Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Dalam pandangan dan
ajaran agama Abrahamik yang tidak mengakui adanya kelahiran kembali, Punarbhawa
atau Reinkarnasi, maka setelah kehidupan seseorang berakhir, ia akan tetap
berada di alam kubur (Barzakh). Secara harfiah Barzakh berarti jarak waktu atau
penghalang antara 2 hal dan tidak ada yang sanggup melewatinya. Menurut syariat
Islam barzakh berarti tempat yang berada di antara maut dan kebangkitan. Ketika
sang jiwa atau roh berada di ala mini, dia sudah akan
mengetahui nasibnya. Apakah termasuk penghuni surga atau neraka. Jika seseorang
menjadi penghuni surga, maka dibukakan baginya pintu surga, hawa sejuk surga
akan mereka rasakan setiap pagi dan sore. Sebaliknya jika menjadi penghuni
neraka, pintu neraka pun akan dibukakan untuknya dan dia akan merasakan hawa
panas neraka setiap pagi dan sore.
Al-Barra bin ‘ Azib menceritakan hadits
yang panjang yang diriwayat Imam Ahmad tentang perjalanan seseorang setelah
kematian. Seorang mukmin yang akan meninggal dunia disambut ceria oleh malaikat
dengan membawa kain kafan dari surge. Kemudian datang malaikat maut duduk di
atas kepalanya dan memerintahkan roh yang baik untuk keluar dari jasadnya.
Selanjutnya disambut oleh malaikat dan
ditempatkan di kain kafan surga dan diangkat ke langit. Penduduk langit dari
kalangan malaikat menyambutnya, sampai di langit terakhir bertemu Allah, kemudian Allah memerintahkan pada
malaikat untuk mencatat kitab hamba-Nya ke dalam ’illiyiin dan dikembalikan
rohnya ke Barzakh. Setelah dikembalikan lagi roh itu ke jasadnya , selanjutnya datanglah
dua malaikat, Munkar dan Nakir yang akan menanyai sang roh dengan 4
pertanyaan ini :
- "Siapa Tuhanmu?"
- "Apa agamamu?"
- "Siapa lelaki yang diutus kepadamu?"
- "Siapa yang mengajarimu?"
Menurut syariat islam, hanya orang yang
beriman saja yang dapat menjawabnya dengan baik. Maka kemudian akan diberi alas
dari surga, mendapat kenikmatan di kubur dengan selalu dibukakan baginya pintu
surga, dilapangkan dan diterangkan kuburnya. Sang mayat akan mendapat teman
yang baik dengan wajah yang baik, pakaian yang baik dan aroma yang baik. Lelaki
itu adalah gambaran dari amal perbuatannya selama hidup di dunia. Keadaan
berubah sebaliknya jika si mayat adalah orang yang tidak beriman.(dr
Wikipedia.org)
Demikianlah keadaan sang roh setelah
meninggalkan badan kasarnya di bhumi. Ia akan tetap berada di alam kubur sampai
pada hari kiamat dan pengadilan akhirat di gelar untuk menentukan apakah sang
jiwa akan mendapatkan alam Surga ataukah Neraka. Tidak ada disebutkan apakah
ada kehidupan baru setelah dunia ini dileburkan, sebab jika tidak aka nada penciptaan
baru, berarti para roh yang dikirim ke neraka harus menjalani siksa abadi tanpa
ada pengampunan ataupun kesempatan untuk bertobat dan memperbaiki diri agar
endingnya bisa kembali bersatu dengan Allah sang pencipta. Ibarat air sungai
yang harus kembali menyatu kepada lautan sebagai sumber keberadaannya.
Dalam ajaran Hinduisme, perbedaan
pandangan ini secara jelas termuat dalam salah satu pilar Panca sradha atau 5
keyakinan dasar agama hindu, dimana salah satunya menyebut tentang kepercayaan
akan adanya kelahiran kembali setelah sang jiwa meninggalkan badan fisiknya
yang terdahulu. Hal inipun sekarang telah banyak dibuktikan oleh para ilmuan
dengan penelitian menggunakan metoda Hipnotherapy, dimana beberapa praktisi
mampu mengingat beberapa kejadian dalam kehidupannya terdahulu. Hanya saja
dalam perkembangannya, masih banyak umat yang justru terjebak dalam pemahaman
yang keliru memaknai hal ini. Dimana mereka beranggapan bahwa jiwa atau roh
dari seseorang yang telah meninggal pada akhirnya hanya akan berada atau
ditempatkan di paibon (alam para leluhur) jika sudah selesai proses
pengabenannya sehingga jikalaupun mereka merasa perlu untuk lahir kembali,
mereka akan lahir sebagai anak dalam silsilah keluarganya sendiri. Hal ini
tentu agak sedikit rancu karena seolah-olah sang jiwalah yang menentukan siapa
yang akan menjadi orang tuanya, dan dikeluarga mana ia ingin menjelma. Padahal hukum
Karma phala menyatakan bahwa kehidupan seseorang atau Sang jiwa akan sangat
bergantung dari jenis perbuatan yang dilakukannya semasih menggunakan badan
dalam kehidupan sebelumnya. Bhagavad Gita Bab 9.25 juga dengan tegas telah
mengisyaratkan bahwa orang yang dalam kehidupannya memuja para dewa, maka jika
hasil atau pahala dari karmanya itu mencukupi, maka ia akan ditempatkan di alam
para dewa atau Surga. Demikian pula orang yang memuja leluhur dan karma baiknya
mencukupi maka akan ditempatkan di alam leluhur, dan sebaliknya orang yang
dalam kehidupannya telah menjadi pemuja bhuta, roh ataupun mahluk halus, maka
ia akan dikirim kealam mahluk-mahluk demikian untuk menjadi pelayan mereka. Sedangkan orang
yang dalam hidupnya selalu tekun memikirkan dan memuja Tuhan, maka ia akan
diberikan kesempatan untuk tinggal dalam kerajaan Tuhan.
Sloka ini secara tidak langsung telah
menegaskan bahwa segala bentuk yajna atau ritual dalam sebuah tradisi keagamaan
untuk membantu sang roh mendapatkan tempat yang baik hanyalah sebuah sarana
pengharapan dan doa dari pihak keluarga dimana keikhlasannya akan bisa
dijadikan pertimbangan untuk memutus perkara sang jiwa dan bukan sama sekali
menjadi media untuk meloloskan sang jiwa dari efek karma phalanya untuk segera
bisa dinaikkan sampai menjadi Dewa Hyang. Memang tak bisa dipungkiri bahwa
dalam beberapa kasus, sang jiwa yang berada di alam leluhur juga banyak yang
terlahir kembali menjadi bagian dari keluarganya terdahulu. Namun tetap hal ini
bukan menjadi sebuah kemutlakan dalam artian bahwa sang jiwapun masih dimungkinkan
untuk dikirim ke belahan dunia lain, dalam keluarga yang sangat berbeda, bahkan
mendapatkan badan yang bukan manusia. Sebab bukan tidak mungkin bahwa jika
karma masa lalu dari sang jiwa tidak baik, ia justru akan dilahirkan kembali
menggunakan badan binatang untuk mempertanggung jawabkan hasil perbuatannya
ataupun untuk menjalani proses pemurnian agar bisa lebih cepat mencapai tujuan
akhir kehidupannya.
Kejadian seperti ini telah terjadi dan
diceritakan langsung oleh Mahaguru Bhagavan Sri Sathya Sai Baba yang diyakini sebagai
perwujudan Avatara dari Shiva Shakti. Pada waktu itu bertempat di pendapa Sai
Kulwant, Prashanti Nilayam pada tanggal 20 Oktober 2002, Sathya Sai Baba
mengisahkan tentang kisah kanak-kanaknya sebelum akhirnya ia mendeklarasikan
diri sebagai Shirdi Sai yang telah datang kembali dalam wujud Sathya Sai untuk
membimbing umat manusia kembali ke jalan Dharma.
… di kelas Aku biasa duduk sebangku
dengan dua anak lain. Aku duduk di tengah sedangkan Ramesh dan Suresh masing
masing duduk di sampingku. Persetasi sekolah mereka tidak terlalu baik. Bila guru-guru
mengajukan pertanyaan kepada mereka maka mereka memberikan jawaban yang
Kubisiikan. Ketika tiba waktunya untuk menempuh ujian akhir, nomor pendaftaran
kami berada dalam urutan yang sedemikian rupa sehingga kami bertiga duduk
sangat berjauhan satu sama lain, sehingga tidak mungkinlah mereka bisa
menjiplak. Keadaan ini sangat mengkhawatirkan mereka, tapi Aku menanamkan keberanian
dalam diri mereka dengan berkata :” Kalian tidak perlu menulis apa-apa. Datang dan
berpura-puralah menulis jawabannya. Biar nanti Aku yang akan membereskannya “
kedua orang ini memiliki bhakti dan keyakinan yang cukup baik kepadaKu sehingga
menggerakkan rahmat-Ku untuk menolongnya, maka seperti janjiku, merekapun
akhirnya bisa lulus dengan prestasi yang baik karena aku telah menuliskan
jawabannya sesuai dengan gaya dan tulisan mereka tanpa diketahui siapapun. Kedua
anak laki-laki itu bersahabat karib denganku. Ketika Aku meninggalkan
Uravakonda, Ramesh dan Suresh tidak mampu menanggung perpisahan dengan Aku. Ramesh
merasa sangat sedih. Ia jatuh ke dalam sumur dan meninggal. Sedangkan Suresh
terus menerus memanggil namaku, “Raju..Raju..” sampai akhirnya menjadi gila. Ia
dibawa ke berbagai rumah sakit jiwa tapi keadaannya tidak membaik. Akhirnya orang
tuanya datang menemuiku dan memohon agar aku bersedia menjenguknya. Ketika melihat
Aku, Suresh menangis lalu berlari dan bersujud menyerahkan diri kepadaku lalu
menghembuskan nafas terakhirnya.
Ketika aku kembali ke Puttaparthi,
Karanam Subbamma memberikan tanah seluas satu acre di dekat pura Sathyabamma
dan disitu dibangulah sebuah rumah kecil dimana aku biasa tinggal. Ramesh dan
Suresh yang sama lahir kembali sebagai dua anak anjing dan diberikan kepadaku
oleh seorang bhakta. Saudara perempuan Maharaja Mysore lalu menamai kedua
anjing kecil itu Jack dan Jill. Kedua anjing ini selalu menyertai aku
kemanapun.
Suatu hari Maharani Mysore dating untuk
memperoleh dharsan-Ku. Ia adalah wanita yang berpegang teguh pada adat dan juga
seorang bhakta yang penuh semangat. Setiap hari ia melakukan puja dengan
bunga-bunga yang telah disucikan dengan percikan air dan susu. Karena jalanan
menuju Puttaparthi pada saat itu tidak ada yang baik, Ia menghentikan mobilnya
di Karnatakanagepalli di tempat yang sekarang menjadi Pedda Venkama Raju Kalyam
Mandapam. Maharani memutuskan untuk bermalam di mandir sementara sopirnya
kembali dan tidur di mobil. Aku menyuruh Jack untuk menyertai sopir itu dan
menunjukkan jalan. Jack berjalan di depan dan sang sopir mengikutinya. Lalu Jack
tidur di bawah mobil. Keesokan harinya, saat ingin berangkat menjemput
Maharani, sang sopir tidak menyadari ada anjing di bawah mobilnya. Punggung Jack
tergilas dan tulang punggungnya patah. Jack menyeret tubuhnya melewati sungai
Chitravati sambil menangis. Seorang tukang cucui bernama Subanna memberitahukan
hal ini dan Aku segera pergi keluar. Jack datang kedekatku sambil mengaing
keras lalu jatuh di kaki-Ku dan menghembuskan napas terakhir. Ia dikuburkan di
belakang mandir lama dan disitu didirikanlah Vrndavanam (tempat untuk menanam
pohon tulasi). Sesuai dengan petunjukku, tempat untuk menanam tulsi itu
dibangun di sebelah kuburan Jack, bukan ditengahnya. Kuberitahu agar disediakan
tempat untuk satu liang kuburan lagi karena aku tahu bahwa beberapa hari lagi
saudaranya Jill akan menyusul. Dan demikianlah bahwa setelah Jack mati, Jill
tidak mau makan dan setelah beberapa hari Iapun menyusul Jack. Dengan cara ini
Ramesh dan Suresh bertapa agar dapat menyertai Aku. Bahkan saat meninggalpun
mereka lahir lagi sebagai anjing agar dapat selalu berada di dekat-Ku.
Mendapatkan badan binatang dalam
sebuah penjelmaan memang terkesan begitu rendah dalam pandangan manusiawi
karena derajat dan kwalitas kehidupan para binatang memang berada di bawah
level manusia oleh karena itulah maka sastra mengingatkan agar jiwa-jiwa yang
telah berkesempatan memperoleh badan manusia, bisa menghargai dan menggunakan
kesempatan langka itu untuk berbuat sesuai dengan asas kemanusiaannya. Mendapatkan
badan manusia merupakan sesuatu yang sangat sulit dan mesti diperjuangkan dari
berpuluh-puluh kelahiran serta evolusi mahluk yang berjumlah 8.400.000 jenis
kehidupan.(Wr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar