Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Dari sekian banyaknya
cabang ilmu dalam kitab suci Veda, Bhagavad Gita merupakan kitab suci yang
paling popular serta acuan yang paling banyak dipakai dipakai oleh semua mazab
dalam keyakinan hindu, entah itu yang menganut paham Shivaisme, Ganapati,
Sakta, Brahma, apalagi golongan Vaishnava. Bahkan golongan dari non hindu-pun
lebih sering mempergunakan kitab ini untuk mempelajari peradaban Veda.
Veda begitu
diapresiasi oleh kaum cendikiawan dunia sebagaimana kita lihat dalam komentar
beberapa tokoh dunia dalam ulasannya tentang Gita yang dimuat sebagai lampiran
dalam Kitab suci Bhagavad Gita menurut aslinya (Bhagavad Gita as it is) karya
Srila Prabhupada.
Dalam khasanah agama
islam, hari turunnya Al’qur’an atau hari dimana Nabi Muhamad mendapatkan firman
dari Allah ketika ia sedang tahanut (Meditasi) di gunung hira diperingati
sebagai tonggak yang sangat penting dan bersejarah bagi umat islam sebagai hari
pencerahan spiritual dalam memerangi kegelapan bhatiniah umat manusia. Hari
yang dikenal dengan nama “Malam laitul qadar atau Nuzulul qur’an”, begitu
mendapat tempat di hati para penganutnya sebagai hari yang penuh berkah. Namun apa
yang terjadi dengan hindu di Nusantara khususnya, yang bahkan sebagian besar
tidak mengetahui hari raya besar dan penting dimaksud. Inilah celakanya jika
beragama karena faktor warisan dari orang tua saja tanpa mau mendalami sejarah
agama, asal usul, dan juga kebesaran serta kebenaran filsafat dari agama yang
dianutnya. Sementara ini umat hindu masih lebih banyak berkutat dalam ritual
saja, sibuk dalam mempelajari aneka macam upakara banten lalu menganggap kurang
penting pendalaman agama dalam bentuk tattwa atau filsafatnya sehingga tidak
jarang situasi demikian dijadikan senjata ampuh bagi missioner agama lain untuk
menggoyahkan keyakinan mereka terhadap hindu, masyarakat hindu belum banyak
yang bisa memberikan jawaban berdasarkan sumber sastra yang akurat ataupun jika
bisa menjawab pertanyaan missioner, kebanyakan jawaban yang diberikan hanyalah
jawaban sekenanya saja tanpa acuan dan dasar yang jelas dalam kitab suci,
padahal di lain sisi kaum misionaris agama lain sudah terlebih dahulu
mempelajari kelemahan masyarakat hindu ini, mereka mempelajari susastra dan
kebudayaan hindu lalu mencari titik lemah untuk mendebatnya dengan keyakinan
yang mereka anut, sehingga masyarakat yang menenggelamkan dirinya dalam tradisi
rituallah yang paling sering tak berdaya menghadapi argument-argument yang begitu
tampak masuk akal yang disampaikan kaum misionaris ini.
Kita tidak bisa
menutup mata dan telinga melihat kenyataan di lapangan bahwasannya terlalu
banyak kegiatan keagamaan yang dilakoni masyarakat hindu khususnya di Bali
dengan sambil lalu saja, tanpa penggalian makna yang jelas tentang apa yang
mereka kerjakan. Sebagai contoh dalam menyambut dan merayakan hari raya
Sarasvati yang di Bali dikenal sebagai hari turunnya Ilmu pengetahuan dimana
sakti Dewa Brahma dipuja pada saat itu. Masih banyak para orang tua yang tidak
bisa memberikan jawaban kenapa pada hari itu menjadi moment perayaan ?, apakah
ilmu pengetahuan memang baru turun pada hari sabtu wuku watugunung itu ? kapan
tanggal pastinya, bulan apa dan tahun berapa ?, kenapa harus Dewi Sarasvati
kenapa tidak Sri Ganesha padahal Ia yang menuliskan Veda bersama dengan Vyasa
dewa. Bukankah di beberapa lembaga pendidikan justru Ganesha-lah yang dipuja ?
Lalu apa benar pada hari raya Sarasvati kita tidak boleh membaca dan menulis ?
kenapa hanya anak-anak sekolah saja yang difokuskan dalam perayaan itu apakah
para orang tua,buruh,petani,dsb tidak berkepentingan dengan hari turunnya ilmu
pengetahuan dimaksud ? sehingga mereka seakan-akan tidak tahu, pura-pura tidak
tahu dan bahkan ada yang tidak mau tahu dengan hari suci itu.
Jika hari raya yang
begitu akrab dengan suasana keagamaan di Bali itu saja sudah dimaknai dalam
konteks “Asal merayakannya saja”
tanpa mau menggali makna sesungguhnya lantas bagaimana halnya dengan sebuah
hari raya besar nan agung yang masih terkemas dalam budaya aslinya seperti
perayaan Hari turunnya Bhagavad Gita yang dikenal dengan nama Gita jayanthi. Tapi
baiklah, yang lalu biarlah berlalu, setidak-tidaknya mulai hari ini Generasi
muda hindu khususnya, mau membenahi diri agar tidak menjadi korban tradisi masa
lalu yang asal nerimo dengan prinsip “Koh ngomong dan anak mule keto”. Mari belajar
beragama dengan cara yang sesuai dengan kebenaran dan juga perkembangan jaman
sehingga kita tidak dicap sebagai seorang penganut agama KTP.
Kembali kepada perayaan
hari Gita jayanti yang mengilhami penulisan ini, bisa saya jelaskan bahwasannya
pada hari Ekadasi (hari kesebelas setelah bulan-mati) pada bulan Margaseersha
(Desember-Januari), menurut almanak Hindu, Sanjaya –yang merupakan sekretaris dari
raja Drstaratha memaparkan dialog spiritual-holistis antara Sri Krishna
dan Arjuna yang terjadi di medan perang Kuruksetra pada saat akan
berlangsungnya perang besar Mahabharata. Kidung ajaran ketuhanan yang
disampaikan oleh Personalitas Tuhan yang Maha Kuasa Sri Krishna ini yang
kemudian dikenal dengan nama Bhagavad Gita. Dimana kata Bhagavad berarti Tuhan
yang mengacu kepada Sri Krishna dan Gita yang berarti kidung /syair nyanyian. Kitab
ini mengilhami begitu banyak yogi dan jutaan manusia di bhumi untuk kembali
menyadari aspek dirinya sebagai atma penghuni badan yang telah lama terperdaya
oleh pemahaman keliru tentang persamaannya dengan badan material.
Pada hari ini, para
masyarakat kesadaran Krishna biasanya melakukan berbagai kegiatan spiritual
seperti agni hotra, pembacaan Bhagavad gita secara keseluruhan, Sath sang, dan
juga Harinam Sankirtan yajna. Mengingat susastra menyebutkan bagaimana efek
rohani hari raya ini akan dapat meningkatkan kemajuan spiritual bagi yang
melaksanakannya, sebagaimana pula dapat kita lihat dan baca dalam kitab suci
Gita Mahatmya, yang merupakan kitab yang berisi puji-pujian Dewa Shiva terhadap
keagungan dan kemuliaan Bhagavad Gita.
Dalam kitab ini diriwayatkan bagaimana
Sri Krishna dalam aspek-Nya sebagai Vishnu atau Narayana,memaparkan hubungan
antara Bhagavad Gita dengan diri beliau sendiri. Sri Vishnu mengatakan kepada
Laksmi Dewi bahwasannya beliau sendiri telah memanifestasikan diri sebagai
Bhagavad Gita, dimana lima bab pertama adalah lima kepala beliau, sepuluh bab
berikutnya adalah sepuluh lengan beliau, dan bab enam belas adalah bagian perut
beliau sedangkan dua bab terakhir adalah dua kaki padma beliau.
Dengan cara
demikian seyogyanya semua orang dapat memahami sosok rohani dari Bhagavad Gita
sebab Ia adalah penghancur segala dosa sehingga orang cerdas yang setiap hari
mengucapkan satu bab, atau bahkan satu sloka, setengah sloka, atau setidaknya
seperempat sloka, akan mampu mencapai kedudukan yang sama dengan apa yang telah
dicapai oleh Susharma yakni kediamanku yang kekal. Berdasarkan hal inilah maka
kitab suci Bhagavad Gita diperlakukan dengan sangat istimewa, dihormati dan
dijunjung tinggi sebagaimana ia menjadi hamba bagi keagungan Tuhan. Karena Sri
Krishna sendiri telah mewejangkan bahwa diri Krishna, nama, dan apa yang
disabdakan-Nya tidak ada bedanya. Namun begitu tentu kita tidak akan menelan
mentah-mentah segala kisah dalam kemuliaan Gita ini sehingga menimbulkan
persepsi bahwasannya moksa atau Vaikutha loka tempat kerajaan Tuhan begitu
mudahnya dicapai dengan hanya mengidungkan kitab suci Bhagavad Gita bahkan
jikalaupun hanya membacanya seperempat sloka saja. Tuhan pasti mengetahui
tingkat kesungguhan, kepasrahan bhakti, dan juga motiv kita melakukan sesuatu.
Jika
kita hanya membeo atau seperti burung beo yang bisa fasih mengucapkan sesuatu
namun kurang menyadari makna dari apa yang dibicarakannya tentu karunia rohani
Bhagavad Gita juga tidak akan bisa maksimal dicapai. Tuhan tidak ingin anaknya
menjadi kaset atau rekaman CD yang mampu mengucapkan sloka sampai berjam-jam
dan berhari-hari tanpa putus namun tiada menyadari keagungan mantra yang
diperdengarkannya. Sloka Bhagavad Gita pada Bab I sloka 1 dimulai dengan kata “Dharma”
lalu di Bab terakhir XVIII diakhiri dengan kata “Mama” yang jika kedua kata ini
digabungkan maka akan menjadi Dharma mama (Kewajibanku). Bukankah Bhagavan
mengajarkan kepada Arjuna agar melaksanakan kewajibannya sebagai seorang
ksatria dengan tetap mendengarkan perintah-perintah beliau. Arjuna adalah
cerminan dari diri kita sendiri, maka Bhagavan Krishna juga memerintahkan
kepada kita untuk melaksanakan svadharma kita masing-masing dengan baik
sebagaimana petunjuk beliau dari dalam kitab suci dan juga suara hati.
Perayaan Gita jayanti
juga mengingatkan kita tentang kenapa Tuhan sampai ber’Avatara’ mewujudkan diri
ke bhumi untuk mengajarkan rahasia ilmu pengetahuan itu kepada manusia yang
dalam hal ini diwakili oleh arjuna. Lalu apakah Bhagavad Gita yang merupakan
susu siap minum ini sudah bisa kita maknai sebagaimana adanya atau masih
sebatas hafalan saja tanpa praktek yang jelas dalam kehidupan sehari-hari.
Moksa atau tercapainya kesatuan dalam kerajaan Tuhan hanya bisa dicapai jika
kita mengetahui peta dan cara yang jelas untuk itu. Moksa adalah gabungan dari dua
kata yakni Moha dan Ksaya (Moha adalah kebingungan dan Ksaya adalah Pembebasan)
jadi ia yang bisa dibebaskan dari kebingungan seperti situasi arjuna tentu akan
bisa melihat peta yang jelas untuk memulai perjalanan menuju kerajaan Tuhan. Moksa
adalah keadaan bebas dari kebingungan dan salah satu cara guna mencapai
kebebasan dari kebingungan,dan kegelisahan di jaman ini adalah dengan cara
membatasi keinginan atau Ceiling on Desires sebagaimana sering diwacanakan oleh
Svami Sathya Narayana. Catur Purushaartha harus dikelompokkan menjadi dua
bagian utama yakni Dharma; Artha dan Kama;Moksha, yang artinya bahwa dalam
hidup ini segala harta harus dicari, dicapai,dan digunakan sesuai dengan
Dharma, sehingga keinginan (Kama) kita bisa terfokus pada satu hal yakni untuk
mencapai Moksa. Demikian halnya dengan penerapan catur asrama dalam kehidupan
yang seharusnya selaras dengan usia. Sebab bagaimana mungkin Moksa bisa dicapai
jika pada saat Brahmacari kita sudah melakoni hidup sebagai Grhasta, dan pada
saatnya Wanaprasta (atau masa meninggalkan hal-hal yang bersifat keterikatan
material) kita masih menggeluti pekerjaan sebagai Grhasta. Umur 50 tahun keatas
seharusnya manusia sudah mulai meninggalkan urusan keduniawiannya dan secara
bertahap memasuki kehidupan perenungan diri untuk mengumpulkan bekal perjalanan
pulang kekerajaan Tuhan. Semoga perayaan Gita jayanti ini memberikan banyak
kesadaran kepada kita semua bahwasannya jaman Kali yang dipenuhi dengan
kegiatan berdosa ini seperti arus sungai yang siap menyeret kita kedalam
pusaran materi yang semakin kuat guna menenggelamkan kita didalamnya. Dan bahwasannya
kehadiran Bhagavad Gita sebagai pelampung dan tali penyelamat sudah ada di
depan mata, sekarang tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar