Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Serial Mahadeva yang menempatkan Dewa Shiva sebagai
Tuhan, jelas-jelas bertentangan dengan hukum qur’an yang tidak memperbolehkan
penganutnya untuk menyembah sosok lain sebagai yang Maha besar, atau dengan
istilah lain bahwa penganut qur’an tidak dibolehkan sama sekali untuk
mempersamakan Allah dengan apapun juga yang diciptakan-Nya, apalagi sampai
memberikan doa pujian atau persembahan yang sama seperti apa yang diberikan
kepada Tuhan dalam nama Allah, sebab itu bisa dikatagorikan sebagai perbuatan
“Syirik” yang bisa berakibat hilangnya pahala dari semua kebaikan sebagaimana Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala. "yang artinya : Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu
dan kepada (Nabi-Nabi) sebelummu: "Jika kamu mempersekutukan (Allah),
niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang
merugi"[Az-Zumar: 65]
Karena itu, barangsiapa menyembah selain Allah berarti ia
meletakkan ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak
berhak, dan itu merupakan kezhaliman yang paling besar. Allah tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik
kepadaNya, jika ia meninggal dunia dalam kemusyrikannya. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman. "Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni
dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar".[An-Nisaa': 48].
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan)
Allah, maka pasti Allah mengharamkan Surga kepadanya, dan tempatnya ialah
Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun"[
Al-Maa'idah: 72] Syirik adalah dosa besar yang paling
besar, kezhaliman yang paling zhalim dan kemungkaran yang paling mungkar sehingga
ganjarannya adalah masuk neraka.
Demikianlah
beberapa ayat yang cukup ampuh untuk menanamkan ketakutan kepada mereka yang
mengimaninya terlebih bagi penganut keyakinan yang memposisikan pencapaian
Sorga sebagai tujuan akhir. Sehingga segala upaya akan mereka tempuh untuk
segera mengakhiri hal yang bagi mereka itu merupakan kemusyrikkan sehingga diri
mereka sendiri dan juga kaum mereka bisa terselamatkan. Tentu saja ayat
tersebut tidak bisa dikatakan salah walau tidak sepenuhnya juga bisa dikatakan
benar jika ia dipaksakan penggunaannya pada situasi dan tempat yang tidak
tepat. Sebab jika kita mau bijaksana, tentu kita akan melihat kembali sejarah
dari turunnya wahyu dimaksud. Baik mengenai tempat, kondisi, maupun orang-orang
yang harus menerimanya. Sama halnya dengan ayat suci yang berbunyi
“Laillahailallah” – Hanya ada satu Tuhan yang dipanggil Allah. Ini tentu sangat
benar jika kita kembali melihat sejarah bangsa arab pada waktu wahyu itu
diturunkan, bagaimana kaum Jahiliyah yang telah mengabaikan pemujaan kepada
Allah di Mekkah lalu menggantikannya dengan beberapa patung dari tokoh hebat
yang mereka idolakan ataupun perupaan dewa yang berasal dari hayalan mereka.
Sehingga kesemua patung pujaan yang hampir berjumlah 360-an itu, yang telah
menggeser fungsi Kabbah akhirnya harus dimusnahkan lalu dilabeli sebagai
Berhala yang sama sekali tidak boleh dipuja. Sebab satu-satunya Tuhan yang bisa
dipuja hanyalah Allah sehingga untuk selanjutnya, tidak ada lagi yang boleh
mempersamakan beliau dengan ciptaan apapun. Namun perlu diingat bahwa kejadian
itu adalah di semenanjung Arab yang pada waktu itu pemujaan kepada Tuhan telah
disimpangkan oleh kaum Jahiliyah. Kejadian itu tidak ada di India yang walaupun
juga menggunakan beberapa patung sebagai media pemujaan, tetapi itu tidak
dibuat berdasarkan khayalan manusia tetapi lebih mengacu kepada petunjuk
sastra. Sama seperti pemujaan kepada Batu hitam Hajar Al Aswad di Mekkah sampai
saat ini yang juga hampir sama dengan pemujaan Lingga yoni yang merupakan
simbul dari Shiva Shakti ataupun Batu Salagram yang merupakan perwujudan dari
Sri Vishnu. Oleh karena itulah maka penempatan suatu ayat dari kitab suci
hendaknya selalu mengacu kepada situasi, tempat, maupun orang-orang yang
berkenaan dengan hal dimaksud. Sama halnya dengan aturan untuk berkendara di
sebelah kiri bagi pengguna jalan. Ini adalah hal benar menurut peraturan
perundangan di Indonesia. Tetapi tidak akan menjadi benar dan cenderung
berbahaya jika aturan itu dipaksakan untuk diberlakukan di Negara eropa yang
justru menggunakan aturan terbalik, yakni berkendara di ruas kanan jalan. Maka
demikianlah sikap kita seharusnya dalam menyikapi serial Mahadewa ini. Bagi
mereka yang antipati dengan keyakinan Vedanta, tentu mereka tidak dipaksakan
untuk ikut menonton tayangan dimaksud sebab dalam serial itupun tidak ada
sebuah rekayasa yang sengaja disusupkan untuk menggiring umat agama lain untuk
meyakini kebenaran suatu agama tertentu seperti yang sering dilakukan oleh
beberapa produser sinetron di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar