Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Pada
hari ini umat hindu di Bali merayakan sebuah hari raya khusus yang ditujukan
kepada Tuhan dalam manifestasinya sebagai binatang piaraan. sebuah ritual
keagamaan yang dikenal dengan nama "Tumpek Kandang" yang bagi
penganut kepercayaan hindu memaknainya sebagai Otonan atau selamatan bagi para
binatang khususnya yang dipelihara atau dikandangkan atas jasa-jasanya yang
telah membantu manusia dalam melakukan aktivitas kesehariannya. upacara ini
biasanya lebih ditujukan kepada manusia yang melakoni hidupnya sebagai
masyarakat agraris yang berpencaharian sebagai petani. sebab jaman dulu untuk
mengolah sawah dan ladang, keberadaan hewan ternak seperti sapi amat sangat
diperlukan untuk membantu kelancaran tugas-tugas mereka. lalu bagaimana halnya
dengan jaman sekarang dimana tenaga sapi sudah mulai tergantikan dengan mesin
traktor ? apakah ritual keagamaan ini masih bisa bertahan dan dimaknai
sebagaimana pertama kalinya budaya ini diwariskan sesuai dengan maksud dan
tujuan yang sebenarnya.
untuk
mengetahui masalah ini, saya akan mencoba mengulasnya dari pengertian, sumber,
dan pemaknaannya menurut tradisi kekinian.
Hari raya Tumpek Kandang hadir setiap 210 hari sekali,
tepatnya pada Saniscara Kliwon wuku Uye. Secara etimologi, kata tumpek
berarti hari Sabtu Kliwon dalam sistem kalender Jawa-Bali, sedangkan kata
kandang berarti rumah hewan piaraan atau dimaksudkan adalah binatang piaraan
itu sendiri (Tim, 2002:123). Bagi umat Hindu di Bali khususnya, upacara ini
disebut juga Tumpek Wawalungan atau Oton Wewalungan atau Tumpek Kandang,
yaitu hari selamatan binatang-binatang piaraan (binatang yang dikandangkan)
atau binatang ternak (wawalungan). Mengenai Tumpek Kandang sebagaimana tersurat
dalam Lontar Sunarigama adalah sebagai berikut. ”Uye, Saniscara Kliwon,
Tumpek Kandang, prakrti ring sarwa sato, patik wenang paru hana upadana nia,
yan ia sapi, kebo, asti, salwir nia satoraja, upadania: tumpeng, tebasan,
pareresikan, panyeneng, jerimpen. Yan ing Bawi : Tumpeng, penyeneng, canang
raka. Yan ring babi ina : anaman bakkok, belayang tunggal lawan sagawon. Yan
ing sarwa paksi: ayam, itik, angsa, dolong, titiran, kukur, kunang salwir nia:
anaman manut rupania, yang paksi anaman paksi, yan ayam anaman ayam, duluran
nyeneng, tetebus mwang kembang pahes, kalingania iking widhana ring manusa,
amarid saking Sanghyang Rare Angon, wenang ayabin, pituhun ya ring manusa,
sinukmaning sato, paksi, mina, ring raganta wawalungan, Sanghyang Rare Angon,
cariranira utama”. Artinya : ”Wuku Uye, pada Saniscara Kliwon, adalah Tumpek Kandang, yaitu hari untuk
mengupacarai semua jenis binatang ternak dan binatang lainnya.
Adapaun
upacaranya: jika Sapi, Kerbau, Gajah, dan binatang besar lainnya (sato agung)
adalah tumpeng, tetebasan, pareresik, penyeneng, dan jerimpen. Kalau terhadap
Babi jantan (Kaung) adalah tumpeng tebasan, penyeneng, dan canang raka. Kalau
ternak Babi betina (Bangkung) persembahannya adalah ketupat belekok, belayang
tunggal, dan sagu. Kalau untuk jenis burung, ayam, itik, titiran, demikian pula
perkutut, dan sejenisnya maka persembahannya adalah ketupat menurut bentuk
rupanya, yaitu kalau burung berupa ketupat burung, kalau ayam dengan ketupat
berupa ayam. Lain daripada itu juga dengan banten penyeneng, tetebus, dan
kembang payas.
Dalam kalimat yang bergaris bawah diatas, jelas sekali dapat
kita baca bahwasannya upacara atau ritual tumpek kandang ini bukanlah ditujukan
semata-mata untuk hewan piaraan yang dikandangkan saja namun lebih ditekankan kepada
semua jenis binatang namun juga tidak berarti bahwa semua jenis hewan seperti
kecoak, ular, kalajengking, serta binatang liar lainnya diberikan persembahan
karena kebetulan hewan piaraanlah yang dirasa paling dekat dan dirasa paling
bisa memberikan manfaat oleh manusia dalam mengelola hidup ini jadi masih
menjadi sebuah kewajaran kalo lantas ternak hewan yang dikandangkan saja yang dipakai
sebagai media untuk mewakili rasa terima kasih kepada mereka yang lalu
diwujudkan dalam bentuk persembahan sesajen ini.
Lantas bagaimana
halnya dengan anjing,kucing, burung, ikan, dan beberapa hewan peliharaan yang lain,
yang juga sangat besar andilnya dalam memberikan kebahagiaan kepada manusia. Kenapa
hanya sapi dan babi saja yang selama ini menjadi prioritas. Dari persoalan
inilah seyogyanya umat hindu mulai belajar berpikir secara rasionalitas
bahwasannya ritual keagamaan apapun namanya jangan hanya dimaknai secara
tekstual semata tanpa digali maknanya dan juga revitalisasinya dalam kehidupan
nyata sehari-hari.
Tentu saja semua
hewan pada saat hari raya Tumpek Kandang ini memiliki porsi yang sama dalam hal
menerima rasa kasih sayang manusia jika benar ritual keagamaan ini ditujukan
untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai dewa yang berkuasa atas
kehidupan mahluk hidup khususnya binatang yang mana dalam hal ini dikenal
sebagai Sang Rare Angon sebagai pengejawantahan Dewa Shiva. Memaknai upacara
keagamaan Tumpek Kandang jangan lagi hanya dimaknai sebagai kegiatan membuat
persembahan kepada binatang tanpa disertai dengan tindakan nyata untuk
mengasihi mereka. Memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan dan juga pernyataan
rasa terima kasih kita kepada binatang piaraan yang telah membantu dalam
pekerjaan ataupun menciptakan suasana indah di dalam rumah bisa kita wujudkan
dengan cara memberikan perhatian lebih pada hari Tumpek kandang dan juga
meneruskan kasih sayang itu pada hari hari selanjutnya. Agar jangan umat hanya
berorintasi pada kulit luar agama yang bernama ritual saja tetapi secara
perlahan harus terbina dan terarahkan menuju kepada spirit atau jiwa dari
ritual itu sendiri. Sesuatu yang lazim dikenal dengan nama spiritual keagamaan.
Pada saat hari
raya Tumpek kandang, Anjing seharusnya dimandikan lalu diberikan makanan yang
lebih baik dan bukan hanya sisa-sisa makanan saja sebab anjing telah begitu
berjasa dalam menjaga keamanan keluarga, sebagai satpam yang memberitahu
tuannya akan tamu yang tak dikenal ataupun yang tak diundang pada malam hari. Demikian
juga ayam dan burung yang setiap pagi berkokok untuk mengingatkan si pemilik
bahwa hari sudah pagi, yang mana ditimpali lagi oleh kicauan si burung yang
begitu merdu menambah indahnya suasana untuk memulai aktifitas. Mereka ini
secara tidak sadar telah banyak memberikan manfaat kepada kehidupan manusia,
jadi sangat pantas untuk diberikan rasa terima kasih. Walaupun tidak mesti
disuguhi sesajen, tetapi setidak-tidaknya ada moment bagi mereka untuk
diperlakukan lebih istimewa dari hari-hari biasa. Bukan seperti fenomena yang
terjadi di masyarakat selama ini, bahwasannya ritual Tumpek kandang yang
harusnya dipakai moment untuk berucap rasa syukur kepada mereka justru
dijadikan tonggak untuk mengakhiri hidup mereka dengan alasan klise…..(Persembahan)
Mereka dikorbankan sebagai tumbal atas nama kelengkapan banten pada hari dimana
mereka seharusnya menikmati momentum paling berharga dalam hidupnya. Padahal dalam
kelengkapan upacara seperti yang dinyatakan dalam lontar sundarigama diatas
sudah jelas tidak ada unsur persembahan dagingnya sebagaimana hal ini juga
dipertegas oleh Tuhan Sri Krishna dalam Bhagavad Gita Bab.9.26 (jangan-jangan selama ini telah terjadi
miskonsepsi dari umat yang sebenarnya lebih ditekankan pada aspek Atmanastuti
atau rasa dalam membuat ritual tanpa logika sehingga persembahan kepada Tuhan
kok malah menggunakan hewan tak bersalah sebagai korban persembahan, padahal
mereka menyatakan bahwa Sang Hyang Iswara (Tuhan) yang mana dalam hal ini
disebut Sang Rare Angon juga bersemayam dalam diri para binatang itu.
Bukankah menjadi
sebuah kelucuan jika disatu sisi memuja Tuhan tetapi di sisi lain malah memaksa
Tuhan keluar dari badan wadag binatang yang juga ditempatinya. Sungguh sebuah
ironi yang mirip dengan aksi para terorisme yang sangat senang mempersembahkan
jeritan dan daging manusia lainnya dalam sebuah pengeboman yang katanya
dilakukan demi untuk menjalankan perintah Tuhan demi untuk menegakkan kebenaran
jihad versi mereka dengan menumpas kaum kafir yang tidak mengakui kebenaran
agama dan Tuhan mereka)
Memperlakukan binatang seperti halnya manusia, merupakan
kesadaran humanis eksistensial bahwa binatang (juga tumbuh-tumbuhan) turut
membangun eksistensi manusia. Dapat dibayangkan ketika manusia tanpa
tumbuh-tumbuhan dan binatang, mustahil eksistensinya akan terjaga di dunia ini.
Sementara itu, kesadaran kosmis bahwa upacara tumpek merupakan cara manusia
membangun dan melestarikan lingkungan alam dan budayanya. Pelestarian
lingkungan alam ditujukan untuk keselamatan bumi pertiwi, tumbuh-tumbuhan dan
binatang di dalamnya, sedangkan pelestarian lingkungan budaya bahwa melalui upacara
ini manusia menyatakan sikap hidupnya kepada alam dan lingkungan sehingga
manusia dapat menyelaraskan diri dengan harmoni semesta. Dengan demikian Tumpek
Kandang adalah cara umat Hindu membangun kesadaran universal untuk mewujudkan
kebahagiaan dunia, seperti dijelaskan dalam Yajurveda XVI.48 ”Berbuatlah agar
semua orang, binatang-binatang dan semua makhluk hidup berbahagia”.
Selain itu, segala persembahan dalam konteks bhakti sesungguhnya
adalah kasih. Dalam Lontar Sunarigama dinyatakan "Saniscara Kliwon Uye
pinaka prakertining sarwa sato". Artinya, hari itu hendaknya dijadikan
tonggak untuk melestarikan semua jenis hewan. Sementara itu, dalam
Sarasamuscaya juga disebutkan "Aywa tan masih ring sarwa prani, apan prani
ngaran prana", yang artinya janganlah tidak sayang kepada binatang karena
binatang dan semua makhluk adalah kehidupan. Dengan demikian pelaksanaan Tumpek
Kandang merupakan pembiasaan dan pembudayaan umat Hindu dalam mengembangkan
kasih sayang kepada semua makhluk. Dalam ajaran Hindu, diyakini bahwa Tuhan
Yang Mahaesa adalah jiwa semua makhluk sehingga kasih kepada semua makluk
adalah kasih kepada Tuhan. Umat Hindu mewujudkannya dalam Puja Tri Sandhya yang
menyatakan ”Sarvaprani hitankarah” (hendaknya semua makhluk hidup berbahagia).
Ini adalah doa universal untuk keseimbangan jagat raya dan segala isinya.
Bahkan,
jika dicermati lagi, hewan bisa memberikan pesan-pesan penting bagi kehidupan
manusia. Hewan kerap lebih awal memberi isyarat akan terjadinya bencana
sehingga manusia yang berakrab dengan sasmita alam akan bisa mengetahui bencana
segera menerjang. Tengok saja bencana Tsunami yang diawali tanda-tanda
hijrahnya burung-burung atau gunung merapi meletus diawali dengan. Hewan-hewan
tiada henti memberi tanda alam bagi keselamatan manusia. Oleh karena itu mari
jadikan hari ini sebagai tonggak guna memberikan kasih yang lebih baik kepada mereka
karena mereka diciptakan adalah sebagai teman untuk meniti perjalanan panjang
menggapai tujuan hidup dan bukannya diperuntukkan untuk memenuhi tuntutan lidah
manusia yang selalu mendambakan daging mereka yang empuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar