Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Tulisan
ini saya buat sebagai bentuk pernyataan pribadi atas kecemasan saya mendapati
sikap dan cara bhakti kepada Tuhan yang dalam penilaian saya telah mengalami
pergeseran dari makna kesejatiannya. Tentu saja saya tidak akan mengklaim bahwa
cara pandang yang akan saya pakai sebagai parameter merupakan kebenaran mutlak.
Sebab kebenaran itu sangat relative dipandang dari sudut mana saja. Walaupun
kebenaran absolute yang seharusnya dipakai acuan adalah sebagaimana yang
ditunjukkan oleh Sri Krishna kepada Arjuna di medan perang. Kebenaran yang
didasarkan pada tempat, waktu, dan kondisi bersangkutan)
Mengacu
kepada beberapa statement yang pernah disampaikan para penyembah Sri Krishna, kepada seorang
Pecinta Harinam Sankirtan Yajna, yang masih awam dan awal dalam tingkat kwalifikasi
bhaktinya, hati saya terketuk untuk membuat suatu tulisan guna mencari jawab
sekaligus masukan untuk bisa direnungkan serta dipertimbangkan bagi
keberlangsungan ajaran Sanathana Dharma yang kita cintai ini. Adapun beberapa hal
yang saya maksudkan disini adalah sebagai berikut:
1. KEKELIRUAN PENGGUNAAN ISTILAH “PENYEMBAH”
DAN “KARMI”
Tidak
bisa dipungkiri bahwa beberapa pengikut ajaran Sri Krishna dalam masyarakat
ISKCON, masih terjebak pada beberapa istilah yang sebenarnya belum dipahaminya
benar. Sebab sering kali mereka yang sudah merasa mengikuti ajaran Vaisnava
mengatakan semua orang diluar pengikut ajaran mereka adalah orang-orang Karmi
yang posisinya terkesan ‘lebih rendah’ dari mereka. Dan sering juga ada yang
beranggapan bahwa orang yang sudah masuk dan tinggal di ashram atau temple
adalah penyembah. Sudah tepatkah pengunaan kata “Karmi” dan “Penyembah” di
sini? Tidakkah hal ini merupakan dikotomi yang masih perlu dipertanyakan?
Istilah
“Penyembah” mulai menjadi trend di Indonesia setidaknya setelah menyebarnya
ajaran Srila Prabhupada baik melalui buku-buku beliau maupun preaching center
yang didirikan oleh murid-murid beliau. Istilah Penyembah ini diadopsi
dari bahasa Inggris, “devotee”. Di luar negeri, istilah devotee biasa digunakan
hampir oleh semua orang untuk menyebutkan mereka yang percaya dan taat pada
Tuhan, baik itu dari pihak Kristen, Katolik, Yahudi maupun kelompok Theis
lainnya. Sehingga sangatlah lazim jika istilah devotee ini juga digunakan oleh Srila Prabhupada
beserta pengikut beliau untuk menyebut sesama mereka. Namun sepertinya beberapa
orang di Indonesia menterjemahkan istilah devotee
secara lebih sempit sebagai “Penyembah” dalam artian khusus, yaitu mereka yang
menjadi murid-murid dan pengikut Srila Prabhupada.
“Karmi”,
sebagai lawan dari kata “Penyembah” yang sangat sering ditujukan untuk mereka
yang ber-oposisi memang sangat banyak dapat kita temukan dalam buku-buku Srila
Prabhupada. Namun benarkah istilah ini ditujukan untuk menunjuk orang-orang
yang diluar kelompok barisan perguruan Srila Prabhupada? Istilah Karmi muncul
berdasarkan pada pemahaman bahwasanya Catur Yoga adalah empat jalan kerohanian
bertingkat (tangga yoga) yang harus dilalui oleh seorang penekun spiritual
mulai dari tingkatan Karma, Jnana, Dhyana dan Bhakti Yoga. Dalam pemahaman ini,
dikatakan mereka yang baru dalam tingkat
Karma Yoga baru melakukan segala
petunjuk ajaran Veda sampai pada tingkat sensual dan mental dengan melakukan
kerja keras demi mengharapkan hasil dan kepuasan, baik di dunia ini maupun
harapan pahala di planet-planet Sorga setelah meninggal. Sementara mereka yang sudah lebih maju, ada pada tingkatan Jnana Yoga.
Mereka dikatakan ada pada posisi intelektual, berusaha mengerti kebenaran
mutlak dengan berbagai kemampuan diskusi dan debat filsafatnya. Sehingga mereka
dikatakan melakukan kegiatan sebagaimana dalam Karma Yoga, namun juga
dilengkapi dengan kesadaran akan keberadaan Sang Mutlak. Sedangkan pada tingkatan di atasnya lagi, disebut
Dhyana Yoga. Pada tingkatan Dhyana Yoga, dikatakan bahwasanya mereka
memiliki semua kualifikasi Karma dan Jnana Yoga. Menyadari hakekatnya sebagai
Atman yang kekal abadi, namun masih tersimpan rasa ego. Dan lewat meditasinya
kepada Tuhan, mereka bertujuan mencapai siddha
(kesaktian) Yoga. Sementara itu pada
tingkatan yang terakhir, yaitu pada saat seseorang benar-benar menyerahkan
dirinya dalam cinta kasih bhakti kepada Tuhan baik dengan bekerja, berfilsafat
maupun meditasi disebut mencapai Bhakti Yoga. Mereka yang baru menapak Karma
Yoga disebut Karmi, mereka yang sudah mencapai Jnana Yoga disebut Jnani, mereka
yang sudah mencapai Dhyana Yoga disebut Yogi dan mereka yang sudah menyerahkan
diri sepenuhnya kepada Tuhan disebut Bhakta. Jadi dengan konsep tangga Yoga
ini, istilah Karmi pada dasarnya ditujukan kepada mereka yang seluruh aktifitas
kegiatannya hanya diperuntukkan demi kesenangannya sendiri di dunia ini maupun
demi pahala di sorga saja tanpa memperdulikan rasa cinta kasih bhakti kepada
Tuhan.
1.1
Masuk Ashram, tidak otomatis menjadi “Penyembah”
Istilah
Penyembah dalam hubungannya dengan istilah Karmi, tidak dapat ditafsirkan
dengan cara sempit. Istilah penyembah di sini berkaitan erat dengan mereka yang
sudah mencapai posisi Bhakta, penyembah Tuhan yang telah menyerahkan diri dalam
cinta kasih bhakti yang tulus. Srila Prabhupada menjabarkan istilah “Penyembah”
sebagai berikut: “Para “penyembah” (Bhakta) sesungguhnya adalah orang-orang
suci, atau sadhu.
Kualifikasi pertama seorang sadhu
adalah ahimsa,
atau tidak melakukan kekerasan. Orang yang tertarik pada jalan bhakti, atau pada jalan
pulang kembali kepada Tuhan, pertama-tama harus mempraktekan ahimsa, atau tidak melakukan
kekerasan. Seorang sadhu dijelaskan
sebagai titiksavah
karunikah (SB 3.25.21). Seorang penyembah hendaknya penuh toleransi
dan hendaknya sangat berbelas kasih kepada orang lain. Sebagai contoh, jika dia
sendiri yang menderita luka, ia hendaknya dapat mentoleransinya, namun jika ada
orang lain yang menderita luka, penyembah tidak boleh membiarkannya. Seluruh
dunia penuh dengan kekerasan, dan urusan pertama seorang penyembah adalah
menghentikan kekerasan ini, termasuk penjagalan binatang secara tidak perlu.
Seorang penyembah adalah kawan bukan hanya bagi masyarakat manusia melainkan
juga bagi semua makhluk hidup, sebab ia melihat semua makhluk hidup sebagai
anak-anak dari Personalitas Tuhan Yang Maha Esa. Ia tidak mengklaim dirinya
sebagai satu-satunya putra Tuhan dan membiarkan yang lainnya dibantai, dengan
menganggap mereka tidak memiliki roh. Filsafat semacam ini tidak pernah
dikemukakan oleh seorang penyembah Tuhan yang murni. Suhrdah sarva dehinam:
seorang penyembah yang sejati adalah kawan bagi semua makhluk hidup. Krishna
menyatakan di dalam Bhagavad-gita
sebagai ayah bagi semua jenis makhluk hidup; karena itu penyembah Tuhan Yang
Maha Esa, Sri Krishna selalu merupakan kawan bagi semuanya. Ini disebut ahimsa. Tindakan tidak
melakukan kekerasan seperti itu dapat dipraktikan hanya jika kita mengikuti
langkah para acarya agung.
Karena itu, menurut filsafat Vaisnava,
kita harus mengikuti para acarya agung yang berasal
dari salah satu dari empat sampradaya,
atau garis perguruan yang diakui Veda.
Dalam
posisi sebagai penyembah Tuhan, mereka juga disebut sebagai Vaisnava. Seorang
Vaisnava sudah pasti seorang yang berkualifikasi Brahmana, yaitu mereka yang
memiliki kedamaian hati (sama), kendali diri (dama), kesederhanaan (täpa),
kesucian (saucam), toleransi (ksantir), kejujuran (arjavam), berpengetahuan rohani
(jïänam), bijaksana. (vijnänam), agamais (astikyam), berpuas hati (santosah),
pengampun (ksanthih), bhakti kepada Tuhan (bhakti), dan kasih sayang (daya) –
(Bg. 18.42 dan Bhag.11.17.16).
Jadi,
secara singkat dapat dikatakan bahwasanya persyaratan untuk dapat dipanggil
sebagai seorang penyembah sangat-sangat berat. Masuk ke asrama, memulai belajar
kitab suci Veda, mendekati seorang guru kerohanian dan bergaul dengan para
penekun jalan Bhakti barulah langkah yang sangat awal. Masih terdapat jalan
yang sangat panjang dengan berbagai rintangannya yang membentang di depan kita
yang harus kita hadapi untuk dapat memenuhi kualifikasi seorang penyembah.
Sehingga kita yang baru dalam tahap awal dan belum bisa memenuhi semua
kualifikasi di atas, baru dapat dikatakan sebagai “orang yang belajar menjadi penyembah”, bukan penyembah atau masih dalam
tahap sebagai Krishna Lover atau pecinta Sri Krishna.
1.2 Tidak semua orang yang berada di luar
garis perguruan Srila Prabhupada adalah “Karmi”
Sebagaimana
disebutkan dalam Bhagavata Purana 6.3.21, ajaran Veda memiliki empat garis
perguruan pokok, yaitu dari Brahma Sampradaya, Sri (Laksmi) Sampradaya, Rudra
(Siva) Sampradaya dan Catur Kumara (Sanaka) Sampradaya. Dari keempat garis
perguruan awal ini, seiring berjalannya waktu akhirnya membentuk cabang-cabang
perguruan baru bagaikan sebuah batang pohon dengan ratusan dahan dan ribuan
rantingnya. Garis perguruan Srila Prabhupada sendiri yang bernama ISKCON
hanyalah salah satu dari ranting-ranting yang sangat banyak itu. Karena itulah
kita harus menyadari bahwasanya di luar sana, masih terdapat banyak garis
perguruan bonafide dengan guru-guru dan sadhu yang sangat bonafide yang harus
kita hormati dan sama sekali tidak dapat dikatakan sebagai “Karmi”.
Bahkan
mereka yang dalam hidupnya kurang beruntung karena belum menemukan guru yang
bonafide pun tidak serta merta bisa dikatakan sebagai Karmi. Jika orang itu
melaksanakan segala kegiatan dengan penuh cinta bhakti yang tulus ikhlas kepada
Tuhan, maka Tuhan sendiri dalam aspeknya sebagai Paramatman yang akan menuntun
mereka (Bhagavad Gita 18.61-62). Tuhan adalah Gurunya sendiri.
Karena
itu, mari kita lebih hati-hati memanggil orang lain dengan sebutan Karmi dan
mengatakan diri sebagai Penyembah. Mari kita posisikan hati kita lebih rendah
dari rumput di jalanan, lebih toleransi dari sebatang pohon, tidak mengharapkan
penghormatan pribadi dan selalu siap memberi hormat kepada orang lain. Semoga
dengan sikap seperti ini, kita mampu mengarungi jalan panjang dari Bhakti sehingga
suatu saat bisa mencapai kualifikasi Uttama Adikari (Bhakta Tuhan yang utama).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar