Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Menurut
tradisi kebudayaan India, dalam kehidupan manusia ada waktunya untuk bekerja di
dunia dan membina rumah tangga. Pada masa ini ia mengalami semua kebahagiaan
dan suka duka yang merupakan bagian dari tingkat kehidupan ini. Setelah
mempelajari makna emosi-emosi ini, pada usia empat puluh lima atau lima puluh
tahun, ia siap untuk hidup menyepi di hutan. Ia rela meninggalkan rumah yang
telah dibangunnya dan kampung halamannya. Bila istrinya masih hidup, ia harus
meminta persetujuannya. Kemudian wanita tersebut mempunyai dua pilihan. Ia
tetap tinggal dalam perlindungan putra atau orang tuanya, atau ia dapat ikut
menyertai suaminya. Bila mereka pergi menyepi bersama, sejak saat itu mereka
harus hidup berjarak, hubungan mereka bukan sebagai suami istri lagi, tetapi
sebagai abang dan adik. Bahkan makanan mereka pun harus diubah sama sekali.
Mereka hanya boleh makan buah serta akar-akaran dan minum susu. Makanan mereka
tidak boleh dimasak hingga matang sepenuhnya, tetapi hanya sepertiga matang.
Makan nasi hanya diperbolehkan sedikit saja. Bila mereka tidak dapat
mengusahakan diet semacam ini di hutan, sang suami dapat mengunjungi desa yang
terdekat dan mengemis makanan. Tetapi ia harus membawa pulang makanan tersebut
dan memakannya di tempat tinggalnya sendiri. Ia harus membagi makanan itu
dengan mereka yang tergantung kepadanya, karena mereka tidak dapat menyiapkan
hidangan yang mereka sukai atau memperolehnya. Bila mereka tidak menyukai
makanan itu, mereka harus puas dengan buah-buahan dan susu saja, karena ia
tidak boleh mengubah kebiasaannya sehari-hari untuk menyenangkan orang lain.
Betapa pun sulitnya hal ini, disiplin ini tidak boleh diubah atau dihentikan.
Ini harus diperhatikan. Ia tidak perlu melakukan ritual pemujaan, beramal, atau
melakukan kewajiban-kewajiban semacam itu. Seandainya ia memberikan makanan
atau pakaian pada orang lain, hal ini tidak dapat dianggap sebagai amal. Ia
mempunyai cinta murni yang sama besarnya pada semua makhluk. Sekali setahun,
pada bulan Aswina, ia harus membuang pakaiannya yang lama dan mengenakan
sandang yang baru. Tetapi praktek kerohanian yang berhubungan dengan bentuk
bulan (chandrayanavratha) merupakan hal yang paling penting bagi mereka
yang berada pada tahap vanaprastha ini. Sejak tanggal satu hingga
tanggal lima belas hari berikutnya, setiap hari ia makan sesuap lebih banyak
daripada hari sebelumnya. Pada bulan baru dan bulan purnama, ia hanya boleh
makan bubur nasi. Pada musim hujan ia harus melakukan tapa, berdiri dalam
hujan. Pada musim dingin ia harus mengenakan pakaian basah pada waktu melakukan
tapa. Ia harus melakukan olah tapa seperti ini secara sistimatis dan mandi tiga
kali sehari. Ia harus mempelajari kitab-kitab Upanishad hingga dapat
memahami dan menghayati maknanya. Bila jatuh sakit, ia harus menghentikan
makannya sama sekali dan hidup hanya dari udara dan air. Kemudian ia harus
berjalan terus ke arah Timur Laut hingga ajal menjelang. Sebaliknya, jika ia
tidak menderita penyakit apa pun juga dan bila ia sehat walafiat, ia akan
mengalami secara spontan timbulnya pengetahuan yang sejati. Dengan pengetahuan
ini ia akan mencapai kebebasan. Ada orang-orang yang menyangsikan, bagaimana disiplin
ini dapat menimbulkan penerangan batin. Bukankah latihan ini hanya merupakan
pembatasan-pembatasan jasmani, demikian tanya mereka. Pengetahuan yang sejati
hanya dapat dicapai dengan menyadari prinsip Ilahi. Bagaimana sesuatu dapat
disebut pengetahuan bila tidak mengandung prinsip yang menjamin kesadaran diri
yang sejati, demikian kilah mereka. Tetapi pandangan ini dilandaskan pada salah
pengertian. Olah tapa jasmani ini menghancurkan hawa nafsu, keinginan, atau
kecenderungan pikiran serta perasaan dan membina kemampuan konsentrasi.
Selangkah demi selangkah, pernyataan-pernyataan Upanishad yang
direnungkannya membantu memelihara dan menguatkan pemusatan perhatiannya.
Pemahaman pernyataan-pernyataan kitab suci ini saja sudah cukup untuk
menimbulkan pengetahuan kebijaksanaan. Bukankah Upanishad merupakan
hakikat pengetahuan kesunyataan? Dengan perwujudan kebijaksanaan ini sebagai
kawan dan menyadarinya dalam penghayatanmu sendiri. apakah gunanya mencari-cari
pengetahuan di tempat lain? Untuk membina pengetahuan kesunyataan secara kokoh
di dalam hati, diperlukan pemusatan perhatian, dan hal ini dapat diperoleh
secara mudah dengan disiplin jasmani serta tapa yang telah diuraikan di atas.
Pengendalian lahir membantu pengendalian batin. Sebenarnya pengendalian lahir
lebih sulit dicapai. Bila engkau memutar kemudi ke suatu arah, roda mobil akan
bergerak ke arah yang sama. Roda itu tidak akan bergerak ke kiri bila kemudinya
kau putar ke kanan. Roda mawas diri dikendalikan oleh kemudi disiplin lahiriah.
Ini
adalah hal yang wajar. Kadang-kadang bila kemudi diputar ke suatu arah, rodanya
dapat maju ke arah yang lain, tetapi hal ini hanya terjadi dalam keadaan yang
tidak lazim. Bila bannya tidak diisi udara yang merupakan syarat utama, roda
itu tampaknya seperti tidak mempunyai hubungan apa pun juga dengan kemudi.
Meskipun demikian, roda itu tidak dapat melampaui batasan kemudi. Kemudi di
tangan berhubungan dengan roda di bawah. Bila tidak ada hubungan semacam ini,
perjalanan tidak akan mungkin dilakukan. Hal ini tidak terelakkan. Demikian
pula bila engkau telah berjuang dengan kecenderungan-kecenderungan lahir dan
dapat menaklukkannya, kecenderungan batin akan dapat dikendalikan dengan mudah.
Kecenderungan lahir mempunyai nama serta rupa dan menarik karena merupakan obyek
pengalaman. Karena itu, kecenderungan lahir ini sulit dikuasai. Tetapi,
kecenderungan batin tidak berwujud walau mungkin memiliki nama, kecenderungan
batin ini dapat dihayati sebagai kebahagiaan dan karena itu dapat dikuasai
dengan lebih mudah. kecenderungan batin ini dapat dikendalikan tanpa banyak
kesukaran. Kecenderungan lahir, tingkah laku lahir, sulit dikendalikan karena
hal ini melibatkan selera, bentuk, dan berat. Kecenderungan batin seperti air
yang bersih, tidak mempunyai wujud, cita rasa, atau bobot. Air yang kotor
berbeda dalam ketiga hal ini. Karena itu, sulitlah memurnikan air yang kotor,
tetapi air yang bersih dapat diberi wujud dengan sangat mudah.
Demikian
pula (sebagai peminat kehidupan rohani) engkau prihatin untuk memurnikan
kegiatan mentalmu yang menjadi kotor karena khayal dunia. Tetapi tidak ada
kebutuhan untuk memurnikan kegiatan mental yang sudah bebas dari khayal semacam
itu. Kelakuan yang tanpa maya sudah seyogyanya murni, tanpa cela atau keraguan
sedikit pun. Jadi mengapa harus dimurnikan lagi. Karena itu, bila engkau
berusaha sedapat-dapatnya untuk mengendalikan dan menguasai khayal lahiriah,
dengan mudah kecenderungan batinmu akan mengarah menuju kebahagiaan jiwa. Yoga
dan tapa hanyalah nama yang berbeda untuk jalan yang sama, yaitu jalan yang
menuju ke pengendalian dan penguasaan kecenderungan serta khayal lahiriah.
Peraturan-peraturan yang diberikan bagi orang yang berada pada tingkat vanaprastha
ini hanyalah sekedar cara agar mereka berhasil dalam yoga atau tapa tersebut. Bila
dalam tahap ini manusia dapat menaklukkan segala jenis maya, perjalanannya akan
berakhir dalam kebebasan jiwa. Meskipun demikian, ini bukanlah jalan
satu-satunya yang menuju kebebasan. Engkau dapat memilih jalan apa saja yang
akan mendatangkan rahmat Tuhan. Tetapi, siapa saja yang mengikuti peraturan
cara hidup bagi tahap vanaprastha akan dapat meraih kebebasan jiwa. Ia
juga akan bebas dari maya dan mencapai pemusatan pikiran.
Menurut ajaran Weda
Kehidupan manusia terbagi dalam empat tingkat:
|
|
1.
Siswa yang hidup selibat (Brahmachari)
2.
Menikah dan membina rumah tangga (Grihastha)
3.
Bertapa di hutang (Vanaprastha)
4.
Hidup menyepi dalam penyangkalan
diri total dan melewatkan waktu hanya untuk bermeditasi pada Tuhan (Sanyasa)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar