Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Berbagai macam predikat yang
disandang oleh Bali seperti misalnya “sebutan sebagai Pulau sorga, Pulau
Dewata, Pulau Seribu Pura, maupun aneka predikat yang lain, sungguh merupakan
hiasan indah bagi telinga yang jika tidak dimaknai dengan baik kadang justru
bikin kita mabuk karenanya. Ya mabuk karena sanjungan dan lupa diri karena
banyaknya pujian. Dulu sebelum Paddy’s club luluh lantah oleh Bom Bali I,
masyarakat hindu etnis bali kadang suka sesumbar mengatakan bahwa bali yang
dikenal dengan nama Pulau Dewata dengan makna kiasnya bahwa Pulau Bali yang
merupakan stananya para Dewa tidak mungkin akan dibiarkan untuk dirusak oleh
para teroris.
Demikianlah ketika kekacauan melanda
negeri ini, Bom meledak di Solo, mengguncang Poso, dan juga perang etnis yang
berbau sara di Kalimantan ataupun di Ambon, Bali dan masyarakatnya masih
tenang-tenang saja, mabuk dalam kebanggaan bahwa tanah bali adalah tanah suci
dan tidak mungkin diusik oleh ulah kaum maksiat. Masyarakat bali lupa bahwa
pulau sorga atau pulau dewata hanyalah sebutan yang diberikan oleh manusia yang
didasarkan pada sisi kepentingannya semata. Ya sorga bagi mereka yang mempunyai
uang banyak sehingga mampu memfasilitasi hidup dengan nyaman, menikmati keindahan
alam bali yang memang memukau sambil dilayani para gadis belia yang
cantik-cantik. Dan juga sorga bagi kaum pendatang yang ikut memanen dollar
tanpa mau ikut menjaga keajegan budaya hindu yang menjadi sumber daya tarik
wisatawan. Sanjungan dan pujian itu telah membuat penghuni asli pulau dewata
linglung serta melakukan pembiaran terhadap berbagai macam budaya luar masuk
dan meracuni kesucian pikiran masyarakatnya. Pergaulan bebas serta tarian
seronok yang tidak dikenal masyarakat bali kini telah menjadi hal umum yang
bisa ditemui di beberapa klub malam.
Kini pulau dewata sudah tidak murni lagi
menjadi tempat berstananya para dewa karena yang namanya sorga tentu tidak akan
tercemari oleh ulah salah seperti itu sehingga beberapa tempat yang dulunya
menjadi tempat para dewata telah digantikan oleh para denawa. Tempat yang
dulu dipakai untuk merenung atau meditasi akhirnya berubah menjadi tempat untuk
menghitung materi. Sehingga masyarakat bali yang dulu dikenal sebagai
masyarakat lugu, kini seperti telah tercabut dari akar budayanya menjadi
pribadi pribadi agresif yang tidak lagi ramah kepada saudara se-bali. Perang
antar banjar dan pencurian yang dilakukan oleh masyarakat bali sendiri adalah
contoh nyata tentang hal ini. Bom Bali I yang kemudian disusul dengan Bom Bali
II akhirnya menunjukkan dengan paksa kepada para penghuni sorga ni, bahwa sorga
yang indah ini sudah mulai rusak tatanannya oleh mereka yang antipati kepada
keyakinan hindu yang dianggapnya sebagai agama bhumi primitive dan pemuja
berhala yang perlu diselamatkan, rusak oleh mereka yang cenderung mengagungkan
glamornya kehidupan duniawi diatas agama dan moral, dan juga dirusak oleh
kebanggaan masyarakatnya sendiri yang dirasuki ego palsu dengan menganggap
bahwa apa yang dilakoninya selama ini dalam kehidupan beragama adalah hal
paling benar sehingga menjadikan para dewa betah tinggal di pulau ini.
Beginilah jika kita sedang berada
dalam keadaan mabuk yang membuat seluruh indera juga kabur sehingga sulit untuk
mengenali serta memahami sesuatu dengan baik. Dalam hal kehidupan beragama, hal
yang sama juga hamper sering terjadi dimana sebagian masyarakat hindu bali yang
telah ditanamkan prinsip hidup menerima budaya apa adanya sangat sulit menerima
perubahan karena dicekoki dogma ketakutan akan murka para dewa / leluhur dengan
istilah kepanesan atau kepongor. Sehingga jika ada kebiasaan yang tampil beda
dari apa yang telah mereka lakoni selama sebelumnya, masyarakat cenderung
merasa antipati sebelum mereka melakukan penyelidikan terhadap budaya yang
menurut mereka “Baru”. Disamping itu, budaya anak negeri yang tidak membiasakan
suka membaca juga turut memberikan andil besar terhadap gaya hidup
masyarakatnya termasuk di dalamnya masyarakat hindu etnis bali. Mereka
cenderung berpuas diri dengan kegiatan keagamaan yang telah dijalani
bertahun-tahun seperti itu lalu lalai akan kebutuhan dan tuntutan jaman. Ketika
akses informasi bergerak cepat melalui kemajuan iptek seperti internet,
generasi muda hindu juga belum begitu banyak yang mau dan mampu
mempergunakannya guna mencari informasi yang bisa mempertebal keyakinannya
terhadap hindu. Sementara di umat agama lain, bahkan dari masa kanak-kanak
telah diajarkan untuk membaca isi kitab suci agamanya secara rutin sehingga
mereka punya keyakinan yang kuat serta tidak mudah terprovokasi untuk pindah
kekeyakinan orang lain. Pernah seorang teman ketika ditanya doa makannya dalam
hindu Ia tidak tahu dan malah lebih fasih mengucapkan do’a dalam agama lain.
Ironisnya bahkan ia mengklaim bahwa hindu adalah budaya bali dan muncul pertama
kali di bali sehingga jika ada kelompok spiritual keagamaan yang memakai budaya
lain dari budaya lokal bali pasti akan dicapnya sebagai hal aneh dan merupakan
serpihan dari agama hindu bali. Sungguh sangat disayangkan jika ada banyak
generasi muda hindu yang mempunyai wawasan sempit seperti demikian sebab hanya
akan membuat agama minoritas ini semakin kecil dalam himpitan agama lain yang
semakin mencengkeramkan pengaruhnya di tanah bali. Sehingga bali yang dulu
dikenal sebagai pulau seribu pura bukan tidak mungkin nanti akan berubah
predikat menjadi pulau seribu masjid, atau seribu gereja. (Realita di lapangan
membuktikan bahwa pertumbuhan tempat ibadah agama lain sudah bertumbuh sangat
banyak tanpa dibarengi dengan semangat yang baik dalam membina kerukunan hidup
beragama.)
Tulisan ini hadir sebagai suluh
kecil bagi generasi muda hindu tercinta untuk bisa lebih membuka wawasan, guna
menyikapi berbagai kelompok spiritual hindu yang ada yang sesungguhnya tampil
sebagai pilar lain bagi kejayaan hindu. Sesuatu yang bahkan tidak seharusnya
menjadi kecemasan jika saja kita mau melihat, mendengar, ataupun melakukan
penyelidikan langsung terhadapnya. Sungguhlah bijaksana jika kita menyadari
bahwa Tuhan memberikan kita dua mata, dua telinga, dan hanya satu mulut,
tujuannya adalah agar kita bisa lebih banyak melihat dan mendengar daripada
sekedar berbicara yang tidak perlu, berbohong, memberikan kesimpulan dangkal,
apalagi menjelekkan sesuatu yang belum pasti kebenarannya.
Beberapa pertanyaan dan jawaban
singkat yang bisa dipakai renungan bagi generasi muda hindu untuk hal ini
adalah seperti berikut :
1. JIKA HINDU MEMANG BERASAL DARI DARATAN INDIA, LALU
KENAPA PELAKSANAAN KEAGAMAANNYA TIDAK SAMA DENGAN HINDU YANG ADA DI BALI
Ibarat bola salju yang menggelinding dari puncak pegunungan
lalu turun melalui berbagai tempat, bola salju itu akan
tertempel oleh
beberapa unsur yang dilaluinya. Semakin jauh bola salju itu menggelinding, maka
akan semakin banyak dan semakin tebal juga permukaan yang menyelimuti dan
menutupinya. Demikian halnya dengan perjalanan agama hindu dari daratan India
menuju tanah Bali dwipa. Ia telah diikuti oleh balutan berbagai budaya yang
berasal dari tiap daerah yang dilalui sebelumnya.
Intisari dari ajarannya tentu tetap sama hanya saja tata
cara pelaksanaannya yang mungkin berbeda karena masing-masing daerah mempunyai
ciri khas budayanya sendiri apalagi masyarakat bali pada waktu itu memang telah
memeluk paham animisme dan dianimisme serta adanya beberapa madzab / sekte yang
memperkenalkan sistem persembahan dengan memakai binatang sebagai kurban. Namun
demikian, karena semua ajaran itu sama-sama berasal dari Veda, maka doa
pujian yang berupa Gayatri mantram, serta sebutan untuk dewa-dewa utama yang
dipuja tetap sama walaupun kenyataannya di Bali memang lebih banyak terlihat
pemujaan kepada Leluhur dan para Rsi yang telah membangun banyak pura Sad
Kahyangan di Bali. Ida pandita saat nuur tirta yang juga masih memanggil spirit
sungai-sungai suci di india, seperti sungai suci Gangga, Yamuna, Godawari,
Sarasvati,dll yang menunjukkan bahwa Hindu memang berasal dari India, bukan
lahir di bali. Berbeda jika hindu memang muncul pertama kali di tanah Bali,
tentu nama-nama dewanya juga memakai produk khas dalam negeri alias nama bali
asli seperti dewa jontol, dewa gelebeg, dll. Sang Pinanditapun jika nuur tirta
tak usah lagi memakai bahasa sansekerta dan memanggil spirit sungai suci dari
India, karena tentu akan lebih praktis jika beliau memanggil spirit beberapa
sungai / tukad yang ada di Bali seperti tukad yeh juwuk atau tukad bangkung
saja.
Jadi sungguhlah aneh jika kita sebagai umat hindu justru merasa alergi
dengan budaya india sebagai tanah kelahiran Veda dan sebaliknya sangat
bersimpati dengan budaya barat yang tak ada kaitannya dengan sejarah hindu di
Bali.
Masuknya budaya India ke nusantara sebenarnya bukanlah hal
baru yang terjadi dalam beberapa dekade belakangan ini saja. Dalam lontar
Markandya purana dapat kita simak bahwasannya pada sekitar tahun 158 masehi
atau tahun 80 saka, seorang suci dari tanah Bharatavarsa (India) yakni Rsi
Markandya telah datang ke bali dan memulai pembangunan suci di lereng gunung
agung dengan menanam panca datu. Tempat yang kini dikenal dengan nama pura
besakih. Begitu juga halnya dengan mpu Kuturan dan Dang Hyang Nirartha yang
telah berjasa mengkonsep hindu seperti yang kita warisi Sekarang. Mereka juga datang
dengan goresan budaya india sebagai cikal bakal kemunculan ajaran hindu
sehingga sungguhlah tidak mungkin jika agama hindu mau dipisahkan dari sejarah
awalnya di India.
Pelaksanaan tata cara keagamaan bukanlah tolak ukur untuk bisa menilai
kehinduan seseorang.
2 KITA SUDAH
BERAGAMA HINDU, LALU KENAPA HARUS IKUT KELOMPOK SPIRITUAL JIKA ITU MEMANG
SAMA-SAMA HINDU ? TIDAKKAH INI TANDA PENGHIANATAN AGAMA
Pertanyaan yang sama akan muncul, kenapa seorang murid harus
mengikuti les tambahan atau bahkan les privat jika subject yang diajarkan
disekolah formal juga sama ?
Seorang murid
pintar dan ingin maju bisa diibaratkan dengan sadhaka dalam jalan bhakti. Ia
sadar bahwasannya waktu dan penjelasan materi yang disampaikan dalam kelas
formal kadang terbatas karena harus menyesuaikan dengan tingkat pemahaman
banyak orang. Tapi di kelas tambahan atau dengan guru privat, seseorang bisa
menggali ilmu sebanyak banyaknya yang kadang tidak sempat dijelaskan dalam
kelas formal. Demikian juga dalam kelas tambahan, proses belajarnya akan jauh
lebih terarah sehingga hasil yang ingin dicapaipun akan lebih tampak pasti.
Wejangan
wejangan yang diulas di berbagai kelompok spiritual lebih dari sekedar kupasan
tapi Guru-guru suci tersebut membedah dan menunjukkan kebesaran serta
keagungan isi kitab suci dari semua agama yang pada esensinya sama sehingga
manusia menyadari bahwa mereka satu, dan bahwa Tuhan yang sama yang dipanggil
dengan banyak nama, telah memberikan petuahnya bagi seluruh umat manusia dengan
mengacu kepada tempat, waktu dan kebutuhan pada saat diturunkannya kitab
bersangkutan sehingga sesuatu yang kelihatan berbeda itu sebenarnya hanya
berasal dari satu sumber yang sama yakni ajaran cinta kasih. Yakni kasih kepada
Tuhan, kasih kepada sesama, dan kasih kepada mahluk lainnya. Jadi mengikuti
kegiatan di berbagai kelompok spiritual bisa diibaratkan dengan pendalaman
materi belajar tentang apa-apa yang telah didapat dalam pengajaran di agama
formal. Beragama juga bukan hanya dipakai
pengakuan dan identitas diri saja tetapi lebih kepada bagaimana orang yang
mengaku beragama itu mengetahui, memahami, lalu menjalankan dalam kehidupannya
sehari-hari intisari dari ajaran agamanya tersebut.
Mengaku beragama tapi tidak tahu siapa yang ia puja atau kurang mengerti kenapa
ia melakukan apa, hanyalah tanda dari kekerdilan spiritual.“Selidikilah
dulu segala sesuatunya sebelum kita membuat suatu pernyataan karena Tuhan telah
menganugrahi kita dengan 2 mata dan 2 telinga tetapi hanya 1 mulut yang artinya
kita harus lebih banyak mendengar dan melihat faktanya daripada sibuk
berkomentar tentang sesuatu yang belum jelas “. Semua wacana Guru-guru suci di
kelompok spiritual itu bersumberkan pada Veda yang dipakai pedoman tertinggi
bagi umat hindu. Lalu bagaimana mungkin hal itu bisa diklaim sebagai tanda
penghianatan terhadap agama sendiri. Veda memang merupakan kitab suci tertua
dan terlengkap sehingga perlu waktu yang cukup lama dari beberapa kelahiran
untuk bisa mengetahui apalagi mengerti semua bagian daripada kitab suci Veda
apalagi jika kita tidak pernah mempelajarinya lalu berani mengklaim diri paling
hindu padahal sesungguhnya kita baru pada tingkat umat hindu yang
paling/bingung. Karena tidak mengetahui bahkan cenderung alergi dengan
ajaran Veda yang dikemas dengan cara lain
3. KENAPA HARUS
MEMPELAJARI AJARAN LAIN KALAU AJARAN DI HINDU SAJA BELUM BISA ?
Pernyataan “mlajah
agame pedidi dogen sing telah sube melajahin ane len-len” - Mempelajari
agama sendiri saja tidak habis sudah mempelajari yang lain, mengisyaratkan 2
buah pengertian. Dimana yang satu berarti bahwa mungkin orang yang bersangkutan
telah mengetahui bahwa kitab suci Veda memang bukan merupakan kitab suci
tunggal tapi tersusun dari berbagai sastra lain yang jumlahnya ratusan. Drs. I
wayan Suja dalam bukunya yang berjudul “Tafsir keliru terhadap Hindu” (1999 –
20,21) Berdasarkan sumbernya, Veda dapat digolongkan menjadi dua kelompok
yakni Veda sruti dan Veda smrti. Veda sruti merupakan wahyu langsung dari
Tuhan yang diterima oleh para Maharsi (Rasul/Nabi). Kemudian berdasarkan
isinya, Veda sruti digolongkan menjadi empat, sehingga disebut dengan catur
Veda, yang meliputi Rg Veda, Sama Veda, Yajur Veda, dan Atharva Veda.
Masing-masing Veda ini terbagi atas 3 bagian yaitu bagian Samhita, Brahmana,
dan bagian Aranyaka / Upanisad.
A). Samhita,
yakni himpunan mantra-mantra Veda yang mengandung mantra upasana (doa
kebaktian, pemujaan, ucapan syukur, mantra-mantra upacara sorban), ajaran
filsafat dan tata fusila, pendidikan, dan lain-lain.
- Rg Veda Samhita, mengandung 1.028 surta (himne),10.589 mantra. Rg Veda
memuat perkembangan pemikiran dari pola berpikir sederhana sampai menuju
pehamanan monotheisme. Kitab ini sangat menekankan kebenaran, dan kebenaran itu
esa adanya.
- Yajur Veda Samhita, terdiri atas 1.975 mantra dan 41 adhyaya (bab).
Yajur Veda memuat tentang pelaksanaan upacara atau yajna. Yang mantra-mantranya
banyak diambil dari Rg Veda.
- Sama Veda Samhita, terdiri atas 1.875 mantra, kitab ini memuat
mantra-mantra yang telah dilengkapi dengan tanda nada untuk berbagai irama
(melodi). Teks Sama Veda mengandung aturan tentang cara memainkan musik. Dari
1.875 mantra yang terdapat dalam kitab ini, hanya 75 mantra yang tidak berasal
dari Rg Veda.
- Atharva Veda Samhita, terdiri atas 5.977 mantra yang sangat bermanfaat
bagi kehidupan, berisi tentang mantram untuk mengusir kejahatan, memohon
kemakmuran, mengembangkan cinta kasih dan keharmonisan antara suami-istri,
murid dengan guru, dll.
B).
Brahmana, yaitu uraian yang panjang tentang ketuhanan (teologi)
teristimewa observasi tentang jalannya upacara sorban atau mistis dari upacara
sorban yang dilakukan oleh individu maupun kelompok.
C).
Aranyaka dan Upanisad, kedua jenis kitab ini memuat tentang
makna simbolik dari upacara keagamaan, hakikat filosofinya, inti
sari kitab-kitab samhita yang merupakan dasar kebenaran bagi seseorang yang
mencari pencerahan spiritual. Secara formal, disebutkan ada 108 upanisad,
termasuk di dalamnya adalah kitab suci bhagavad Gita yang dikenal sebagai Veda
relima (Pancama Veda).
Veda Smrti
memuat penjelasan terhadap Veda Sruti, dan bukan tergolong wahyu Tuhan. secara
umum, kitab-kitab ini dikenal sebagai susastra Veda yang meliputi :
A).Wedangga, yaitu buku-buku sumber yang dapat dijadikan penuntun untuk
mempelajari dan mendalami mantram-mantram Veda, yaitu : Siksa (Ilmu
ponetik), Vyakarana (Ilmu tata bahasa), Nirukta (Ilmu etimologi), Chanda (Ilmu
irama), Jyotisa (Ilmu astronomi dan astrologi), Palpa (Ilmu tentang upacara
korban)
B).Upaveda, meliputi Ayurveda (Ilmu kedokteran), Dhanurveda (Ilmu
persenjataan), Gandharvaveda ( Ilmu kesenian), Arthasastra (Ilmu pemerintahan,
kepemimpinan, sosial, budaya, dll)
C).Upangaveda, meliputi Darsana (Filsafat), Agama, Purana (18 Mahapurana,
18 Upa purana, dan Itihasa), Kamasastra, dan Dharmasastra.
Pengertian kedua tentang pernyataan diatas kadang juga berarti bahwa orang yang
bersangkutan memang tidak pernah membaca apalagi mengetahui secara benar esensi
dari kitab suci agamanya. Sehingga memunculkan pernyataan “Agame pedidi-Agama
sendiri” dengan ajaran lain sebagai klaim atas kelompok study spiritual yang
telah dianggapnya bukan menjadi bagian dari hindu. jika saja orang yang
bersangkutan memang membaca kitab sucinya dengan benar, tentu mereka akan
melihat dan mendengar bahwa apa yang dilakukan kelompok study spiritual dalam
hal ini Sai Study Group telah merujuk atau berpedoman pada sumber yang jelas
yakni Veda sebagai hukum tertinggi Veda. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan
Tuhan Sri Krishna yang pernah menyabdakan dalam Bhagavad Gita; Bab 15 sloka 15
Sarvasya caham hrdi sannivisto
// Mattah smrtir jnanam apohanam ca
Vedais ca sarvair aham eva
vedyo // Vedanta-krd Veda-vid eva caham
(Aku bersemayam di dalam hati semua mahluk. Ingatan,
pengetahuan, dan pelupaan berasal dari-Ku. Akulah yang harus diketahui dari
segala Veda. Memang akulah yang menyusun vedanta dan Akulah yang mengetahui
Veda.
Pernyataan Tuhan Sri Krishna ini seakan mengingatkan pada
kita bahwa Veda yang tersusun dari beberapa bagian yang sangat banyak itu akan
begitu sulit dipelajari keseluruhannya jika mengandalkan daya ingat manusia
sekarang yang kian terbatas, oleh karena itu beliau memberikan jawaban dan
kesimpulan-Nya bahwa tujuan utama dari mempelajari Veda sesungguhnya hanyalah
untuk mengetahui serta memahami beliau (Tuhan - Brahma Vidya).
Sekarang sudahkah kita sebagai umat hindu melakukan usaha
kearah itu yakni berusaha mengenali siapa Tuhan kita, apa isi ajaran, perintah,
dan larangan beliau yang tertuang dalam kitab-kitab suci agama ataupun sekedar
memahami darimana kita berasal, apa tujuan kita dilahirkan, lalu kemana tujuan
kita setelah badan ini hancur / mati ?. Selama ini yang terjadi justru masih
banyak umat hindu yang justru menyangsikan isi kitab sucinya sendiri.
Menganggap bahwa itihasa (Mahabharata dan Ramayana) hanya sekedar mitologi /
cerita semata. Walaupun telah banyak bukti yang bisa menguatkan bahwa sejarah
besar itu memang pernah terjadi di muka bhumi ini dan bahwa Tuhan pada saat itu
juga telah hadir di tengah-tengah umat manusia untuk menegakkan kembali
prinsip-prinsip dharma dalam wujud Sri Rama dan Sri Krishna. Jadi sungguhlah
ironi jika kita yang mengaku paling hindu ternyata hanya menganggap Tuhan yang
telah mewujud dengan nama dan rupa Sri Rama ataupun Sri Krishna tidak lebih
dari sekedar tokoh pewayangan ataupun tokoh kartun animasi lantaran selama ini
kisah kemuliaan beliau diperkenalkan dalam pentas wayang, film kartun, ataupun
kidung pesanthian saja.
4. HINDU SUDAH
MENJADI AGAMA MINORITAS, KALAU SEKARANG BERBAGAI ALIRAN YANG MELABEL
DIRINYA SEBAGAI KELOMPOK STUDY SPIRITUAL DIBIARKAN BERKEMBANG, TIDAKKAH INI
JUSTRU AKAN MEMBUAT UMAT HINDU SEMAKIN TERKOTAK-KOTAK DALAM KELOMPOKNYA
SENDIRI. APALAGI DIANTARA KELOMPOK STUDY ITUPUN MEREKA MASIH MEMILIKI PERBEDAAN
DALAM MEMAHAMI KONSEP KETUHANANNYA.
Ketakutan
bahwasannya kelompok study spiritual akan menjadi penyebab terpecahnya agama
hindu sungguh merupakan kecemasan yang terlalu mengada-ada. Bukankah umat hindu
sudah mengetahui dan merasakan bahwa lembaga terhormat umat hindu yang bernama
Parisada sempat mau terpecah bukan oleh kelompok study spiritual tetapi justru
oleh para sesepuh yang pernah duduk di lembaga tersebut yang tetap berusaha
mempertahankan cara pandangnya sendiri dalam mengayomi umat dengan menakuti
segala macam perubahan yang datang dari para cendikiawan hindu. Demikian halnya
kenyataan bahwa banyak saudara kita yang hijrah ke agama lain adalah karena
ketatnya aturan adat
Masalah
perbedaan pandangan dalam memahami konsep ketuhanan sebenarnya tidak hanya ada
dalam kelompok study saja tetapi umat secara keseluruhan. Ada yang meyakini
bahwa Tuhan itu mempunyai wujud, Personal God, atau Saguna Brahman, tetapi ada
juga yang meyakini bahwa Tuhan itu tidak berwujud, Impersonal God, atau Nirguna
Brahman. Hal ini tidaklah menjadi masalah karena Tuhan tidak dibatasi oleh nama
dan rupa apapun, Tuhan bisa membuat dirinya mewujud ataupun sebaliknya.
Bukankah mengatakan Tuhan itu hanya begini atau begitu merupakan tanda bahwa kita
sedang membatasi Tuhan yang maha sempurna dan tak terbatas apapun.
Sebagaimana kita ketahui bahwa di dunia, ada 2 kelompok besar yang menyokong
keutuhan hindu yakni kelompok Vaisnava yang menganggap bahwa Tuhan tertinggi
itu adalah Sri Krishna / Narayana / Sri Vishnu serta beranggapan bahwa Tuhan
itu memiliki kepribadian / memiliki wujud. Di lain sisi kelompok Sivaisme
yang beranggapan bahwa Tuhan itu adalah Mahadeva / Shiva yang tidak dibatasi
oleh wujud itu saja. namun demikian toh kelompok ini tidak saling
mempertentangkan keyakinannya sendiri sebagai yang paling benar karena
menyadari walaupun konsep ketuhanannya berbeda, tapi mereka berada pada satu
payung besar yang bernama Hindu Dharma. Hal serupa juga bisa dilihat dari
jamannya Mpu Kuturan di tanah Bali dwipa ketika beliau menjumpai begitu banyak
ada sekte yang berkembang di bali seperti Sekte Vaishnawa, bhujangga, Sakta,
pasupata, Bhairawa, Ganapata, dll. Beliau tanggap menemui para pemimpin sekte
tersebut guna merumuskan cara untuk mewadahi semua kepentingan dan keyakinan
dari semua golongan tersebut agar tidak terjadi benturan satu dengan yang
lainnya. Sehingga kemudian lahirlah ide untuk mendirikan Tri kahyangan sebagai
media pemersatu dan toleransi antar umat sekeyakinan ataupun dengan keyakinan
lainnya. Berbeda dengan situasi Sekarang dimana para sesepuh yang dijadikan
tokoh panutan di tempatnya masing-masing justru lebih banyak memupuk kecemasan
dan kecurigaan terhadap perkembangan kelompok spiritual tanpa melakukan
pendekatan dan penyelidikan langsung terhadap apa yang ditakutinya.
Toleransipun kadang hanya diperuntukkan bagi perkembangan agama laen yang
jelas-jelas semakin mempersempit gerak umat hindu dan justru membatasi gerak
kelompok study spiritual yang nyata-nyata telah memberikan kontribusi dan
andil besar bagi kejayaan dan ajeg hindu di nusantara. Isu membentuk agama
hindu versi Bali-pun semakin membuat leluasa pergerakan para misionaris agama
lain guna menjaring domba-domba (umat hindu) yang mereka anggap sesaat untuk bisa
digiring masuk ke dalam kelompoknya. Sungguh suatu yang menggelikan jika hindu
yang sudah minoritas kita dikotakkan lagi dengan hindu versi baru karena alergi
budaya india yang jelas-jelas merupakan sumber dari agama hindu itu sendiri.
Tapi jika keinginan untuk memurnikan agama hindu Bali itu bebas dari intervensi
dan pengaruh budaya india itu terjadi, pastinya, mantra, doa pujian, dan
nama-nama dewanya pasti juga akan memakai nama bali asli. Seperti apa ? Kita
hanya bisa menunggu.
5. BENARKAH TUHAN
ITU ADA DAN BISA DILIHAT OLEH MANUSIA ? NYATANYA BEBERAPA ILMUAN YANG TELAH
MELAKUKAN PERJALANANNYA KELUAR ANGKASA TIDAK PERNAH MENJUMPAI TUHAN DISANA.
Beginilah salah satu dampak kemajuan IPTEK di jaman modern yang jika tidak
dimaknai dengan benar sehingga menghantarkan manusia pada jenis kesombongan
yang paling berat, menganggap bahwa manusia dengan akal pikirannyalah yang
sedang menentukan nasib dunia. Kita bisa melihat bahwa di negara-negara yang
teknologinya telah maju, banyak ditemukan orang Atheis, yang tidak percaya
dengan apa yang disiratkan dalam kitab-kitab suci agamanya dan bahkan sampai
tidak mengakui keberadaan Tuhan, hanya karena mereka tidak bisa membuktikan
secara kasat mata atau menurut pengetahuan logika mereka bahwa Tuhan memang
ada. Hal ini hampir sama dengan orang yang menyangkal bahwa tidak ada minyak di
dalam buah kelapa hanya karena ia tidak melihat wujud minyak secara langsung
dalam buah itu. Tapi kebenarannya apakah minyak memang tidak ada? Coba ia mau
melakukan sedikit usaha dengan memarut kelapa itu, memeras airnya kemudian
merebusnya, tentu minyak itu akan tampak karena buah kelapa memang mengandung
minyak, dan minyak ada dalam buah kelapa. Inilah kebenarannya. Hal yang sama
juga dapat dijelaskan dengan analogi sebuah gelombang siaran di udara. Bagi
orang yang tidak mau melakukan usaha untuk menghidupkan TV, lalu mengarahkan
antena pada frekwensi yang benar, tentu akan menyangkal bahwa tidak ada
gelombang siaran di udara karena mata kasat mereka tidak mampu melihatnya. Tapi
kebenarannya adalah bahwa gelombang siaran itu memang ada jika kita mau
mencarinya. Sama dengan keberadaan Tuhan, God, Supersoul, atau nama apapun yang
kita sukai untuk memanggil beliau, kesempurnaan beliau tidak akan bisa dipahami
oleh indera manusia yang tidak sempurna apalagi jika kita tidak pernah
mengarahkan antena pikiran kita pada frekwensi yang benar tentang
keberadaan beliau yang sebenarnya sangat dekat dan berada di sekitar kita.
Contohnya siapakah yang memerintahkan jantung agar memompa darah keseluruh
bagian tubuh sehingga manusia bisa hidup, siapakah yang mengikat lautan agar
tidak menyerbu daratan padahal setiap hari ia dipenuhi air dari berbagai
sungai. Siapakah yang merancang sistem tubuh ini agar bisa melihat, mendengar,
merasakan, dan lain sebagainya. Apakah dengan kepintarannya manusia mampu
melakukan hal itu. Walaupun sekarang sudah bisa diciptakan robot yang bisa
berjalan dan menari serta bekerja menurut perintah manusia, tetapi kemampuan
robot itupun terbatas dan tetap tidak bisa memiliki rasa ataupun mampu
berketurunan layaknya robot yang diciptakan Tuhan dengan nama mahluk hidup.
Alam adalah perpustakaan yang paling besar dimana kita
bisa belajar tentang kemaha kuasaan Tuhan dan menyadari bahwa kita sebenarnya
terlalu kecil dihadapan beliau. Andai saja kita berdiri diantara beberapa
orang, kita bahkan sering sudah tidak terlihat. Coba jika dilihat dari puncak
menara, kita bahkan akan tampak hanya sebesar gundukan batu, dan jika dilihat
dari jarak yang lebih tinggi lagi dengan memakai pesawat, kita akan kelihatan
tidak lebih dari seonggok debu. Bayangkan manusia di hadapan Tuhan yang Maha
besar yang seluruh alam semesta ini saja hanya berada di bawah telapak kaki-Nya
( Tuhan sebagai Vamana Avatara menempatkan langkah kaki pertama-Nya memenuhi
seluruh jagat raya ). Jadi alangkah angkuh dan sombongnya jika manusia berani
menyangkal keberadaan beliau. Namun inilah kenyataannya bahwa manusia modern
lebih cenderung mempergunakan logikanya yang terbatas sebagai alat untuk
mengukur kebesaran Tuhan yang tiada batas sehingga manusia tumbuh menjadi
pribadi congkak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar