Entah apa yang
menjadi misteri atau Taksu apa yang menjiwai sehingga pembuatan boneka raksasa
yang di Bali dikenal dengan nama Ogoh-Ogoh itu begitu menenggelamkan pikiran
banyak orang untuk menekuninya sampai-sampai mereka rela mengesampingkan hal
lainnya hanya demi sebuah kreatifitas seni dalam wujud pembuatan Ogoh-Ogoh. Memang
hal serupa tidak hanya ada di Bali saja. Di daerah lain seperti Betawi juga ada
gambaran yang sama yang dikenal dengan nama Ondel-Ondel. Dan di India, tradisi
membuat serta mengarak boneka raksasa ini juga ada dan sangat meriah pada saat
perayaan Ganesha Caturiti. Namun ritual Ogoh-Ogoh dengan ritual pada Ganesha
Caturiti jelas menjadi sesuatu yang berbeda sebab dalam pembuatan Ogoh-Ogoh
yang dikaitkan dengan Upacara tawur kesanga untuk perayaan Hari raya Nyepi,
boneka raksasa itu dibuat dengan penggambaran Bhuta kala (Asura) dengan ciri khas
wajah yang seram, kuku panjang, rambut terurai serta hal lain yang menjadi
pembeda dengan peradaban manusia. Sedangkan untuk Ganesha Caturiti, boneka
raksasa yang dibuat pada saat itu hanyalah dalam wujud Dewata Sri Ganesha,
sebagaimana sejarah dari hari raya itu yang dimaksudkan sebagai hari kemunculan
Sri Maha Ganesh (Putra dari Dewa Shiva dengan Saktinya Gauri Dewi).
Sampai saat ini belum
ada kepastian sejarah tentang awal mulanya kegiatan pembuatan ogoh-ogoh ini,
apakah ada kaitannya dengan perayaan Ganesha Caturiti di India ataukah tidak,
namun beberapa sumber mengatakan bahwa besar kemungkinan tradisi ogoh-ogoh ini
berkaitan dengan beberapa tradisi lama masyarakat Hindu Bali semisal Tradisi
Barong Landung yang mengisahkan tentang seorang putri Dalem Balingkang, Sri
Baduga dan pangeran Raden Datonta yang menikah ke Bali. Yang mana pada saat itu
ada tradisi meintar dan mengarak dua boneka yang berwujud laki-laki dan wanita
mengelilingi desa tiap sasih keenam sampai kesanga, Tradisi lainnya yang
bernama “Ndong Nding” semacam tradisi pengusiran hama di Karangasem, yang menggunakan lelakut, semacam orang-orangan
sawah. Dimana hama yang diibaratkan sebagai sang bhuta kala dengan aspeknya
sebagai energi negatif yang mengganggu manusia sehingga perlu diwujudkan untuk
kemudian dilebur juga seringkali dikaitkan dengan tradisi ogoh-ogoh sekarang
ini