Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Utusan
dari pertapaan itu berkata, "Oh Maharaja, guru kami mempunyai seorang
putra; walaupun ia masih remaja, prestasi spiritual yang dicapainya besar
sekali. Ia menghormati ayahnya sebagai dewata dan tujuan utama hidupnya adalah
melayani ayahnya serta menjaga kemasyhuran beliau. Nama anak itu Shringii.
Baginda datang ke pertapaan itu; tergerak oleh suatu dorongan yang tidak dapat
dijelaskan, Baginda kalungkan bangkai ular pada leher ayah Shringii yang juga
guru saya. Beberapa anak melihat kejadian itu; mereka berlari menemui Shringii
yang sedang bermain dengan kawan-kawannya dan memberitahunya. Mula-mula ia
tidak percaya dan melanjutkan permainannya. Tetapi anak-anak dari pertapaan
mengulang berita itu berkali-kali secara mendesak. Mereka mengejeknya karena
terus bermain dengan gembira sementara ayahnya dihina demikian kasar. Bahkan
teman sepermainannya menertawakan ketidakpeduliannya. Karena itu, ia berlari
secepat mungkin menuju ke pondoknya dan mendapati bahwa laporan anak-anak itu
ternyata benar."
"Ketika
berpaling, Shringii melihat Baginda sedang berjalan meninggalkan tempat itu.
Tanpa pertimbangan mengenai apa yang penting untuk jangka panjang dan apa yang
merupakan kepentingan sementara, terdorong oleh kekalutan dan kemarahan yang
meluap-luap, remaja itu tidak dapat mengendalikan dirinya lagi, lalu
melontarkan kutuk kepada Paduka. Ini menyebabkan guru saya terus merasa
sedih." Maharaja menyela pemuda itu dan bertanya, "Oh, putra pertapa,
katakan kepada saya apakah kutukannya." Pemuda itu menjawab, "Baginda,
sulit bagi saya mengatakannya. Lidah saya bagaikan kelu. Meskipun demikian saya
harus menyampaikannya karena guru saya telah mengutus saya untuk memberitahukan
hal ini. Putra guru saya langsung menyauk air Sungai Kaushikii yang suci dan
mengucapkan, 'Tujuh hari lagi mulai hari ini, semoga Raja digigit ular
Takshaka, sungguh kutuk yang sangat mengerikan." Pemuda itu terdiam
dilanda kesedihan lalu menangis.
Tetapi
Maharaja hanya tersenyum. Ia berkata, "Pertapa muda, apakah ini suatu
kutuk? Akan digigit Takshaka dan itu pun tujuh hari kemudian? Ini bukanlah
kutuk, ini tanda anugerah rahmat! Ini suatu berkat yang diucapkan oleh putra
guru. Saya telah tenggelam dalam urusan kemaharajaan sehingga melalaikan
masalah kerohanian dan Tuhan yang merupakan tujuan hidup manusia. Akibatnya
Tuhan yang penuh belas kasihan menggerakkan lidah putra resi itu untuk
mengucapkan kata-kata tersebut. Beliau telah menganugerahi saya selang waktu
selama tujuh hari! Bukankah ini rahmat yang luar biasa? Pastilah Tuhan
menghendaki agar saya melewatkan setiap saat dalam tujuh hari itu untuk
merenungkan Beliau. Mulai detik ini juga saya akan mempersembahkan waktu dan
pikiran saya di kaki suci Tuhan dengan tiada putusnya. Teman muda, guru Anda
menyuruh Anda menyampaikan berita apa lagi kepada saya? Katakan segera. Saya
ingin sekali mendengarnya."
Utusan
muda itu melanjutkan bicaranya, "Guru saya merasa bahwa kutuk ini
merupakan penghianatan yang tidak dapat diampuni karena Baginda berpegang teguh
pada dharma dan Baginda abdi Tuhan yang agung. Karena itu, sampai lama beliau
berusaha mencari cara-cara untuk menghindarkan akibat kutukan itu. Meskipun
demikian, dengan kemampuan yoganya beliau mengetahui bahwa Baginda memang
ditakdirkan untuk mangkat akibat gigitan ular dan juga ditakdirkan mencapai
takhta Tuhan ketika wafat. Beliau merasa bahwa ini merupakan akhir yang
bermanfaat dan berdosalah jika beliau menghalangi tercapainya penyempurnaan
yang demikian mulia. Karena itu, beliau mengirimkan berkat beliau melalui saya
agar Baginda mencapai penyatuan dengan Tuhan. Sekarang saya sudah menyelesaikan
tugas saya. Saya akan berangkat begitu Baginda memberi izin."
Pariikshit
bersujud di hadapan murid muda itu lalu memohon agar ia menyampaikan hormat dan
syukurnya kepada resi agung Shamiika serta putra beliau. Setelah itu pemuda
tersebut meninggalkan istana. Ketika tiba di pertapaan, diberitahukan kepada
gurunya segala yang terjadi di ibu kota.
Sementara
itu Maharaja pergi ke ruang dalam dengan sangat gembira lalu berdiri di pintu
masuk keputren dan minta agar putranya, Janamejaya, dibawa ke hadapannya.
Mendengar itu, putranya heran mengapa ia dipanggil demikian mendadak, lalu
berlari mendapatkan ayahnya. Pariikshit memanggil seorang brahmana tua ke
kamarnya lalu memasang mahkota yang terletak di tempat tidurnya pada kepala
putranya. Dipercayakannya raja baru itu kepada sang pendeta tua, kemudian ia
berjalan tanpa alas kaki, hanya dengan pakaian yang saat itu melekat di
tubuhnya, menuju ke sungai Gangga.
Dalam
beberapa menit saja berita itu tersebar ke segala penjuru dan di seluruh kota
rombongan pria, wanita, para brahmana, serta menteri bergegas mengikuti raja
serta memprotes dengan sangat mengibakan, tetapi semuanya sia-sia. Mereka
menangis keras-keras, menjatuhkan diri bersujud di kakinya, mereka
berguling-guling di sepanjang jalan yang akan dilaluinya. Raja tidak melihat
semua itu; ia tidak memberikan jawaban; ia berjalan terus sambil mengucapkan
nama Tuhan dalam hati dan memikirkan kesadaran diri sejati yang hendak
dicapainya. Ia berjalan cepat ke tepi sungai Gangga. Ketika mendapati bahwa
raja berjalan seorang diri ke sungai tanpa pengiring, maka gajah kerajaan, kuda
kerajaan, dan pelangkin dibariskan di belakangnya agar ia dapat naik di atas
salah satu diantaranya sekehendak hatinya, tetapi Raja sama sekali tidak
memperhatikan permohonan dan desakan yang diajukan berulang-ulang ini. Warga
kerajaan heran melihat raja mereka tidak makan dan minum; ia mengulang-ulang
nama Tuhan tanpa berhenti sesaat pun. Karena tidak seorang pun tahu apa yang
menyebabkan raja secara mendadak bertekad mengundurkan diri dari keduniawian,
beredarlah segala macam kabar angin didasarkan pada imajinasi setiap orang.
Beberapa
orang menyelidiki peristiwa yang terjadi sebelum raja mengundurkan diri dan
mendapati bahwa ada murid seorang pertapa yang datang menyampaikan berita
penting. Dengan mengikuti petunjuk itu mereka mengetahui bahwa raja hanya akan
hidup selama tujuh hari lagi. Warga kerajaan berkumpul di tepi sungai dan duduk
dengan amat sedih di sekeliling raja, mendoakan keselamatannya.
Berita
tragis itu menyebar demikian cepat hingga sampai ke hutan. Para pertapa,
sadhaka, resi, dan orang-orang suci pun ikut berjalan ke tepi sungai Gangga
sambil menjinjing kendi tempat air minumnya. Di seluruh tempat itu tampak
seakan-akan sedang ada perayaan besar. Di situ bargeman penggabungan panama
'mantra Om', doa-doa Weda, dan panduan suara yang menyanyikan kemuliaan Tuhan.
Beberapa kelompok sibuk memarahi putra Shamiika yang menyebabkan seluruh
tragedi ini. Dengan demikian, dalam waktu singkat tepukan sungai itu penuh
manusia sehingga tidak ada sebutir pasir pun yang tampak.
Sementara
itu seorang pertapa tua yang merasa sangat iba dan sayang kepada maharaja
datang mendekatinya. Dengan air mata berlainan karena luapan kasih nya, ia
berkata, "Oh Maharaja, orang-orang mengatakan segala macam hal, berbagai
cerita beredar dari mulut ke mulut. Saya datang menemui Paduka karena ingin
mengetahui kejadian yang sebenarnya. Saya hanya bisa berjalan dengan susah
payah. Saya amat sayang kepada Paduka sehingga saya tidak tahan mendengar
segala yang dikatakan orang-orang mengenai Paduka. Sebenarnya, apakah yang
terjadi? Apa yang menyebabkan pengorbanan mendadak ini? Apakah misteri di balik
kutukan yang dilontarkan putra seorang pertapa kepada jiwa yang amat tinggi
tingkatnya seperti Paduka? Beritahukanlah kepada kami. Puaskan hasrat kami
untuk mengetahui kebenarannya. Saya tidak dapat menyaksikan saja sementara
orang-orang menderita seperti ini. Baginda seperti ayah bagi mereka. Kini
Baginda tidak menghiraukan permohonan mereka. Baginda telah melepaskan segala
ikatan dan datang ke sini. Berbicaralah kepada mereka, setidak-tidaknya
beberapa patah kata untuk menghibur. Bila Baginda duduk diam dengan lapar di
tepi sungai, melakukan tirakat yang berat, para ratu dan menteri berada dalam
keadaan yang amat sulit seperti ikan yang dilemparkan keluar dari air. Siapakah
pemuda itu, yang kata-katanya menyebabkan badai malapetaka ini? Benarkah ia
putra seorang pertapa? Atau barangkali itu hanya samaran? Semuanya merupakan
misteri bagi saya."
Raja
mendengarkan perkataan yang diucapkan dengan penuh kasih dan ketenangan ini. Ia
membuka mata lalu bersujud di kaki pertapa tersebut. "Guru! Mahatma! Apa
yang harus saya sembunyikan dari Guru? Hal itu tidak dapat disembunyikan
seandainya pun saya ingin melakukannya. Saya pergi ke hutan untuk berburu.
Banyak satwa liar yang terlihat, tetapi mereka lari cerai berai ketika kami
mendekat. Serombongan kecil pemanah yang menyertai saya juga terpencar ketika
berusaha mengejar binatang-binatang itu. Saya dapati bahwa saya sendirian dalam
perburuan ini dan jauh dari para pengiring saya. Saya tidak mendapatkan
binatang buruan; saya dilanda rasa lapar dan haus; hawa yang panas terik
membuat saya kehabisan tenaga. Akhirnya saya temukan sebuah pertapaan dan saya
masuk ke situ. Belakangan saya ketahui bahwa itu pondok Resi Shamiika. Saya
berteriak memanggil-manggil, mencari kalau-kalau ada seseorang di dalamnya.
Tidak ada jawaban, juga tidak ada seorang pun yang muncul. Saya lihat seorang
pertapa sedang duduk dalam meditasi yang mendalam, tenggelam dalam dhyaana.
Ketika keluar dari pondok itu, terpijak olehnya saya sesuatu yang lunak. Saya
angkat dan saya dapati benda itu bangkai ular. Begitu melihatnya, akal sehat
saya pun terkena bisanya, timbullah pikiran buruk dalam diri saya; saya
kalungkan ular mati itu pada leher pertapa yang sedang bermeditasi. Entah
bagaimana hal ini diketahui oleh putra pertapa tersebut; ia tidak dapat
menanggung kekejian ini. Ia mengutuk, 'Semoga ular yang mengalungi leher ayah saya
ini mengambil wujud Takshaka dan mengakhiri hidup orang yang menghina ayah saya
seperti itu, pada hari ketujuh mulai hari ini.'
Dari
pertapaan dikirimlah berita kepada saya mengenai kutukan ini serta akibatnya.
Saya menyadari dosa yang telah saya lakukan; saya merasa bahwa seorang raja
yang dapat melakukan dosa ini tidak mempunyai tempat dalam kerajaan. Karena
itu, saya melepaskan segala-galanya, segala ikatan. Saya telah memutuskan akan
menggunakan tujuh hari ini untuk merenungkan kemuliaan Tuhan dengan tiada
putusnya. Sungguh kemujuran besar bahwa kesempatan ini dianugerahkan kepada
saya. Itulah sebabnya saya datang ke sini."
Demikianlah
ketika para bangsawan, pejabat tinggi istana, para pangeran, ratu, menteri,
pertapa, dan lain-lainnya yang berada di sekeliling raja mengetahui fakta yang
sebenarnya, segala dugaan yang bukan-bukan yang selama ini mereka bayangkan
lenyap dari pikiran mereka. Mereka berdoa keras-keras agar kutukan itu
kehilangan dayanya yang mematikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar