Dharmaraja menerima
nasihat Vaasudeva (Sri Krishna) dan restu Vyasa. Diutusnya saudara- saudaranya
beserta bala tentara untuk mengambil emas yang telah dibuang oleh para brahmin.
Mereka berangkat setelah menyucikan diri dengan makan hidangan yang telah
dipersembahkan kepada Tuhan. Mereka menemukan timbunan emas yang dahulu telah
dihadiahkan oleh Maharaja Marut kepada para pendeta pada penutupan upacara
pengurbanan. Emas itu telah dibuang oleh para pendeta di sepanjang sisi jalan
yang mereka lalui ketika pulang. Bala tentara Pandawa mengumpulkan emas ini dan
mengirimkannya dengan unta, gajah, kereta dan gerobak. Mereka memerlukan waktu
beberapa hari untuk sampai ke Hastinapura dengan seluruh muatan itu. Mereka
membongkar emas itu di tengah sambutan dan sorak-sorai rakyat.
Warga kerajaan mengagumi keberhasilan ekspedisi tersebut; mereka memuji-muji kemujuran Pandawa. Mereka menyambut para pangeran yang kembali ke kota membawa emas tersebut dengan berseru, “Jaya, jaya,” hingga suara mereka serak, sambil meloncat-loncat dan menari dengan sangat gembira. Mereka saling membicarakan kebesaran dan keindahan upacara pengurbanan yang akan diselenggarakan dengan emas tersebut.
Hari itu juga dimulailah persiapan untuk mendirikan altar upacara dan tambahan lain yang diperlukan di tepi Sungai Gangga. Wilayah suci itu luasnya beberapa kilometer persegi. Tanahnya diratakan dan dibersihkan. Panggung didirikan dan berbagai bangunan yang indah ditegakkan di wilayah yang luas itu. Serambi yang terpisah dan beranda juga ditambahkan.Hiasan aneka bendera serta karangan bunga memperelok bangunan tersebut.
Ketika hari suci telah mendekat, para kepala desa, brahmin, cendekiawan dan para resi berdatangan dari segala penjuru menuju ke tempat suci itu, saling mendahului dalam semangat mereka untuk sampai secepat mungkin. Mereka tinggal di perumahan yang dibagikan kepada mereka sesuai dngan status dan kebutuhannya. Mereka melewatkan malam itu sambil menghitung menit-menit yang berlalu, dengan gembira menanti (dimulainya) yajna yang amat indah dan berdayaguna yang akan mereka saksikan bila fajar menyingsing di keesokan harinya.
Pagi menjelang, saat yang suci mendekat. Para pendeta mangambil tempat dan bersiap mengucapkan ikrar pendahuluan. Mereka berdiri menghadap Sri Khrisna dan Raja kemudian berkata, “ Oh Raja, kami mengerti bahwa baginda telah memutuskan akan menyelenggarakan bukannya satu melainkan tiga aswamedha ‘persembahan kuda’. Benarkah demikian? Jika benar, apakah Baginda menghendaki kami melakukan satu demi satu? Atau apakah kami mengulang setiap mantra serta upacara tiga kali dan dengan demikian melangsungkan tiga upacara sekaligus? Bila Baginda memaklumkannya, kami akan mengatur pendeta peserta dan pendeta pelaksana sesuai dengan kehendak Baginda.”
Mendengar ini Dharmaraja menjawab, “Apa yang dapat saya katakan bila anda mengetahui yang terbaik; saya akan menyetujui saran apa saja yang Anda berikan. Saya hanya minta persetujuan Vaasudewa untuk langkah apapun yang akan kita ambil,’ dan ia pun berpaling kepada Khrisna dengan pandangan memohon. Krishna menyerahkan keputusannya kepada para brahmin. Mereka mendiskusikannya selama beberapa waktu dan akhirnya mengumumkan bahwa hasil tiga aswamedha dapat diperoleh dengan mengulang setiap mantra tiga kali serta mempersembahkan imbalan tiga kali lebih banyak dari biasanya kepada para brahmin yang memimpin upacara. Waasudewa memberi isyarat bahwa Beliau menyetujui syarat tersebut kemudian menyatakan persetujuannya. Ia ingin agar yajna dimulai secara resmi.
Pengidungan mantra yang dilakukan para brahmin menggetarkan langit dan bumi. Upacara pendahuluan telah diselesaikan dan kuda-kuda pengurbanan menempuh perjalanan keliling mereka sesuai dengan rencana. Mereka dihias dengan pelana yang megah dan di dahi mereka dipasang pengumuman yang menantang siapa saja agar menangkap mereka jika berani. Bila Beliau, penerima segala yajna (yajnaswarupa) telah mengambil peran sebagai pimpinan yang berwenang, tidak ada perkataan yang dapat melukiskan kemujuran para peserta dan pemirsanya. Yajna itu diakhiri secara sukses dengan persembahan penutup (purnaahuti).
Para ahli dalam mantra-mantra pengurbanan, para resi dan para brahmin dilimpahi berbagai hadiah dan imbalan dalam jumlah yang sangat besar, tanah yang luas, dan sejumlah besar emas diberikan sebagai anugerah dari raja. Seluruh negeri dipenuhi kegembiraan. Setiap orang memuji bahwa yajna itu hebat dan tidak terlukiskan indahnya. Sepanjang waktu semua yang datang diberi makan secara mewah. Para resi dan pertapa yang menyaksikan segala kelimpahan dan kemewahan ini memuju yajna yang diselenggarakan oleh Maharaja Marut pada jaman dahulu. Mereka senang karena dapat turut serta dalam yajna ini. Orang-orang pernah menyatakan bahwa yajna yang dilakukan oleh Maharaja Marut dahulu dipimpin oleh Indra, raja para dewa, dan mereka merasa bahwa hal itu membuat yajna tersebut amat hebat sehingga tidak dapat dibandingkan dengan upacara-upacara pengurbanan lainnya. Tetapi kini mereka mengucapkan selamat kepada Dharmaraja karena mendapatkan Yajnaswarupa (waasudewa) sendiri sebagai peimpin yajna, suatu kemujuran yang jauh lebih tinggi dari Marut dan jauh lebih sulit diperoleh.
Pada akhir yajna, mereka yang datang dari tempat-tempat jauh serta lainnya pulang. Para raja dan kepala suku mohon diri dengan hormat kepada Dharmaraja lalu kembali ke kerajaan mereka masing-masing. Sanak saudara raja tinggal beberapa hari lebih lama dan kemudian pulang ke tempat asal mereka pada waktu yang mereka anggap baik.
Warga kerajaan mengagumi keberhasilan ekspedisi tersebut; mereka memuji-muji kemujuran Pandawa. Mereka menyambut para pangeran yang kembali ke kota membawa emas tersebut dengan berseru, “Jaya, jaya,” hingga suara mereka serak, sambil meloncat-loncat dan menari dengan sangat gembira. Mereka saling membicarakan kebesaran dan keindahan upacara pengurbanan yang akan diselenggarakan dengan emas tersebut.
Hari itu juga dimulailah persiapan untuk mendirikan altar upacara dan tambahan lain yang diperlukan di tepi Sungai Gangga. Wilayah suci itu luasnya beberapa kilometer persegi. Tanahnya diratakan dan dibersihkan. Panggung didirikan dan berbagai bangunan yang indah ditegakkan di wilayah yang luas itu. Serambi yang terpisah dan beranda juga ditambahkan.Hiasan aneka bendera serta karangan bunga memperelok bangunan tersebut.
Ketika hari suci telah mendekat, para kepala desa, brahmin, cendekiawan dan para resi berdatangan dari segala penjuru menuju ke tempat suci itu, saling mendahului dalam semangat mereka untuk sampai secepat mungkin. Mereka tinggal di perumahan yang dibagikan kepada mereka sesuai dngan status dan kebutuhannya. Mereka melewatkan malam itu sambil menghitung menit-menit yang berlalu, dengan gembira menanti (dimulainya) yajna yang amat indah dan berdayaguna yang akan mereka saksikan bila fajar menyingsing di keesokan harinya.
Pagi menjelang, saat yang suci mendekat. Para pendeta mangambil tempat dan bersiap mengucapkan ikrar pendahuluan. Mereka berdiri menghadap Sri Khrisna dan Raja kemudian berkata, “ Oh Raja, kami mengerti bahwa baginda telah memutuskan akan menyelenggarakan bukannya satu melainkan tiga aswamedha ‘persembahan kuda’. Benarkah demikian? Jika benar, apakah Baginda menghendaki kami melakukan satu demi satu? Atau apakah kami mengulang setiap mantra serta upacara tiga kali dan dengan demikian melangsungkan tiga upacara sekaligus? Bila Baginda memaklumkannya, kami akan mengatur pendeta peserta dan pendeta pelaksana sesuai dengan kehendak Baginda.”
Mendengar ini Dharmaraja menjawab, “Apa yang dapat saya katakan bila anda mengetahui yang terbaik; saya akan menyetujui saran apa saja yang Anda berikan. Saya hanya minta persetujuan Vaasudewa untuk langkah apapun yang akan kita ambil,’ dan ia pun berpaling kepada Khrisna dengan pandangan memohon. Krishna menyerahkan keputusannya kepada para brahmin. Mereka mendiskusikannya selama beberapa waktu dan akhirnya mengumumkan bahwa hasil tiga aswamedha dapat diperoleh dengan mengulang setiap mantra tiga kali serta mempersembahkan imbalan tiga kali lebih banyak dari biasanya kepada para brahmin yang memimpin upacara. Waasudewa memberi isyarat bahwa Beliau menyetujui syarat tersebut kemudian menyatakan persetujuannya. Ia ingin agar yajna dimulai secara resmi.
Pengidungan mantra yang dilakukan para brahmin menggetarkan langit dan bumi. Upacara pendahuluan telah diselesaikan dan kuda-kuda pengurbanan menempuh perjalanan keliling mereka sesuai dengan rencana. Mereka dihias dengan pelana yang megah dan di dahi mereka dipasang pengumuman yang menantang siapa saja agar menangkap mereka jika berani. Bila Beliau, penerima segala yajna (yajnaswarupa) telah mengambil peran sebagai pimpinan yang berwenang, tidak ada perkataan yang dapat melukiskan kemujuran para peserta dan pemirsanya. Yajna itu diakhiri secara sukses dengan persembahan penutup (purnaahuti).
Para ahli dalam mantra-mantra pengurbanan, para resi dan para brahmin dilimpahi berbagai hadiah dan imbalan dalam jumlah yang sangat besar, tanah yang luas, dan sejumlah besar emas diberikan sebagai anugerah dari raja. Seluruh negeri dipenuhi kegembiraan. Setiap orang memuji bahwa yajna itu hebat dan tidak terlukiskan indahnya. Sepanjang waktu semua yang datang diberi makan secara mewah. Para resi dan pertapa yang menyaksikan segala kelimpahan dan kemewahan ini memuju yajna yang diselenggarakan oleh Maharaja Marut pada jaman dahulu. Mereka senang karena dapat turut serta dalam yajna ini. Orang-orang pernah menyatakan bahwa yajna yang dilakukan oleh Maharaja Marut dahulu dipimpin oleh Indra, raja para dewa, dan mereka merasa bahwa hal itu membuat yajna tersebut amat hebat sehingga tidak dapat dibandingkan dengan upacara-upacara pengurbanan lainnya. Tetapi kini mereka mengucapkan selamat kepada Dharmaraja karena mendapatkan Yajnaswarupa (waasudewa) sendiri sebagai peimpin yajna, suatu kemujuran yang jauh lebih tinggi dari Marut dan jauh lebih sulit diperoleh.
Pada akhir yajna, mereka yang datang dari tempat-tempat jauh serta lainnya pulang. Para raja dan kepala suku mohon diri dengan hormat kepada Dharmaraja lalu kembali ke kerajaan mereka masing-masing. Sanak saudara raja tinggal beberapa hari lebih lama dan kemudian pulang ke tempat asal mereka pada waktu yang mereka anggap baik.
Meskipun demikian Krishna memutuskan untuk tinggal beberapa waktu lebih lama
bersama Pandawa, karena itu beliau tetap tinggal di Hastinapura. Pandawa
bersaudara merasa gembira melihat tanda rahmat ini; mereka menyiapkan tempat
tinggal Beliau, mereka melayani Beliau setiap hari, memenuhi pandangan mereka
dengan kerupawanan Beliau, mengisi hati mereka dengan wejangan dan petunjuk
yang Beliau sampaikan dengan ramah tamah; mereka melewatkan hari-hari itu dalam
kebahagiaan yang tidak terhingga. Setelah melewatkan waktu seperti itu selama
beberapa waktu di ibukota kerajaan pandawa, Khrisna kembali ke Dwaraka disertai
Arjuna. Penduduk Dwaraka sangat gembira ketika junjungan mereka kembali ke ibu
kota. Mereka menyambut Beliau dengan hormat dan penuh semangat. Mereka berpesta
menikmati darshan Beliau dan tenggelam dalam kebahagiaan.
Sementara itu ada kabar yang sampai ke Hastinapura bahwa Widura, paman Dharmaraja, berada di daerah-daerah sekitar kota menyamar sebagai sanyasi ‘pertapa Hindu’. Kabar itu tersebar dari mulut ke mulut hingga akhirnya terdengar oleh Dharmaraja, sang raja. Kabar itu diterima dengan heran dan gembira. Ia mengutus beberapa penyelidik untuk memeriksa apakah kabar itu benar. Segera mereka membawa informasi yang menggembirakan bahwa Widura benar-benar telah datang dan masih berada (di sekitar kota). Dharmaraja tidak dapat menahan kegembiraannya.
“Ah! Anda membuat saya sangat senang!” serunya. “Saat suci ini telah membuat batang pohon pengharapan yang mengering bersemi lagi. Oh, sekarang saya akan dapat melihat dan melayani Widura yang telah mengasuh, menjaga dan membimbing kami, walau saya khawatir mungkin saya tidak akan mendapat kesempatan ini sama sekali.”
Pejabat-pejabat istana segera menyebarkan kabar gembira ini di antara para ratu, putri raja, dan para wanita bangsawan di keraton. Dharmaraja tidak tinggal diam ia membicarakan peristiwa besar ini dengan setiap orang di sekelilingnya; ia mencari orang lain untuk berbagi rasa gembira dengan meraka. Ia memerintahkan agar angkatan bersenjata mengadakan persiapan yang sesuai untuk menyambut kedatangan saudara almarhum ayahnya di ibu kota, yaitu Resi widura, abdi tuhan yang utama. Warga kota pun diberitahu mengenai hal ini dan diminta menyiapkan sambutan yang meriah.
Mereka menghias kedua sisi jalan dan rumah-rumah yang besar; mereka mendirikan gapura, menggantungkan karangan bunga, dan mengibarkan bendera. Di sepanjang jalan mereka memasang banyak panggung dan kursi untuk anak-anak, wanita, serta orang-orang lanjut usia, agar mereka dapat melihat prosesi dan Resi Widura yang agung dengan baik dan jelas. Sungguh pemandangan yang menimbulkan inspirasi melihat banyak pria dan wanita jompo berjalan tertatih-tatih dengan tongkat mereka, ingin melihat Widura walau hanya sekilas, yaitu tokoh yang mereka sanjung-sanjung sebagai pengejawantahan darma, sebagai wali para Pandawa.
Mula-mula beberapa orang mengira bahwa kabar tentang terlihatnya Widura di pinggiran kota pastilah hanya dalam mimpi seseorang dan bukan dalam kenyataan yang sebenarnya. Mereka sudah cukup tua dan berpengalaman sehingga tidak dapat menerima begitu saja desas-desus yang beredar tanpa memeriksa sendiri benar tidaknya. Mereka tidak dapat mempercayai bahwa Widura akan datang kembali ke Hastinapura. Mereka berkumpul di tempat-tempat strategis dan bersiap menanti saat yang hebat ketika mereka akan dapat melihat orang suci itu. Setiap bangunan di sepanjang jalan penuh sesak dijejali manusia; pohon-pohon sarat dipanjat kaum muda yang pemberani; dengan penuh kegembiraan dan harapan mereka berseru-seru menyambut Widura yang tak lama lagi akan sampai.
Raja mengenakan jubah kebesaran, mengendarai kereta kerajaan, dan keluar dari istana bersama saudara-saudaranya untuk menyambut abdi Tuhan yang kenamaan ini. Widura tampak di kehadapan mereka berjalan perlahan-lahan tanpa alas kaki, kelihatan berwibawa, dengan rambut kusut yang digelung (sebagaimana kebiasaan para pertapa) dan mengenakan jubah sanyasi. Raja dan adik-adiknya turun dari kereta mereka, bersujud dengan penuh hormat di kaki Widura, kemudian berjalan dengan takzim agak jauh di belakang beliau. Warga kerajaan berlarian ke depan dan bersujud di kaki Widura walau para pengawal meminta mereka dengan sungguh-sungguh agar mereka menghentikan hal itu.
Pandawa bersaudara tidak dapat mengutarakan sukacita mereka dan mengucapkan selamat datang; kegembiraan mereka tidak terlukiskan. Hanya pandangan merekalah yang mengutarakannya dengan air mata syukur. Mereka memeluk Widura dan mohon agar ia naik ke kereta sehingga orang banyak yang berkerumun di tepi-tepi jalan dapat melihatnya dengan sepuas hati. Widura dibujuk agar setuju. Ia duduk di kereta raja dan memberi darshan kepada orang-orangt yang telah berkumpul di sepanjang jalan yang akan dilaluinya. Akhirnya iring-iringan itu tiba di istana. Hari itu alunan lagu-lagu merdu dan kegembiraan yang indah mengalir di sepanjang jalan raya kota itu.
Beberapa warga masyarakat diliputi kegembiraan yang tidak terhingga sehingga mereka terpaku di tempatnya. Kehidupan tapa berat yang dijalani Widura mengubah kepribadiannya sedemikian rupa sehingga ia tampak sebagai orang berbeda, seseorang yang memancarkan aura kedewataan, bagaikan indra, raja para dewa. Masyarakat saling membicarakan kegembiraan mereka yang meluap-luap. Banyak yang menitikkan air mata ketika mengingat cobaan dan kesengsaraan yang dialami Widura dan kedamaian yang telah diperolehnya. Para ratu dan putri raja juga mendapat darshan dari dalam keputren dan mereka sangat bahagia.
Sementara itu ada kabar yang sampai ke Hastinapura bahwa Widura, paman Dharmaraja, berada di daerah-daerah sekitar kota menyamar sebagai sanyasi ‘pertapa Hindu’. Kabar itu tersebar dari mulut ke mulut hingga akhirnya terdengar oleh Dharmaraja, sang raja. Kabar itu diterima dengan heran dan gembira. Ia mengutus beberapa penyelidik untuk memeriksa apakah kabar itu benar. Segera mereka membawa informasi yang menggembirakan bahwa Widura benar-benar telah datang dan masih berada (di sekitar kota). Dharmaraja tidak dapat menahan kegembiraannya.
“Ah! Anda membuat saya sangat senang!” serunya. “Saat suci ini telah membuat batang pohon pengharapan yang mengering bersemi lagi. Oh, sekarang saya akan dapat melihat dan melayani Widura yang telah mengasuh, menjaga dan membimbing kami, walau saya khawatir mungkin saya tidak akan mendapat kesempatan ini sama sekali.”
Pejabat-pejabat istana segera menyebarkan kabar gembira ini di antara para ratu, putri raja, dan para wanita bangsawan di keraton. Dharmaraja tidak tinggal diam ia membicarakan peristiwa besar ini dengan setiap orang di sekelilingnya; ia mencari orang lain untuk berbagi rasa gembira dengan meraka. Ia memerintahkan agar angkatan bersenjata mengadakan persiapan yang sesuai untuk menyambut kedatangan saudara almarhum ayahnya di ibu kota, yaitu Resi widura, abdi tuhan yang utama. Warga kota pun diberitahu mengenai hal ini dan diminta menyiapkan sambutan yang meriah.
Mereka menghias kedua sisi jalan dan rumah-rumah yang besar; mereka mendirikan gapura, menggantungkan karangan bunga, dan mengibarkan bendera. Di sepanjang jalan mereka memasang banyak panggung dan kursi untuk anak-anak, wanita, serta orang-orang lanjut usia, agar mereka dapat melihat prosesi dan Resi Widura yang agung dengan baik dan jelas. Sungguh pemandangan yang menimbulkan inspirasi melihat banyak pria dan wanita jompo berjalan tertatih-tatih dengan tongkat mereka, ingin melihat Widura walau hanya sekilas, yaitu tokoh yang mereka sanjung-sanjung sebagai pengejawantahan darma, sebagai wali para Pandawa.
Mula-mula beberapa orang mengira bahwa kabar tentang terlihatnya Widura di pinggiran kota pastilah hanya dalam mimpi seseorang dan bukan dalam kenyataan yang sebenarnya. Mereka sudah cukup tua dan berpengalaman sehingga tidak dapat menerima begitu saja desas-desus yang beredar tanpa memeriksa sendiri benar tidaknya. Mereka tidak dapat mempercayai bahwa Widura akan datang kembali ke Hastinapura. Mereka berkumpul di tempat-tempat strategis dan bersiap menanti saat yang hebat ketika mereka akan dapat melihat orang suci itu. Setiap bangunan di sepanjang jalan penuh sesak dijejali manusia; pohon-pohon sarat dipanjat kaum muda yang pemberani; dengan penuh kegembiraan dan harapan mereka berseru-seru menyambut Widura yang tak lama lagi akan sampai.
Raja mengenakan jubah kebesaran, mengendarai kereta kerajaan, dan keluar dari istana bersama saudara-saudaranya untuk menyambut abdi Tuhan yang kenamaan ini. Widura tampak di kehadapan mereka berjalan perlahan-lahan tanpa alas kaki, kelihatan berwibawa, dengan rambut kusut yang digelung (sebagaimana kebiasaan para pertapa) dan mengenakan jubah sanyasi. Raja dan adik-adiknya turun dari kereta mereka, bersujud dengan penuh hormat di kaki Widura, kemudian berjalan dengan takzim agak jauh di belakang beliau. Warga kerajaan berlarian ke depan dan bersujud di kaki Widura walau para pengawal meminta mereka dengan sungguh-sungguh agar mereka menghentikan hal itu.
Pandawa bersaudara tidak dapat mengutarakan sukacita mereka dan mengucapkan selamat datang; kegembiraan mereka tidak terlukiskan. Hanya pandangan merekalah yang mengutarakannya dengan air mata syukur. Mereka memeluk Widura dan mohon agar ia naik ke kereta sehingga orang banyak yang berkerumun di tepi-tepi jalan dapat melihatnya dengan sepuas hati. Widura dibujuk agar setuju. Ia duduk di kereta raja dan memberi darshan kepada orang-orangt yang telah berkumpul di sepanjang jalan yang akan dilaluinya. Akhirnya iring-iringan itu tiba di istana. Hari itu alunan lagu-lagu merdu dan kegembiraan yang indah mengalir di sepanjang jalan raya kota itu.
Beberapa warga masyarakat diliputi kegembiraan yang tidak terhingga sehingga mereka terpaku di tempatnya. Kehidupan tapa berat yang dijalani Widura mengubah kepribadiannya sedemikian rupa sehingga ia tampak sebagai orang berbeda, seseorang yang memancarkan aura kedewataan, bagaikan indra, raja para dewa. Masyarakat saling membicarakan kegembiraan mereka yang meluap-luap. Banyak yang menitikkan air mata ketika mengingat cobaan dan kesengsaraan yang dialami Widura dan kedamaian yang telah diperolehnya. Para ratu dan putri raja juga mendapat darshan dari dalam keputren dan mereka sangat bahagia.
Bersambung......kebagian " Nasehat Vidura "
Tidak ada komentar:
Posting Komentar