Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Bulir padi
sebelum bisa menjadi beras yang mempunyai nilai lebih dibanding ketika ia masih
menjadi gabah juga harus melalui proses panjang yang ruwet dan melelahkan
baginya, ia harus diirik dari ikatannya, ditumbuk, ditampi, baru kemudian di
bersihkan, direndam dalam dinginnya air lalu direbus dengan uap panas sehingga
akhirnya menjadi nasi yang pantas untuk dipersembahkan kepada Tuhan ataupun
dimakan oleh manusia. Demikian pula manusia harus melalui bermacam suka dan
duka di bhumi, mengalami berbagai cobaan, bencana, penderitaan, kehilangan,
ataupun kesedihan agar keindahan bhatinnya semakin bersinar terang. Menakuti
ujian hidup untuk menjadi lebih baik sama bodohnya dengan anak kecil yang tidak
mau meninggalkan kegiatan bermainnya di taman kanak-kanak hanya karena ia merasa
bisa selalu bersenang-senang tanpa harus memikirkan pelajaran ataupun tugas
yang akan didapatkan saat meningkat ke jenjang yang lebih tinggi. Hanya murid
pintar yang akan menanti ujian dengan gembira karena ia tahu bahwa setiap ujian
akan membawanya semakin dekat dengan jenjang yang lebih tinggi dimana
kesempatan untuk mengetahui hal yang lebih luas juga terbuka lebar.
Tengoklah
kembali perjalanan hidup Sang Budha, beliau lahir sebagai putra seorang raja
yang hidupnya ditunjang oleh segala bentuk kemewahan dan kenyamanan, tapi
akhirnya melakukan penyangkalan diri setelah menyadari bahwa hidup hanya
terbagi menjadi beberapa tahap saja yakni, badan dilahirkan, ia tumbuh beberapa
waktu, kemudian badan merosot karena usia atau penyakit lalu mati. Bahkan ada
yang tak sempat menikmati usia senja sudah mati muda karena salah memaknai
hidup ataupun tak kuat menghadapi permasalahan.
Untuk
mendapatkan kesadaran atau pikiran baik seperti yang dialami Sang Budha, tentu
kita harus mencari pergaulan dengan orang-orang yang sedang atau telah melakuan
penyangkalan akan hal-hal duniawi. Sebab lingkungan pergaulan sangat
mempengaruhi pembentukan sifat dan karakter seseorang. “….katakan siapa
temanmu, maka akan kukatakan siapa dan bagaimanakah dirimu!” yang artinya
bahwa jika seseorang lebih banyak bergaul dan memiliki teman dari para peminum,
maka dapat ditebak bahwa orang itu juga akan memiliki sifat dan kebiasaan
seperti kelompoknya itu.demikian pula sebaliknya
Selama ini manusia terlalu takabur
dengan predikat mahluk paling sempurna dibandingkan dengan mahluk hidup
lainnya. Tapi benarkah
dengan predikat itu manusia telah bisa menghargai dan menggunakan sisi
kemanusiaanya dengan benar? Binatang walaupun diklaim oleh manusia sebagai
mahluk rendahan yang tak berperasaan, tapi binatang tak pernah melakukan
kejahatan dan kebengisan seperti apa yang dilakukan manusia kepada mereka atau
sesamanya. lihatlah, sebuas-buasnya serigala ia tak akan memakan atau membantai
serigala lainnya. Berbeda
dengan manusia yang menyatakan diri sebagai mahluk paling beradab, ia
menciptakan senjata pemusnah massal, merakit bom lalu meledakkannya untuk
membantai manusia lainnya. Manusia mengadu mahluk lain untuk saling membunuh
satu sama lain sebagai sebuah kesenangan, ataupun mengambil nyawa hidup hewan
yang tak pernah punya salah apapun kepada mereka hanya demi untuk memenuhi
tuntutan lidah dan perut.
Lihatlah
burung Krauca, mereka begitu setia satu sama lain dengan pasangannya, lihat
juga kebiasaan musang yang hanya bersenggama pada saat musim berkembang biak.
Tidak seperti manusia yang memperturutkan birahinya tanpa kendali. Berganti
pasangan semaunya tanpa memperdulikan kemerosotan badan yang akan terjadi
karenanya.
Sang waktu telah menyaksikan bahwa di jaman Kali ini, bhumi begitu berat dihuni
oleh manusia-manusia yang kelakuannya tak lebih baik daripada mahluk
dibawahnya. Tengoklah cara hidup ayam jantan, ia tak kan segan kawin dengan
saudara bahkan ibunya sendiri jika ia hendak melakukannya dan kecenderungan
seperti ini sekarang ada pada diri manusia. Lihat juga kebiasaan sang ular yang
tega memangsa anaknya, kejahatan seperti ini juga dilakukan oleh manusia dengan
membantai keluarganya sendiri atau darimanakah budaya tidak tahu malu guna
melakukan adegan mesum di hadapan orang banyak hadir kalau bukan dari kebiasaan
para anjing. Kemerosotan moral yang kian menjadi-jadi telah menjadikan manusia
berkelakuan menyimpang dari kodrat kemanusiaannya, mereka memakai wujud manusia
tetapi ingin memperoleh kebebasan seperti margasatva. Beberapa orang mungkin
akan menyanggah dengan mengatakan bahwa burung, ternak, atau binatang lainnya
memiliki kebebasan penuh untuk makan apapun yang mereka inginkan, kawin
semaunya, atau pergi sekehendak hatinya. Lalu kenapa manusia yang merupakan
mahluk paling tinggi tidak boleh mendapatkan kebebasan seperti yang diperoleh
para mahluk lainnya yang lebih rendah ? memang, sepintas argument itu kelihatan
sangat masuk akal, tapi coba kita bertanya kepada orang yang sok pintar itu,
kebebasan macam apakah yang dinikmati oleh para binatang? Tidak
diragukan, jawabannya adalah kebebasan binatang. Hewan memperoleh kebebasannya sebagai
hewan adalah wajar dan tidak ada salahnya. Tapi sebagai manusia, tentu tidak
akan layak dan tidak pantas jika menghendaki kebebasan seperti margasatva
lainnya. Manusia tidak boleh lupa bahwa kebebasan yang diberikan Tuhan padanya
hanyalah kebebasan untuk menentukan pilihan yang didasari atas viveka dan
kebebasan dari perbudakan indera. Tubuh dapat dimisalkan sebagai sebuah kereta
yang ditarik oleh kelima kuda (indera) yakni Mata, Telinga, Mulut/lidah,
hidung, kulit/sentuhan, bayangkan jika jiwa sebagai penumpang kereta tidak bisa
menggunakan budhi / akal sehat untuk menarik tali kekang pikiran guna
mengendalikan semua kuda (indera) tersebut, dan malah membiarkan masing-masing
indera mencari kepuasannya sendiri (mata ingin melihat sesuatu yang tak pantas,
telinga ingin mendengar gosip murahan, lidah menginginkan makanan enak dan
membicarakan kejelekan orang lain) tidakkah kereta dan penumpangnya akan berada
dalam keadaan bahaya karena semua kuda berlari tanpa arah dan tanpa kendali.
Oleh karenanya manusia harus mulai sadar untuk membebaskan dirinya dari
belenggu kenikmatan indera yang bersifat sementara dan bukannya menyerah lalu
menjadi korban tidak berdaya bagi kelima indera tersebut. Memanjakan indera
sama halnya dengan menggiring kita kepada kesulitan. Ambillah contoh beberapa
binatang yang akhirnya terperangkap dalam jaring kesulitan bahkan
kematian karena terperdaya hanya oleh satu inderanya saja.
Gajah walaupun mempunyai kekuatan raksasa, tetapi ia kalah oleh satu sentuhan
dari tongkat pawang yang kecil. Kalaketu menjadi korban penglihatannya, karena
tertarik oleh nyala api akhirnya mati terbakar, ikan karena terperdaya oleh
indera pengecapnya tertarik oleh rasa cacing lalu makan umpan sang pemancing,
begitu halnya dengan lebah yang terperangkap oleh indera penciumannya akhirnya
binasa karena godaan tersebut. Bayangkan kehancuran apa yang diterima
manusia yang menyerah akan tuntutan kelima inderanya akan hal-hal
keduniawian. Kenikmatan yang diperoleh dari indera hanya sementara dan berakhir
dalam duka. Keinginan timbul suatu waktu dan segera akan berakhir pada saat
berikutnya. Misalkan saja saat ini kita menginginkan pisang, segera setelah
memakan 2 buah pisang, kita akan kenyang dan enggan pada makanan itu. Sekarang
ingin berikutnya muak. Nikmat dan muak cepat sekali berganti! Karenanya dengan
menyadari bahwa kenikmatan yang diperoleh indera hanya bersifat sementara dan
tidak kekal, kita harus dapat melakukan diskriminasi, ketidak terikatan, dan
akhirnya mampu mengendalikan indera itu sendiri. Indera harus diusahakan selalu
dalam keadaan sibuk dalam cara yang benar sehingga tidak akan menimbulkan
kesulitan.
Manusia harus diberikan pelajaran dan pengertian yang benar tentang nilai-nilai
yang menjadikan mereka pantas disebut sebagai manava-madava Seperti nilai
kebenaran (Satya), kebajikan (Dharma), kedamaian (Shanti), kasih sayang (Prema)
dan juga tindakan tanpa kekerasan (Ahimsa). Manusia juga harus mau belajar dari
tumbuh-tumbuhan dan binatang. Ambilah contoh pepohonan, sepanjang hidupnya ia
melakukan pelayanan dengan menyediakan buah dan daunnya untuk keperluan mahluk
lain, dengan daunnya yang rindang, ia memberikan keteduhan di musim panas,
akarnya menyimpan air untuk persediaan mahluk lain di musim kemarau dan pada
saat kematiannya, ia juga masih membantu manusia dengan menyediakan badannya
sebagai kayu bakar ataupun bahan membuat rumah. Pada diri binatang kita
juga bisa belajar banyak, seperti dalam hal kesetiaan pada sesama,
disiplin, serta kerjasama, manusia harus bercermin pada koloni semut. Semut
telah menjadikan antre sebagai budaya, kerjasama sebagai peradaban dan kerja
keras sebagai kebiasaan sedangkan manusia, diatur-pun untuk seperti itu susah.
Ini adalah bukti bahwa manusia masih lebih suka berbicara daripada bekerja,
sedangkan semut memang lebih banyak bekerja daripada berteori. Pada seekor
anjing, manusia dapat belajar tentang kesetiaan, keberanian, kewaspadaan, serta
pemanfaatan waktu istirahat secara efektif. Walaupun anjing memiliki waktu
tidur yang relatif singkat, tapi ia benar-benar pulas dalam tidurnya dan segera
akan terjaga jika ada sesuatu yang mencurigakan. Dan walaupun beberapa orang
bahkan memperlakukannya dengan tidak adil dengan kucing yang selalu bisa dekat
dengan majikan, tidur di sofa dan mendapat makanan lebih enak daripada anjing,
tapi anjing tetap menunjukkan kesetiaannya untuk mengabdi. Dalam
hal yang paling penting tentang pemaknaan hidup, manusia harus belajar
spiritual pada seekor kupu-kupu. Kupu-kupu bermula dari telur dan kemudian menetas
menjadi ulat. Semua orang tahu bahwa ulat adalah binatang yang menjijikkan dan
merugikan sehingga dibenci oleh manusia, tetapi dengan kesadarannya ia
membangun sebuah tekad kuat guna merubah diri agar tidak lagi menjadi
pengganggu yang memiliki sifat dan kebiasaan jelek tapi sebaliknya menjadi
penolong yang memberikan kebahagiaan bagi mahluk lain. Dengan kesungguhan tapa
dan pengendalian dirinya ketika dalam kepompong, akhirnya menarik rahmat Tuhan
kepadanya sehingga dianugrahi wujud baru sebagai kupu-kupu yang cantik yang
bertugas membantu penyerbukan. Jadi kalau tumbuh-tumbuhan dan binatang saja
mampu melakukan hal besar seperti itu, tidakkah manusia seharusnya juga mampu
melakukan hal yang lebih baik, setidak-tidaknya memperbaiki kualitas hidup agar
terbebas dari penderitaan duniawi berupa aneka permasalahan hidup. Bebas dari
siklus reinkarnasi, lalu pulang ke kerajaan Tuhan yang dipenuhi dengan aneka
kebahagiaan dan kekekalan (Sat cit ananda).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar