Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Ketika Resi Shuka mendengar
jawaban ini, beliau berkata, “Maharaja, karena hati Tuan manunggal dengan
Shyaamasundara, Bhagawan Sri Krishna 'yang berkulit gelap dan rupawan', saya
sangat senang. Karena itu, Tuanku dapat menanyakan kepada saya segala masalah
yang menyusahkan Tuan. Saya akan memberikan jawaban dan penjelasan yang sesuai.
Saya akan menggetarkan hati Tuan dan menambah kerinduan Tuan kepada
Shyaamasundara, Avatar rupawan yang berkulit bak awan hujan.”
Mendengar perkataan sang guru,
Pariikshit amat gembira. Ia berkata, “Maharesi yang sangat terkenal,
kualifikasi apakah yang saya miliki sehingga saya berhak mengajukan pertanyaan
kepada Guru? Beritahukan kepada saya, apa yang Maharesi anggap paling baik;
katakan kepada saya, apa yang paling saya perlukan selama hari-hari yang kritis
ini; ajarlah saya apa yang paling bermanfaat, paling pantas diperhatikan, dan
paling penting. Maharesi lebih tahu mengenai hal ini dari pada saya. Jelaskan
kepada saya tanpa mengindahkan pertanyaan dan keinginan saya. Tentu saja
kadang-kadang saya terganggu keraguan karena saya masih terikat oleh godaan
khayal dan kekaburan bathin. Jika hal ini timbul, akan saya sampaikan keraguan
serta kekhawatiran saya, dan saya terima penjelasan yang menyembuhkan dari
Maharesi. Saya mohon agar Maharesi jangan menganggap saya mempunyai
maksud-maksud lain. Janganlah menimbang prestasi saya. Perlakukan saya seperti
putra sendiri; ubahlah saya menjadi seorang yang diam dan tenang.”
“Meskipun demikian, biarlah
saya sampaikan kepada Maharesi satu keraguan yang sejak lama saya pendam.
Apakah pengalaman-pengalaman individu dalam tubuh ini diarahkan oleh sifatnya
sendiri, atau diarahkan oleh kumpulan akibat perbuatannya pada masa lalu? Kemudian
ada keraguan lain: Maharesi berkata bahwa dari pusar pribadi pramula (Puraana
Purusha), tumbuhlah sebuah teratai lalu mekar, dan semua ciptaan berasal dari
teratai itu. Apakah Tuhan muncul dengan anggota badan dan organ-organ tubuh
seperti jiwa individual? Adakah perbedaan antara jiwa dan Brahma, individu dan
perwujudan yang mutlak?”
“Biarlah saya juga mengajukan
pertanyaan lagi: atas dasar apakah dibedakan masa lalu, masa sekarang, dan masa
yang akan datang? Dan pertanyaan keempat: (dari berbagai perbuatan yang
dilakukan jiwa) perbuatan apa yang membawa hasil dan akibat apa, serta status
apa, pada masa yang akan datang. Pertanyaan kelima: apakah ciri-ciri khas para
jiwa agung (mahaapurusha)? Apakah kegiatan mereka? Dengan tanda-tanda apakah
kita dapat mengenali mereka? Pertanyaan keenam: kisah penjelmaan Tuhan manakah
yang menawan dan memukau? Pertanyaan ketujuh: bagaimana kita dapat membedakan
zaman Krita, Tretaa, dan Dwaapara? Pertanyaan kedelapan: bagaimana kita dapat
memberi nama demikian pada suatu yuga? Pertanyaan kesembilan: latihan rohani
atau disiplin apakah yang harus dilakukan seseorang agar dapat manunggal dengan
atma yang merupakan Paramaatma, 'jiwa agung' atau 'jiwa universal'? Akhir-nya
pertanyaan kesepuluh: apakah Weda dan Upaweda? Upaweda mana berkaitan dengan
Weda yang mana?”
“Mohon berilah saya jawaban
pertanyaan-pertanyaan ini maupun berbagai topik lain yang patut diperhatikan.
Resi Yang Agung, saya pasrah kepada Maharesi. Tiada orang lain yang dapat
memberi saya penjelasan mengenai masalah ini serta berbagai topik lainnya.
Karena itu, selamatkan saya dari neraka ketidaktahuan. “Maharaja bersujud di
kaki guru dan mohon doa restu.
Dengan senyum penuh kasih Resi
Shuka berkata, “Bangkitlah oh Maharaja! Bila Tuan mengajukan begitu banyak pertanyaan
sekaligus, bagaimana Tuan dapat memahami jawabannya? Lagi pula sudah lama Tuan
belum melepaskan dahaga atau makan apa pun juga. Mari, setidak-tidaknya
makanlah beberapa buah-buahan dan minumlah susu sedikit. Tubuh fisik kita
berhak memperolehnya, itulah haknya yang istimewa. Bila tubuh kekurangan
makanan, Tuan dapat meninggal dengan keraguan yang belum terselesaikan. Karena
itu, makanlah!” perintah beliau.
Raja menjawab, “Maharesi,
bukankah mereka yang hari-hari akhirnya telah menjelang seharusnya lebih
mengutamakan santapan rohani yang memberi keabadian daripada makanan jasmani
yang memelihara kepalsuan ini? Walaupun mungkin tubuh ini kelaparan, bagaimana
saya bisa mati sebelum waktunya bila saya menghirup nektar keabadian dan bila
Maharesi memenuhi saya dengan kegembiraan mengecap obat manis penyembuh
penyakit kematian? Tidak. Itu tidak akan terjadi. Andai pun Shringii yang marah
tidak mengutuk saya, andai pun ular Takshaka tidak diutus untuk membunuh saya
setelah tujuh hari, saya tidak akan mati sebelum waktunya ketika sedang
mendengarkan kisah-kisah Tuhan. Saya mendengarkan aneka cerita itu tanpa
memikirkan makanan dan minuman. Makanan dan minuman saya adalah kisah-kisah Sri
Krishna yang selezat nektar. Karena itu, janganlah memikirkan makanan dan
minuman saya; buatlah saya layak memperoleh kebahagiaan tertinggi, tingkat
tertinggi kesadaran diri sejati. Selamatkan saya dari kehancuran. Saya bersujud
di kaki Guru.”
“Raja menitikkan air mata
penyesalan dan duduk sambil memohon kepada sang guru. Resi Shuka berkata,
“kalau begitu dengarkan. Pada mulanya Brahma mencurahkan cahaya pada dunia yang
diwujudkan oleh maya atau khayal. Brahma menghendaki agar ciptaan berkembang
biak, tetapi ada suara dari angkasa yang mengingatkan, 'Tapa merupakan landasan
penting bagi segala sesuatu. Melalui tapa, khayal akan lenyap. “Mendengar ini,
Pariikshit menyela dan bertanya, “Apakah makna dan nilai tapa? Mohon berilah
saya penjelasan.”
Resi Shuka menanggapi interupsi
ini dengan ramah. Beliau berkata, “Nak, Maharaja, tapa berarti saadhanaa,
disiplin, latihan rohani. Melalui tapalah terjadi proses agung penciptaan,
pemeliharaan, dan penghancuran. Tapa menyebabkan dicapainya kesadaran diri
sejati. Dengan kata lain, bila pikiran, akal budi, dan indera dilatih dengan
tapa atau latihan rohani yang berdisiplin, maka diri sejati akan terungkap.
Teknik tapa ini akan saya jelaskan kepada Tuanku, dengarkan. Pikiran, akal
budi, dan indra selalu cenderung mengarah pada objek-objek lahiriah, mereka
selalu berpaling ke dunia luar. Bila ada suara dari dunia luar, telinga
mendengarkan. Begitu telinga mendengar, mata berusaha melihatnya. Pada waktu
mata melihatnya, pikiran menginginkannya. Segera budi menyetujui gagasan itu
dan (mulai) berusaha memperolehnya secepat mungkin.”
“Dengan demikian setiap indra
mengejar objek-objek lahiriah satu demi satu, yang satu mendukung yang lain,
resah dan sengsara. Pikiran, akal, dan indra yang (cenderung) berkelana tanpa
tujuan mengejar kenikmatan objektif ini harus dikendalikan. Mereka harus
dilatih agar memusatkan segenap perhatian pada kemuliaan dan kebesaran Tuhan,
agar mengikuti satu jalur disiplin yang terpusat dan sistematis. Pikiran, akal,
dan indra harus diarahkan menuju jalan yang lebih luhur. Kegiatan mereka yang
tanpa izin harus dikendalikan; mereka harus dididik dengan japa, meditasi,
perbuatan baik, kegiatan darma bakti, atau kegiatan luhur lain yang
memurnikan.”
“Proses memurnikan peralatan
batin manusia dengan memusatkan pembicaraan, perasaan, dan kegiatan kepada
Tuhan disebut tapa. (Dengan demikian) kesadaran batin akan dibersihkan dari
segala noda dan cacat cela. Bila kesadaran batin telah menjadi murni dan tidak
tercemar, Tuhan akan bersemayam di dalamnya. Akhirnya saadhaka akan mengalami
penampakan Tuhan di dalam dirinya sendiri.”
“Oh Maharaja, dapatkah
seseorang membayangkan yang lebih agung daripada hal ini? Para resi agung, para
mahatma, semuanya sibuk melakukan tapa dan sebagai hasilnya mereka memperoleh
kecemerlangan serta kemuliaan spiritual yang langka dan langgeng. Bahkan
Raavana dan Hiranyakashipu, para iblis yang jahat, dapat menguasai dunia
materiil dan memperoleh kemampuan penghancur yang dahsyat melalui disiplin tapa
yang dilakukan dengan susah payah dan diarahkan pada saluran yang agresif.
Kalau saja usaha mereka diarahkan pada jalan saattvika, dan bukannya memilih
jalan raajasika, pastilah mereka telah mencapai kedamaian dan sukacita
kesadaran diri sejati.”
“Didasarkan pada dorongan yang
melandasinya, tapa digolongkan dalam tiga kelompok: taamasika, raajasika, dan
saattvika. Dari ketiga jenis ini, tapa saattvika paling efektif untuk
memperoleh penampakan Tuhan.”
“Vasishtha, Vishwaamitra, dan
para resi lain memperoleh kesaktian menakjubkan melalui tapa saattvika yang
mereka lakukan dengan motivasi yang murni dan tidak mementingkan diri. Akhirnya
mereka meningkat ke status Brahmaresi.”
“Tapa juga digolongkan de dalam
tiga kelompok lain yaitu: mental, fisik, dan vokal. Mungkin Tuanku bertanya,
dari ketiganya mana yang paling penting. Harus saya katakan kepada Tuhan bahwa
ketiganya penting. Tetapi jika tapa mental dilakukan, kedua jenis lainnya akan
mengikuti.”
“Orang yang terikat oleh
keinginan objektif akan berusaha memenuhinya dengan berbagai cara. Ia menjadi
budak indra dan sasaran yang dikejarnya. Tetapi bila ia menarik indranya dari
dunia, mengendalikan penguasa indra yaitu pikiran, dan menyibukkan pikiran
dalam tapa, maka ia dapat menegakkan swaaraajya 'penguasaan diri' atau
'kebebasan atas dirinya sendiri'. Membiarkan indra melekatkan diri pada objek,
itulah perbudakan. Bila pikiran yang mengalir melalui indra menuju ke dunia
luar dipalingkan ke dalam batin untuk merenungkan atma, ia akan mencapai
kebebasan atau moksha.”
“Oh Maharaja! Segala hal yang
kasat mata ini bersifat sementara dan tidak nyata. Hanya Tuhanlah yang nyata dan
abadi. Kelekatan pada objek-objek berakhir dengan kesedihan. Tuhan merupakan
kenyataan diri kita. Kenyataan itu, Tuhan di dalam diri Tuan, tidak ada
hubungannya dengan dunia objektif yang selalu berubah dan bersifat sementara;
Beliau adalah kesadaran murni. Andai pun Tuan mencoba menghubungkannya, hal itu
hanya seperti hubungan antara orang yang bermimpi dengan benda yang dilihat
serta dialaminya dalam mimpi.”
Mendengar ini, Raja bertanya,
“Resi Yang Agung! Dalam hal ini ada yang membuat saya ragu. Hanya hal-hal yang
sudah diketahui secara langsung pada waktu melek akan tampak dalam mimpi,
karena itu harus ada kenyataan sebagai landasan penampakan yang keliru itu,
bukan? (Ketika sedang bermimpi), semua objek dianggap nyata, pada waktu bangun
disadarilah bahwa semua itu tidak nyata. Tetapi, ini merupakan pengalaman kita
manusia; dapatkah Tuhan pun terperdaya? Lagi pula, jika objek-objek itu hanya
sejenis dan seragam, maka dapat dikatakan bahwa maya memperdayakan dan inilah
akibatnya. Tetapi objek itu banyak sekali dan bentuknya sangat beragam.
Semuanya tampak nyata dan benar. Bagaimana hal ini dapat dibandingkan dengan
pengalaman-pengalaman dalam mimpi?”
Pertanyaan ini membuat Resi
Shuka tertawa. “Oh Maharaja, mayalah penyebab wujud yang beraneka ragam ini. Ini
merupakan permainan drama yang cerdik seperti aneka ragam pakaian. Dunia
objektif atau alam mengambil berbagai wujud melalui manipulasi maya 'dorongan
yang memperdayakan'. Karena dorongan delusi atau ketidaktahuan pramula,
timbullah ketiga sifat (sattva, rajas, serta tamas) dan sifat-sifat itu saling
bercampur, Dengan adanya perubahan, waktu pun mewujud. Kemudian muncullah
segala keanekaragaman yang disebut alam semesta ini. Karena itu jivi 'jiwa
individual' harus mengabdikan dirinya kepada penguasa delusi ini, sutradara
drama ini, penguasa yang memainkan waktu, sang aktor yang memainkan guna 'sifat
sattva, rajas, tamas atau jenis kelakuan yang sesuai dengan jenis sifat yang
dominan', ibu seluruh jagat raya. Jivi harus memenuhi dirinya dengan pengertian
mengenai kemuliaan Tuhan Yang Maha Mutlak dan abadi serta kekuasaan-Nya yang
tidak terbatas. Ia harus membenamkan dirinya dalam kebahagiaan jiwa yang
diperoleh dari pengertian itu, kemudian ia menanggalkan segala ajnaana
'kekaburan batin atau ketidaktahuan' dan bisa tidak melekat walaupun ia
menggunakan ciptaan maya!”
Raja sangat takjub mendengar
perkataan resi ini. Ia berkata, “Maharesi! Bagaimana pertama kali terjadinya
ciptaan ini? Apakah bahan asal yang dilipatgandakan oleh maya? “Resi Shuka
menguraikan topik ini. Beliau berkata, “Ciptaan berlangsung sejak waktu belum
dimulai. Mula-mula timbullah teratai dari pusar pribadi pramula yang dalam
kitab-kitab suci disebut Naaraayana. Dari teratai ini Tuhan sendiri mewujud
sebagai Brahma, Brahma merasakan dorongan untuk memandang ke empat jurusan,
maka wajah-Nya menjadi empat.”
“Brahma menyadari bahwa ia
harus menggiatkan diri agar penciptaan dapat berlangsung, maka ia duduk dengan
sikap yoga padmaasana dan memikirkan gagasan seluruh ciptaan ini. Maharaja
Pariikshit, misteri ciptaan tidak dapat diuraikan dengan mudah atau dipahami
dengan cepat. Dalam kegiatan Tuhan yang Mahabesar, tidak ada rantai sebab
akibat. Tiada seorang pun dapat memeriksa atau menyelidiki kemampuan kreatif
dan prestasi Tuhan Yang Mahatinggi. Mahakuasa, dan Mahatahu. Maharaja, ketika
saya sedang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan sebelumnya. Tidak semua hal
itu pasti akan saya jelaskan kepada Tuan dalam penuturan kisah Bhaagavata
berikut ini. Semua pertanyaan Tuan berada dalam lingkup Puraana.”
Ketika perkataan yang menghibur
dan menyenangkan ini didengarnya, Pariikhshit bertanya, “Resi Yang Agung!
Apakah Puraana itu? Apa isinya” Berapa banyak jumlahnya “Resi Shuka menjawab,
“Kitab yang menguraikan kebenaran ringkas dan tepat yang terkandung di dalam
Weda disebut Puraana. Jumlahnya tidak terhitung, tetapi kini delapan belas
diantaranya sangat terkenal. Kitab-kitab ini disusun dan disunting oleh ayah
saya, Maharesi Vyaasa. Mereka mempunyai sepuluh sifat khas yang sama.
Tambahan-tambahan pada Puraana ini disebut Upa-Puraana dan hanya mempunyai lima
ciri khas. Mungkin Maharaja akan bertanya, apakah kesepuluh sifat khas
tersebut. Akan saya ceritakan kepada Tuanku bahkan sebelum Tuan bertanya!
Ciri-ciri khas tersebut adalah sarga, visarga, sthana, poshana, uuti,
manvantara, Ishaanucarita, nirodha, mukti, dan asraya (penjelasan kata-kata
Sanskerta ini diberikan dalam bab berikutnya, keterangan penerjemah). Dari
kesepuluh ciri khas ini asrayahalah yang paling penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar