Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Dewasa ini, Upacara
agni hotra atau Homa yajna sudah semakin dikenal dan digemari oleh masyarakat
bali. Terbukti dengan semakin banyaknya permintaan untuk melakukan yajna ini.
Bahkan dalam sehari, seorang Hotri/ hotraka atau Pandita yang memimpin upacara
agni hotra ini bisa mendapat permintaan lebih dari sekali dalam sehari. Hal ini
tidak terlepas dari efesiensi dan juga manfaat nyata yang bisa didapat dari
upacara dimaksud. Sebab upacara Agni Hotra selalu bisa dikaitkan atau
dirangkaikan dengan beberapa upacara keagamaan lainnya seperti Agni Hotra untuk
megedong-gedongan, untuk merayakan tiga bulanan, pawiwahan, membersihkan
pekarangan (secara niskala) dan juga untuk menyempurnakan upacara pitra yajna.
Mengingat prosesi,
kelengkapan, penyediaan tempat dan juga biayanya yang relative murah telah
menjadikan upacara Agni hotra sebagai pilihan bijak bagi mereka yang
kesehariannya selalu sibuk dengan pekerjaan dan juga bagi mereka yang
menginginkan sebuah formula praktis,
simple, dan juga ekonomis namun tetap tidak kehilangan makna dalam beragama. Sebab dalam ritual agni
hotra, semua kelengkapannya merupakan bahan-bahan yang amat mudah dicari dengan
harga yang cukup terjangkau. Seperti misalnya biji-bijian, beras, kayu bakar,
minyak goreng, susu, dan lain-lain. Waktu untuk menyiapkan sekaligus
melaksanakannyapun relative sangat
singkat sekitar 3 sampai 4 jam saja.
Keberhasilan suatu
yajna memang tidak bisa diukur dari seberapa besar biaya yang dikeluarkan
ataupun dari seberapa banyak dan meriahnya bebantenan yang dipakai namun lebih
kepada efek atau dampak yang ditimbulkannya kepada sang Yajamana. (apakah
setelah melakukan suatu upacara, orang yang bersangkutan bisa lebih mendapatkan
ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan ataukah sebaliknya) sebab seringkali terjadi
di masyarakat bahwa ketika upacara yang dibuatnya selesai, hidupnya tidak
semakin membaik karena terus dikejar oleh kewajiban membayar hutang karena
meminjam uang demi lengkapnya sebuah upacara atau bahkan mengalami keretakan
keluarga karena biaya upacara diambil dari hasil pembagian warisan orang tua.
Hal ini tentu tidak sejalan dengan prinsip dan cita-cita dari agama itu
sendiri. Sebab agama mengajarkan bahwa manusia hendaknya hidup secara rukun
untuk mencapai artha dan kama yang dilandasi Dharma sehingga kebahagiaan
jagadhita dan moksa sebagai tujuan akhir bisa tercapai.
Hal ini tentu sangat
terkait dengan masing-masing individu untuk memulainya, terutama untuk
menyadari dan mengetahui bahwa yajna atau pelaksanaan korban suci itu adalah
sebuah keharusan bagi semua orang sebagaimana ujar Bhagavad Gita bahwasannya
jika kita lalai akan sebuah kewajiban lalu bagaimana seseorang bisa mendapatkan
kebahagiaan dalam hidupnya kini maupun dalam penjelmaannya yang akan datang.
Oleh karena itu segala bentuk dan kegiatan yajna untuk menyenangkan para dewa
tetap harus dijalankan yang mana hal itu tentu harus didasarkan pada
keikhlasan, keyakinan, serta niat dan usaha sendiri. Sebab jika kita melakukan
upacara yajna tanpa dilandasi oleh pengetahuan tentang makna, tata cara maupun
tujuan upacara dimaksud, tanpa dilandasi keikhlasan dan jerih payah sendiri,
hal itu sama saja dengan membuang-buang waktu karena hanya akan mengantarkan
kita pada moha atau kebingungan. Oleh karena itu, sangat penting bagi sang
Yajamana (orang yang akan melakukan yajna) untuk membuat atau mendapatkan
kelengkapan ritual itu sendiri sebagai tanda keikhlasan dan niat
sungguh-sungguh untuk mempersembahkan hasil kegiatan kita kepada para dewa.
Sebab jika Yajamana hanya menyerahkan segala sesuatunya kepada orang lain atau
Hotri untuk melengkapinya, sehingga ia hanya perlu mengeluarkan uang lalu duduk
manis menunggu selesainya upacara, ini bukanlah tanda kebajikan dalam beragama
sebab yang terpenting dari setiap ritual agama bukanlah pada bagaimana upacara
itu bisa selesai dengan lancar saja tetapi lebih kepada bagaimana setiap orang
terdidik untuk belajar mengetahui proses kegiatan upacara dimaksud sehingga
bisa menumbuhkan sradha serta kecintaan terhadap nilai agamanya sehingga
generasi Hindu kedepannya bisa lebih percaya diri dalam menjawab segala
pertanyaan umat lain yang sering terkesan menyudutkan karena ketidak berdayaan
kita menjelaskan makna dan tujuan upacara agama secara logis sehingga
menimbulkan kesan bahwa sebagian besar umat hindu beragama hanya karena
warisan, dan ikut-ikutan dengan dalil ‘Anak mule keto”
Bercermin dari hal
ini dan dengan tujuan untuk lebih memasyarakatkan upacara Veda, serta
membangkitkan rasa jengah untuk membangun sumber daya Hindu yang lebih mapan,
lewat tulisan ini saya merangkumkan kegiatan agni hotra untuk dipakai
pembelajaran dan acuan bagi semua pihak yang mendalami upacara ini.
Sekilas tentang upacara Agni
Hotra
Agni hotra adalah suatu upacara yajna yang
menggunakan api sebagai media utamanya. dalam salah satu Purana dinyatakan
bahwa Dewa Agni (disimbulkan dengan api) adalah lidahnya Tuhan. Sehingga dalam
ritual agni Hotra, semua persembahan akan dituangkan kedalam api yang berada
dalam kunda. Agni hotra merupakan ritual yajna yang sudah cukup tua. Hal ini
sangat jelas dapat kita lihat dari kisah-kisah purana dan juga Itihasa dimana
Agni Hotra selalu menjadi pelengkap bagi manusia untuk menghubungkan dirinya
dengan Tuhan maupun para Dewa. Dalam epos Ramayana kita tahu bahwa Raja
Dasarata juga melakukan agni hotra untuk mendapatkan anak, begitupun saat
prosesi penyatuan Mahadeva dengan Parvathi dalam prosesi pernikahan. Drupadi
yang sangat dikasihi oleh Vasudeva Krishna juga lahir dari api kurban yang
dilakukan oleh raja Drupada. Agni hotra yang sarat dengan kemuliaan dan
keagungan ini karena di dalam prosesnya padat berisi lantunan mantram-mantram
Veda memang hampir dilupakan di jaman Kali ini bahkan sempat dicurigai sebagai
upacara milik aliran kelompok tertentu saja. Padahal upacara ini dengan sangat
jelas disebutkan dalam kesusastraan Veda yang merupakan kitab suci resmi agama
Hindu sebagai raja dari sebuah yajna.
Yatrā suhārdāṁ sukṛtam –
agnihotrahutaṁ yatrā lokaḥ,
taṁ lokaṁ
yamniyabhisambhuva sā no ma hiṁsit
puruśān paśuṁūca – Di
mana mereka yang hatinya mulia bertempat tinggal, orang yang pikirannya
damai dan mereka yang mempersembahkan Agnihotra, di sanalah majelis (pimpinan
masyarakat) bekerja dengan baik, memelihara masyarakat, tidak menyakiti mereka
dan binatang ternaknya. Atharvaveda XXVIII.6
A. Hoṁa Yajña/Agnihotra dalam kitab suci Veda dan susastra
Sanskerta
Sumber
tertua tentang ūpacāra Hoṁa
Yajña/Agnihotra dapat kita jumpai dalam kitab suci Veda khususnya kitab Ṛgveda X.66.8. Demikian pula kitab
Atharvaveda VI.97.1 dan yang lain-lain yang secara tradisional oleh umat Hindu
di India disebut Yajña atau Yaga. Jadi bila di India kita mendengar umat Hindu
melakukan Yajña atau Yaga yang dimaksud tidak lain adalah Agnihotra walaupun secara
leksikal pengertian Yajña atau Yaga jauh lebih luas dibandingkan dengan
Agnihotra. Agnihotra dalam pengertian leksikal (masculinum, neutrum dan
femininum) yang dimaksud persembahan suci kepada Sang Hyang Agni (api suci)
teristimewa adalah persembahan susu, minyak susu atau Ghee dan susu asam atau
Yogurt. Ada dua macam Agnihotra yaitu yang dilakukan secara rutin (konstan)
umumnya 2 kali sehari pagi dan sore (nitya atau nityakāla) dan Agnihotra yang
dilakukan secara insidental (kāmya atau naimitikakāla/Monier, 1993: 6).
Istilah
yang lain untuk Hoṁa
Yajña/Agnihotra adalah Huta (persembahan kepada Sang Hyang Agni) oleh
karena itu kita mengenal pula istilah Hotṛi yang juga berarti api. Agnihotra juga disebut Havan dan
kata Havani berarti sendok (yang dalam bahasa Sanskerta disebut Juhu) untuk
menuangkan persembahan cair. Nama Hoṁa mengandung arti persembahan berbentuk cairan yang
dituangkan ke dalam api suci (Loc.Cit.). Sumber-sumber lainnya tentang ūpacāra
Agnihotra adalah kitab-kitab Brāhmaṇa di antaranya Kauśītaki, Sathapatha, dan Aitareya Brāhmaṇa. Selanjutnya bila kita
melihat-kitab-kitab Sūtra khususnya tentang Kalpasūtra, Gṛhyasūtra, Śrautasūtra dan lain-lain
selalu kita menemukan informasi tentang betapa pentingnya ūpacāra Hoṁa Yajña/Agnihotra ini bisa
kita lihat pada kitab-kitab Śrautasūtra (Aśvalāyana S.S.II.1.9, Saṇkhāyana S.S.II.1, Lāthyāyana
S.S.IV.9.10., Kātyāyana S.S.IV.7-10., Mānava S.S.I.5.1., Vārāha S.S.I.4.1.,
Baudhayana S.S.II., Bhāradvāja S.S.V., Āpastamba S.S.V.1., Hiraṅyakeśi S.S.III.1-6, Vaikhānasa
S.S.I, Vādhūa S.S.1.,Vaitāna S.S.5-6) kitab tersebut menggambarkan
bermacam-macam bentuk persembahan Hoṁa Yajña / Agnihotra yang
secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut: Seorang pelaksana Agnyadhāna
hendaknya setiap hari mempersembahkan persembahan kepada api suci Agnihotra
pagi dan sore hari apakah dilakukan oleh perseorangan atau di bawah pimpinan
seorang Adhvaryu. Bila tiada seorang Adhvaryu yang memimpin, kepala keluarga
dapat melakukannya teristimewa pada waktu bulan purnama dan bulan baru terbit.
Dari kitab-kitab Śrautasūtra dan juga kitab Brāhmaṇa kita mendapat informasi tentang
pahala yang diperoleh bagi mereka yang dengan tekun mempersembahkan atau
melaksanakan ūpacāra Agnihotra, dinyatakan bahwa segala keinginannya akan
tercapai. Api suci hendaknya tetap menyala pada rumah-rumah para Gṛhastha. Mereka yang secara rutin
melakukan Agnihotra, maka kemakmuran akan dapat terwujud. Agnihotra dengan
mempersembahkan biji-bijian, minyak susu, susu, susu asam dan lain-lain yang
kini di India disebut Samagri, diikuti dengan pengucapan mantram-mantram,
terutama mantram Veda dan hendaknya dilakukan seseorang selama hidupnya atau
sampai mencapai tingkatan hidup sebagai Saṁnyāsin (Ram Gopal, 1983: 535). Hoṁa Yajña/Agnihotra merupakan
persembahan wajib yang dilakukan oleh setiap Gṛhastha karena hanya Gṛhastha secara sempurna dikatakan dapat melakukan Yajña dan
Agni yang dimaksud dalam Agnihotra adalah Tuhan Yang Maha Esa yang bila
dilaksanakan pada pagi hari maka persembahan itu ditujukan kepada Sūrya,
mantram yang selalu diucapkan adalah:
Oṁ Bhūr Bhūvaḥ Svaḥ Oṁ Sūrya Jyotiḥ Jyotiḥ Sūrya Svaha dan bila dilakukan sore hari (menjelang malam) ditujukan kepada Agni dengan mengucapkan mantram:
Oṁ Bhūr Bhūvaḥ Svaḥ Oṁ Sūrya Jyotiḥ Jyotiḥ Agni Svaha (Abhinash Chandra Das, 1979: 493).
Selanjutnya dalam kitab-kitab Itihāsa dan Purāṇa dan juga kitab-kitab Agama atau Tantra, ūpacāra Agnihotra senantiasa dilaksanakan dan tentu pula mantram yang digunakan, di samping mantram-mantram Veda adalah mantram-mantram yang bersifat Pauranic, Agamik atau Tantrik.
Oṁ Bhūr Bhūvaḥ Svaḥ Oṁ Sūrya Jyotiḥ Jyotiḥ Sūrya Svaha dan bila dilakukan sore hari (menjelang malam) ditujukan kepada Agni dengan mengucapkan mantram:
Oṁ Bhūr Bhūvaḥ Svaḥ Oṁ Sūrya Jyotiḥ Jyotiḥ Agni Svaha (Abhinash Chandra Das, 1979: 493).
Selanjutnya dalam kitab-kitab Itihāsa dan Purāṇa dan juga kitab-kitab Agama atau Tantra, ūpacāra Agnihotra senantiasa dilaksanakan dan tentu pula mantram yang digunakan, di samping mantram-mantram Veda adalah mantram-mantram yang bersifat Pauranic, Agamik atau Tantrik.
B. Hoṁa Yajña/Agnihotra menurut sumber Jawa Kuno (Kawi)
Bila kita membuka sumber tertua Jawa
Kuno, maka dalam bagian awal dari kakawin Rāmāyana, yakni ketika prabhu
Daśaratha memohon kelahiran putra-putranya dipimpin oleh Maharsi Ṛṣyaśṛṅga keturunan Gadhi kita mendapatkan informasi tentang
ūpacāra Agnihotra sebagai berikut:
- Saji
ning yajña ta humadang, śrī wṛkṣa
samiddha puṣpa gandha phala,
dadhi ghṛta kṛṣṇatila madhu. mwang kuśāgra wṛtti wetiḥ (24) - Sesajen ūpacāra korban telah siap, kayu cendana, kayu bakar, bunga, harum-haruman dan buah-buahan, susu kental, mentega, wijen hitam, madu, periuk, ujung alang-alang, bedak dan bertih - Lumekas ta sira mahoṁa , pretadi pisaca raksasa minantram, bhuta kabeh inilagaken, asing mamighna rikang Yajña (25) - Mulailah beliau melangsungkan ūpacāra korban api (Agnihotra), roh jahat dan sebagainya, pisaca dan raksasa dimentrai. Bhuta Kala semuanya diusir, segala yang akan menggangu ūpacāra korban itu
- Sakali karana ginawe, awahana len pratista sannidhya, Parameswara inangen-angen, umunggu ring kunda bahnimaya (26).- Segala perlengkapan ūpacāra telah tersedia. Doa dan tempat peralatan hadirnya Devata. Bhatara Śiva yang dimohon kehadiran-Nya, hadir pada tungku persembahan
- Sampun Bhatāra inenah, tinitisaken tang miñak sasomyamaya, lawan kṛṣṇatila madhu, śrī wṛkṣa samiddha rowang nya (27)- Sesudah Devata disthanakan, diperciki minyak “sOṁa”, wijen hitam dan kayu cendana beserta kayu bakar
- Rāmāyana I. 24-27.
Sumber
Jawa Kuna lainnya adalah Agastya parwa (355) yang menjelaskan berbagai macam
Yajña (Pañca Maha Yajña) yang dalam uraiannya tentang Deva Yajña secara tegas
menyatakan bahwa Deva Yajña adalah persembahan kepada Śivāgni yang dimaksud
tidak lain adalah Agnihotra sedang Korawāsrama, menyatakan bahwa Deva Yajña
adalah ūpacāra persembahan berupa makanan dan pengucapan mantram-mantram Stuti
dan Stava (Hooykaas, 1975: 247) menunjukkan bahwa mantram Veda merupakan sarana
dalam Deva Yajña yang tidak lain juga hampir sama dengan pelaksanaan Agnihotra.
Di dalam kakawin Sutasoma 79.8, Tantri Kāmanîaka 142 dan Nāgarakṛtāgama 8.4 dinyatakan bahwa ūpacāra
Agnihotra atau Hoṁa
yajña tersebut merupakan puncak dari ūpacāra korban.
Dalam lontar Vrspati tatwa juga ada
disebutkan bahwa salah satu usaha untuk menyucikan diri bagi seorang Sadhaka
adalah dengan melakukan Agnihotra atau Hoṁa yajña:
Śuddha
ngaranya eñjing-eñjing madyus, aśuddha śarīra, masūrya sewana, mamuja,
majapa, mahoṁa – Bersihlah namanya, tiap hari membersihkan diri, sembahyang kepada Sang Hyang Sūrya , melakukan pemujaan, melakukan Japa dan melaksanakan Hoṁa yajña. Śīlakrama, lamp.41.
majapa, mahoṁa – Bersihlah namanya, tiap hari membersihkan diri, sembahyang kepada Sang Hyang Sūrya , melakukan pemujaan, melakukan Japa dan melaksanakan Hoṁa yajña. Śīlakrama, lamp.41.
Berdasarkan
beberapa temuan peninggalan purbakala (arkeologi) dan tradisi yang hidup dalam
masyarakat Bali. Yang mana salah satunya adalah peninggalan purbakala adalah adanya berupa
lobang api (Yajñaśala atau Vedi) tempat dilaksanakan-nya ūpacāra Agnihotra.
Tempat atau lobang api ini dapat pula kita saksikan di salah satu Gua Pura
Gunung Kawi yang diyakini oleh penduduk sebagai Geria Brahmana terdapat sebuah
lobang dalam sebuah altar di tengah-tengah gua, yang rupanya dikelilingi duduk
oleh pelaksana ūpacāra Agnihotra. Peninggalan berupa lobang tempat api unggun
itu adalah Yajñakunda (Yajñaśala) dikuatkan pula dengan adanya lobang api di
bagian atap sebagai ventilasi keluarnya asap dari tempat dilangsungkannya
ūpacāra Agnihotra. Nama-nama seperti Keren, Kehen, Hyang Api Hyang Agni (Hyang
geni) dan Śala menunjukkan tempat yang berkaitan dengan dilangsungkannya
ūpacāra Agnihotra.
Upacāra Agnihotra terakhir terjadi pada masa kerajaan
Klungkung di bawah raja Dalem Waturenggong
di Istana raja Gelgel dengan purohita
Mpu Astapaka bersama Danghyang Dwijendra. Saat itu, ketika pelaksanaan
ūpacāra Agnihotra berlangsung, kobaran api menjadi begitu besar dan meninggi
hingga melalap atap panggung tempat ūpacāra sehingga mengakibatkan kebakaran.
maka sejak itu raja memerintahkan untuk melaksanakan ūpacāra Agnihotra yang
kecil dan sederhana saja yang kemudian terus mengerdil menjadi dengan menggunakan
pasepan (padupan) saja sehingga lama kelamaan, tradisi melaksanakan ūpacāra
Agnihotra itupun hanya dikenal oleh para pandita saja, bahkan sesudahnya karna
proses waktu, banyak dari pemangku yang bahkan tidak mengetahui asal mula dari
penggunaan pasepan itu sehingga nyaris bahwa ritual agni hotra atau pemujaan
kepada dewa agni ini semakin memudar dan tak dikenal di Bali.
C. Hoṁa Yajña/Agnihotra dalam stuti atau stava
Di masa yang lampau pelaksanaan
Agnihotra menggunakan mantram-mantram yang bersifat Tantrik, seperti juga yang
oleh sebagian digunakan oleh Sampradaya-Sampradaya di India Devasa ini.
D. Keutamaan ūpacāra Hoṁa Yajña/Agnihotra
Segala
sesuatu yang diketahui atau dirasakan manfaatnya tentu akan dicari atau
dilaksanakan oleh umat manusia. Demikian pula halnya ūpacāra Hoṁa Yajña/ Agnihotra. Berbagai
penelitian ilmiah membuktikan bahwa Agnihotra demikian sangat penting artinya
bagi kehidupan umat manusia. Salah satu buku yang menguraikan tentang manfaat
Agnihotra adalah Hoṁa
Therapy, Or Last Chance diterbitkan oleh Fivefold Path, Inc. Parama Dham
(House of Almighty Father), Madison, Virginia, USA,1989 yang menguraikan
manfaatnya bagi kesehatan umat manusia.
kitab
Kauśītaki Brāhmana (II.1) mengidentifikasikan persembahan Agnihotra adalah
persembahan kepada Deva Sūrya dan menurut kitab suci Veda (Ṛgveda I.115.1) Sūrya adalah jiwa
atau Ātma dari seluruh alam semesta, yang bergerak dan yang tidak bergerak
(sūrya ātma jagatas tasthusaś ca). Mantram-mantram yang digunakan dalam
ūpacāra Agnihotra umumnya dipetik dari kitab suci Veda, Ṛgveda, Yajurveda (salah satu yang
sangat terkenal adalah Agnir jyotir jyotir agnir svāhā, Sūrya jyotir yotiḥ Sūrya ya svaha, III.9), dan
beberapa mantram dari Atharvaveda. mantram lainnya biasanya dari mantram
sampradaya tertentu, misalnya Śaivisme menggunakan mantram pemujaan kepada
Ganeśa, Durgāsaptasati, Rudram, Śivamahimastotra dan lain-lain. Kitab
Mahābhārata menyatakan: Seperti seorang raja di antara umat manusia, seperti
Gāyatrī mantram di antara seluruh mantram, demikian pula ūpacāra Agnihotra
adalah ūpacāra yang sangat penting di antara semua ūpacāra-ūpacāra Veda ( Ganga
Ram Garga, 1992: 217).
E.Pelaksanaan ūpacāra Hoṁa Yajña / Agni Hotra dan
Sarananya
Sarana ūpacāra persembahan
1.
Kayu bakar, sedapat mungkin kayu
mangga, intaran, beringin, cempaka, sandat, tulasi, majagau, batang kelapa
kering atau cendana yang telah kering.
2.
Gahvya (gobhar) diambil dari kotoran
sapi-sapi yang dipelihara dan disayangi oleh pemiliknya dan bukan berasal dari
tempat/rumah pemotongan hewan.
3.
Daun, batang, bunga, akar dan
ranting kayu tulasi (disebut Pañcāngga) dan juga daun mangga untuk persembahan
ke dalam api suci. Beberapa daun mangga yang telah diisi lambang Omkara
biasanya juga dipasang dengan benang tridatu mengelilingi areal tempat agni
hotra sebagai simbul proteksi oleh Sri Ganesha.
4.
Sarana Pancamrtam yang terdiri dari
: Susu segar, yoghurt (susu asam), gula merah, ghee (minyak sapi), madu
5.
Aneka biji-bijian seperti kapulaga, biji kacang hijau, cengkeh,
beras merah, putih dan hitam serta wijen.
6.
Minyak kelapa.
7. 1 Kelapa untuk Daksina dan 2 lainnya
untuk upacara memecahkan kelapa (jumlah menyesuaikan dengan orang yang akan
melakukan pemecahan kelapa)
8.
10 Nasi kepel yang telah diisi ghee
untuk persembahan kepada para bhuta
9.
Bunga tabur dan bunga untuk muspa
10.(Khusus untuk Abhiseka) akan ada
tambahan seperti penyiapan daun sirih, garland, minyak wangi, kumkum, benang
suci,dan juga kamper untuk aarthi)
Rangkaian prosesinya, bisa di lihat disini : http://spiritual-agamahindu.blogspot.com/2014/06/sarana-dan-prosesi-agni-hotra-2.html
2 komentar:
Om Swastyastu, Om Sairam brother wira hari, dengan ini tiyang mohon ijin untuk copy paste, mau tiyang cetak dalam sebuah buletin kecil, untuk tiyang bagikan pas tiyang mengadakan upacara agni hotra di kampung di Klungkung, matur suksma brother :)
(dari: Nyoman Wijaya Love All)
om sai ram
Posting Komentar