Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Perkataan
ayahnya yang tajam menimbulkan kepedihan tak terhingga di hati Shringii,
putranya yang lembut hati. Perkataan itu terasa bagaikan tusukan sembilu atau
pukulan gada; bocah malang itu tidak sanggup lagi menahannya. Ia merebahkan
diri di lantai, merengkuh kaki ayahnya sambil meratap, "Ayah, ampunilah
saya. Saya dilanda rasa marah karena raja bertingkah laku demikian keterlaluan,
begitu kasar dan sombong, begitu tidak sopan dan tidak berperikemanusiaan. Saya
tidak dapat menahan rasa dendam atas penghinaan yang dilontarkannya kepada
Ayah. Tidak pantas bukan, seorang raja bertingkah laku seperti itu, dengan cara
yang demikian tidak layak, setelah ia memasuki suatu pertapaan?"
Melihat
keadaannya yang menyedihkan, Shamiika sang pertapa, membimbing bocah itu ke
sampingnya lalu berkata, "Nak, paksaan keadaan saat itu tidak dapat
dielakkan. Orang sering mengesampingkan petunjuk akal budinya karena desakan
keadaan semacam itu. Renggutan takdir akan menghancurkan kendali akal sehat.
Paksaan keadaan saat itu menghadapi manusia dengan segenap kekuatannya dan tak
dapat tidak, ia menyerah. Raja ini adalah abdi Tuhan yang taat dan amat saleh.
Ia telah meraih kecemerlangan spiritual. Ia selalu teguh dalam tingkah laku
yang bersusila. Ia adalah penguasa seluruh kawasan; kemasyhurannya telah
tersebar di tiga loka. Ia selalu dilayani dengan tulus hati oleh ribuan abdi
yang setia. Bila ia meninggalkan istana untuk bepergian, banyak pengawal
mengiringi dan menatapnya dengan tangan terkatup menyembah, menanti perintah
yang paling remeh sekalipun, agar mereka dapat menyenangkan hatinya dengan melaksanakan
perintah itu sebaik-baiknya. Begitu ia memasuki suatu kerajaan, penguasa
wilayah itu memberikan sambutan yang megah, mempersembahkan segala yang
terbaik, dan menyampaikan hormat bakti dengan penuh khidmat. Seseorang yang
terbiasa dengan acara harian semegah itu tentunya sangat terkejut ketika ia
tidak mendapat sambutan sama sekali di tempat ini; ia bahkan tidak dikenal dan
tidak dihormati. Pengabaian ini demikian serius hingga segelas air untuk
melenyapkan dahaga pun tidak diperolehnya. Ia tersiksa rasa lapar dan terhina
karena tidak mendapat tanggapan walaupun ia telah memanggil berulang-ulang.
Karena tidak mampu menanggung penderitaan dan pengalaman yang mengejutkan ini,
ia terdorong melakukan perbuatan yang tidak patut itu. Tentu saja itu merupakan
kesalahan, tetapi jika engkau bereaksi demikian keras untuk kekhilafan kecil
semacam itu, engkau membawa nama buruk yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi
seluruh komunitas rahib dan pertapa. Aduh! Alangkah mengerikan bencana yang kau
datangkan ini!"
Pertapa
tua itu memejamkan matanya dan duduk diam sejenak, berikhtiar mencari suatu
cara untuk menyelamatkan raja dari kutukan. Ketika tidak menemukan jalan keluar
dan sadar bahwa hanya Tuhanlah yang dapat menolong dalam keadaan semacam itu
karena Beliau Maha Kuasa dana Maha Tahu, Resi Shamiika berdoa dengan sepenuh
hatinya, "Oh pelindung seluruh jagat raya, bocah yang belum dewasa ini,
yang tidak tahu apa yang benar dan apa yang salah, apa yang merupakan
kewajibannya dan apa yang bukan, terdorong oleh ketidaktahuan, telah melakukan
kesalahan dahsyat ini, menimbulkan petaka bagi sang raja. Ampunilah anak ini
atau hukumlah ia, tetapi bantulah meningkatkan kesejahteraan raja."
Resi
itu membuka matanya. Ia melihat para pertapa serta bocah-bocah teman putranya
berdiri di sekelilingnya. Dengan sedih ia berkata kepada mereka, "Apakah
kalian lihat perbuatan mencelakakan yang telah dilakukan anak saya? Bukankah
tidak benar jika kita para pertapa menghina dan mencelakakan raja yang
merupakan pelindung dan pemimpin umat manusia?"
"Karena
itu saya mohon kalian semua berdoa kepada Tuhan agar Raja tidak mengalami
sesuatu yang membahayakan dan hanya hal-hal yang baik dianugerahkan kepada
beliau." Ketika Resi Shamiika memberi petunjuk demikian kepada mereka,
seorang pertapa lanjut usia bangkit dari kelompok itu; penampilannya
memperlihatkan kedamaian batin dan kepasrahan; katanya, "Jiwa agung! Anda
melimpahkan demikian banyak berkah kepada raja ini. Orang yang mengucapkan
kutuk adalah putra Anda sendiri. Pastilah tingkat spiritual Anda jauh lebih
tinggi daripada putra Anda dan Anda dapat mencapai apa saja dengan kesaktian
Anda. Jadi, mengapa Anda begitu mencemaskan kutuk yang dilontarkan bocah ini
kepada raja? Bukankah Anda dapat membuat kutuk itu tidak mempan?" Mendengar
ini, hadirin lainnya tua muda berseru, "Benar, benar, dengarkan permohonan
kami dan ampunilah anak ini. Datangkan kesejahteraan bagi raja dan selamatkan
beliau dari mara bahaya."
Resi
Shamiika tersenyum; ia memejamkan mata dan dengan penglihatan batin seorang yogi
ia melihat masa lalu serta masa depan sang raja! Diperiksanya apakah keadaan
raja sekarang ini disebabkan oleh masa lalu atau oleh masa depannya.
Didapatinya bahwa Pariikshit memang harus menderita gigitan Takshaka, kobra
yang beracun, dan hal ini sudah takdirnya. Sang resi merasa bahwa usaha untuk
menyelamatkan raja dari bencana tersebut akan melawan kehendak Tuhan. Resi
Shamiika sadar bahwa kekhilafan raja dan reaksi marah putranya, keduanya
diakibatkan oleh dorongan takdir yang tidak dapat dielakkan. Ia menyimpulkan,
hanya Tuhanlah--pembuat segala keputusan dan prestasi--dapat mengubah
peristiwa-peristiwa yang berlangsung, dan bahwa usaha apa pun pada pihaknya
hanya merupakan penonjolan egoisme.
Ia
tahu bahwa egoisme merupakan musuh yang paling berbahaya bagi para pertapa,
meskipun demikian ia tidak menghimpun kekuatannya yang tidak dapat diragukan
untuk melawan dan menghancurkan ego ini sepenuhnya. Ia memutuskan akan
memberikan pertolongan kecil apa saja sebisanya kepada raja yang malang,
penguasa wilayah tersebut. Resi Shamiika membuka matanya memandang ke empat
jurusan untuk memilih seorang muridnya yang cerdas dari antara orang banyak.
Akhirnya dipanggilnya seorang siswa ke dekatnya lalu ia berkat, "Anda
harus segera berangkat ke Hastinaapura dan kembali; siapkan diri Anda untuk
perjalanan ini lalu kembali lagi kepada saya." Murid itu menjawab,
"Saya selalu siap mematuhi perintah Guru; apa yang harus saya siapkan?
Saya selalu sedia. Saya dapat berangkat saat ini juga; mohon katakan apa yang
harus saya lakukan di sana." Setelah mengatakan hal ini ia bersujud
menyampaikan hormat baktinya. Resi Shamiika bangkit dari tempat duduknya lalu
dibawanya siswa itu ke ruang dalam. Diberitahukannya secara rinci segala hal
yang harus disampaikannya kepada raja. Siswa itu bersujud di kaki gurunya lalu
berangkat ke ibu kota.
Sementara
itu raja telah tiba di istana dan setelah beristirahat sebentar, ia menyadari
betapa besar kesalahan yang telah dilakukannya di pertapaan. "Aduh,
pikiranku telah merosot demikian rendah! Sungguh dosa besarlah bahwa aku,
seorang maha raja, melontarkan penghinaan kepada pertapa itu." Ia meratap
dalam hatinya. "Bagaimana aku dapat menebus kejahatan ini? Apakah
sebaiknya aku pergi ke pertapaan itu dan mohon ampun? Atau, apakah kuserahkan
saja diriku untuk menerima hukuman yang sudah pantas bagiku? Apa yang
seharusnya kulakukan sekarang?" Ia bertanya-tanya sendiri di dalam hati
dan berusaha keras mencari jawaban.
Pada
waktu itu dilihatnya seorang pengawal datang ke pintu dan berdiri diam dengan
tangan tercangkup (dalam sikap hormat). Pariikshit bertanya mengapa ia datang.
Orang itu berkata, "Seorang siswa dari sebuah pertapaan telah datang dan
sedang menunggu ingin menemui Paduka; katanya ia diutus oleh Resi Shamiika.
Katanya pesan yang akan disampaikannya sangat penting dan mendesak; ia sangat
tergesa-gesa. Saya menunggu perintah Paduka."
Ketika
mendengar perkataan ini, pembaringannya yang terbuat dari bunga melati tampak
seakan-akan telah berubah menjadi penuh ular dengan lidah yang berapi, mendesis
dan menjalar di sekelilingnya. Dipanggilnya pengawal itu ke dekatnya dan
dilontarkannya pertanyaan demi pertanyaan tentang pemuda yang datang dari
pertapaan tersebut. "Bagaimanakah orang itu? Apakah ia tampak sedih atau
marah? Atau apakah ia penuh kebahagiaan dan ketenangan?"
Pengawal
menjawab, "Oh, Maharaja, putra resi yang datang untuk menemui Paduka
sangat tenang dan damai. Ia mengulang-ulang perkataan ini, 'Jayalah sang raja.
Jayalah sang penguasa.' Sedikitpun saya tidak melihat tanda-tanda kemarahan
atau emosi pada wajahnya." Kabar ini membuat raja merasa lega. Ia
menanyakan apa jawaban pengawal terhadap pertanyaan siswa muda itu. Pengawal
berkata, "Kami beritahukan kepadanya bahwa Raja baru saja kembali dari
hutan dan sedang beristirahat; silahkan menunggu sebentar; begitu beliau
bangun, kami akan memberitahu beliau." Raja bertanya, "Apa yang
dikatakannya sebagai jawaban?" Pengawal berkata, "Baginda, pemuda itu
ingin menemui Paduka secepat mungkin. Katanya ada pesan sangat mendesak yang
harus disampaikannya. Ia berkata bahwa gurunya menunggu kedatangannya dan
menghitung menit demi menit. Katanya, "Semakin cepat ia menemui Paduka
akan semakin baik. Sepanjang waktu ia mengulang-ulang, 'Semoga Raja berada
dalam keadaan baik,' 'Semoga beliau selamat dan sejahtera.' Kami tawarkan
sebuah kursi kehormatan dan kami persilahkan ia duduk, tetapi ia tidak mau. Ia
lebih suka berdiri di pintu dan menghitung menit-menit yang berlalu."
Mata
raja berkaca-kaca karena sangat gembira. Sambil menyekanya, ia berlari ke pintu,
tanpa mengenakan jubah kerajaan atau tanda-tanda kebesaran lainnya, bahkan
tanpa mengenakan sandal atau pakaian penutup dada. Ia bersujud di kaki murid
pertapa itu; dipegangnya kedua tangan pemuda itu dan diajaknya masuk ke ruang
dalam. Di situ pemuda itu dimintanya duduk di sebuah kursi yang tinggi dan ia
sendiri bersimpuh di lantai. Ia mohon agar diberitahu tujuan kedatangannya.
Murid
itu berkata, "Oh Raja! Guru saya, Resi Shamiika menyampaikan berkat khusus
beliau bagi Baginda. Beliau telah mengutus saya untuk menyampaikan suatu
masalah penting kepada Paduka," di sini pemuda itu menangis. Melihat ini,
raja berseru, "Oh, cepat katakan kepada saya; saya bersedia mengorbankan
hidup saya untuk melaksanakan kewajiban. Atau, apakah kerajaan saya berada dalam
bahaya? Apakah saya harus melakukan suatu tindakan untuk menolongnya? Saya siap
mengorbankan apa saja untuk menyelamatkannya."
Murid
utusan resi itu menjawab, "Oh Raja! Tiada bahaya yang mengancam kerajaan
Baginda atau para pertapa. Tiada rasa takut yang dapat mengganggu mereka.
Justru Padukalah yang terancam bahaya, Paduka akan tertimpa bencana."
Ketika pemuda tersebut menyampaikan peringatan halus ini, raja menyatakan
dengan gembira, "Saya sungguh terberkati. Jika rakyat saya dan para pertapa
yang melakukan tirakat semuanya selamat, saya sama sekali tidak peduli apa yang
akan terjadi pada diri saya. Saya menghirup dan menghembuskan napas agar dapat
menjamin kedamaian dan kesejahteraan bagi mereka semuanya. "Raja diam
sebentar lalu bertanya kepada murid itu, "Sekarang katakan apa yang akan
disampaikan guru Anda kepada saya. "Pemuda itu menjawab, "Baginda,
guru saya sangat prihatin atas kesalahan menyedihkan yang telah dilakukan
semata-mata lantaran ketidaktahuan. Itulah alasan utama mengapa beliau mengutus
saya kepada Paduka."
Mendengar
ini Pariikshit menjadi sangat gelisah. Ia bertanya, "Kesalahan apakah yang
Anda bicarakan itu? Siapa yang melakukannya? Katakan kepada saya, ceritakan
semuanya kepada saya,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar