Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Walaupun seribu kitab suci
mengatakan bahwa api itu dingin, hendaknya engkau jangan percaya!
Seruan Weda itu mengisyaratkan agar
kita mau mempelajari, memahami, dan mengamalkan isi kitab suci dengan tidak
melepas nalar. Bukankah akal budhi (nalar) merupakan salah satu kelebihan
manusia dari mahluk hidup lainnya. Jika kecerdasan dan akal budhi diabaikan,
lalu apa bedanya manusia dengan hewan ?
Penafsiran umat terhadap ajaran
agama seringkali seperti menatap langit yang ada di atas kepalanya. Langit yang
dianggapnya tertinggi pastilah langit yang dijunjungnya. Sedangkan bagian
langit yang lain akan tampak sangat rendah baginya. Mereka jarang mau tau bahwa
langit itu hanya satu, sedangkan tinggi rendahnya langit terjadi karena
keterbatasan penglihatannya sendiri. Kebenaran yang diajarkan masing-masing
agama adalah kebenaran yang satu. Kebenaran itu menjadi berbeda karena
pandangan, pengalaman, dan penafsiran yang berbeda pula.
Hal ini dapat diibaratkan
dengan beberapa orang buta yang ingin mengenal gajah. Masing-masing dari mereka
ternyata memiliki dan bersikukuh pada pendapatnya sendiri yang dianggapnya
paling benar berdasarkan pengalaman yang dialaminya tentang ciri-ciri
dari gajah dimaksud. orang buta yang memegang belalainya bersikukuh bahwa
gajah itu seperti ular, sedangkan orang buta yang memegang kaki gajah juga
bersikukuh mengatakan bahwa gajah itu seperti tiang besar, dan orang buta
lainnya juga tidak mau kalah menyuarakan bahwa gajah itu seperti kipas karena
ia telah meraba bagian kupingnya. Lalu manakah yang benar diantara semuanya ?
tentu orang yang tidak buta (Bijaksana) yang mau melihat dari semua sisi yang
paling benar untuk menyimpulkan bagaimana gajah itu yang sesungguhnya. Tentu
saja untuk bisa menjadi seorang yang bijaksana yang memiliki pandangan luas
tentang kebenaran, kita tidak boleh menutup mata seperti orang buta tadi lalu
bersikukuh dengan fanatisme tak keruan tentang kebenaran diri sendiri yang
belum jelas apalagi jika sudah berani menghakimi penilaian orang lain sebagai
sesuatu yang salah.
Kebenaran yang bersifat kekal abadi, sudah ada sebelum ajaran agama-agama ini
diwahyukan. Dalam perumpamaan tadi, seekor gajah memang sudah ada sebelum
diraba lalu diberikan pengertian yang beragam. Demikian halnya dengan ajaran
agama yang diwahyukan Tuhan pastilah merupakan kebenaran yang obyektif. Tetapi
karena manusia yang menerimanya, membukukannya, menyebarkannya, dan
melaksanakannya, maka ajaran itu menjadi subyektif dan relative. Semestinya,
setiap umat beragama berani bersikap kritis terhadap ajaran agama yang
dianutnya.
Pertama, perlu dipertanyakan, apakah
ayat suci tersebut benar-benar murni merupakan wahyu Tuhan, ataukah sudah
mendapat penafsiran dari para penerima dan penyebar wahyu dimaksud.
Kedua, setiap pemeluk agama
semestinya tidak perlu terlalu fanatic terhadap ayat-ayat kitab suci yang
diyakini sebelum bisa terealisasikan dalam tindakan nyata. Sebab sesuatu akan
bernilai benar jika telah ada kesesuaian antara yang tersurat atau terucap
dengan apa yang terlaksana. Sebelum diwujudkan dalam tingkah laku, kebenaran
itu belum dirasa ada sebab kebenaran dan kesalahan itu realita. Karena itu umat
beragama seharusnya hidup dalam realitas. Ibaratnya orang tidak akan dapat
merasakan manisnya gula batu hanya dengan mengunyah secarik kertas berisi
tulisan ‘Gula batu’ atau dengan terus menerus mengatakan bahwa “Gula batu itu
manis”. Ia baru boleh mengatakan bahwa gula batu itu memang manis jika sudah di
dasarkan pada pengalamannya sendiri dengan mengambil gula batu yang
sesungguhnya lalu meletakkannya di lidah.
Dewasa ini ada banyak sekali orang
yang merasa diri paling suci dan terselamatkan di mata Tuhan hanya karena gelar
yang disandangnya sebagai ahli hokum agama atau karena telah hafal ayat-ayat
kitab suci agamanya berjuz-juz, atau beribu-ribu sloka dan mantra, namun
realita dunia masih sepi dengan kebaikan murni yang menjangkau seluruh umat Tuhan.
Masing-masing umat beragama hanya terpasung dengan kegiatan kebaikan dalam
kelompoknya sendiri dan tidak jarang berusaha menyeret tetangga disekitarnya
agar masuk dalam kelompok dan keyakinan mereka.
Tujuan akhir dari semua agama yang
ada adalah penyatuan kembali para pengikutnya dengan Tuhan (Berkumpulnya
kembali anak-anaknya dengan orang tuanya). Dengan demikian inti agama adalah
kesadaran spiritual yang didalamnya terkandung unsur kebenaran, kebajikan, dan
cinta kasih Ilahi yang universal. Pada tahap tersebut, tidak ada lagi label
termasuk label agama yang seringkali mengkotak-kotakkan umat manusia antara
yang satu dengan yang lainnya. Padahal jika ditelaah secara nalar, semua
entitas hidup di bhumi ini hanyalah merupakan satu kesatuan, satu saudara, dan
satu keluarga besar yang hidup di bhumi yang sama, menghirup udara yang sama,
mendapat panas dari matahari yang sama, dan tentunya satu sumber penciptaan
yakni Tuhan yang disebut dengan berbagai nama menurut selera masing-masing.
Sementara ini pandangan umat beragama tertentu yang menganggap bahwa
agama yang dianutnyalah yang paling sempurna, paling baik, dan paling benar
adalah pandangan orang-orang yang tidak bisa memakai nalarnya dalam beragama.
Pandangan seperti inilah yang merupakan bibit perpecahan yang semestinya
dikubur dalam dalam agar tidak bisa bertumbuh sedikitpun. Angapan yang
menyatakan bahwa Tuhan hanya akan menerima amal soleh dari umat beragama
tertentu saja serta akan mengabaikan kebaikan dari umat agama lain sesungguhnya
telah mengecilkan dan member batasan pada kemaha kuasaan Tuhan yang seringkali
dipuja sebagai “Yang maha Adil (Al-ALim) , Yang maha Pengasih dan penyayang
(Al-Rahman, Al Rahim), dan lain-lain. Permasalahan berikutnya, bagimanapun
sempurnanya suatu kitab suci, jika ajaran yang terkandung di dalamnya tidak
dihayati dan diamalkan oleh para pengikutnya, maka kitab suci tersebut hanya
akan menjadi kumpulan kata-kata indah yang secara perlahan akan kehilangan
maknanya. Barangkali inilah yang pernah terjadi pada beberapa kitab suci
berbagai agama yang pernah muncul di muka bhumi ini tetapi akhirnya lenyap
ditinggalkan oleh umatnya. Agama itu sirna bukan karena ajarannya tidak benar
tetapi karena ajaran itu tidak dilaksanakan secara murni.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar