Upacara
pemberian nama sang pangeran menimbulkan kegembiraan yang besar pada warga
kerajaan, penghuni istana, dan anggota keluarga raja. Tetapi Yudhistira, sang
sulung diantara Pandawa bersaudara, merasa bahwa ia harus melakukan sesuatu
lebih dari itu; ia tidak merasa puas dengan sekadar pesta yang meriah. Sore itu
juga ia memanggil para sesepuh, cendikiawan, pendeta, para raja bawahannya, dan
tokoh-tokoh masyarakat agar datang menghadiri rapat; ia mohon agar Sri Krishna
memimpin pertemuan itu dan menganugerahkan kegembiraan kepada semuanya.
Maharesi Wyasa dan Resi Kripa juga hadir.
Yudhistira
datang ke ruang sidang, berdiri diam beberapa saat di hadapan hadirin, kemudian
bersujud di kaki Bhagawan Krishna dan Maharesi Wyasa. Setelah itu ia berpaling kepada
para raja, cendikiawan, dan tokoh-tokoh masyarakat sambil berkata, “Saya telah
berhasil mengalahkan musuh dengan pertolongan, kerja sama, dan doa restu Anda
sekalian, maupun dengan rahmat Bhagawan yang hadir disini, serta berkat restu
para resi dan kaum bijak yang telah menyemayamkan Bhagawan dalam hati mereka.
Dengan kemenangan ini kita dapat memperoleh kembali kerajaan kita yang hilang.
Juga dengan rahmat dan berkat ini cahaya harapan telah bersinar dalam hati kita
yang digelapkan oleh rasa putus asa memikirkan kelangsungan dinasti ini. Garis
keturunan Pandawa akan diteruskan oleh pangeran yang hari ini oleh Bhagawan
dinamai Parikshit.
“Sementara
semua ini membuat saya senang, saya harus menyatakan di hadapan Anda sekalian
bahwa saya dilanda kesedihan bila merenungkannya dari segi yang lain. Saya
telah melakukan dosa yang tidak terhitung lagi, membunuh sanak saudara sendiri.
Saya merasa bahwa saya harus melakukan suatu penebusan untuk hal ini; jika
tidak, tidak akan ada kebahagiaan bagi saya, bagi dinasti saya, atau rakyat
saya. Karena itu, saya ingin menggunakan kesempatan ini untuk mohon nasihat
Anda sekalian mengenai hal ini. Diantara Anda sekalian banyak yang telah
mengetahui kenyataan sejati dan mencapai brahmajnana; Maharesi Wyasa juga hadir
disini. Saya berharap Anda menyarankan suatu acara penebusan agar saya dapat
membebaskan diri dari timbunan dosa yang menggunung amat besar yang terkumpul
akibat peperangan ini.
Ketika
Yudhistira mengajukan permasalahan ini dengan penuh kerendahan hati dan amat
menyesal, Sri Krishna berkata, “Yudhistira, Anda tersohor sebagai Dharmaraja;
seharusnya anda memahami dharma. Anda memahami seluk beluk dharma dan
moralitas, tentang keadilan, tentang perbuatan yang benar dan salah. Karena
itu, saya heran mengapa Anda merasa sedih atas peperangan dan kemenangan ini.
Tidakkah Anda tahu bahwa ksatria tidak berbuat dosa jika ia membinasakan musuh
bersenjata yang datang ke medan perang untuk membunuh? Apapun juga luka,
penderitaan, atau kerugian yang ditimpakan di medan laga daam pertempuran
dengan musuh yang bersenjata, bebas dari dosa. Merupakan dharma ksatrialah untuk
mengangkat senjata dan berjuang sampai saat terakhir-tanpa memiirkan dirinya
sendiri-untuk menyelamatkan negaranya. Anda hanya melakukan darma Anda. Bagaimana
mungkin karma “kegiatan” yang mengikuti darma ini bisa berdosa? Tidak pantaslah
meragukan hal ini dan berputus asa. Dosa tidak dapat menyentuh, mengepung, atau
mengganggu Anda. Seharusnya Anda bergembira atas perayaan pemberian nama
pangeran yang baru lahir, dan bukannya merasa takut pada bencana khayalan serta
berusaha menebus dosa yang tidak ada. Tenanglah, berbahagialah.”
Wyasa
pun bangkit dari kursinya dan berkata kepada Raja. “Perbuatan yang berdosa dan
tercela tidak dapat dielakkan dalam peperangan. Hal ini jangan menyebabkan rasa
sedih. Tujuan utama perang adalah melindungi darma dari musuh-musuhnya. Jika
hal itu selalu diingat, dosa tidak akan mempengaruhi para pejuang. Luka yang
membusuk harus ditangani dengan pisau; operasi yang dilakukan bukanlah dosa.
Jika seorang dokter menguasai ilmu bedah dan tahu bahwa seseorang membutuhkan
pertolongan, tetapi tidak melakukan pembedahan untuk menyelamatkannya, maka
dokter itu berbuat dosa. Demikian pula bila seorang ksatria tahu bahwa musuh
merupakan sumber ketidakadilan, kekejaman teror, dan kekejian, tetapi dokter
bedah tidak mau memotong bisul itu, walaupun tahu cara pengobatannya karena ia
tidak mau menggunakan pisau (ahli bedah itu adalah ksatria), maka ia berdosa
karena berdiam diri, bukannya karena menggunakan pedang. Dharmaraja, Anda
berbicara dalam pengaruh maya. Saya dapat mengerti jika orang lain yang kurang
arif memiliki keraguan seperti ini, tetapi saya heran bagaimana Anda bisa
mengkhawatirkan dosa khayalan ini?
Meskipun
demikian, jika perkataan saya kurang meyakinkan, saya dapat menyarakan suatu
jalan keluar. Cara itu akan menghapuskan segala kekhawatiran dan ketakutan.
Beberapa raja zaman dahulu melakukannya setelah peperangan selesai untuk
menghapuskan akibat-akibat dosa. Upacara itu adalah aswamedha “pengurbanan
kuda”. Jika Anda ingin, Anda juga dapat melakukan ritus ini sebagai upacara
penebusan. Tidak ada keberatan untuk itu. Tetapi percayalah kepada saya, tanpa
upacara penebusan pun Anda bebas dari dosa. Karena iman Anda goyah, saya menyarankan
upacara ini demi kepuasan Anda.” Setelah menyatakan hal ini, Wyasa duduk
kembali.
Mendengar
ini, semua sesepuh, cendikiawan, dan tokoh masyarakat serentak bangkit serta
bersoran sorai menyambut saran Maharesi Wyasa. Mereka berteriak, “Jaya, jaya.”
Untuk menunjukkan persetujuan dan penghargaan. Mereka berseru, “Oh, alangkah
baiknya, alangkah penting.” Dan mereka merestui usaha Dharmaraja untuk
membebaskan diri dari dosa-dosa akibat perang. Tetapi Dharmaraja masih dibebani
kesedihan; ia tidak bebas dari rasa takut. Matanya berkaca-kaca
Ia
memohon kepada hadirin dengan amat memilukan, “Betapapun besar usaha Anda
sekalian untuk menyatakan saya tidak berdosa, saya tidak yakin. Bagaimanapun
juga pikiran dan perasaan saya tidak dapat menerima alasan Anda. Para raja yang
melakukan peperangan mungkin telah membersihkan dirinya dengan aswamedha yaga.
Itu hanya peperangan biasa yang lazim terjadi. Tetapi kasus saya sangat luar
biasa. Dosa saya tiga kali lebih berat karena :
(1)
saya telah membunuh sanak dan keluarga.
(2) saya telah membunuh para sesepuh yang suci seperti Bhisma serta Drona,
(3) saya telah membunuh banyak raja.
(2) saya telah membunuh para sesepuh yang suci seperti Bhisma serta Drona,
(3) saya telah membunuh banyak raja.
Aduh, mengapa begini nasib saya! Betapa
mengerikan perbuatan saya!”
“Tidak
ada penguasa lain yang bersalah melakukan kejahatan sebesar ini. Bukan hanya
satu, melainkan tiga aswamedha yaga harus dilangsungkan untuk melenyapkan beban
ini. Hanya dengan demikianlah hati saya akan damai. Hanya dengan demikianlah
dinasti saya dapat berbahagia dan aman sejahtera. Hanya setelah itulah administrasi
kerajaan saya aman dan berfaedah. Hal ini sebaiknya diterima oleh Maharesi
Wyasa dan para sesepuh serta resi lainnya.”
Ketika
Yudhistira mengucapkan hal itu, air matanya menitik di pipinya, bibirnya
gemetar karena sedih, dan tubuhnya membungkuk dibebani penyesalan. Melihat hal
ini setiap resi luluh hatinya dan merasa iba. Warga kerajaan tergerak oleh
simpati. Wyasa dan bahkan Vaasudewa (Sri Krishna) pun terharu. Banyak pendeta
tanpa sadar menitikkan air mata. Hadirin terdiam keheranan. Dalam sekejap semua
mengerti betapa lembut hati Dharmaraja. Saudara-saudaranya yang lain, Bhima,
Arjuna, Nakula dan Sahadewa berdiri mengatupkan kedua tangan dengan sikap
hormat dan rendah hati, menanti suatu petuah yang akan melegakan dari Bhagawan
(Sri Krishna) yang duduk di singgasana kepemimpinan.
Dengan
serentak sidang menyetujui tiga aswamedha yaga untuk meringankan kesedihan
Dharmaraja. Seorang resi menyampaikan pendapat hadirin sebagai berikut, “Kami
tidak akan menghalangi keinginan Baginda. Kami menerimanya dengan sepenuh hati.
Kami akan menyelenggarakan yaga itu sebaik-baiknya sesuai dengan petunjuk
shastra hingga ke upacara yang terakhir karena kami mengutamakan kedamaian hati
Baginda lebih dari apapun juga lainnya. Kami bersedia melakukan apa pun juga
yang akan memuaskan hati baginda.” Pernyataan ini disetujui oleh setiap orang
yang hadir.
Mendengar
ini Dharmaraja berkata, “Saya sungguh bahagia, saya merasa sangat bahagia.” Ia
menyampaikan rasa terima kasih atas tawaran kerja sama ini. Ia berjalan ke
tempat duduk Krishna dan Wyasa dan bersujud di kaki mereka. Dipegangnya kaki
Krishna sambil memohon, “ Oh Madhusudana, tidakah Paduka mendengar doa saya?
Tidakah Paduka lihat kesedihan saya? Saya mohon agar Paduka sudi menghadiri
yaga yang akan diselenggarakan, agar Paduka menjamin pahalanya bagi saya, dan
menyelamatkan saya dari beban dosa ini.”
Krishna
tersenyum dan mengangkat Yudhistira dari lantai di hadapan Beliau kemudian
berkata, “Dharmaraja! Patilah saya akan mengabulkan doa Anda. Tetapi Anda telah
menimpakan beban yang luar biasa beratnya pada bahu Anda sendiri. Yaga ini
bukanlah masalah kecil. Apalagi penyelanggaranya adalah raja kenamaan,
Dharmaraja! Itu berarti yaga tersebut harus diselenggarakan dalam ukuran yang
sesuai dengan status Anda. Saya tahu Anda tidak memiliki dana untuk kegiatan
yang sangat mahal ini. Para raja hanya memperoleh uang dari rakyatnya. Tidaklah
terpuji jika uang yang diperas dari mereka dihabiskan untuk Yajna. Hanya uang
yang diperoleh dengan baik dapat digunakan untuk upacara suci semacam itu, jika
tidak, usaha itu bukannya membawa kebaikan tetapi bahkan akan mendatangkan
kemalangan. Para raja bawahan anda pun tidak dapat menolong karena mereka pun
menjadi melarat akibat perang yang baru usai. Jelas mereka tidak mempunyai
apapun untuk disumbangkan. Setelah mengetahui semua ini, bagaimana Anda dapat
menyetujui penyelenggaraan Aswamedha secara berturut-turut? Saya heran
bagaimana Anda bisa begitu nekad dalam keadaan sesulit ini. Anda juga telah
mengemukakan di depan umum dalam pertemuan yang dihadiri oleh para tokoh agung
serta terkenal ini. Anda bahkan tidak memberitahu terlebih dahulu tentang
gagasan yang mahal ini. Jika Anda memberitahukan terlebih dahulu kita akan
dapat merencanakan suatu jalan keluar. Ah, ini belum terlambat sekali. Kita akan
mengambil keputusan setelah mempertimbangkannya lagi. Tidak mengapa jika hal
ini menyebabkan sedikit kelambatan.”
Dharmaraja
mendengarkan perkataan Bhagawan Sri Krishna dan tertawa geli. “Bhagawan, saya
tahu Paduka bermain drama dengan saya. Saya tidak pernah memutuskan suatu
tindakan tanpa mempertimbangkan lebih dahulu. Saya juga tidak pernah merisaukan
uang atau sarana yang diperlukan. Bila pelindung kami adalah Bhagawan, sumber
rahmat yang tiada habisnya, mengapa saya harus merasa cemas tentang apa saja?
Jika saya memiliki kalpataru “pohon yang memeunuhi segala keinginan” di kebun
saya, mengapa saya harus merasa cemas mencari akar dan umbi-umbian? Bhagawan
yang Mahakuasa yang telah melindungi kami bagaikan kelopak mata melindungi biji
mata selama bertahun-tahun yang mengerikan ini pastilah tidak akan membiarkan
kami dalam keadaan ini.”
“Bagi
Paduka yang dapat menghembuskan pegunungan maha besar menjadi debu, kerikil
kecil ini sama sekali bukan masalah. Padukalah harta saya, perbendaharaan saya.
Paduka adalah napas saya. Apapun yang Paduka katakan, saya tidak akan ragu. Seluruh
kekuatan dan harta saya hanyaah Paduka. Saya serahkan segala beban saya,
termasuk beban pemerintaan dan beban baru penyelenggaraan tiga yaga ini pada
kaki paduka. Paduka dapat melakukan apa saja sekehendak Paduka. Mungkin Paduka
menilai perkataan saya dan membatalkan yaga. Saya tidak khawatir. Saya selalu
senang apapun yang Paduka lakukan. Semuanya terserah pada kehendak Paduka,
bukan saya.”
Bila
Tuhan bersemayam dalam hati, tentu saja tidak diperlukan permohonan khusus.
Krishna terharu; Beliau mengangkat Dharmaraja dan membantunya bangkit. “Tidak,
saya hanya bergurau untuk menguji iman dan bakti Anda. Saya hendak
memperlihatkan kepada rakyat Anda, betapa teguh kepercayaan Anda kepada saya.
Anda tidak perlu mencemaskan apa pun juga. Keinginan Anda akan terkabul. Bila
Anda mengikuti petunjuk saya, dengan mudah Anda akan memperoleh uang yang
diperlukan untuk penyelenggaraan yaga tersebut. Anda dapat memperolehnya tanpa
mengganggu para raja dan memeras rakyat.”
Mendengar
ini, Dharmaraja merasa gembira. Ia berkata, “Bhagawan, kami akan menghormati
perintah Paduka.” Kemudian Krishna berkata, “Dengarlah. Pada zaman dahulu
seorang maharaja bernama Marut menyelenggarakan suatu yaga sedemikian rupa
sehingga sampai sekarang pun tidak ada yang dapat menyamainya. Balairung tempat
yaga itu dilangsungkan dan setiap benda yang ada hubungannya dengan upacara
tersebut dibuat dari emas. Batu bata dari emas diberikan sebagai hadiah kepada
para pendeta yang memimpin upacara, dan bukannya sapi yang diberikan melainkan
patung sapi yang terbuat dari emas. Demikian juga bukan tanah yang diberikan
melainkan piring-piring emas! Para brahmin tidak sanggup mengangkutnya pulang
karena itu, mereka hanya membawa sebanyak yang dapat mereka pikul. Selebihnya
mereka buang begitu saja. Potongan-potongan emas itu kini ada dalam jumlah yang
besar untuk yaga yang akan Anda selenggarakan. Anda dapat mengambilnya.”
Dharmaraja
tidak setuju; ia cemas dan merasa keberatan. Katanya, “Bhagawan, emas itu milik
orang-orang yang menerima hadiah tersebut. Bagaimana saya dapat mnggunakannya
tanpa izin mereka?” Krishna menjawab, “Mereka telah membuangnya dengan sadar
sepenuhnya akan apa yang mereka lakukan dan apa yang mereka buang. Sekarang
mereka sudah tiada. Keturunan mereka sama sekali tidak mengetahui adanya harta
ini. Emas itu kini terkubur di dalam tanah.
Ingatlah bahwa segala harta di dalam tanah yang tidak ada pemiliknya merupakan milik raja yang menguasai wilayah itu. Bila raja akan mengambilnya, tiada seorang pun berhak menentang. Bawalah segera harta itu dan siapkan penyelenggaraan yaga,” perintah Sri Krishna.
Ingatlah bahwa segala harta di dalam tanah yang tidak ada pemiliknya merupakan milik raja yang menguasai wilayah itu. Bila raja akan mengambilnya, tiada seorang pun berhak menentang. Bawalah segera harta itu dan siapkan penyelenggaraan yaga,” perintah Sri Krishna.
Bersambung.....ke "Yajna dan Kedatangan Vidura"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar