pelaksanaan bhakti itulah yang menjadi acuan. Sri Rama tersenyum dan dengan
senang hati menerima persembahan dari seorang bhakta yang diliputi dengan cinta
kasih. Sabari mendapatkan Dharsan (melihat kemuliaan dan penampakan Tuhan),
Sparsan (bersentuhan dengan Tuhan) dan Sambhasan (bercakap-cakap dengan Tuhan)
karena kemurnian hatinya.
Bhakti para bocah penggembala sapi (Dari Buku Pancaran
Bhagavatam jilid II)
Sebagaimana biasa, Krishna selalu
mengajak teman-teman-Nya untuk menggembalakan ternak sapi di padang rumput
dekat hutan di Vrndavan sambil bermain bersama para bocah angon lainnya. Saat
siang hari, ketika sudah tiba waktunya untuk makan, mereka duduk di
bawah pohon rindang dan membuka bungkusan kain berisi nasi dingin yang dicampur
yogurt, krim, susu, serta lauk lain sesuai dengan selera dan kebutuhan
masing-masing. Anak-anak itu menunggu hingga Gopala membuka bungkusan beliau
dan mulai makan. Setelah itu barulah
mereka mulai dengan suapan pertama. Segera setelah Gopala makan sesuap, setiap
anak mulai makan. Kadang-kadang Gopala memberi teman-teman beliau segenggam
makanan dari bekal beliau dan menerima dari setiap anak. Segenggam dari bekal
mereka masing-masing. beliau pergi ke setiap anak dan minta agar diberi
sebagian dari bekal mereka. Bocah-bocah itu enggan dan merasa tidak pantas
memberi Gopala segenggam makanan yang beliau minta dari bungkusan mereka karena
menurut peraturan adat, makanan yang sudah dimakan sudah tidak murni lagi.
Menyadari hal ini, Gopala meyakinkan mereka bahwa Tuhan yang maha esa dan yang
sama bersemayam dalam diri mereka semua, karena itu mereka tidak boleh merasa
terpisah dari beliau. Bagaimana ketidak murnian itu bisa timbul jika semuanya
adalah satu? Demikian tanya beliau. Kemudian buah acar yang telah digigit dan
diletakkan di samping, beliau ambil dan beliau gigit sedikit untuk dimakan.
Lihat bagaimana mungkin Tuhan yang makan dengan sangat berselera dari
persembahan buah Shabari ketika beliau muncul dalam wujud Sri Rama menolak
makan sisa bekal para bocah angon teman-teman beliau? Dalam hal ini keduanya
(para gopa dan Sabari) memiliki bhakti dan cinta kasih murni yang mendalam
kepada beliau yang menyebabkan mereka layak mendapatkan hal tersebut.
Dari 2 kisah ini, jelas bahwa proses
bhakti tidak mengenal faktor usia, tempat, gender, warna kulit, dll. Sebagai
contoh, Prahlada adalah anak raksasa tetapi ia mampu meraih kasih Tuhan
walaupun dalam usia yang masih sangat muda, demikian pula dengan Dhruva, dan
para gopika, bahkan Jatayu yang hanya merupakan seekor burung, ataupun Gajah –
yang bernama Gajendra juga bisa mendapatkan rahmat yang sama jika hati dan
perasaannya memang difokuskan kepada Tuhan. Tuhan tidak bisa dibatasi oleh
berbagai aturan dalam pandangan manusia sepanjang ketulusan cinta bhakti
menjadi landasannya.
Jadi dalam hal ini, kwantitas berjapa ataupun proses Diksa
tidak bisa dijadikan tolak ukur tunggal dalam menilai tingkatan bhakti dan
spiritualitas seseorang. Saya setuju dengan adanya Diksa ataupun inisiasi bagi
seorang calon penyembah Tuhan agar bisa dibukakan pintu kebjikasanaannya dan
agar ia bisa diarahkan, dibimbing, serta diawasi oleh Guru demi peningkatan
bhaktinya, namun begitu karena Diksa melalui pengangkatan seorang Guru bukan
barang dagangan remeh yang perlu dijajakan, melainkan Diksa adalah obat mujarab
yang harus dicari dengan sungguh-sungguh oleh peminat kehidupan rohani, maka ia
harus benar-benar selektif melihat kepantasan penggunanya agar tidak terjadi
salah resep yang bisa mengakibatkan komplikasi apalagi efek tidak baik kepada
si pemberi.
Mengenai penggunaan tanda-tanda Vaisnawa, saya rasa juga
baik sepanjang itu tidak ditampilkan secara exclusive dan berlebihan kepada
orang lain yang masih awam, dan juga penekanannya tidak mengarah keluar kepada
orang yang belum mau menerima keyakinan dimaksud. Seperti halnya dalam penganut
Taoisme yang berkeyakinan bahwa proses “Chu Tao” pembukaan pintu kesadaran atau
ritual pembakaran nama sebagai simbul pendaftaran nama di Surga sekaligus
pencabutan data di alam Neraka adalah sebuah keharusan untuk dilakukan sebelum
dapat mengikuti dan menerima pelajaran di kelompok itu, adalah baik untuk
diberikan dan dilaksanakan bagi mereka yang mau menerimanya, tetapi justru akan
benar-benar menjadi penghambat dalam menyebar luaskan kebenaran dan kasih Tuhan
jika sedari pertama kita sudah menerapkan berbagai aturan yang seakan menjadi
sebuah ‘Keharusan” bagi para pengikut baru. Mari kesampingkan terlebih dahulu
berbagai batasan yang ada agar orang awam dapat masuk serta menikmati kasih
kemuliaan Tuhan sehingga sesudah mengecap manisnya nama Tuhan di tempat itu,
mereka tidak mau pergi dan akan segera menyadari keperluan selanjutnya untuk
bisa tetap berada dalam kemanisan itu. Sebagaimana kumbang yang tertarik oleh
keharuman teratai lalu terlena dalam kemanisan serta keharuman sang bunga.
Menggunakan Maha
Mantra Hare Krishna dalam berjapa tanpa mengambil Diksa Harinam dari garis
perguruan Hare Krishna adalah sebuah Aparad.
Maha Mantra yang tersusun dari 16 suku kata ketuhanan yakni
“Hare Krishna Hare Krishna; Krishna Krishna Hare Hare; Hare Rama Hare Rama;
Rama Rama Hare Hare” adalah rumusan Mantra yang dijelaskan oleh Deva Brahma
kepada Devarsi Narada untuk menghancurkan pengaruh buruk Kali Yuga. Hal ini
termaktub dalam Kalisantara Upanisad. Tidak ada kalimat yang menjelaskan bahwa
Maha Mantra ini hanya diberikan kepada garis perguruan Brahma Sampradaya saja.
Sebab mantra ini diperuntukkan bagi semua mahluk hidup tanpa terkecuali apapun
agama, kelompok spiritual, suku bangsa, maupun warna kulit yang dimilikinya.
Sepanjang mereka memiliki keyakinan yang mantap terhadap kekuatan mantra ini,
tentu ia akan terselamatkan.
Bhagavata
Purana 6.3.21, menjelaskan bahwa ajaran Veda memiliki empat garis perguruan
pokok, yaitu dari Brahma Sampradaya, Sri (Laksmi) Sampradaya, Rudra (Siva)
Sampradaya dan Catur Kumara (Sanaka) Sampradaya. Hare Krishna atau ISKCON hanya
salah satu dari keempat cabang pohon besar Sanatana Dharma. Jadi tidak bisa
dikatakan sebagai sumber utama dari buah manis yang bernama Maha Mantra.
Krishna adalah tujuan akhir yang harus dicapai dalam mempelajari kesusastraan
Veda karena Sri Krishna adalah Veda itu sendiri, beliaulah yang menyusunnya dan
beliau pulalah yang paling mengetahui seluk beluk pengertian Veda (B.G :15.15
….Vedais ca sarvair aham eva vedyo // Vedanta-krd veda-vid eva caham). Jadi
kalaupun seseorang tidak berada dalam garis perguruan Brahma Sampradaya
(ISKCON) bukan berarti mereka telah salah jalur dan tidak boleh memakai Maha
Mantra sebagai media mendekati Sri Krishna. (untuk hal ini, saya persilahkan
anda menggali pemahaman lebih dari berbagai kelompok spiritual lain untuk dapat
mengetahui kebenaran sejatinya. Karena jika hanya berpatokan pada satu literature
buku saja tanpa mau membaca buku lain sebagai perbandingan, seringkali akan menimbulkan
pemahaman yang keliru tentang ajaran lain)
Pelayan
bagi Tuhan.
Dari Sembilan cara bhakti yang dijelaskan dalam Nava vidya
Bhakti, ada disebutkan salah satunya sebagai ‘Dasyam” atau cara bhakti kepada
Tuhan dengan menempatkan diri kita sebagai abdi atau pelayan, dan Tuhan sebagai
Tuan atau atasan yang berkuasa penuh. posisi ini umum diterapkan oleh
agama-agama di dunia dan juga beberapa kelompok spiritual dimana Tuhan di
takuti, dihormati karena Kemaha Kuasaan dan kemaha mutlakan-Nya. Tetapi dalam
keyakinan Sanatana Dharma, dimana Kitab Bhagavad Gita menjadi salah satu dasar
hukumnya, Sri Krishna juga mewejangkan “aham bija pradah pita, Aku adalah ayah
semua mahluk hidup…”. (B.G 14.4 ) jadi Tuhan dalam konsep ini juga
seringkali dipersamakan dengan orang tua sendiri sebagai Bapa, sebagaimana
keyakinan Kristen yang mengenal istilah Tuhan Bapa. Selain itu, dalam khasanah
Hindu, juga dapat kita temukan bahwa bhakti kepada Tuhan dapat diapresiasikan
dalam bentuk seperti :
1. Madhurya bhakti ; Mengibaratkan Tuhan sebagai Kekasih.
Bhakti seperti ini dicontohkan oleh para gopi di Vrndavan
2.
Vatsalya bhakti ; Bhakti kepada
Tuhan dengan mengibaratkan-Nya sebagai seorang anak, segala kasih keibuan dan
rasa pengorbanan orang tua kepada anaknya ditujukan kepada Tuhan. Ibu Yasoda
dan Nanda Maharaj adalah contoh yang menggambarkan bhakti seperti ini.
3. Sakhya bhakti; Bhakti kepada Tuhan dengan menganggap beliau
sebagai sahabat paling dekat tempat mencurahkan ide,membahas persoalan,ataupun
merencanakan sesuatu. Sebagaimana ditunjukkkan oleh para Gopa di Gokul dan juga
persahabatan Arjuna dengan Sri Krishna.
Namun perlu digaris bawahi bahwa masing-masing “rasa” dalam
menyembah Tuhan disini tidak dapat dipaksakan. Tidak semua orang sanggup
menganggap Tuhan seperti anak, sahabat atau kekasih, dan tidak semua orang juga
bisa menyembah Tuhan seperti kedudukan atasan dengan bawahan. Oleh karena itu,
alangkah tidak bijaksananya jika kita berani mengomentari cara pelayanan bhakti
seseorang kepada Sri Krishna hanya karena mereka tidak mengikuti tata cara dan
aturan yang diterapkan di ashram. Cari dan pahamilah rasa yang tepat dalam diri
kita masing-masing dan biarkan Tuhan yang menilai tingkat kesungguhan dan
kekhusukan bhakti umat-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar