Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Ada
yang menggelitik keinginan saya untuk menulis tentang pesan tersembunyi di
balik setiap perayaan hari suci keagamaan yang berlangsung di Bali khususnya
dan bhumi Nusantara Indonesia ini pada umumnya yakni sebuah kebanggaan
mengimani keyakinan Sanathana Dharma dalam tataran agama yang disebut Hindu
karena dalam pengamalan ajaran agamanya, Hindu sangat dekat dengan alam.
Berbagai ritual keagamaan dilaksanakan untuk tetap menjaga keharmonisan dengan
alam lingkungan, demikian juga dengan media persembahyangannya, hanya penganut
agama timur yang menyertakan atau menggunakan hasil alam untuk mewujudkan rasa
terima kasih dan puji syukur kepada Tuhan yang telah memberikan hidup serta
kekayaan alam untuk menunjang kehidupan itu sendiri. Tumpek uduh dalam
kaitannya dengan perayaan Hari raya Galungan adalah satu dari sekian banyaknya
ritual hindu yang bisa dipakai cerminan bahwa ajaran agama ini sangat
memperhatikan keharmonisan hidup antara manusia dengan alam lingkungannya
sebagaimana tersurat dalam ajaran Tri Hita Karana. Namun begitu ternyata masih
banyak sekali pesan atau makna di balik hari raya keagamaan ini yang belum
tergali maknanya secara benar sehingga hanya dijadikan sebagai sebuah rangkaian
upacara yang segera lewat begitu saja tanpa memberikan sebuah transformasi
nyata dalam kehidupan sehari-hari sebagai umat yang beragama. Saya teringat
kejadian beberapa puluh tahun yang lalu ketika saya masih duduk di bangku
sekolah dasar, saat saya menanyakan makna dari perayaan sugian jawa dan sugian
bali kepada guru sekolah saya waktu itu. Sebab dalam pemahaman saya yang masih
sangat terbatas, kata Sugian yang berasal dari kata dasar Sugi lalu mendapat
awalan me- menjadi Mesugi (bahasa bali) yang berarti membersihkan wajah dengan
air agar dapat melihat dengan lebih jelas atau sadar, lebih saya maknai dalam
kata dasarnya Sugih yang artinya kaya, sedangkan kata sugi dan sugih jika
mendapat akhiran –an menjadi sugian atau sugihan, walaupun bunyinya hampir sama
tetapi mengandung makna berbeda. Begitulah karena salah menafsirkan akhirnya
berakibat salah dalam memahami. Oleh karena itulah akhirnya saya memberanikan
diri bertanya tentang latar belakang istilah Sugian Jawa dan Bali ini dan apa
makna sebenarnya, apakah kalo kata sugihan yang berarti lebih kaya, dikaitkan
dengan nama tempat yakni Jawa atau Bali bisa diartikan sebagai bentuk
penghormatan dan rasa syukur atas kelimpahan materi yang didapat orang-orang di
pulau jawa dan Bali? Walaupun waktu itu saya masih kecil dengan wawasan yang
sangat minim, pikiran saya belum bisa menerima pemahaman seperti itu yang
sangat tidak masuk akal. Namun ketika sang Guru memberikan jawaban bahwa Sugian
adalah ritual penghormatan kepada Leluhur/Kawitan. (Kawitan berasal dari urat
kata “Wit” berarti asal). Artinya orang yang “Wit”nya berasal dari Jawa seperti
dari Blambangan, Majapahit, dll. ya pasti akan merayakan Sugian Jawa, demikian
halnya dengan Sugian Bali yang dirayakan oleh mereka yang “Wit”nya memang
berasal dari Bali asli. Itulah sebabnya tidak semua orang merayakan sugian ini
secara bersamaan. Sepintas jawaban demikian cukup untuk menjawab keragu-raguan
saya waktu masih duduk di bangku sekolah dasar. Namun seiring berlalunya waktu,
akhirnya saya dapati bahwa penafsiran seperti itu masih terlalu dangkal untuk
bisa dipakai pemahaman umat guna mengetahui pesan yang terselip di dalam ritual
itu. Oleh sebab itu, hari ini saya mencoba membagi hasil kajian saya dengan
beberapa rekan muda hindu lainnya agar bisa dipakai sebagai gambaran dalam mempersiapkan
diri menyongsong hari raya Galungan.
Sejarah singkat Hari Raya Galungan.
Berdasarkan
Lontar Purana Bali Dvipa, Galungan pertama kali dirayakan di Bali pada saat
Purnama kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun caka 804. Dalam lontar ini
disebutkan “Punang aci Galungan ika ngawit Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur,
tanggal 15 isaka 804, Bangun Indria Buwana ikang Balirajya” artinya : Perayaan
(Upacara) hari raya Galungan itu dimulai pada hari Rabu Kliwon (wuku) Dungulan,
sasih Kapat, tanggal 15 tahun 804 Caka atau tahun 882 M. keadaan pulau Bali
pada waktu itu diibaratkan seperti kediaman dewa Indra. Sejak itu Galungan
dirayakan secara meriah sampai bertahan selama kurang lebih tiga abad. Akan
tetapi pada tahun 1103 Caka (1181M) yaitu pada zaman pemerintahan Raja Sri
Ekajaya, secara serta merta perayaan Galungan ditiadakan. Kekosongan perayaan
ini berlangsung kurang lebih selama 23 tahun, yaitu sampai pemerintahan Raja
Sri Dhanadi. Selama kurun waktu itu, musibah terus menerus melanda pulau Bali
dan konon umur para pejabat menjadi relative pendek. Untuk mengungkap tabir
itu, Sri Jaya Kesunu, yang naik tahta menggantikan Sri Dhanadi, mengadakan
“Dewasraya” di Pura Dalem Puri Besakih. Dari Ida Bethari Durga yang dipuja
disana, akhirnya sang raja mendapat pawisik
bahwa musibah yang melanda pulau Bali disebabkan karena kealfaan
pemimpin dan masyarakat dalam melaksanakan Galungan. Sejak mendapat pawisik
tersebut, akhirnya Galungan kembali dirayakan di Pulau Bali seperti sekarang.
Hari
raya Galungan selama ini sering dimaknai sebagai Hari raya untuk merayakan
kemenangan Dharma (Kebaikan ) melawan Adharma (Kejahatan) yang mana hal ini
dikaitkan dengan cerita kemenangan Dewa Indra melawan Raksasa Maya Denava. Di
India, ada upacara yang hampir mirip dengan perayaan Galungan ini yakni Hari
raya Vijaya Dasami yaitu hari raya suci untuk memperingati kemenangan Sri Rama
sebagai simbul kebenaran dengan Rahwana sebagai simbul kejahatan. Upacara ini
juga dirayakan selama 10 hari. Rentang waktu yang sama antara Galungan dengan
Kuningan yang dilaksanakan di Bali dan Indonesia pada umumnya. Selain itu PHDI
juga memberikan arti tambahan atas hari raya Galungan ini yang disebutkan
sebagai “Hari Pawedalan Jagat” atau “Otonan Gumi”. Namun ini bukan berarti
bahwa Gumi atau Jagat semesta raya ini muncul pada hari Budha Kliwon Dungulan.
Melainkan hanya sebagai momentum yang dianggap paling tepat digunakan umat
hindu untuk menghaturkan puji syukur kepada Tuhan atas ketersediaannya kekayaan
alam dalam memelihara kehidupan manusia.
Rangkaian
hari raya Galungan beserta makna simboliknya.
Agar
mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang makna atau pesan yang diselipkan
para pendahulu kita dalam hari raya Galungan ini bagi transformasi umat dalam
mengubah pola pikir dan tingkah lakunya agar bersesuaian dengan simbolik yang
dipakai dalam rerahinan tersebut, maka kita akan mencoba membahasnya
satu-persatu.
1.
Tumpek Pengatag. (Tumpek
pengarah, Tumpek pengunduh,atau Tumpek unduh)
Beberapa
sumber menyatakan bahwa persiapan perayaan Galungan ini telah dimulai dari hari
tumpek pengatag (Hari yang diartikan sebagai otonan tumbuh-tumbuhan-bukan
berarti bahwa tumbuh-tumbuhan diciptakan Tuhan pada hari ini, tetapi lebih
dimaknai sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan dalam aspeknya sebagai
Sankara yang telah menyediakan keperluan hidup manusia dalam kaitannya dengan
tumbuh-tumbuhan). Hari raya ini dilaksanakan pada hari sabtu Kliwon wuku
Wariga. Menurut Lontar Sundari Bungkah, Wariga mengandung makna “Wewarah ring
Raga”. Selanjutnya tumbuh-tumbuhan atau pohon (Kayu – dalam bahasa bali)
merupakan symbol “Kayun” atau pikiran. Dengan demikian, di balik prosesi
“ngatag” atau memberitahukan tumbuh-tumbuhan bahwa perayaan Galungan sudah
dekat sehingga memerlukan banyak buah untuk dipakai persembahan, hari raya ini
semestinya juga dimaknai sebagai langkah awal untuk mengingatkan diri perang
antara Dharma dan Adharma dalam diri sedang berlangsung dan terus akan
berlanjut sampai kita manusia tutup usia. Karenanya sangat dibutuhkan rasa
mawas diri dan introspeksi agar musuh utama berupa Sad Ripu
(Kemarahan,Ketamakan,Kebingungan,nafsu indria, kemabukan materi, dan juga iri
hati kebencian) tidak sampai mengalahkan kata hati dan memperbudak pikiran.
Jadi perayaan hari tumpek pengatag ini bukan hanya prosesi yang harus dijalani
tanpa pemahaman yang jelas. Ngatagin pepohonan agar berbuah yang banyak tetapi
di hari H buah mereka justru terkesampingkan karena kalah bersaing dengan buah
impor yang pohonnya bahkan tidak mendapatkan arah-arah atau pemberitahuan.
Adalah salah satu bentuk ketidak mengertian umat dalam memahami makna hari raya
yang dilakukannya walaupun masih dalam tataran symbuliknya saja.
2.
Sugian (Sugian Jawa dan Sugian
Bali)
Jika
kata sugian ini diartikan sebagai “Penyucian” seperti kata dasarnya Sugi, maka Sugian
sebagaimana disebutkan dalam Lontar Sundarigama, adalah suatu prosesi
pembersihan Bhuana Agung / alam semesta yang dilambangkan dengan nama tempat
diluar Bali yakni Jawa dan juga pembersihan Bhuana alit yang terdiri dari unsur
badan jasmani dan rohani, yang mana ia dilambangkan dengan nama tempat di dalam
yakni Bali. dalam lontar ini disebutkan bahwa Sugian Jawa merupakan pasucian Dewa Kalinggania pamrastista
Bhatara Kabeh. Dan Sugian Bali disebutkan “Kalinggania amrestista raga tawulan”.
Lalu
bagaimana caranya ? Dari aspek upacara, penyucian Bhuana Agung dilakukan dengan
mengadakan yajna yang bertujuan menyeimbangkan kembali unsure-unsur alam
misalnya dengan melantunkan nama-nama suci Tuhan / bhajan atau dengan melakukan
Sankirtan Mahayajna. Wujud nyatanya tentu saja dengan berbuat yang tidak
menyebabkan bhumi ini semakin menderita, tidak melakukan Illegal Lodging, tidak
mengotori air sungai atau kali dengan sampah, tidak melakukan eksploitasi alam
dan juga pencemaran lingkungan dengan aneka polusi dan limbah. Kemudian
mengenai penyucian Bhuana Alit, Manava dharma sastra V.109 menyebutkan
Adbhir
Gatrani Sudhyanti // Manah Satyena Sudhyanti
Widyatapobhyam
Sudhyanti //Budhir Jnanena Sudyanti
bahwa
tubuh dibersihkan dengan air, Pikiran disucikan dengan kejujuran, Jiwa
disucikan dengan pengetahuan suci dan tapa brata, dan terakhir, Akal
dibersihkan dengan kebijaksanaan. Wujud nyatanya adalah dengan menerapkan Tri
Kaya Parisudha yakni menjaga agar pikiran,perkataan,dan perbuatan kita tetap
baik sesuai ajaran Dharma. Dengan demikian makna dari hari raya Sugian ini
adalah proses penyucian diri (Mikrocosmos) dan juga alam (Makrocosmos) karena
keduanya sangat terkait satu dengan lainnya ibarat janin dalam rahim. (jika ada
kebajikan dalam hati,akan ada keindahan dalam watak. Jika ada keindahan dalam
watak, akan ada harmoni dalam rumah tangga. Jika ada harmoni dalam rumah
tangga, maka akan ada ketertiban dalam Negara. Dan jika sudah ada ketertiban
dalam Negara maka sudah pasti akan ada kedamaian dalam dunia.) jadi segala
sesuatu harus dimulai dari diri sendiri. First to be, second to do, third to
tell.
3.
Penyekeban atau Penapean
Hari
minggu pahing wuku Dungulan disebut dengan hari raya penyekeban atau penapean
karena pada hari ini umat hindu melakukan kegiatan “Nyekeb” buah, atau tape
sehingga ia juga sering disebut hari Penapean atau hari membuat makanan yang di
ragi – tape. Proses “Nyekeb” atau menjaga agar tidak keluar masih bisa
disinonimkan dengan kata tape – tapa yang artinya pengendalian diri. Maka pada
hari ini selain membuat tape sebagai symbol, umat hindu seyogyanya semakin
mawas diri dalam pengendalian indera guna mencapai ketenangan. Ia harus sedapat
mungkin memelihara kesucian bhatin dengan terus menerus mendekatkan diri dengan
Tuhan entah dengan melakukan Sath sang, Sadhu Sanga, Kirtan, Chanting Veda, dll
karena pada saat manusia telah bisa mengendalikan hawa nafsunya maka ia bisa
dibedakan dari binatang. Binatang mempunyai kebebasan memenuhi hawa nafsunya
sesuai dengan tingkatannya sebagai binatang, tetapi jika manusia ingin
mendapatkan kebebasan yang sama seperti kebebasan yang di dapat para binatang
itu, bagaimana ia bisa menyebut dirinya sebagai manusia yang lebih beradab dan
lebih tinggi tingkatannya dari mahluk yang lain sedangkan tingkah polah yang
ditunjukkannya justru meniru pola hidup binatang.
Keampuhan
kekuatan tapa dapat dianalogikan
dengan proses metamorphosis yang dialami oleh kepompong. Sebelumnya ia adalah
ulat yang ditakuti karena rupanya yang menakutkan dan menyebabkan kesusahan
(menimbulkan rasa gatal dan juga dikelompokkan sebagai hama pengganggu
tanaman). Tetapi dengan menyadari kekurangan itu akhirnya ia mau melakukan tapa
berat dalam masa krisis hanya agar mendapatkan rupa yang lebih cantik, dikagumi
manusia dan menjadi penolong bagi tumbuh-tumbuhan. Suatu perubahan yang sangat
drastis yang memerlukan kesabaran dan total surrender kepada Sang pemberi
hidup. Jika seekor ulat saja mau dan mampu melakukan perubahan demikian besar
dalam hidupnya, tidakkah manusia yang mengklaim diri sebagai yang lebih tinggi
tingkatannya dari mahluk seperti mereka harusnya bisa melakukan hal yang sama,
bukan dalam artian menjadi kupu-kupu atau sosok yang bisa terbang, tetapi
meningkatkan kwalitas hidup dari Nara (Manusia) untuk mendekati Narayana
(Tuhan) bukan malah sebaliknya mengambil langkah mundur menjadi Vanara (Kera
atau manusia hutan).
4.
Penyajaan
Pada
hari ini Soma Pon Dungulan, umat merayakan Penyajaan berasal dari kata “Saja”
Sungguh, Sajaan = sungguh-sungguh atau kesungguhan hati dalam menyongsong
kemenangan Dharma ini. namun dalam tafsir lain, kata penyajaan juga diartikan
sebagai kata “Jaja” yang mendapat awalan Pe- dan akhiran –an sehingga menjadi
penyajaan. Oleh sebab itu, pada hari ini umat hindu melakukan proses membuat
jajanan untuk persembahan.
Dalam
kaitannya dengan penyajaan Galungan, Lontar Sundari Gama menyebutkan :
Pengastawaning sang ngamong yoga semadhi. Yoga menyangkut komunikasi personal
antara individu dengan Tuhan atau dengan dirinya sendiri. Komunikasi Atman
dengan diri sendiri dalam hidup keseharian kita dikenal dengan istilah
“Mendengar bisikan hati” oleh karena itu dalam segala aktivitas hendaknya
manusia tidak pernah menentang kata hati yang menyuarakan kebenaran, jangan
sampai ia diperbudak pikiran yang kadang telah ditunggangi kepentingan indera.
Kesungguhan hati harus dipraktekkan secara perlahan berbarengan dengan jalur
evolusi spiritual yang dilalui oleh pelakunya walaupun sedemikian sulit untuk
melaksanakannya. Jadi pelaksanaan penyajaan ini baru dikatakan berhasil jika
dalam tahapan ini manusia semakin dikuatkan dengan kesungguhan hati yang
dimilikinya untuk menahan segala godaan Adharma yang berusaha disusupkan oleh
sang kala tiganing dungulan.
5.
Penampahan
Selanjutnya
pada hari Selasa Wage wuku Dungulan, umat melakukan Penampahan. Kata penampahan
ini berasal dari kata Tampah yang artinya bunuh. Jadi penampahan berarti
membunuh. Lalu membunuh siapa? Selama ini umat dengan penafsiran lahiriahnya,
lebih mencari kambing hitam keluar dengan mengorbankan binatang untuk
disembelih atau dibunuh dengan alasan yajna. Lalu melupakan sifat kebinatangan
dalam diri yang juga semakin liar dan lebih mendesak untuk dibunuh. (bukankah
sifat anjing yang tidak tahu malu dalam memadu kasih adalah gambaran nyata
sifat hewan ini dalam diri manusia, demikian pula prilaku suka ribut dengan
saudara sendiri adalah merupakan gambaran prilaku ayam kampung di Bali yang
selalu menghalau temannya sesama ayam kampung ketika diberi makan tetapi paling
toleran kepada ayam boiler yang bukan rasnya, prilaku hidup konsumtif dan
pemalas yang ada pada babi adalah gambaran lain bagaimana sifat dan prilaku
binatang itu telah diadopsi oleh manusia dan yang seharusnya segera dieleminir
agar ia bisa lebih dibedakan dari binatang). Dalam riwayatnya, Prahlad Maharaja
pernah menyindir kebiasaan bentuk pemujaan pada jamannya. Ia berkata :”Karena
membinasakan egoisme sangatlah sulit, maka manusia memilih jalan yang lebih
mudah, yakni membunuh hewan dungu yang tidak punya salah apa-apa kepadanya
sebagai pengganti”. Maka demikianlah bahwa
apa yang terjadi pada saat jamannya Prahlada Maharaj beberapa ribu tahun yang
lalu dan juga situasi yang dihadapi Budha Gautama di India, dimana sebagian
besar orang telah membenarkan pembunuhan binatang dengan alasan yajna sekarang
sedang terjadi di Bali. Babi sesungguhnya adalah symbolik untuk menggambarkan
sifat Tamas yang dilukiskan dengan gaya hidup pemalas, lembam, dan bodoh
sehingga mereka harus dibunuh. Hanya sayang bahwasannya pengertian ini kemudian
lebih ditujukan kepada faktor ekstern manusia yakni dengan menyembelih babi itu
sendiri. Demikian halnya dengan Ayam yang mewakili sifat Rajas dengan
kecenderungannya yang agresif, suka bertengkar, pemarah, dan lain lain harus merelakan
diri menjadi korban salah tafsir manusia yang lebih mementingkan tuntutan
lidahnya atas kenikmatan daging mereka.
Jika
manusia terus mencari pembenaran keluar dengan mengesampingkan diri sendiri
yang harus dibenahi terlebih dahulu, maka saya yakin bahwa jikalaupun seluruh
babi ayam atau kerbau di dunia ini dikorbankan atas nama yajna, ia tidak akan
mampu memberikan perubahan sikap dan prilaku yang lebih beradab kepada manusia,
bahkan sebaliknya itu akan menyuburkan sifat-sifat kebinatangan dan kemunafikan
dalam diri. Jadi pelaksanaan penampahan
sebagai rangkaian hari raya Galungan baru bisa dibilang sukses, jika kita telah
berhasil membunuh atau meminimalisir sifat-sifat kebinatangan dalam diri.
Sebagaimana hukum I Newton mengatakan semua benda termasuk manusia bersifat
lembam, sehingga dengan demikian memang begitu sulit untuk mengubah diri
apalagi untuk meninggalkan kebiasaan yang selama ini dipandang mengenakkan.
Tetapi beranjak dari kisah ulat yang mau dan mampu menjadi kupu-kupu itu, maka
seharusnya manusia justru harus malu kepada binatang jika ia tidak punya kemauan
untuk merubah dirinya.
6.
Puncak Hari Raya Galungan.
Setelah
melalui beberapa rangkaian, akhirnya pada Budha Kliwon wuku Dungulan,
masyarakat hindu berada pada puncak perayaan.
Pada hari ini bahkan dari pagi-pagi sekali, umat sudah disibukkan dengan
kegiatan mebanten (Menghaturkan persembahan). Ritual persembahyangan ini bahkan
bisa berlangsung sampai malam hari. Dalam lontar Sundari Gama disebutkan : Budha Kliwon Dungulan ngaran Galungan
patitis ikang jnana Samadhi, galang apadang, maryakena sarva byaparaning idep.
Artinya : Rabo Kliwon Dungulan, namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani
supaya mendapatkan pandangan yang terang sebagai wujud Dharma dalam diri, serta
menghilangkan kekacau balauan pikiran yang merupakan bentuk dari Adharma. Dari
sinilah dapat kita simpulkan bahwasannya hakekat Galungan adalah perayaan
kemenangan Dharma atas Adharma. Lalu apa sesungguhnya yang dimaksud dengan
Dharma?. Dalam Mahabharata, Rsi Bhisma menyatakan kepada Yudistira bahwa segala
sesuatu yang mengembangkan cinta kasih Tuhan adalah Dharma, sebaliknya yang
dapat menimbulkan ketidak selarasan dan kebencian adalah Adharma. Dharmalah
yang akan menyebabkan manusia memiliki sifat ketuhanan, karena Dharma adalah
Tuhan itu sendiri. Jadi perayaan Galungan bisa dikatakan berhasil dan layak
untuk dirayakan adalah jika kita semakin bisa menunjukkan bahwa kita mahluk
yang penuh cinta kasih dan punya kontribusi positive terhadap upaya pelestarian
lingkungan dalam upaya membangun keharmonisan dengan alam, masyarakat, dan
utamanya kepada Tuhan. Namun jika kita masih dalam tataran orang yang
menafsirkan symbol agama secara sambil lalu saja, membeo tanpa mengerti apa
yang kita kerjakan maka sebenarnya kita hanyalah orang yang ikut memeriahkan
kemenangan Dharma dan bukan sebagai orang yang pantas menikmati kemenangan.
Bukankah saat ini rangkaian hari raya ini sudah sangat bergeser dari tatanan
sebelumnya. Tumpek pengatag bukan lagi menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu
karena sebagian masyarakat bali yang beragama Hindu kini telah berpindah dari
kehidupan agraris sehingga tidak banyak yang memiliki pohon buah yang perlu
diupacarai, penapean dan penyajaanpun bukan merupakan sebuah keharusan karena
semua kebutuhan itu telah di supply oleh pasar tradisional sampai Supermarket.
Sehingga segala keperluan upacara dari
buah impor, jajanan, bahkan canang untuk persembahyangan tidak perlu
dipersiapkan dengan tahapan seperti dulu sebab jika mau Praktis, dan Gelis,
kita hanya perlu mengeluarkan Pipis-uang. Sungguh sebuah cara beragama yang
semakin maju tetapi telah menghilangkan dan mengubur pesan luhur yang ingin
disampaikan para leluhur kita. Sebuah harapan transformasi spiritual yang telah
terperangkap dalam tradisi berupa informasi tak pasti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar