Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Dear Brothers and
Sisters, Menanggapi usulan beberapa teman yang ingin agar Krishna Katta tentang
Bhagavatam ini dilanjutkan, maka dengan kerendahan hati saya akhirnya bekerja
untuk memenuhi permintaan mulia itu, maka kelanjutan Bhagavatam yang sempat
mandek beberapa hari lalu akan saya sambung kembali dari bagian ke 19. semoga
besar manfaatnya bagi spiritualitas anda.
Selamat merenungi hakikat spiritual di dalamnya.
Pada waktu
Wyasa menceritakan kisah Takshaka, Parikshit mendengarkan dengan penuh
perhatian. Ketika beliau menyudahinya, Parikshit bertanya dengan heran, “Apakah
alasan yang menyebabkan Kaurawa menganiaya dan menghina nenek ananda, Draupadi?
Bagaimana para kakek ananda menanggung penghinaan yang ditimpakan Kaurawa
kepada permaisuri mereka? Bagaimana kejadiannya sehingga mereka hanya diam
menyaksikan tanpa mampu membalas atau menghukum Kaurawa ketika permaisuri
mereka dihina di depan umum dalam sidang keraton? Nanda benar-benar tidak
mengerti bagaimana peristiwa ini terjadi. Ceritakanlah kejadian yang
sesungguhnya kepada nanda agar menjadi jelas. Ananda yakin maharesi dapat
melenyapkan keraguan nanda.”
Parikshit
memohon dengan mata berkaca-kaca dan sikap yang demikian rendah hati sehingga
Wyasa berkata, "Nak, Pandawa selalu taat mengikuti hukum moral; mereka
tidak pernah mengingkari kata yang telah diucapkan. Mereka mengikuti peraturan
bahwa pihak yang kalah tidak berhak menantang pihak yang menang. Kakek Ananda
dan adik-adiknya mengakui keunggulan moral Dharmaraja, kakak sulung mereka, dan
menahan diri. Jika tidak, pastilah Kaurawa yang busuk itu telah mereka habisi
agar berkubang dalam darahnya sendiri dan mayatnya dilemparkan agar
dicabik-cabik oleh anjing dan burung-burung pemakan bangkai."
"Meskipun
demikian, kakak kakek Nanda, Bhima, berusaha keras menyerang orang -orang jahat
itu bagaikan singa yang dirantai pada sebatang pohon. Dengan sinis ia
menertawakan keterikatan Dharmaraja pada dharma yang (menurut anggapan Bhima)
telah membuatnya lemah. Tetapi apa yang dapat dilakukannya? Ia tidak dapat
berbuat apa-apa karena (harus mematuhi) kehendak kakaknya yang tertua. Karena
itu ia terpaksa bertingkah laku seperti orang yang tidak berdaya."
Ketika
Wyasa mengatakan hal itu, Parikshit menanyakan apa sebabnya para kakeknya dapat
diperbudak seperti itu. Wyasa tersenyum dan berkata, "Nak, hal itu juga
akan saya ceritakan kepada Nanda. Kakak kakek Nanda, Dharmaraja, merayakan rajasuya
yajna secara sangat megah di balai pertemuan yang dibangun Maya baginya.
Upacara sehebat itu belum pernah berlangsung sebelumnya. Kaurawa diundang
menghadiri yajna itu. Sebagaimana telah saya ceritakan, mereka
tercengang keheranan melihat kemegahannya yang manakjubkan. Mereka juga penuh
rasa iri dan dengki seakan-akan kekayaan dan kekuasaan Pandawa merupakan
penghinaan baginya. Mereka berunding dengan teman-teman jahat dan mencari akal
untuk meruntuhkan kejayaan Pandawa.
Akhirnya
mereka membuat suatu rencana yaitu pertaruhan judi dengan permainan dadu ala
kerajaan. Mereka berpura-pura penuh kasih persaudaraan dan seakan-akan (ingin
mengundang main dadu) karena digerakkan oleh kasih sayang yang amat besar.
Perkataan mereka ibarat tetesan madu yang beracun, tikaman belati yang dilapisi
mentega. Mereka membujuk ayah mereka yang uzur dan tunanetra agar mengirim
undangan kepada Dharmaraja sebagai berikut. "Nak, kalian semua saudara.
Datanglah berkumpul dan main dadu dengan gembira." Ketika menerima
undangan ini, kakak kakek Nanda yang bersih dan tulus hatinya sama sekali tidak
menaruh prasangka pada tipu muslihat Kaurawa. Ia menerima undangan itu dan
mengikuti permainan dadu yang mereka selenggarakan tanpa menyadari tipu daya
yang telah mereka rencanakan. Ia digoda untuk mempertaruhkan adik-adiknya dan
akhirnya bahkan permaisurinya, Draupadi. Ia tidak sadar bahwa permainan itu
dilangsungkan secara kotor dan merupakan persekongkolan untuk memperdayakannya.
Ia tidak pernah membayangkan bahwa saudara-saudara sepupunya akan
menjerumuskannya dalam kesengsaraan yang menyedihkan. Karena itu, sesuai dengan
aturan permainan judi, Draupadi menjadi milik para pemenang. Untuk membalas
dendam dan melampiaskan gelora kebenciannya, mereka juga bermaksud
mempermalukan permaisuri Pandawa di hadapan sidang yang dihadiri oleh seluruh
pejabat istana. Otak yang kotor hanya dapat membuat rencana busuk."
Mendengar
kisah ini merebaklah air mata Parikshit. Ia bertanya kepada Wyasa dengan suara
yang tertahan oleh helaan napas panjang, "Mengapa Dhritarashtra yang
tunanetra, walau pun ia seorang maharaja, membiarkan terjadinya perlakuan yang
rendah kepada wanita lain, bahkan seorang ratu? Tentu saja ia tidak mempunyai
mata untuk melihat, tetapi jelas ia mempunyai telinga untuk mendengar. Apakah
ia telah menyumbat telinganya sehingga jerit tangis Draupadi tidak didengarnya?
Atau, sudah buta pulakah daya pikirnya? Kitab Shaastra mengajarkan bahwa wanita
tidak boleh disakiti atau dihina; perempuan harus diberi pertolongan serta
perlindungan, dan para penguasa ini yang seharusnya menjadi teladan serta
panutan bagi rakyatnya dalam kesusilaan dan keadilan, dengan kurang ajarnya telah
melanggar petunjuk Shaastra tanpa mendapat hukuman. Bagaimana
orang-orang jahat semacam itu dapat menjadi maharaja? Apakah mereka bukan
manusia yang paling keji? Hanya pendosa paling jahat akan berikhtiar menghina
dan mempermalukan istri orang lain, seorang wanita yang tidak berdaya. Nanda
rasa negeri ini telah tercabik-cabik hanya karena orang-orang yang menjijikkan
semacam itu memperoleh kekuasaan; akhirnya aneka bencana ini mendatangkan
kehancuran total. Bukankah Tuhan tidak buta?"
Parikshit
melanjutkan keluhan protesnya, "Bahkan raksasa dan bangsa barbar pun
menghormati kaum wanitanya. Bila seorang wanita di antara mereka dihina seperti
itu, mereka membalasnya seakan-akan seluruh suku diperlakukan dengan
sewenang-wenang. Bila seperti itulah (penghormatan bangsa barbar kepada wanita,
dalam kejadian ini) para sesepuh marga, sang maharaja, para guru mereka, kaum
bijak dan cendekiawan, semuanya hadir di situ dan menyaksikan perbuatan jahat
yang dilakukan dalam sidang terbuka itu; apakah akal budi para saksi yang
berkedudukan tinggi itu tiba-tiba dibutakan oleh penyakit yang parah? Apakah
mereka makan rumput sehingga cita rasa mereka menjadi seperti hewan? Apakah
mereka dilanda sifat kebinatangan sehingga melupakan kehormatan bangsa? Dan
para sesepuh? Kemampuan pertimbangan mereka telah lenyap, pastilah mereka
tampak sebagai karitur yang patut dikasihani."
Wyasa
menyela luapan amarah kepada para sesepuh yang duduk diam pada waktu peristiwa
dahsyat itu terjadi; katanya, "Nak! Parikshit! Jangan tergesa mengambil
kesimpulan dan menjadi bingung. Tidak seorang pun di antara para sesepuh yang
hadir dalam pertemuan itu menyetujui perbuatan jahat Duryodhana, Dussasana, dan
lain-lainnya. Para sesepuh memperingatkan mereka akan akibat-akibat kejahatan
tersebut, tetapi apa yang dapat mereka perbuat bila orang-orang yang berhati
busuk itu melakukan dosa? Ketika Dussasana menjambak rambut Draupadi dan
menyeretnya menuju balai sidang keraton yang penuh para pejabat tinggi istana
serta tokoh lainnya, 'kesedihan Widura, Bhisma, dan Drona tidak tertahankan
lagi. Kata-kata tidak mampu mengungkapkannya. Air mata mengalir di pipi mereka.
Mereka tidak mampu menengadah mamandang gerombolan yang menjijikkan itu."
"Juga
ada sebab lain. Percikan api timbul dari pandangan Draupadi yang penuh amarah
ketika ia dianiaya dan jika jatuh pada siapa pun juga di balairung itu,
pastilah orang tersebut hangus menjadi abu! Untunglah ia hanya menatap kakek
Nanda yang tertua, Dharmaraja. Ketabahan dan ketenangan Dharmaraja terekam
dalam pikiran dan perasaan Draupadi sehingga orang-orang yang berkumpul di situ
selamat dari kebinasaan. Jika tidak, pastilah Duryodhana, Dussasana, dan
saudara-saudaranya yang busuk itu tidak akan ada yang hidup."
Wajah
Dharmaraja yang penuh ketenangan mempunyai pengaruh yang mengubah. Para kakek
Nanda: Bhima, Arjuna, Nakula, dan Sahadewa mengamati wajah itu ketika hati
mereka tercabik-cabik melihat penderitaan Draupadi, tetapi sementara mereka
mengamati wajah itu, gelora kegeraman mereka mereda. Hari itu air muka Dharmaraja
yang penuh ketenangan menyelamatkan setiap orang dari bencana; jika tidak
pastilah semua sudah habis terbakar api kemarahan, membuat pertempuran
Kurukshetra tidak diperlukan lagi."
Tiada
apa pun yang dapat terjadi jika tidak dikehendaki Tuhan, bukan? Bagaimana
mungkin manusia mengesampingkan kehendak Sri Krishna? Draupadi meratap karena
tiada satu pun junjungannya yang bangkit untuk membelanya walau ia memanggil
mereka dan mengingatkan keperkasaan serta keberanian mereka. Pada waktu itu
mendadak ia teringat kepada Sri Krishna, Sang Juru Selamat. Pikiran ini mengisi
hatinya yang putus asa dengan keberanian. 'Oh Shyamasundara! serunya', 'Ini
bukan penghinaan yang ditujukan kepada saya, juga bukan penghinaan keji kepada
Pandawa. Padukalah yang dihina dan disakiti. Paduka merupakan segala-galanya
bagi kami. Kami tergantung pada Paduka dalam segala hal. Adilkah jika sekarang
Paduka membiarkan saja kekejian bengis yang kini dilakukan untuk melukai
kehormatan kami? Saya sudah membaktikan diri saya kepada Paduka.'
'Mungkin
Paduka tidak puas dengan apa yang selama ini kami persembahkan di kaki Paduka.
Terjadilah kehendak Paduka," demikian ia memasrahkan diri sepenuhnya tanpa
syarat kepada Tuhan.'
"Sebagai
tanggapan atas seruan ini, pelindung mereka yang tiada berpengharapan dan
penyelamat mereka yang pasrah diri kepada Tuhan, mengambil alih tanggung jawab
untuk menyelamatkannya dari keadaan yang sulit. Diam-diam, tanpa terlihat,
Beliau memasuki balairung itu dan memberkati Draupadi tanpa diketahui siapa
pun. Sungguh ajaib! Sari yang ditarik oleh iblis berwujud manusia itu
(Dussasana) dalam usahanya untuk mempermalukan permaisuri Pandawa, menjadi
tiada akhirnya. Setiap orang termasuk si penyiksa tertegun melihat demonstrasi
rahmat Sri Krishna dan bakti Draupadi. Orang-orang yang baik dan bijak sadar
bahwa sathya dan Dharma 'kebenaran dan kebajikan' tidak akan
pernah dapat ditundukkan. Air mata sukacita yang menitik di wajah mereka
membuktikan bahwa mereka sangat terharu dan bahagia. Si jahat Dussasana jatuh
kelelahan dan terhina. Draupadi tidak menanggung malu sedikit pun. Justru
Kaurawalah yang dipermalukan, sedangkan Pandawa tidak terpengaruh."
"Dapatkah
Tuhan membiarkan Pandawa yang adil dan luhur budi perketinya menderita
penghinaan? Kejahatan yang dirancang Kaurawa untuk ditimpakan pada Pandawa
(akhirnya) berbalik menimpa mereka sendiri. Ini merupakan hasil langsung rahmat
Sri Krishna yang Beliau limpahkan kepada para kakek serta nenek Nanda dan juga
karena bakti serta iman mereka kepada Beliau."
"Bhagawan
mengatur drama yang menggetarkan ini untuk memberitahu dunia tentang kehebatan
bakti Pandawa serta keampuhannya dan juga untuk mengangkat mereka sebagai
teladan bagi zaman kali yang akan datang; selain itu, tiada maksud yang lain.
Mungkin
Ananda difitnah, dihina, dan diepermalukan; mungkin Nanda menderita kemiskinan
atau kepedihan, tetapi orang yang telah memasrahkan diri pada kehendak Tuhan
akan menerima hal ini dengan gembira dan membangunnya dengan tenang. Tuhan
tidak akan pernah meninggalkan anak-anak Beliau. Mereka yang berbakti kepada
Tuhan harus tetap sabar dan tenang walau menghadapi hal-hal yang amat
menjengkelkan dan membangkitkan kemarahan. Kenyataannya orang-orang yang saleh
dan taat kepada Tuhan adalah mereka yang sering mendapat kesusahan dan
kesulitan. Untuk mengajarkan kebenaran agung ini kepada umat manusia, Krishna
memerankan drama ini dengan Pandawa sebagai para pelakunya. Setiap peristiwa
dalam kehidupan mereka merupakan suatu adegan dalam permainan drama
Beliau."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar