Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Pernahkah anda kepikiran bahwa
kalimat yang tersusun dari 3 kata itu ternyata memiliki arti yang jauh berbeda
jika tata letaknya di acak (YANG PALING HINDU berarti seseorang
yang memang benar-benar telah mengamalkan ajaran kehinduan dalam kehidupannya
sehingga orang lainpun tak kan ragu akan status keyakinan agama yang dianutnya)
tetapi (HINDU YANG PALING sekurang-kurangnya berarti seorang yang
mengakunya beragama hindu tetapi tidak tahu apa dan bagaimana ajaran agamanya
sendiri namun bertindak seolah-olah dia adalah orang yang paling tahu. Dari 2
kalimat ini tentu yang sangat diharapkan adalah point pertama yakni seseorang
yang paling hindu sehingga generasi seperti ini tidak akan goyah ketika
menghadapi gempuran para misionaris dari agama lain ketika ia diiming-imingi
untuk berpindah agama. Dan lagi orang yang memang benar-benar Hindu akan
mempunyai wawasan yang luas sehingga bisa bertindak bijaksana dalam menelaah
setiap persoalan yang berkaitan dengan keyakinan seseorang, karena mereka yang
paling hindu, setidaknya sudah mau belajar dari banyak hal sehingga tidak kaku
(Kekeh) dalam menerima suatu dogma tanpa mengkajinya melalui nalar atau akal
budhi yang diberikan Tuhan padanya. Mereka tidak akan mau menjadi korban masa
lalu yang disebut anak mule keto.
Beda halnya dengan point kedua yang
menyatakan Hindu yang paling. Ini akan sangat berbahaya bagi generasi
selanjutnya karena mereka yang masih paling atau bingung tentu belum memiliki
pegangan yang cukup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kaum
misionaris umat lain untuk melemahkan keyakinan kita agar mau masuk kedalam
kelompok baru dan meninggalkan keyakinan agama yang selama ini kita pegang.
Sebagaimana diketahui, dua agama
besar yakni islam dan Kristen adalah merupakan agama Missi yang beranggapan
bahwa keyakinannya itulah yang paling benar sehingga mereka yang berseberangan
dengannya akan diusahakan untuk direkrut kedalam kelompoknya untuk mendapatkan
siar kebenaran versi mereka. Karenanya adalah merupakan kewajiban setiap
orang untuk mempelajari dan mengerti agamanya masing-masing sehingga orang-orang
yang begitu pongah menawarkan “keyakinan mereka” kepada orang yang telah
memiliki keyakinan tersendiri, bisa lebih bijaksana berfikir bahwasannya esensi
dari semua agama itu sama walaupun terkemas dengan tata cara dan nama yang
berbeda. Beberapa risalah beserta jawaban yang biasa dipakai kaum misionaris
untuk menyerang keyakinan hindu sudah saya postkan dlm tulisan berjudul
“Menepis Keraguan”. FaQ di bawah boleh dikatakan hanya menjadi sambungan atau
bagian lain dari tulisan sebelumnya :
FaQ :
Kenapa cara sembahyang di kelompok
spiritual seperti kebaktian di gereja dengan bernyanyi bahkan ada yang seperti
kesurupan berjingkrak-jingkrak ?
Untuk dapat mendirikan sebuah
bangunan yang baik, tentu dasar atau fondasinya harus dikuatkan dulu. Sebab
bagaimanapun indah dan megahnya sebuah bangunan tetapi jika fondasinya rapuh
tentu bangunan itu juga akan ambruk, namun fondasi yang kuat jika tidak diisi
bangunan juga tidak akan mempunyai keindahan apa-apa oleh karena itu kedua hal
ini tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya.
Bhajan / Kirtan atau menyanyikan kidung-kidung suci yang sarat dengan nama dan
kemulian suci Tuhan merupakan fondasi atau dasar bagi para sadhaka dalam
mendirikan spiritual yang lebih mantap karena dengan melatih lidah dan pikiran
guna menyuarakan keindahan nama Tuhan, ia akan dapat digiring untuk menghindari
beberapa jenis kesalahan besar yang seringkali dilakukan oleh lidah seperti
misalnya kebiasaan berbohong, berbicara kasar dan berlebihan,
membicarakan kejelekan orang lain (gossip) serta melakukan fitnah. Dengan
bhajan, pikiran akan lebih dapat diarahkan kepada objek yang benar daripada
menjadi pelayan bagi kesepuluh inderanya yang seringkali justru membikin
kehancuran diri sendiri. Puji-pujian terhadap Leela dan nama suci Tuhan sengaja
dikemas dalam bentuk nyanyian karena nyanyian merupakan ungkapan perasaan
seseorang. Dan seringkali dipakai untuk mewakili perasaan itu kepada yang lain.
Selain itu, nyanyian juga bisa dilagukan oleh siapa saja, baik orang tua,
remaja, bahkan anak kecil sekalipun. Ia tidak terpengaruh oleh gender, status
sosial, agama, dll. Semua orang menyukai musik atau nyanyian bahkan kita tahu
sendiri bahwa beberapa atribut yang dibawa oleh dewa dewi hindu juga berupa
alat musik seperti misalnya Tuhan Sri Krishna yang membawa seruling, Dewi
Sarasvati membawa Vina, Dewa Shiva yang membawa Mrdangga, begitu halnya Dewarsi
Narada.
Bhajan atau nyanyian ketuhanan
yang ada di kelompok spiritual hampir sama dengan kekidungan atau kekawin di
bali bedanya hanya pada canda lagu dan isi kidung suci itu sendiri. Kalau
kekawin di bali lebih banyak mengungkapkan situasi atau penggambaran dari keadaan
sesuatu dengan aneka pesannya yang kadang tersembunyi, tetapi pada lagu bhajan
sengaja dibuat dengan menyebut nama-nama suci Tuhan secara utuh dan kadang
bukan merupakan rangkaian kata-kata untuk menyampaikan pesan atau petuah dalam
bentuk kalimat maupun dialog. Atas dasar hal itu pula kidung-kidung suci
dikemas dalam bentuk nyanyian agar semua orang bisa menikmati sari keindahan
dari keagungan nama Tuhan tersebut. Jadi manfaat sembahyang bisa dirasakan
bersama-sama karena semua yang hadir bisa mengungkapkan perasaannya langsung
kepada yang dipuja dan bukan lagi melalui perantara. Semua orang akan diliputi suka cita karena tahu dan
mengerti apa yang dilagukannya.
“ Tidak ada
praktek spiritual yang lebih berharga daripada pengulang-ulangan nama suci Tuhan
pada jaman ini. Siapapun juga baik yang kaya atau miskin, golongan terpelajar
atau bahkan mereka yang buta huruf akan mampu melakukannya. Ingatlah selalu
nama Rama sampai saat menjelang kematianmu. Nyanyikanlah kemuliaan Tuhan dan
perolehlah rahmat keselamatan darinya (Bhagavan Sathya Narayana dalam Sanatana
sarathi.1995. Bhajan / kirtan yang merupakan dasar atau fondasi spiritual pada
akhinya memang kurang kelihatan tapi tetap berfungsi sebagai pilar utama yang
menopang bangunan. Seperti halnya fondasi rumah yang akhirnya ditimbun tanah
dan tidak kelihatan saat bangunannya mulai didirikan. Demikian halnya para
sadhaka tidak boleh berhenti pada tingkat bhajan atau mekekidung saja tapi
harus bergerak maju pada prakteknya di masyarakat, yakni bagaimana melihat
Tuhan di semua aspek sehingga spiritual kita bisa dirasakan oleh orang-orang
disekeliling kita. Pelayanan kepada orang lain terlebih kepada orang-orang yang
kurang mampu adalah bukti bahwa ritual sedang bertumbuh ke arah spiritual.
Sikap bernyanyi sambil bertepuk tangan ataupun berjingkrak-jingkrak hanyalah
merupakan ungkapan kegembiraan yang meluap-luap. Bukankah kita sering melihat
orang yang diliputi dengan keadaan bahagia akan sering mengungkapkannya dengan
hal-hal yang mungkin bagi kita terkesan lucu. Seperti seorang pemain sepakbola
ketika dapat mencetak gol dia akan berjoged atau salto untuk mengungkapkan
kegembiraannya.
JIKA KELOMPOK
SPIRITUAL BISA DIUMPAMAKAN SEPERTI KELAS TAMBAHAN, LALU APA NILAI PLES YANG
BISA MENJADI KEISTIMEWAANNYA DIBANDINGKAN KELAS REGULER (UMAT YANG HANYA
MENGANUT AGAMA FORMAL ) APAKAH DENGAN IKUT KELOMPOK SPIRITUAL SUDAH BISA
MENJAMIN BAHWA UMAT ATAU PARA PENGIKUTNYA AKAN MENJADI LEBIH PINTAR DAN LEBIH
BAIK ?
Selain bisa
dianalogikan seperti kelas tambahan, agama formal dengan kelompok spiritual
(bedakan dengan kelompok atau aliran yang mempelajari kesaktian tenaga dalam
atau kesidhian lain) juga bisa diumpamakan seperti system pelajaran pada
sekolah umum dan sekolah kejuruan. Walaupun levelnya hampir sama, tapi sekolah
kejuruan memiliki subjek pelajaran yang lebih mengkhusus dibanding sekolah umum
yang hanya mempelajari hal-hal umum. Demikian halnya dalam kelompok spiritual,
ajaran yang diberikan oleh guru kerohanian akan lebih mengkhusus dan mendetail
daripada pengetahuan yang pernah didapatkan dari agama formal. Ambillah contoh
dalam hal objek pemujaan, umat hindu di bali banyak membuat pelinggih (tempat
stana Ida bhatara) tapi jarang sekali ada Arca didalamnya dan biasanya hanya
disimbulkan dengan Daksina Pelinggih, di beberapa tempat yang berisi Arca,
penggambarannya juga kurang jelas sehingga umat yang masih awam sulit
untuk mengkosentrasikan pikirannya pada objek persembahyangan sebab banyak
pelinggih yang hampir sama sedangkan pelinggih itu sendiri hanya merupakan
stana / tempat singgasana, bukan objek utamanya. Tetapi di kelompok spiritual,
penggambaran objek yang dipuja jelas seperti ciri-ciri yang dilukiskan dalam
kesusastraan dan bukan merupakan hasil imaginasi manusia biasa misalnya
pemujaan Linggam sebagai salah satu wujud Shiva, pemujaan kepada Ganesha yang
berkepala gajah,dll. Mantra yang digunakan juga berlainan
untuk masing-masing Murti beliau. Jika memuja Ganesha, tentu mantra yang
dipakai adalah segala mantra yang berkaitan dengan dewa Ganesha, begitu halnya
pemujaan kepada dewa Shiva atau Sri Vishnu. Semua memiliki mantramnya
tersendiri. Sedangkan hindu etnis Bali, sementara masih memakai mantram panca
sembah sebagai mantram wajib di hampir semua tempat sembahyang baik itu
pemujaan di Paibon selama penghormatan kepada para leluhur, Di pura Jagatnatha
selama pemujaan kepada Tuhan, bahkan di Pecaruan atau sanggah tegalan yang
kadang tidak diketahui siapa yang menempatinya. Di lain sisi, dalam beberapa
kegiatan persembahyangan, mantram Gayatri sebagai Ibu dari segala mantra serta
puji-pujian lain yang terangkum dalam bait Trisandya sering ditiadakan dan
langsung kepada kramaning sembah padahal justru Gayatri mantram itulah hal
pokok dari sebuah persembahyangan umat hindu.
Hal lain yang bisa dipakai tolak
ukur nilai ples dari kelompok spiritual untuk beberapa keistimewaannya
adalah tempat duduk laki-laki dan perempuan dipisahkan, tidak ada yang boleh
merokok karena di tempat sembahyang sebenarnya hanya boleh ada asap dupa, bukan
asap rokok dan juga tidak ada diperkenankan segala macam judian berada dekat
dengan tempat sembahyang. Karena selama ini umat hindu di bali sudah cukup
mendapat sorotan aneh sebagai satu-satunya tempat ibadah dimana orang boleh
merokok selama kegiatan persembahyangan, aneh karena justru pemimpin upacaranya
(pemangku) yang merokok mencontohi umat padahal rokok jelas-jelas dilarang oleh
pemerintah dan agama karena asapnya membahayakan diri sendiri dan juga orang
lain yang menghirupnya. Lebih aneh lagi saat ada permainan bola adil dan dadu
yang diikuti oleh mereka yang berpakaian sembahyang. Padahal di umat agama lain
hal ini sama sekali dilarang bahkan diharamkan
.
Tentang apakah orang yang mengikuti
kelompok spiritual ini akhirnya bisa terjamin menjadi umat yang lebih pintar
atau lebih baik, sangat tergantung dari sadhaka itu sendiri. Seorang murid dari
sekolah umum bukan tidak mungkin bisa tampil menjadi Profesor jika ia benar
menjalani proses belajar, memiliki kemauan kuat untuk maju, dan tidak cepat
berpuas diri terhadap pengetahuan yang telah didapatkannya. Demikian halnya
umat yang mungkin hanya mengenal agama formal, jika ia mempraktekkan ajaran
agamanya dengan benar ( agama tidak hanya dijadikan tanda pengenal ) tentu bisa
sukses. Tetapi seseorang yang telah mendapatkan pengetahuan lebih di kelompok
spiritual tetapi tidak melaksanakan ajaran yang didapatnya itu, juga tidak akan
berarti apa-apa.
BENARKAH ADA JALAN PEMBEBASAN LEBIH BAIK DALAM KELOMPOK
SPIRITUAL
Tujuan yang seharusnya dicapai oleh seluruh manusia, umat hindu pada khususnya
adalah mencapai Moksa / Mukti / Bebas dari proses lahir mati. Dan hal ini juga disebutkan dalam semua
kitab suci agama. Beberapa umat yang karena kecintaannya pada jalan yang
ditempuhnya atau mungkin karena tidak mau melakukan penyelidikan di tempat lain
terkadang mengklaim bahwa THE ONLY ONE WAY atau satu-satunya jalan pembebasan
adalah menurut cara mereka entah itu dengan proses pembukaan mata
kebijaksanaan, pembukaan cakra, atau inisiasi. Bahkan hanya dengan masuk dan
mengakui nama Tuhan keyakinan mereka. Padahal tidak ada kitab suci yang
menyebutkan bahwa kerajaan Tuhan hanya diperuntukkan dan disediakan bagi mereka
yang telah mengikuti proses tertentu atau hanya kepada mereka yang telah ikut
keyakinan dan agama tertentu saja. Semua mahluk hidup memiliki hak yang sama
dihadapan Tuhan. ibarat sinar matahari yang jatuh ke bhumi tanpa unsur
diskriminasi. Semua mendapat hak yang sama, matahari tidak pernah memilih
apakah sinarnya akan jatuh pada kotoran, lumpur, atap kuil, bunga yang indah
atau bahkan air keruh. Sinar matahari akan tetap memberikan kehangatan kasihnya
kepada semua.
Jadi tidak
benar bahwa jalan pembebasan itu bisa dimonopoli dan sorga bisa dikavling hanya
oleh kelompok atau agama tertentu dan hanya dengan cara tertentu pula. Kelompok
spiritual hanya menunjukkan cara aman dan praktis dan lebih mendetail untuk
mencapai tujuan hidup yang dalam agama formal terkadang hanya diungkap secara
umum saja. Pembebasan jiwa lebih banyak berasal dari usaha pribadi kita guna
mengetahui rahasia hidup ini, tentu jika mendapat karunia dipertemukan dengan
seorang Guru spiritual yang mampu memberikan kita tuntunan untuk lebih maju. Namun
bagaimanapun, kemajuan dan tingkat pendidikan seseorang tidak bisa dilihat dari
jenis sekolah yang dimasukinya, siapa gurunya, atau lamanya ia menempuh
pendidikan. Rsi Valmiki dulunya adalah seorang penjahat tetapi kesungguhannya
menanamkan nama suci Rama dalam hatinya telah membuatnya menjadi seseorang yang
besar dan tersucikan. Ekalawya juga tidak berguru secara formal kepada drona,
tapi kemajuan dan kepintarannya bahkan melebihi Arjuna. Jadi transformasi /
perubahan diri kearah yang lebih baik atau lebih maju, tergantung dari seberapa
serius seorang murid mempelajari, menghayati, lalu mengamalkan ajaran gurunya.
Ajaran Guru ibarat benih bhakti yang ditebarkan dari langit. Benih itu bisa
jatuh dimana saja. Jika ia jatuh di tanah yang subur (hati seorang sadhaka yang
dipenuhi dengan cinta bhakti yang murni) maka benih itu akan tumbuh dengan baik
dan rasa buah yang dihasilkannyapun akan baik sebagaimana cermin dari kesuburan
tanahnya. Tetapi jika benih itu jatuh di tanah yang tandus, ia tidak akan
tumbuh dengan baik, dan hasilnyapun tidak akan maksimal, bahkan bukan tidak
mungkin jika benih yang sempat tumbuh itu akhirnya layu dan mati karena
kekurangan nutrisi dan perawatan yang baik. Begitu pula jika benih itu jatuh di
bebatuan, ia bahkan mungkin tidak sempat berkecambah karena sudah mengering di
kerasnya bebatuan. Hati bhakta seperti itu ibarat batu kali yang direbus,
walaupun sudah dipanaskan berhari-hari tapi tetap tidak mau lunak, demikian
pula dengan sadhaka yang hatinya seperti bebatuan atau tanah yang tandus,
walaupun sudah diberikan informasi / ajaran begitu banyak tapi tetap tidak bisa
membuat sebuah transformasi / perubahan ke arah yang lebih baik dalam dirinya.
Jadi jelas bahwa yang salah bukan benih ajarannya tetapi proses penerimaan dan
penerimanya itu sendiri yang mesti diselidiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar