Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Beberapa
pertapa yang mendengar raja menuturkan kisah kutukan itu menjadi sangat marah
kepada putra Shamiika sehingga mereka berkata bahwa dia pasti gadungan, tidak
pantas menjadi putra resi, karena tidak ada anak yang lahir dari seorang resi
dengan bobot seperti Shamiika akan mengucapkan kutuk membinasakan seperti itu
untuk kesalahan yang demikian ringan. Mereka pastilah seseorang yang tolol atau
sinting. Bagaimana mungkin kutuk yang timbul dari lidah orang semacam itu dapat
terlaksana, tanya mereka. Tidak mungkin raja celaka akibat kutukannya, demikian
mereka tegaskan. Mereka berusaha meyakinkan raja bahwa beliau tidak perlu
merasa takut karena hal itu.
Banyak
orang yang juga beranggapan seperti itu mengatakan bahwa raja tidak perlu
menanggapi kutuk itu secara serius, tetapi raja tidak bergerak. Ia menjawab
mereka dengan kedua tangan tertangkup (dalam sikap hormat), "Kalian
berpikir dan berbicara seperti ini karena terdorong oleh simpati dan rasa
sayang kepada saya. Tetapi saya tahu bahwa kesalahan yang telah saya lakukan
tidak ringan dan tidak remeh. Adakah dosa yang lebih mengerikan daripada
menghina mereka yang pantas dihormati? Selain itu, saya adalah raja yang
bertanggung jawab atas kesejahteraan mereka dan bertanggung jawab pula untuk
menjaga keselamatan mereka. Bagaimana mungkin perbuatan saya dianggap ringan
dan dapat diabaikan. Lagi pula, bila kalian pertimbangkan secara mendalam,
kutuk yang diucapkan anak itu sama sekali bukan kutuk. Sebaliknya, hal itu
merupakan anugerah besar yang hebat."
"Karena
saya telah terjerumus dalam sumur dosa yang disebut kerajaan, saya telah
mengelabui diri saya sendiri sehingga percaya bahwa kesenangan merupakan
segala-galanya dalam hidup manusia; saya menempuh hidup hanya seperti binatang;
saya telah melupakan Tuhan dan kewajiban saya kepada-Nya. Dengan cara ini dan
melalui alat ini Tuhan telah mengarahkan saya ke jalan yang benar. Tuhan
telah memberkati saya. Ini merupakan anugerah, bukan hukuman atas kesalahan
masa lampau seperti yang kalian bayangkan."
Ketika
raja mengucapkan kata-kata tersebut, air matanya menitik karena sukacita dan
rasa syukur. Tampak bahwa ia tergerak oleh kesungguhan hati dan bakti yang
sangat mendalam. Raja menyatakan perasaannya dengan kepuasan batin yang tenang.
Para pertapa dan warga masyarakat yang berada di sekeliling raja merasa takjub
dan heran melihat ketenangannya. Mereka tahu bahwa pernyataannya benar.
Pertapa
tua itu bangkit dan berdiri di depan warga kerajaan yang menangis. Ia berbicara
kepada orang-orang yang berkumpul sebagai berikut, "Oh Maharaja yang
terbaik! Perkataan Baginda bagaikan sinar matahari bagi hati para pertapa.
Kata-kata itu sangat sesuai dengan garis keturunan dan latar belakang
pendidikan Baginda karena Baginda lahir dari Paandava. Satu kali pun tidak
pernah Paandava tergelincir ke dalam kesalahan atau dosa. Mereka selalu
berpegang teguh pada kaki Tuhan; mereka mengikuti perintah Tuhan tanpa ragu.
Ketika Bhagawan (Sri Krishna) kembali ke tempat kediaman Beliau, mereka
meninggalkan kerajaannya karena penyangkalan diri yang spontan, lalu berangkat
ke utara. Paduka pun kini mengikuti jalan suci ini karena Paduka termasuk dalam
marga agung yang telah mewarisi cara hidup ini."
Mendengar
ini, Raja memohon kepada mereka dengan kedua tangan terkatup dalam sikap
hormat, "Oh, para pertapa yang terbaik! Saya hanya mempunyai satu
keraguan, mohon lenyapkan hal itu dari pikiran saya. Tolonglah agar hari-hari
(yang tersisa dalam kehidupan) saya ini dapat dilewatkan dengan baik."
"Katakan kepada saya apa yang meragukan Paduka," jawab sang pertapa. Raja
mohon agar diberitahu apa yang sebaiknya dilakukan oleh orang yang sudah berada
di ambang maut. Mendengar ini, seorang pertapa berdiri dan berkata bahwa sejauh
waktu memungkinkan, orang itu dapat menyelenggarakan yajna atau yaga, atau
melakukan japa atau tapa, beramal, berziarah, berpuasa, atau melakukan ritual
pemujaan. Lainnya mengatakan bahwa moksa hanya dapat dicapai dengan
diperolehnya jnaana (jnaanaadevatu kaivalyam). Pertapa ketiga berbicara bahwa
kegiatan suci yang dianjurkan dalam kitab-kitab Weda dan Shaastra sangatlah
penting (karmanyaivahi samsiddhi). Beberapa pertapa lain berdebat bahwa
meningkatkan bakti kepada Tuhan merupakan cara yang terbaik untuk melewatkan
minggu (terakhir) itu, bhaktivasha purushah 'Tuhan hanya dapat didekati dengan bakti'.
Dalam kekacauan yang timbul karena aneka pendapat yang bertentangan ini, raja
berusaha mencari jalan yang benar. Para pertapa terdiam melihat raja tetap
berusaha mendapatkan jawaban yang benar atas pertanyaan yang diajukannya.
Sementara
itu, seorang pertapa yang kelihatan masih muda, dengan paras luar biasa
cemerlang dan kepribadian yang indah menawan, berjalan di antara kumpulan kaum
bijak lanjut usia itu bagaikan aliran cahaya yang bergerak cepat. Ketika tiba
di dekat raja, beliau duduk di tempat yang tinggi. Orang-orang yang melihat
heran karena kemunculannya yang demikian mendadak. Beberapa diantara mereka
mengetahui riwayat hidupnya. Dari penampilan lahiriahnya ia tampak seperti
putra seorang pertapa, tetapi cari berdirinya, sikapnya, ketenangannya, dan
kepribadiannya, semuanya menegaskan bahwa ia adalah master (dalam bidang
kerohanian). Usianya masih sangat muda tetapi ada cahaya ketuhanan yang
menyelubunginya.
Segera
seorang pertapa lanjut usia yang bijaksana mengenalinya lalu datang ke dekatnya
dengan kedua tangan tertangkup dalam sikap penuh hormat. "Sungguh mujurlah
kita semua. Cahaya ketuhanan yang cemerlang ini tidak lain adalah Sri Shuka,
putra Bhagawan Vyaasa yang mulia. "Demikian pertapa tua itu memperkenalkan
pendatang baru tersebut kepada hadiran. Sang pertapa melanjutkan, "Sejak
saat lahirnya, beliau bebas dari segala kelekatan. Beliau menguasai segala
pengetahuan. "Ketika mendengar pernyataan ini, Pariikshit menitikkan air
mata syukur dan sukacita. Ia bangkit seperti layang-layang di udara. Demikian
ringan dan penuh sukacita lalu bersujud di kaki Resi Shuka. Ketika ia berdiri
lagi, ia mengatupkan kedua tangannya dalam sikap berdoa. Ia tegak dengan diam
bagaikan tiang, tenggelam dalam kebahagiaan jiwa. Ia melihat pemuda di
hadapannya sebagai Sri Krishna sendiri. Kecemerlangan Resi Shuka terlalu
gemilang baginya. Bagi raja, daya tarik resi muda itu tampak bagaikan Dewa
Kaama. Ikal-ikal rambutnya yang hitam bergerak bagaikan kepala ular hitam
menudungi wajah lonjongnya yang putih. Bagaikan sepasang bintang di antara awan
gelap, mata resi muda itu memancarkan cahaya sejuk dan bersinar luar biasa
cemerlang. Senyum yang tersungging di bibirnya menebarkan sukacita.
Dengan
langkah-langkah perlahan raja mendekati Resi Shuka; suaranya terputus-putus
tidak jelas, tenggorokannya bergetar karena emosi. Ia berkata, "Resi Yang
Agung! Saya tidak mempunyai kemampuan untuk melukiskan dalamnya rahmat
Maharesi. Setiap tindakan Maharesi ditujukan untuk kesejahteraan dunia. Sungguh
mujurlah saya, hari ini saya mendapat darshan Guru demikian mudah, karena saya
tahu hal itu hanya dapat diperoleh dengan usaha yang lama dan terus menerus.
Oh, alangkah beruntungnya saya! Saya harus menganggap kemujuran ini berasal
dari pahala yang didapatkan oleh para kakek saya. "Raja dipenuhi rasa
syukur dan gembira atas kehadiran Resi Shuka; ia berdiri dengan air mata
sukacita mengalir di wajahnya.
Dengan
senyum tersungging di bibirnya, Resi Shuka memberitahu agar duduk di
sampingnya. Beliau berkata, "Oh Maharaja! Tidak diragukan lagi, Tuanku
lurus dan mantap dalam perilaku moral. Tuanku melayani orang-orang yang baik
dan saleh dengan sungguh-sungguh. Hidup Tuanku yang penuh pahala telah
menyebabkan berkumpulnya demikian banyak kaum bijak waskita di sekeliling Tuan
hari ini. Jika tidak demikian, para pertapa yang sibuk melakukan latihan rohani
ini tidak akan meninggalkan jadwal harian mereka untuk datang ke sini mendoakan
Tuan agar mencapai kesadaran kesunyatan tertinggi. Ini bukanlah tindakan
kedermawanan! Tuan memperoleh anugerah ini karena telah melewatkan banyak
kehidupan dengan baik dan penuh kebajikan."
Ketika
Resi Shuka berbicara kepadanya, raja menatap wajah beliau dengan rasa kagum dan
bakti. Tiba-tiba ia menegakkan kepalanya dan berbicara kepada resi muda itu,
"Oh Resi Yang Agung, ada keraguan yang mengganggu saya. Mohon lenyapkan
kebimbangan itu dan anugerahkan kedamaian dalam hati saya. Ketika Maharesi
datang, saya sedang menanyakan hal tersebut di hadapan himpunan para pertapa
ini. Saya tahu Guru dapat menjelaskan masalah itu dalam sekejap. Pastilah hal
itu ibarat permainan anak kecil bagi Guru. "Resi Shuka menyelanya dan
berkata, "Maharaja Pariikshit, justru untuk melenyapkan kebimbangan itulah
maka saya datang menemui Tuan. Maharaja dapat menanyakan keraguan Paduka kepada
saya. Saya akan menyelesaikan masalah Tuan dan menganugerahkan kepuasan
batin." Ketika Resi Shuka yang agung mengatakan hal ini, para pertapa dan
kaum bijak waskita yang berkumpul di situ berseru, "Alangkah
mujurnya!" "Sungguh beruntung!" Karena sangat senang, mereka
bertepuk tangan keras sekali hingga sambutan gembira itu membahana di angkasa.
Raja
berbicara dengan rendah hati dan tampak cemas, "Resi Yang Agung, apa yang
harus dilakukan oleh orang yang menghadapi maut dan tahu bahwa ajalnya akan
menjelang? Apakah yang harus direnungkannya? Setelah meninggalkan raga, jangan
sampai ia lahir lagi. Bila itu merupakan permohonannya, bagaimana ia harus
melewatkan sisa hari yang masih dimilikinya? Inilah masalah yang merisaukan
saya saat ini. Apakah kewajiban saya yang utama?" berulang-ulang raja
memohon bimbingan.
Resi
Shuka menjawab, "Maharaja, jauhkan perhatian Tuanku dari pikiran-pikiran
duniawi dan pusatkan kepada Sri Hari (salah satu sebutan Sri Krishna; secara
harafiah berarti 'penghapus segala dosa', keterangan penerjemah), Tuhan yang
memikat segala hati. Saya akan memberi pengarahan dalam kebijaksanaan Tuhan
yaitu Bhaagavata tattva. Dengarkan dengan sepenuh hati; tidak ada kegiatan yang
lebih suci daripada ini. Tidak ada latihan rohani, disiplin, atau ikrar yang
lebih agung. Tubuh manusia ini bagaikan perahu yang berguna, kisah Sri Hari
merupakan dayungnya; dunia yang selalu berubah-ubah, aliran yang tiada putusnya
atau samsaara ini seperti samudra. Sri Hari dapat diibaratkan dengan tukang
perahu! Hari ini, sarana suci ini tersedia bagi Tuanku."
"Pertanyaan
yang Tuan ajukan tidak hanya penting bagi satu individu; seluruh dunia prihatin
memikirkan masalah ini dan cara penyelesaiannya. Ini merupakan persoalan paling
penting yang patut dicari jawabannya. Prinsip atma merupakan obat mujarab bagi
segala penyakit. Itulah kebenaran tertinggi. Tidak seorang pun dapat
menghindarinya. Memantapkan diri dalam keyakinan itu pada waktu melewatkan
hari-hari yang terakhir merupakan kewajiban segala makhluk hidup. Status seseorang
dalam kelahiran berikutnya akan ditentukan berdasarkan landasan ini. Jadi
masalah yang Tuan tanyakan dan keraguan yang Tuan ajukan merupakan hal yang
amat penting bagi kesejahteraan seluruh dunia. Jawabannya tidak hanya untuk
Tuanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar