Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Resi
Shuka ingin sekali agar Raja Pariikshit melihat permainan suci Tuhan dari segi
pandangan yang tepat. Beliau berkata, "Maharaja! Pariikshit! Siapa yang
dapat melukiskan pesona Sri Krishna yang tidak terhingga dan bersifat surgawi;
yang keelokan wujud-Nya merupakan pengejawantahan keindahan? Siapa yang dapat
menguraikannya dengan kata-kata? Tuanku ingin saya menceritakan kisah-kisah
Krishna kepada Tuanku, tetapi hal itu berada di alam yang tidak dapat dijangkau
dengan kosa kata manusia. Sudah sering Tuhan menjelma dan dalam setiap
kedatangan itu Beliau memperlihatkan berbagai mukjizat surgawi, tetapi dalam
inkarnasi Krishna ini Beliau memperlihatkan daya tarik yang unik. Sekali saja
Beliau tersenyum dan memperlihatkan gigi bak mutiara, maka mereka yang memiliki
sumber kasih dalam hatinya, mereka yang memiliki bakti di hatinya, dan bahkan
mereka yang telah mengendalikan indra serta menguasai reaksi batinnya,
merasakan gejolak emosi dalam dirinya, gelora hormat bakti yang penuh kasih!
Bila Beliau menyentuh mereka dengan lembut dengan tangan Beliau yang halus,
mereka kehilangan kesadaran badan, mereka demikian tenggelam dalam kebahagiaan
jiwa sehingga sejak saat itu mereka hidup selaras dengan Beliau! Kadang-kadang
Beliau bercanda dan menceritakan hal-hal yang lucu. Pada kesempatan semacam itu
para pendengarnya merasa bahwa jaranglah ada orang yang lebih mujur daripada
mereka."
"Para
gopa dan gopii, 'pria dan wanita penggembala sapi' dari desa Vraja, mungkin
sibuk dalam kegiatan mereka sehari-hari, tetapi bila mereka melihat Krishna
sekali saja di tengah kegiatan kerjanya, maka mereka berdiri terpaku di
tempatnya seperti patung batu, terpesona oleh kerupawanan dan keelokan Beliau.
Para wanita Vraja telah menyerahkan pikiran, perasaan, dan hidupnya kepada
Krishna yang mereka kenal sebagai pengejawantahan kasih dan belas kasihan.
Tiada cendekiawan, betapapun tinggi prestasi kesarjanaannya, dapat menemukan
bahasa yang memadai untuk melukiskan sifat dan pengalaman mereka (para gopa dan
gopii). Sesungguhnya bahasa harus bungkam karena tidak mampu mengungkapkannya."
"Bakti
dan pengabdian para gopa dan gopii yang sarat dengan perasaan luhur, tiada
batasnya. Bahkan ketika melihat mereka, Uddhava berseru, 'Aduh! Bukankah aku
ini sudah menyia-nyiakan hidupku selama ini? Walaupun berada demikian lama
dalam kehadiran Krishnachandra yang sejuk dan menyenangkan, bahkan demikian
dekat dengan Beliau, aku belum memperoleh jalan menuju kasih dan kemuliaan
Beliau. Bakti dan kasih kepada Tuhan yang dimiliki para gopii ini sedikit pun
belum menerangi hatiku. Sesungguhnya jika seseorang harus lahir, ia harus lahir
sebagai gopa atau gopii. Mengapa lahir sebagai lainnya dan hidup tanpa makna
tanpa arti? Jika akut tidak beruntung lahir sebagai gopa atau gopii, biarlah
aku menjadi tanaman berbunga yang merambat di punjung Brindaavana, atau sebagai
melati yang merambat di situ. Jika kemujuran itu pun tidak patut kudapat,
setidak-tidaknya biarlah aku tumbuh sebagai sehelai rumput di lapangan yang
sering dikunjungi para gopa, gopii, dan Krishna. 'Demikian ratapan Uddhava. Ia
mendamba dalam kesedihannya yang sarat bakti. Hatinya penuh kerinduan;
sesungguhnya ia justru diselamatkan oleh kerinduan itu."
"Karena
itu, jika pertalian antara Krishna dan para gopii dianggap rendah dan tidak
senonoh, itu hanya memperlihatkan bahwa orang yang bersangkutan terlalu mudah
mengambil kesimpulan yang keliru. Pernyataan semacam itu tidak bernilai
dan tidak perlu diperhatikan."
"Maharaja!
Tiada seorang pun dapat memahami permainan Krishna kecuali orang yang murni
hatinya."
Mendengar
hal ini, Pariikshit senang sekali. Dengan senyum di bibirnya, ia bertanya
kepada sang resi, "Resi Yang Agung! Bilakah Uddhava pergi ke Brindaavana?
Mengapa ia pergi ke sana? Apakah yang mendorongnya meninggalkan kehadiran Sri
Krishna dan pergi? Mohon ceritakan kejadian itu kepada saya."
Resi
Shuka memulai kisah itu sesuai dengan keinginannya, "Oh Maharaja! Sedetik
pun Uddhava tidak pernah bisa jauh dari Krishna. Ia tidak pernah dapat
meninggalkan kehadiran Beliau, tetapi Krishna sendirilah yang mengutusnya pergi
ke Brindaavan untuk menyampaikan pesan Beliau kepada para gopii, maka ia
tidak punya pilihan lain. Ia harus pergi; perpisahan itu tidak terhindarkan.
Krishna hanya memberinya waktu sehari untuk menyelesaikan tugas-nya. Ia
diperintahkan agar tidak tinggal lebih lama dari sehari. Walaupun demikian,
ketika ia berangkat ke Brindaavana, perpisahan sehari itu dirasakannya bagai
berabad-abad."
"Ternyata
ketika tiba di Brindaavana, Uddhava menyesal karena waktu berlalu dengan cepat
dan ia harus segera meninggalkan tempat itu. 'Aduh, aku harus pergi
meninggalkan orang-orang ini demikian cepat! Alangkah bahagianya aku seandainya
seluruh hidupku dilewatkan bersama mereka! Sayangnya aku tidak memperoleh
pahala itu,' inilah pikiran-pikiran sedih yang meresahkan Uddhava."
"Apakah
Tuanku perhatikan Maharaja, bahwa sesungguhnya tiada perbedaan antara Tuhan
dengan bakta. Uddhava merasa lebih sedih ketika ia harus meninggalkan para
gopii daripada ketika ia harus meninggalkan Krishna sendiri! Ia sama bahagianya
di kedua tempat itu. Sesungguhnya tiada perbedaan antara para gopii dan
Gopaala, antara bakta dan Bhaagavan. Hati para gopii telah berubah menjadi
altar tempat persemayaman Beliau. Kerinduan batin mereka terpuaskan dengan
mereguk nektar Krishnaraasa. Uddhava dapat memahami penderitaan mereka yang
tidak terhingga karena terpisah dari Krishna, ketulusan kasih mereka kepada
Beliau, besarnya hasrat mereka untuk mendengar perihal Beliau, kecemasan mereka
mengenai Beliau, dan kesungguhan mereka untuk mendengarkan dan mematuhi amanat
Beliau. Sejenak pun para gopa dan gopii tidak perah membiarkan pikirannya
meninggalkan kisah-kisah Sri Krishna, Uraian tentang permainan Krishna, dan
cerita tentang kegiatan serta prestasi Beliau. Keindahan kemanusiaan Krishna
demikian mempengaruhi Vraja sehingga yang hidup tampak tidak bernyawa dan yang
tidak bernyawa tampak hidup! Uddhava menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri
betapa cadas Bukit Govardhanagiri menitikkan air mata suka cita. Ia juga
melihat para gopii terpaku bagaikan patung batu ketika hatinya dipenuhi
sukacita yang suci. Uddhava menganggap pengalaman ini menakjubkan dan
memperjelas pengertiannya."
Ketika
melukiskan sifat khas bakti para gopii ini, Resi Shuka demikian terharu dan
bahagia sehingga air matanya menitik, beliau tidak menyadari dunia lahiriah
lagi dan sering sekali masuk dalam keadaan samaadhi. Akibatnya para pertapa dan
resi yang mendengarkan dan mengamatinya dipenuhi dengan suka cita dan kerinduan
yang tidak tertahankan untuk melihat dengan mata batinnya, Sri Krishna-chandra
yang demikian mengharukan Resi Shuka.
Sementara
itu Resi Shuka membuka matanya. Beliau berkata, "Maharaja! Alangkah
beruntungnya Uddhava! Ketika para gopii memperlihatkan tempat-tempat permainan
mereka dengan Sri Krishna, mereka juga membawanya ke Govardhanagiri. Pada waktu
melihat tempat itu, ketakjuban Uddhava semakin bertambah karena ia dapat
melihat bekas tapak kaki Krishna dan para gopa serta gopii pada cadas dan tanah
yang keras, demikian jelas seperti pada waktu mereka berjalan di kawasan itu
bertahun-tahun yang lampau. Pada waktu mereka sampai di dekat Govardhanagiri,
para gopii merasakan penderitaan yang demikian pedih akibat keterpisahan mereka
dari Krishna sehingga mereka menangis terisak-isak. Mereka hanya menyadari
Beliau; mereka tenggelam dalam pemikiran mengenai Beliau semata. Ketika mereka
semuanya serempak berseru, 'Krishna!', pohon-pohon yang tegak di sekitarnya
demikian terharu hingga meremang bulu romanya. Mereka menggoyangkan
dahan-dahannya dan mulai menangis berkeluh kesah dengan sedih. Uddhava menyaksikan
dengan mata kepalanya sendiri betapa perpisahan dengan Krishna telah
mempengaruhi dan menyedihkan tidak hanya para gopa yang gopii di Brindavan,
tetapi bahkan bukit-bukit dan pepohonannya. Maharaja! Apa lagi yang dapat saya
katakan? Uddhava melihat kejadian yang sulit dipercaya. Ia dipenuhi rasa
takjub; ia juga menjadi rendah hati."
Mendengar
ini, raja ingin tahu. Ia berkata, "Resi yang agung! Bagaimana hal itu
terjadi? Jika Maharesi tidak keberatan, mohon jelaskan juga hal itu kepada
saya. "Ketika ia memohon seperti itu Resi Shuka menjawab, "Maharaja!
Kesadaran para gopii sudah menunggal dengan kesadaran Sri Krishna, karena itu
mereka tidak melihat apa pun atau siapa pun lainnya. Setiap batu, setiap pohon
yang mereka lihat, mereka lihat sebagai Krishna; mereka memegangnya sambil
berseru, 'Krishna! Krishna!' Hal itu membuat batu-0batu dan pepohonan merasakan
kepedihan perpisahan dengan Sri Krishna, dan mereka pun luluh dalam panasnya
kesedihan itu hingga air mata menitik dari ujung dedaunan. Lihatlah, pasti
pemandangan itu sangat menakjubkan! Aksioma yang menyatakan, 'Semuanya hidup',
(sarvam sajiivam) terbukti benar bagi Uddhava. Batu-batu dan pepohonan di
Brindaavan memperlihatkan kepadanya bahwa tiada apa pun yang tidak memiliki
kesadaran dan kehidupan."
"Mereka
yang tidak mampu memahami kemuliaan para gopii, bakti yang meluluhkan batu dan
membuat pepohonan menangis terisak-isak, tidak berhak menghakimi dan memberi
keputusan. Jika mereka melakukan hal tersebut, mereka hanya memperlihatkan
bahwa kecerdasan mereka lebih lembam daripada batu dan cadas. Pikiran yang
lembam tidak akan pernah dapat memahami keindahan dan kecemerlangan
Krishnachandra, penguasa alam semesta, yang memikat jagat raya dengan keelokan
dan kekuasaan Beliau. Hanya kecerdasan yang paling jernih dan murni dapat
memahaminya."
"Demikian
pula sore itu di Brindaavan Uddhava melihat suatu hal yang menarik perhatian
dan sebelumnya tidak diketahuinya. Pada waktu matahari terbenam, ketika para
brahmana dan orang-orang yang telah mendapat inisiasi dalam mantra Gaayatrii
melakukan ritual upacara pemujaan dengan api, para gopii menyalakan perapian di
rumahnya dengan bara atau nyala pai yang diambil dari rumah tetangga. Bara atau
api itu dibawa dalam kulit lokan atau piring tanah liat. Uddhava memperhatikan
bahwa pelita dan perapian pertama dinyalakan di rumah Nanda, rumah tempat
Krishna tumbuh dan bermain. Ia melihat bahwa begitu pelita di rumah Nanda
menyala, para gopii pergi ke situ satu demi satu sambil membawa pelitanya untuk
dinyalakan dengan api dari pelita itu. Kemudian pelita yang telah dinyalakan
itu dibawa ke rumah masing-masing. Uddhava duduk di tangga balai pertemuan desa
sambil mengamati lampu-lampu yang lewat."
"Sementara
itu, seorang gopii lama sekali menyalakan pelitanya di rumah Krishna;
lain-lainnya yang menunggu menjadi tidak sabar karena tidak mendapat kesempatan
menyalakan lampunya. Yashodaa yang sedang berada di dalam keluar dan ketika
melihat gopii itu ia berteriak, 'aduh, celaka!' seraya berusaha menyadarkan
gopii itu dengan menepuk punggungnya. Meskipun demikian, wanita itu tidak
membuka matanya. Para gopii di sekelilingnya menariknya perlahan-lahan menjauhi
pelita dan membaringkannya agar ia dapat beristirahat sejenak. Jari jemarinya
terbakar parah dan hangus. Dengan susah payah ia dapat disadarkan. Ketika
ditanya, ia menyatakan bahwa ia melihat Krishna di dalam nyala pelita, dan
dalam kebahagiaan pengalaman itu ia tidak menyadari kalau jari jemarinya masuk
ke dalam api dan terbakar; ia sama sekali tidak merasa sakit."
"Uddhava
sangat heran menyaksikan kejadian ini, salah satu contoh mengagumkan tentang
bakti para gopii."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar