Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Ketika
melukiskan tahap-tahap penciptaan, Resi Shuka berkata, "Shataruupaa dan
Manu bersama-sama menghadap Tuhan Sang Pencipta dan bertanya apa yang harus
mereka kerjakan. Brahma menjawab sambil tersenyum, 'Berjodohlah satu dengan
yang lain, beranakpinaklah dan penuhi bumi ini.' Dengan wewenang yang mereka
peroleh dari perintah ini, mereka memenuhi bumi dengan manusia."
Mendengar
ini Raja menyela, "Resi Yang Agung! Dari pengalaman saya sendiri saya
telah mempelajari bahwa asal segala kesedihan di dunia ini adalah kama atau
moha 'kelekatan'. Saya tidak ingin mendengarkan tentang hal ini; mohon
ceritakan kepada saya bagaimana cara mengatasi kama, maya, dan kelekatan. Dalam
hari-hari terakhir ini, apakah tepatnya yang harus dilakukan manusia. Nama
manakah yang harus diingatnya terus menerus agar ia dapat menghindari lingkaran
kelahiran dan kematian ini untuk selama-lamanya? Beritahukanlah hal-hal semacam
ini kepada saya," ia memohon.
Resi
Shuka amat senang mendengar pertanyaan ini. Beliau menjawab, "Oh Maharaja!
Tuanku adalah jiwa yang bersifat spiritual. Tuan melayani para resi dengan
penuh bakti. Himpunan para resi, pertapa, dan kaum bijak waskita yang amat
banyak ini merupakan bukti perbuatan-perbuatan Tuan yang berpahala. Karena
biasanya mereka tidak berkumpul di mana pun juga." Raja menyela Resi Shuka
dan menyatakan keberatannya, "Tidak, tidak, Resi yang Agung! Saya ini
pendosa besar; saya tidak memiliki kemajuan spiritual sedikit pun juga. Jika
saya mempunyai pahala walaupun sedikit sekali, jika saya telah melayani para
resi dengan penuh bakti, pastilah saya tidak akan menjadi sasaran kutuk seorang
brahmana. Kemujuran yang kini saya nikmati yaitu kehadiran para resi agung ini
dan kesempatan untuk memuja kaki Maharesi, disebabkan oleh pahala aneka
perbuatan baik yang dilakukan oleh para leluhur saya. Saya tahu benar bahwa
kegiatan-kegiatan saya tidak berperan apa pun dalam hal itu. Rahmat yang
dilimpahkan oleh Shyaamasundara '(Krishna) yang berkulit gelap dan rupawan'
kepada para kakek sayalah yang merupakan penyebabnya. Jika tidak demikian,
dapatkah orang-orang semacam saya yang tenggelam dalam sumur samsaara, terbenam
dalam usaha yang sia-sia untuk mencari kenikmatan indra, yang sedetik pun tidak
pernah merenungkan Tuhan Yang Maha Besar, kekal, dan murni, dapatkah
orang-orang semacam kami ini berharap melihat wujud nyata Resi Yang Agung di
hadapan kami, Maharesi yang selalu mengembara dalam keheningan rimba tanpa
dikenal manusia? Sungguh, ini merupakan kemujuran yang tidak mungkin dicapai.
Semua ini disebabkan oleh restu para kakek saya dan rahmat Shyaamasundara
(Krishna); bukan karena sebab lainnya. Maharesi demikian sayang kepada saya,
karena itu Guru anggap hal ini berasal dari pahala perbuatan baik saya. Tapi
saya menyadari benar segala kekurangan saya."
"Mohon
limpahkan selalu kasih sayang itu kepada saya dan tolonglah saya menentukan apa
yang harus ditinggalkan oleh orang yang mendekati ajalnya, dan apa yang harus
dicamkan serta dilaksanakannya. Berilah saya nasehat mengenai hal ini agar
hari-hari yang tersisa dapat saya lewatkan dengan baik. Hanya Maharesilah yang
dapat menyelesaikan masalah ini bagi saya. Mohon ceritakanlah Bhaagavata kepada
sebagaimana telah Guru janjikan. Maharesi telah memberitahu saya bahwa kisah
itu merupakan landasan bagi kemajuan dan kebebasan; menghancurkan segala dosa;
dan menganugerahkan kesejahteraan. Biarlah saya mereguk nektar suci nama Sri
Krishna dan menyengarkan diri saya dalam panas yang gerah ini," demikian
Pariikshit memohon.
Resi
Shuka tersenyum kepada raja dan berkata, "Bhaagavata patut dihormati,
dikaji, dan diikuti sebagaimana halnya Weda. Saya telah mendengarkan
(pembacaan) kitab suci itu dalam pertapaan ayah saya di Gunung Gandhamana pada
akhir Dwaapara Yuga. Saya akan menceritakannya lagi bagi Tuanku.
Dengarkan!" Mendengar hal ini, raja bertanya dengan kedua tangan
tertangkup dalam sikap hormat, "Oh Resi Agung yang tiada bandingnya! Saya
telah mendengar bahwa Guru adalah pertapa yang sejak lahir sudah dijiwai oleh
semangat ketidakterikatan yang mendalam. Bahkan tanpa upacara tradisional untuk
memurnikan dan menjernihkan akal budi (seperti jaatakarma, naamakarana, dan
upanayana) Maharesi telah meraih kesadaran kenyataan sejati secara sempurna.
Saya dengar, lantaran itu Maharesi mengembara di hutan, jauh dari tempat
tinggal manusia, tenggelam dalam kesadaran kesunyataan. Karena itu, saya merasa
heran mengapa Maharesi tertarik pada kitab suci ini, yang menurut kata Guru
sarat dengan bakti. Apakah yang menyebabkan Maharesi menaruh minat pada jalan
bakti ini? Saya mohon agar Guru menjelaskan keadaan itu kepada saya."
Resi
Shuka mulai menjelaskan dengan air muka yang tenang tanpa keresahan. "Ya,
saya berada di luar peraturan dan larangan. Kesadaran saya terus menerus
menunggal dengan Tuhan yang tiada berwujud dan tiada bersifat. Itulah kebenaran
diri saya. Meskipun demikian harus saya nyatakan bahwa ada suatu keindahan yang
tidak terkatakan dalam (diri pengejawantahan) Tuhan yang menawan dan menambat
hati manusia dengan berbagai sifat serta kegiatan permainan Beliau. Harus saya
akui pula bahwa saya telah mendengarkan uraian tentang keindahan dan kemanisan
Tuhan. Pikiran dan perasaan saya sangat senang ketika mendengarkan dan membaca
perihal kemuliaan Tuhan, (bagaimana Krishna) memanifestasikan sifat-sifat
ketuhanan Beliau melalui setiap kejadian tersebut. Saya tidak dapat tinggal
diam; saya bersukacita seperti orang gila, tergetar dan terharu karena rasa
bahagia yang saya peroleh dengan mendengarkan dan membaca kisah tersebut. Senda
gurau serta permainan Beliau yang indah dan manis membuat saya mabuk dengan
sukacita yang tiada terhingga."
"Hari
ini saya bergegas datang ke sini karena saya menyadari bahwa telah timbul suatu
kesempatan untuk menceritakan (kisah kemuliaan Tuhan) ini kepada serombongan
pendengar yang penuh minat, yaitu orang-orang yang ditinjau dari segala segi,
layak mendengarkan dan memahami maknanya. Karena itu, saya akan menceritakan
kisah Bhaagavata yang suci ini kepada Maharaja, dan melalui Tuhanku, kepada
para tokoh yang hadir di sini. Tuanku memiliki hasrat yang besar dan prestasi
(spiritual) yang diperlukan untuk mendengarkannya. Tuan telah bertekad akan
mencapai tujuan tertinggi manusia."
"Mereka
yang mendengarkan kisah ini dengan bakti yang tulus; (tidak hanya mendengarkan,
tetapi juga) merenungkan nilai serta maknanya, dan bertindak sesuai dengan
terang yang dipancarkannya dalam pikiran mereka, orang-orang semacam itu akan
menunggal dalam kebahagiaan Tuhan, dan Vaasudewa (Krishna) merupakan
pengejawantahan kebahagiaan itu. Hati mereka akan sarat dipenuhi nektar manis
perwujudan daya pikat yang menawan, Madanamohana, (sebutan Sri Krishna, secara
harfiah berarti 'Beliau yang memikat dan menenangkan Dewa Kaama atau godaan
sensualitas') dan mereka akan menghayati advaitaananda 'kebahagiaan jiwa yang
diperoleh karena menghayati Yang Maha Esa'. Latihan rohani tertinggi adalah
menyebut nama Tuhan dengan penuh kesadaran dalam pikiran, perasaan, dan ucapan,
serta menyanyikan kemuliaan Beliau dengan suara nyaring. Tidak ada latihan
rohani yang lebih baik daripada ini."
"Oh
Maharaja, jangan terbawa rasa cemas memikirkan bahwa waktu yang Tuhan miliki
tidak lama lagi. Untuk memperoleh rahmat Tuhan, tidak diperlukan waktu. Cahaya
rahmat dari pengejawantahan belas kasihan dapat tercurah kepada Tuanku dalam
sekejap mata. Dalam tujuh hari ini saya akan memberi Tuan kesempatan
mendengarkan kisah orang-orang yang menghayati kebahagiaan spiritual, bagaimana
Vaasudeva (nama lain Sri Krishna; berarti 'putra Vasudeva' atau 'yang memenuhi
segala sesuatu') memberkati mereka dengan kemajuan rohani, dan bagaimana
orang-orang menyeberang lautan kelahiran serta kematian dengan mendengarkan
kisah dan menyanyikan kemuliaan Tuhan yang bersemayam dalam hati mereka. Kita
tidak akan membuang waktu sedetik pun. Tuan sadar bahwa Tuan hanya akan hidup
selama tujuh hari lagi. Karena itu, tinggalkan segala rasa milikku dan milikmu
berkaitan dengan tubuh yang Tuan diami dan rumah tempat tinggal tubuh itu.
Sadarilah kisah Maadhava semata, Tuhan penguasa alam semesta; reguklah kisah
para penjelmaan Tuhan yang semanis madu. Merupakan kejadian yang lazimlah, jika
suatu cerita dikisahkan dan didengarkan oleh ribuan orang yang berkumpul.
Tetapi jnaana hanya dapat dicapai, bila seseorang percaya sepenuhnya pada kisah
(pengejawantahan Tuhan) yang didengarnya. Keyakinan semacam itu harus tumbuh
dalam pikiran dan perasaan yang bersih, dalam hati yang murni."
"Satu
hal penting lagi Oh Maharaja! Tidak terhitung banyaknya tokoh yang pergi kian
kemari memberikan darma wacana mengenai berbagai masalah moral dan spiritual
hanya berdasarkan studi (teoritis); mereka tidak memiliki pengalaman sedikit
pun mengenai hal yang mereka khotbahkan. Mereka tidak percaya pada kebenaran
berbagai manifestasi kemuliaan Tuhan yang mereka tuturkan. Nasehat dan
peringatan semacam itu tidak ada gunanya seperti minyak susu yang dituangkan,
bukannya ke dalam api, melainkan pada timbunan abu yang dingin. Hal itu tidak
akan menyembuhkan pikiran dan perasaan manusia dari kekurangan serta cacat
celanya."
"Dalam
kasus Tuanku, kemubaziran semacam itu tidak perlu dicemaskan. Hati Tuan
terbenam dalam aliran kasih yang tiada putusnya bagi Shyaamasundara 'Krishna
yang berkulit gelap dan rupawan'. Siapa pun juga yang mendengarkan penuturan
ini dan menghirup nektar kisah ini dengan hati yang bergelora oleh kerinduan
kepada Tuhan, kepercayaan yang tidak tergoyahkan kepada Beliau, dan sukacita
yang tiada putusnya, dapat mencapai kesadaran diri sejati. Ini tidak perlu
diragukan lagi. Oh Maharaja, kesempatan ini, kitab ini, dan para pendengarnya,
semuanya amat tepat dan baik sekali."
Sambil
berkata, "Oh, alangkah beruntungnya Tuanku!", Resi Shuka meletakkan
tangannya di atas kepala raja untuk memberi berkat; beliau mengusap-usap ikal
rambut Pariikshit yang Raja memohon dengan amat rendah hati, "Resi Yang
Agung, Guru tahu benar bahwa waktu saya tinggal se4dikit sekali. Karena
itu," lanjutnya dengan tangan tertangkup penuh hormat, "Mohon berilah
saya bimbingan yang tertinggi, maka saya akan memantapkan diri saya di dalamnya
selama tujuh hari ini. Berilah saya mantra suci agar saya dapat
mengulang-ulangnya dalam waktu singkat yang saya miliki, mengingatnya terus,
dan menyelamatkan diri saya."
Resi
Shuka tertawa. "Maharaja Pariikshit! Mereka yang asyik dengan kesenangan
duniawi melewatkan hari-hari mereka dalam kekhawatiran, kecemasan, sakit,
sedih, dan menangis sepanjang masa hidupnya yang lama. Mereka beranak pinak
seperti burung dan margasatwa. Mereka makan makanan yang baik dan membuangnya
sebagai air seni dan tinja. Inilah hidup tanpa tujuan yang ditempuh oleh
sebagian besar manusia. Dapatkah Tuan menyebutnya sebagai proses kehidupan?
Tidak terhingga banyaknya jumlah makhluk hidup yang ada di bumi ini. Sekedar
hidup tidaklah cukup; tidak ada nilainya bila sekedar hidup demi kehidupan itu
sendiri. Yang penting adalah motivasi, perasaan, pikiran, dan sikap yang
mendorong kehidupan manusia sehari-hari.
Bila
seseorang mempunyai sifat-sifat ketuhanan yang tampil dalam pikiran, perasaan,
dan sebagainya, maka ia (benar-benar) hidup. Sebaliknya, jika seseorang
mencemarkan selubungnya yang suci (tubuh) dengan menggunakannya untuk
tujuan-tujuan tidak suci guna mengikuti kesenangan yang bersifat sementara, dan
dengan demikian mengabaikan Tuhan Yang Mahatahu dan Mahakuasa, maka hal itu
harus dicela sebagai pengingkaran yang sengaja pada sifat kemanusiaannya
sendiri. Ambillah contoh orang yang telah memusatkan pikiran dan ingatannya
pada kaki suci Tuhan; tidaklah menjadi soal seandainya pun umurnya pendek.
Dalam waktu yang singkat itu ia dapat membuat hidupnya bermanfaat dan suci. Oh
Maharaja, untuk melenyapkan kebimbangan Tuhan, akan saya ceritakan kisah indah
seorang rajaresi. Dengarkan!"
"Dahulu
dalam dinasti Matahari pernah ada seorang penguasa gagah perkasa, pahlawan yang
hebat dalam medan laga, berlimpah kedermawanannya, jujur serta lurus wataknya,
dan adil dalam tindakannya. Namanya Khatvaangga. Tiada yang dapat
menandinginya, tiada seorang pun mampu menantangnya. Sementara itu para daitya
dan daanava 'iblis dan raksasa' yang jahat menghimpun kekuatan mereka dan pergi
berperang melawan para Dewa. Para Dewa takut terkalahkan; mereka menyadari
kelemahan mereka lalu turun ke dunia meminta bantuan Raja Khatvaangga. Sang
raja juga ingin bertualang mengadu untuk dalam pertempuran, karena itu
diambilnya busur serta panahnya, lalu mengendarai kereta menuju ke medan laga.
Di sana ia menggetarkan hati para daitya dan daanava yang ketakutan melihat keperkasaannya.
Musuh melarikan diri dengan panik, tidak mampu menahan serangannya yang
dahsyat. Karena mengejar musuh yang melarikan diri dianggap tidak bermoral,
maka Khatvaangga tidak melanjutkan pertempuran."
"Para
Dewa senang karena mereka dapat mencapai kemenangan dengan bantuan Khatvaangga
yang tepat pada waktunya. Mereka memuji keperkasaan dan rasa keadilannya. 'Oh
Raja, dalam sejarah masa kini tiada seorang pun dapat menyamai Tuan. Tuan
membantu kami mencapai kemenangan dalam perjuangan mati-matian melawan kekuatan
jahat. Sebagai ganjarannya kami ingin agar Tuan menerima dari kami pertolongan
apa saya yang Tuan perlukan dan dapat kami berikan. 'Raja Khatvaangga berkata
kepada mereka, 'Oh para Dewa, bukankah yajna dan yaga diselenggarakan oleh
manusia untuk menyenangkan Dewa-Dewa? Kesempatan istimewa yang saya peroleh
untuk ikut serta dalam pertempuran ini sesungguhnya adalah yajna sejauh
berkaitan dengan saya. Apa lagi yang saya perlukan dari para Dewa selain rahmat
yang telah Paduka limpahkan kepada saya ini? Ini sudah cukup sebagai anugerah.
'Sambil berkata demikian ia bersujud di kaki para Dewa."
"Tidak
puas dengan jawaban ini, para Dewa mendesaknya agar meminta sesuatu, suatu
anugerah dari mereka. Walaupun tidak berniat meminta apa pun juga, Khatvaangga
terpaksa memikirkan suatu keinginan karena ia merasa bahwa mereka tidak akan
membiarkannya pergi tanpa anugerah. Akhirnya ia berkat, 'Oh para Dewa, mohon
beritahukan kepada saya, berapa tahun lagi saya akan hidup. Hanya setelah
itulah saya dapat memutuskan anugerah apa yang bisa saya mohon dari Paduka.
'Purandara (Indra), penguasa para Dewa, mengetahui segala sesuatu, karena itu
tanpa menunda sesaat pun ia menjawab, 'Oh raja, masa hidup Tuan sudah hampir
berlalu; Tuan hanya dapat hidup satu muhurta (beberapa menit) lagi. 'Mendengar
ini Khatvaangga berkat, 'Tidak ada yang saya minta. Saya tidak memerlukan apa
pun. Saya merasa bahwa segala kesenangan dunia dan akhirat hanyalah hal remeh
yang akan dibuang. Saya tidak akan memasuki lagi lumpur kenikmatan indra.
Berilah saya anugerah agar dapat mencapai kehadiran Tuhan Yang Mahamulia yang
merupakan tujuan pengabdian segala kehidupan dan dari situ tiada yang akan
kembali lagi ke dunia.' Kemudian ia duduk dengan mata terpejam sambil
mengulang-ulang nama Tuhan dan pada akhir muhurta ia mencapai kaki suci
Hari."
"Perhatikan
betapa dalam waktu beberapa menit saja dibuangnya dari pikiran dan perasaannya
segala keterikatan pada kesenangan duniawi! Dengan demikian Khatvaangga dapat
mencapai kehadiran Tuhan tempat tiada lagi rasa takut. Tuanku mempunyai waktu
tujuh hari, sedangkan ia hanya mempunyai waktu beberapa menit. Karena itu,
tidak ada alasan bagi Tuanku untuk merasa cemas. Selama hari-hari ini murnikan
kesadaran batin Tuan dengan mendengarkan baik-baik kisah terindah dan suci
mengenai pengejawantahan Tuhan."
Mendengar
ini, Pariikshit menitikkan air mata gembira mengingat rahmat tertinggi yang
dicapai oleh bakta agung Khatvaangga. Ia berseru, "Resi Yang Agung, mohon
petunjuk apa yang harus saya lakukan sekarang; saya tidak menemukan kata-kata
untuk mengutarakan kerinduan saya (kepada Tuhan). Hati saya sarat meluap dengan
kebahagiaan jiwa." Ia duduk diam terpaku.
Resi
Shuka memberi nasehat, "Oh Maharaja, bekalilah diri Tuanku dengan pedang
ketidakterikatan. Musnahkan rasa sayang yang keliru pada tubuh. Buanglah rasa
kemilikan yang membuat Tuan melekat pada kawan dan kerabat Tuan. Duduklah
dengan mantap di tepi sungai suci ini." Kemudian ketika Resi Shuka akan
memulai penuturannya, Pariikshit tampak ingin mengajukan suatu pertanyaan.
Melihat ini Resi Shuka berkata, "Tampaknya Tuanku bingung memikirkan
sesuatu. Tanyakan kepada saya apa yang ingin Tuan ketahui dan lenyapkan
keraguan itu dari ingatan Tuan." Segera raja berkata, "Resi Yang
Agung! Sungguh Maharesi merupakan samudra belas kasihan. Bagaikan hidangan
lezat bagi orang yang kelaparan, perkataan Maharesi membawa kesejukan yang
menyenangkan bagi hati saya yang terbakar. Resi Yang Mulia, tadi Guru telah
menceritakan kepada saya tentang awal penciptaan. Saya belum memahaminya dengan
baik. Mengapa Tuhan yang tidak bersifat (tidak berwujud, imanen, dan
transenden) mengambil wujud dan sifat? Mohon jelaskan hal ini kepada
saya." Raja duduk dengan wajah penuh harap, penuh perhatian, memohon
dengan sungguh-sungguh, ingin mendengarkan dan belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar