Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Dari
Maharesi Vyaasa Parikshit mendengar uraian tentang bakti Paandava yang mendalam
dan iman mereka yang teguh. Ia terharu bila mendengar betapa mereka dilimpahi
rahmat Sri Krishna yang tidak terbatas. Raja demikian tenggelam dalam
kegembiraan sehingga tidak menyadari siang atau pun malam! Tiba-tiba ia
dibangunkan oleh kicauan burung yang indah dan suara gagak yang keras. Ia
mendengar nyanyian yang biasa dikidungkan rakyatnya pada dini hari untuk
menyambut para Dewa; genta tempat ibadah berdenting di sekitar istana.
Maharesi
Vyaasa pun menyadari bahwa hari yang baru telah dimulai. Ia berkata, "Nak,
Maharaja, sekarang saya harus pergi," dan sambil memungut kendi tempat air
yang biasa dijinjingnya dalam perjalanan, beliau bangkit lalu memberkati sang
raja yang bersujud di kakinya dengan amat sedih. "Aduh, fajar menyingsing
begitu cepat. Saya belum memahami sepenuhnya kebesaran dan kemuliaan para kakek
saya. Saya belum dapat menduga betapa mendalam bakti mereka (kepada Tuhan) dan
betapa besar pengabdian mereka pada tugas serta kewajiban," ratapnya.
Direnungkannya
lagi kejadian-kejadian yang telah didengarnya dan dinikmatinya keunikannya.
Hatinya begitu penuh kebahagiaan yang mendalam sehingga ia tidak dapat
mengalihkan pikirannya pada urusan kerajaan. Sesungguhnya ia bahkan dapat
menyendiri. Diputuskannya akan pergi berburu ke hutan sebagai pilihan.
Diperintahkannya agar dilakukan persiapan-persiapan untuk ekspedisi di hutan.
Segera
datanglah pesuruh memberitahukan bahwa segalanya sudah siap; para pemburu dan
peserta lain semuanya telah berkumpul. Dengan berat hati Pariikshit menyeret
tubuhnya menuju kereta lalu duduk di dalamnya. Para pembantu dengan
perlengkapan mereka bergerak maju di depan dan di belakang kereta raja
sebagaimana kebiasaan mereka. Karena suatu alasan, raja merasa bahwa ia tidak
perlu disertai demikian banyak pengiring, maka disuruhnya beberapa di antara
mereka agar kembali.
Ketika
telah pergi jauh, rombongan raja melihat beberapa kawanan binatang yang sedang
berjalan; pemandangan itu membangkitkan kesigapan raja. Ia turun dari kereta
dan mengendap-ngendap mengikuti kawanan binatang tersebut dengan busur
terentang. Kawanan binatang itu berlari cerai berai ketakutan sedangkan para
pemburu berusaha keras mengejarnya. Raja memilih sekelompok binatang yang
sedang berlari sebagai sasaran buruannya lalu bergegas mengejarnya tanpa
menyadari bahwa ia sendirian, terpisah dari para pengiringnya yang telah pergi
mengikuti buruan lain.
Pariikshit
telah berjalan jauh dan tidak berhasil memperoleh binatang apa pun. Rasa haus
yang hebat mulai menyiksanya, ia sangat lelah kehabisan tenaga sehingga tidak
tertahankan lagi. Dengan kalut ia berusaha mencari-cari air. Mujurlah,
dilihatnya sebuah pertapaan, sebuah pondok beratapkan ilalang. Dengan penuh
harap ia bergegas menuju ke tempat itu, tetapi tiada seorang pun yang terlihat!
Ia berseru memanggil-manggil sekeras mungkin dengan sedih. Dengan tenggorokan
yang lemah ia berseru, "Haus, haus," mengibakan. Tidak ada jawaban
dari dalam pondok. Ketika Pariikshit masuk, di dalam didapatinya. Resi Shamiika
sedang bermeditasi. Didekatinya pertapa itu dan dipanggilnya dengan suara
mengibakan, "Tuan, Tuan," tetapi Shamiika sedang tenggelam dalam
meditasi yang mendalam sehingga sama sekali tidak bereaksi.
Melihat
ini sang raja menjadi jengkel dan dilanda luapan rasa gusar. Setelah tiba di
sebuah pertapaan dan melihat sang pertapa, ia tetap tidak berdaya, merasa lapar
dan haus. Rasa bangganya terluka karena ia adalah penguasa kawasan itu dan sang
pertapa begitu berani memusatkan perhatian ke dalam batinnya sendiri (sehingga
tidak mengacuhkannya) ketika ia telah datang di hadapannya dan berseru-seru
memanggilnya. Pariikshit menjadi buta pada norma-norma kepatutan karena ia
tidak dapat lagi mengendalikan rasa marahnya. Kakinya menginjak seutas tali di
lantai; ternyata benda itu seekor bangkai ular. Hal ini menimbulkan suatu
gagasan jahat dalam benaknya, benar-benar karena permainan nasib.
Dikalungkannya bangkai ular itu pada leher sang pertapa yang duduk bagaikan
patung tanpa menyadari kesulitan orang lain. Setelah itu ia meninggalkan
pertapa tersebut dan segera pergi menjauh mencari tempat lain untuk memuaskan
dahaganya dan mendapatkan makanan.
Beberapa
anak laki-laki melihat Pariikshit keluar dari pondok; mereka lalu masuk ke
pertapaan karena ingin tahu mengapa ia masuk dan apa yang telah terjadi di situ
karena ia tampak sebagai orang asing dan busananya mewah. Mereka melihat seekor
ular melingkari leher Resi Shamiika. Mereka datang mendekat untuk memeriksanya
dan mendapati bahwa ular itu sudah mati. Mereka heran siapa gerangan yang telah
melakukan kekurang ajaran ini. Mereka menduga pastilah itu perbuatan orang yang
baru saja meninggalkan pondok pertapaan. Karena itu mereka berlari keluar dan
memberitahu Shringii, putra Shamiika, yang sedang bermain dengan
teman-temannya. Ia tidak mau mendengarkan kisah mereka karena berpikir tidak seorang
pun akan menghina ayahnya seperti itu. Ia menyibukkan diri dengan permainannya,
tetapi anak-anak lelaki itu mengulang cerita mereka dan mendesak agar ia
memeriksa kebenarannya, menyaksikan sendiri keadaan ayahnya yang menyedihkan.
Shringii
merasa heran atas desakan mereka dan ia khawatir peristiwa itu benar-benar
telah terjadi! Ia berlari ke pondok dan mendapati bahwa hal yang tidak dapat
dipercaya itu benar-benar terjadi! Ia berusaha mencari orang yang telah
melakukan kekejian ini terhadap ayah yang dihormatinya. Ia diberitahu bahwa
seseorang yang mengenakan jubah kerajaan telah masuk lalu keluar lagi dan sejak
pagi tidak ada orang lain di sekitar tempat itu. Anak-anak lelaki itu
menyimpulkan pasti orang itulah pelakunya. Mendengar ini ia berlari ke arah
yang ditunjukkan oleh teman-temannya untuk mengejar orang tersebut. Tidak lama
kemudian dilihatnya orang yang mengenakan pakaian kerajaan itu. Kemarahan
Shringii tidak tertahan lagi. Ia berjalan pelan-pelan di belakang raja lalu
memercikan segenggam air sambil mengucapkan kutuk, "Semoga ia yang
mengalungkan bangkai ular di leher ayah saya, digigit ular tersebut."
Anak-anak lelaki di sekelilingnya mohon agar ia tidak melakukan hal itu,
meskipun demikian ia tetap melontarkan kutuknya kepada raja. Kemudian ia pulang
kembali ke pondoknya, menelungkup di lantai di sudut ruang dengan kepala yang
terbakar rasa marah.
"Aduh,
mengapa ayah saya harus menderita penghinaan ini pada waktu saya masih hidup
dan ada di dekatnya; lebih baik kalau saya sudah mati. Apa gunanya seorang
putra hidup, jika ia tidak dapat mencegah seseorang menghina ayahnya?" Ia
menyalahkan diri dan meratapi nasibnya dengan amat memilukan. Teman-temannya
duduk di sekelilingnya dan berusaha menenangkannya, mereka maki habis-habisan
pelaku perbuatan yang tercela itu; mereka berusaha menghibur si bocah yang
tidak terhiburkan.
Sementara
itu Resi Shamiika meninggalkan alam kebahagiaan batin dan kembali ke alam
kesadaran (jaga). Ditanggalkannya bangkai ular itu dari lehernya dan
diletakkannya di sampingnya. Dilihatnya putranya menangis di sudut ruang dan
dipanggilnya agar mendekat. Ditanyanya mengapa anak itu menangis dan
didengarnya kisah mengenai orang asing dan bangkai ular. Shamiika tersenyum dan
berkat, "Orang yang malang! Ia melakukannya karena kekaburan batin dan
engkau memperlihatkan kebodohanmu karena menangisi hal itu. Ayah tidak
memperdulikan penghormatan atau penghinaan. Pengetahuan atma membuat manusia
selalu berada dalam keadaan seimbang, tidak merasa bangga bila dipuji atau
berkecil hati bila dicela. Pastilah ada orang desa yang telah melakukan gurauan
bodoh ini, karena engkau masih anak-anak, engkau membesar-besarkannya
seakan-akan hal ini merupakan kejahatan besar; engkau mengalami kesedihan
sebesar gunung untuk masalah sepele macam bukit semut. Bangunlah dan pergilah
ke tempat bermain," katanya. Didudukkannya Shringii di pangkuannya dan
diusap-usapnya kepalanya dengan lembut agar kesedihannya agak mereda.
Shringii
berkata kepada ayahnya, "Ini bukan gurauan orang kampung. Ini adalah
sakrilegi dahsyat yang dilakukan oleh orang berselubung pakaian raja."
Mendengar ini Shamiika bertanya, :Apa yang kau katakan? Seorang berpakaian
raja? Apakah engkau melihatnya? Apakah raja melakukan perbuatan bodoh ini?
Gagasan pandir semacam ini tidak akan pernah terlintas dalam kepala raja."
Teman-teman Shringii menguatkan pernyataannya bahwa mereka juga melihat bangkai
ular itu lalu kami berlari ke tempat Shringii dan membawanya ke sini. Shringii
menjadi demikian marah sehingga ia meraup air sungai Kaushikii lalu
memercikkannya pada orang itu yang sedang berjalan amat cepat. Pada saat itu,
dengan mantra dan upacara yang tepat Shringii mengucapkan kutuk agar orang yang
mengalungkan bangkai ular itu mati digigit ular tujuh hari sejak hari
ini."
Resi
Shamiika terperanjat mendengar berita ini; ia heran atas perbuatan putranya.
Didorongnya anak yang duduk di pangkuannya itu ke lantai. "Apa! Apakah
engkau mengutuk seperti itu? Aduh, dahsyatnya kutuk itu untuk kesalahan seremeh
ini! Kesalahanmu tidak akan pernah dapat ditebus; engkau membawa aib pada
kelompok anak-anak di sekitarmu karena engkau tidak dapat menanggung dengan
sabar gurauan bodoh yang sepele seperti itu! Ayah malu mengatakan bahwa bocah
seperti ini adalah putraku. Engkau tidak mempunyai ketabahan untuk menanggung
penghinaan kecil semacam itu. Oh, alangkah sayangnya! Aduh, sifat
kekanak-kanakanmu membawa nama buruk bagi semua resi dan pertapa; orang-orang
akan berkata bahwa kita bahkan belum memiliki kesabaran dan ketabahan yang
sederhana. Jangan perlihatkan wajahmu kepada ayah, melihatnya merupakan
sakrilegi. Menghukum orang yang bersalah adalah tugas raja, bukan tugas pertapa
di hutan. Pertapa yang mengutuk sama sekali bukan pertapa."
"Terdorong
rasa rindu untuk memperoleh penampakan dan kehadiran Tuhan, pembimbing serta
pelindung alam semesta, pertapa telah melepaskan segala kelekatan; ia menetap
di hutan dan hidup dengan makan buah-buahan serta umbi-umbian; ia mencela
segala pemuasan indra sebagai hal yang merugikan kemajuan spiritual. Bahwa
kutukan mengerikan semacam itu, yang timbul dari ketidaksabaran dan egoisme,
dapat timbul di lidah seorang pertapa, merupakan firasat akan datangnya
malapetaka, ini menandakan terbitnya Kali Yuga, zaman ketidakbenaran,
"kata Resi Shamiika.
"Aduh,
alangkah besarnya dosa yang kau tambahkan pada bebanmu hari ini," ujarnya.
Diuraikannya kepada Shringii dan kawan-kawannya, betapa kejinya perbuatan yang telah dilakukan
anak itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar