Dharmaraja
menghibur setiap orang dan menanamkan keberanian. Ia memberitahu mereka agar
tidak terbawa kesedihan. Ia tidak menitikan air mata; ia sibuk berjalan kian
kemari dengan tabah, memberi petunjuk-petunjuk kepada setiap orang dan
membangkitkan kekuatan batin. Hal ini membuat setiap orang mengagumi
pengendalian dirinya. Para menteri menemuinya dan berkata, “Maharaja,
ketenangan Paduka membuat kami kagum. Baginda amat menghormati ibu Paduka dan
memperlakukan Beliau bagaikan napas hidup Paduka sendiri. Bagaimana Paduka
dapat menerima kepergian Beliau tanpa merasa sedih?” Dharmaraja tersenyum
melihat kecemasan mereka. “Menteri, saya sangat iri bila memikirkan Ibunda yang telah wafat. Bunda benar-benar amat beruntung. Begitu mendengar
bahwa Sri Krishna pergi ke Surga, segera Bunda meninggalkan dunia ini. Ibunda
langsung menyusul Krishna ke surga karena tidak dapat menanggung pedihnya
perpisahan dengan Beliau,” kata Dharmaraja.
“Kita ini amat tidak beruntung. Kita begitu dekat dengan Beliau; kita mendapat demikian banyak kegembiraan dari Beliau, tetapi kita tetap hidup! Jika kita benar-benar memiliki bakti seperti yang kita nyatakan, seharusnya kita sudah meninggalkan raga seperti Ibunda pada waktu mendengar kehilangan ini. Cih, malulah kita. Kita ini hanya beban bagi bumi. Seluruh tahun-tahun kehidupan kita ini percuma belaka.”
Ketika warga kerajaan dan orang-orang lain mengetahui bahwa Kunti Dewi menghembuskan napas terakhir bengitu mendengar bahwa Krishna telah meninggalkan dunia, mereka menangis makin keras, karena kesedihan lantaran kehilangan Krishna jauh lebih besar daripada kesedihan karena lantaran kehilangan Ibu Suri. Banyak yang bertingkah laku seakan-akan mendadak gila; tidak sedikit yang membentur-benturkan kepala pada dinding rumah mereka, mereka merasa amat menderita dan sedih.
Kejadian ini seperti bensin yang dituangkan ke dalam api. Dalam aliran kesedihan tak terhingga yang disebabkan oleh dua kehilangan ini, hanya Dharmarajalah yang tetap tenang. Ia menghibur para ratu, ia berbincang dengan lemah lembut dan meyakinkan kepada mereka masing-masing. Diberitahunya mereka bahwa tidak ada artinya meratapi kehilangan Ibu Suri atau kepergian Sri Krishna. Mereka masing-masing mempunyai jalan sendiri-sendiri sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. “Tinggal kitalah sekarang yang harus memenuhi takdir kita melalui langkah-langkah yang sesuai,” demikian katanya.
Dharmaraja memanggil Arjuna ke dekatnya dan berkata, “Arjuna! Dinda terkasih, marilah kita tidak menundanya lebih lama, upacara perabuan Ibu harus segera dimulai; kita harus menobatkan Parikshit sebagai maharaja; kita harus meninggalkan Hastinapura malam ini juga; setiap detik terasa bagaikan seabad bagi saya.” Dharmaraja penuh dengan ketidakterikatan yang ekstrem, tetapi Arjuna dijiwai dengan semangat pengunduran diri yang lebih besar lagi. Diangkatnya kepala jenasah ibunya dari pangkuannya dan diletakkannya di lantai. Diperintahkannya Nakula dan Sahadewa agar menyiapkan penobatan Parikshit. Ia memberi berbagai petunjuk kepada lain-lainnya, para menteri, pajabat, dan sebagainya, mengenai persiapan-persiapan yang harus dilakukan sehubungan dengan keputusan raja dan para pangeran. Ia benar-benar amat sibuk. Bhima sibuk menyelenggarakan perabuan jenasah ibunya.
Para menteri, warga masyarakat, pendeta dan para guru diliputi rasa heran, kagum, dan sedih oleh perkembangan yang aneh dan aneka peristiwa yang terjadi di istana. Mereka tenggelam dalam duka dan putus asa, tetapi harus menyimpan semuanya dalam hati. Mereka juga terpengaruh oleh gelombang ketidakterikatan yang kuat. Mereka berseru dengan penuh rasa heran, “Ah, paman dan bibi dari pihak ayahnya tiba-tiba meninggalkan istana; berita mangkatnya Krishna datang bagaikan halilintar menerpa kepala yang sudah runyam memikirkan bencana ini, kemudian mendadak sang ibu meninggal; belum lagi jenasahnya diangkat dari tempat ia terjatuh, Dharmaraja menyiapkan acara penobatan! Dan sang maharaja merencanakan akan meninggalkan segala-galanya – kekuasaan, kekayaan, kedudukan dan wewenang – kemudian pergi ke hutan bersama adik-adik beliau. Hanya Pandawalah yang dapat memiliki keberanian dan ketidakterikatan semantap itu. Orang lain tidak akan mampu melakukan hal seberani itu.”
Dalam beberapa menit upacara perabuan telah dilaksanakan. Para Brahmin dipanggil masuk; Dharmaraja memutuskan akan melangsungkan upacara penobatan secara sangat sederhana. Para penguasa dan raja bawahan tidak diundang, demikian pula undangan tidak diberikan kepada sanak keluarga dan waga masyarakat di Indraprastha.
Tentu saja upacara penobatan dalam dinasti Bharata, pengangkatan penguasa pada takhta singa keramat pemilik garis keturunan tersebut biasanya merupakan peristiwa besar. Harinya akan ditetapkan beberapa bulan sebelumnya, saat yang bertuah dipilih dengan dengan amat hati-hati; dan persiapan rinci secara besar-besaran kemudian dilakukan. Tetapi kini dalam beberapa menit segela sesuatu disiapkan dengan sarana apa pun yang tersedia dan siapa pun yang kebetulan dekat. Parikshit dimandikan dengan upacara, perhiasan dipasang pada kepalanya, kemudian para Brahmin dan para menteri membimbingnya menuju singgasana. Ia diminta duduk di takhta. Ketika Dharmaraja memasang sendiri diadem penuh berlian pada kepala Parikshit, setiap orang yang hadir di balairung menangis sedih. Wewenang kekaisaran yang seharusnya diturunkan kepada pewaris takhta diiringi sorak sorai kegembiraan rakyat, kini diberikan kepada anak laki-laki itu diiringi isak tangis.
Parikshit, maharaja yang baru dinobatkan, menangis ; yah, bahkan Dharmaraja tokoh yang menobatkannya, tidak dapat menghentikan aliran air matanya walaupun sudah berusaha sekuat tenaga. Semua orang yang menyaksikannya tercabik hatinya oleh kesedihan yang menyiksa. Siapa yang dapat melawan kekuatan takdir? Nasib melangsungkan setiap perbuatan, pada waktu, tempat, dan dengan cara yang sudah ditetapkan. Di hadapan takdir manusia tidak ada artinya; ia tidak berdaya.
Parikshit adalah anak laki-laki yang sopan dan berbudi luhur. Ia memperhatikan kesedihan yang meliputi wajah setiap orang; ia melihat berbagai peristiwa dan kejadian yang berlangsung dalam istana; ia duduk di singgasana karena merasa bahwa ia tidak boleh melanggar perintah para sesepuh; tetapi tiba-tiba ia bersujud di kaki Dharmaraja dan memohon dengan amat mengibakan, “Baginda, kehendak Tuanku akan saya hormati dan saya taati, tetapi mohon janganlah saya ditinggalkan sendirian.” Parikshit tidak melepaskan pegangannya pada kaki Dharmaraja; ia terus menangis dan memohon. Semua yang melihat pemandangan tragis ini ikut menangis; bahkan yang paling tegar hatipun tidak dapat tidak menangis. Peristiwa itu dahsyat, penuh dengan kesedihan yang mendalam.
Parikshit bersujud di kaki kakeknya, Arjuna, dan berseru mengibakan, “Kakek! Bagaimana Kakek dapat pergi dari sini dengan hati yang damai setelah meletakkan beban kerajaan yang berat ini pada kepala saya? Saya adalah anak yang tidak tahu apa-apa. Saya amat tolol; saya tidak memenuhi syarat; saya tidak memiliki kemampuan. Tidak adil dan tidak pantaslah jika Kakek membebani kepala saya dengan kemaharajaan yang selama ini dipimpin oleh para pahlawan, negarawan, para pejuang perkasa, dan kaum bijak, kemudian Kakek mengundurkan diri ke hutan. Biar orang lain saja yang mengemban tanggung jawab ini; bawalah saya pergi ke hutan juga bersama Kakek,” ia memohon.
“Kita ini amat tidak beruntung. Kita begitu dekat dengan Beliau; kita mendapat demikian banyak kegembiraan dari Beliau, tetapi kita tetap hidup! Jika kita benar-benar memiliki bakti seperti yang kita nyatakan, seharusnya kita sudah meninggalkan raga seperti Ibunda pada waktu mendengar kehilangan ini. Cih, malulah kita. Kita ini hanya beban bagi bumi. Seluruh tahun-tahun kehidupan kita ini percuma belaka.”
Ketika warga kerajaan dan orang-orang lain mengetahui bahwa Kunti Dewi menghembuskan napas terakhir bengitu mendengar bahwa Krishna telah meninggalkan dunia, mereka menangis makin keras, karena kesedihan lantaran kehilangan Krishna jauh lebih besar daripada kesedihan karena lantaran kehilangan Ibu Suri. Banyak yang bertingkah laku seakan-akan mendadak gila; tidak sedikit yang membentur-benturkan kepala pada dinding rumah mereka, mereka merasa amat menderita dan sedih.
Kejadian ini seperti bensin yang dituangkan ke dalam api. Dalam aliran kesedihan tak terhingga yang disebabkan oleh dua kehilangan ini, hanya Dharmarajalah yang tetap tenang. Ia menghibur para ratu, ia berbincang dengan lemah lembut dan meyakinkan kepada mereka masing-masing. Diberitahunya mereka bahwa tidak ada artinya meratapi kehilangan Ibu Suri atau kepergian Sri Krishna. Mereka masing-masing mempunyai jalan sendiri-sendiri sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. “Tinggal kitalah sekarang yang harus memenuhi takdir kita melalui langkah-langkah yang sesuai,” demikian katanya.
Dharmaraja memanggil Arjuna ke dekatnya dan berkata, “Arjuna! Dinda terkasih, marilah kita tidak menundanya lebih lama, upacara perabuan Ibu harus segera dimulai; kita harus menobatkan Parikshit sebagai maharaja; kita harus meninggalkan Hastinapura malam ini juga; setiap detik terasa bagaikan seabad bagi saya.” Dharmaraja penuh dengan ketidakterikatan yang ekstrem, tetapi Arjuna dijiwai dengan semangat pengunduran diri yang lebih besar lagi. Diangkatnya kepala jenasah ibunya dari pangkuannya dan diletakkannya di lantai. Diperintahkannya Nakula dan Sahadewa agar menyiapkan penobatan Parikshit. Ia memberi berbagai petunjuk kepada lain-lainnya, para menteri, pajabat, dan sebagainya, mengenai persiapan-persiapan yang harus dilakukan sehubungan dengan keputusan raja dan para pangeran. Ia benar-benar amat sibuk. Bhima sibuk menyelenggarakan perabuan jenasah ibunya.
Para menteri, warga masyarakat, pendeta dan para guru diliputi rasa heran, kagum, dan sedih oleh perkembangan yang aneh dan aneka peristiwa yang terjadi di istana. Mereka tenggelam dalam duka dan putus asa, tetapi harus menyimpan semuanya dalam hati. Mereka juga terpengaruh oleh gelombang ketidakterikatan yang kuat. Mereka berseru dengan penuh rasa heran, “Ah, paman dan bibi dari pihak ayahnya tiba-tiba meninggalkan istana; berita mangkatnya Krishna datang bagaikan halilintar menerpa kepala yang sudah runyam memikirkan bencana ini, kemudian mendadak sang ibu meninggal; belum lagi jenasahnya diangkat dari tempat ia terjatuh, Dharmaraja menyiapkan acara penobatan! Dan sang maharaja merencanakan akan meninggalkan segala-galanya – kekuasaan, kekayaan, kedudukan dan wewenang – kemudian pergi ke hutan bersama adik-adik beliau. Hanya Pandawalah yang dapat memiliki keberanian dan ketidakterikatan semantap itu. Orang lain tidak akan mampu melakukan hal seberani itu.”
Dalam beberapa menit upacara perabuan telah dilaksanakan. Para Brahmin dipanggil masuk; Dharmaraja memutuskan akan melangsungkan upacara penobatan secara sangat sederhana. Para penguasa dan raja bawahan tidak diundang, demikian pula undangan tidak diberikan kepada sanak keluarga dan waga masyarakat di Indraprastha.
Tentu saja upacara penobatan dalam dinasti Bharata, pengangkatan penguasa pada takhta singa keramat pemilik garis keturunan tersebut biasanya merupakan peristiwa besar. Harinya akan ditetapkan beberapa bulan sebelumnya, saat yang bertuah dipilih dengan dengan amat hati-hati; dan persiapan rinci secara besar-besaran kemudian dilakukan. Tetapi kini dalam beberapa menit segela sesuatu disiapkan dengan sarana apa pun yang tersedia dan siapa pun yang kebetulan dekat. Parikshit dimandikan dengan upacara, perhiasan dipasang pada kepalanya, kemudian para Brahmin dan para menteri membimbingnya menuju singgasana. Ia diminta duduk di takhta. Ketika Dharmaraja memasang sendiri diadem penuh berlian pada kepala Parikshit, setiap orang yang hadir di balairung menangis sedih. Wewenang kekaisaran yang seharusnya diturunkan kepada pewaris takhta diiringi sorak sorai kegembiraan rakyat, kini diberikan kepada anak laki-laki itu diiringi isak tangis.
Parikshit, maharaja yang baru dinobatkan, menangis ; yah, bahkan Dharmaraja tokoh yang menobatkannya, tidak dapat menghentikan aliran air matanya walaupun sudah berusaha sekuat tenaga. Semua orang yang menyaksikannya tercabik hatinya oleh kesedihan yang menyiksa. Siapa yang dapat melawan kekuatan takdir? Nasib melangsungkan setiap perbuatan, pada waktu, tempat, dan dengan cara yang sudah ditetapkan. Di hadapan takdir manusia tidak ada artinya; ia tidak berdaya.
Parikshit adalah anak laki-laki yang sopan dan berbudi luhur. Ia memperhatikan kesedihan yang meliputi wajah setiap orang; ia melihat berbagai peristiwa dan kejadian yang berlangsung dalam istana; ia duduk di singgasana karena merasa bahwa ia tidak boleh melanggar perintah para sesepuh; tetapi tiba-tiba ia bersujud di kaki Dharmaraja dan memohon dengan amat mengibakan, “Baginda, kehendak Tuanku akan saya hormati dan saya taati, tetapi mohon janganlah saya ditinggalkan sendirian.” Parikshit tidak melepaskan pegangannya pada kaki Dharmaraja; ia terus menangis dan memohon. Semua yang melihat pemandangan tragis ini ikut menangis; bahkan yang paling tegar hatipun tidak dapat tidak menangis. Peristiwa itu dahsyat, penuh dengan kesedihan yang mendalam.
Parikshit bersujud di kaki kakeknya, Arjuna, dan berseru mengibakan, “Kakek! Bagaimana Kakek dapat pergi dari sini dengan hati yang damai setelah meletakkan beban kerajaan yang berat ini pada kepala saya? Saya adalah anak yang tidak tahu apa-apa. Saya amat tolol; saya tidak memenuhi syarat; saya tidak memiliki kemampuan. Tidak adil dan tidak pantaslah jika Kakek membebani kepala saya dengan kemaharajaan yang selama ini dipimpin oleh para pahlawan, negarawan, para pejuang perkasa, dan kaum bijak, kemudian Kakek mengundurkan diri ke hutan. Biar orang lain saja yang mengemban tanggung jawab ini; bawalah saya pergi ke hutan juga bersama Kakek,” ia memohon.
Sungguh
pemandangan yang menyedihkan. Parikshit, anak laki-laki yang mengenakan
mahkota, mendekati kakeknya serta saudara-saudara kakeknya dengan mengiba-iba.
Ia memegang erat-erat kaki mereka dan memohon agar agar diijinkan ikut pergi ke
hutan menyertai mereka. Ia akan makan akar-akaran dan buah-buahan dengan senang
hati, melakukan upacara suci, dan merasa bahagia. “Percayakanlah kemaharajaan
ini kepada beberapa menteri yang baik dan ijinkan saya menyertai kakek supaya
saya dapat melayani kakek dan membuat hidup saya berati “ demikian ia memohon.
Orang-orang di sekitarnya dalam pendapa itu menitikan air mata, terharu melihat
kesedihannya karena akan ditinggalkan. Batu-batu cadaspun pasti akan luluh
dalam simpati seandainya mereka mendengar kesedihannya.
Dengan usaha keras Dharmaraja berhasil menekan emosinya. Diangkatnya anak laki-laki itu, didudukannya di pangkuannya, kemudian dicurahkannya kata-kata hiburan dan keberanian di telinganya. “Nak, jangan berhati lemah seperti ini. Engkau adalah putera yang lahir dalam dinasti Bharata; dapatkah biri-biri lahir dalam dinasti singa? Ayah, Ibu dan kakek-kakekmu semuanya penuh keberanian, mereka adalah pembela kebenaran yang gagah perkasa dan nama mereka termashur di seluruh dunia. Karena itu, tidak pantaslah jika engkau menangis seperti ini. Mulai sekarang para brahmin ini adalah kakekmu, orang tuamu. Taatilah nasehat mereka dan perintahlah negara ini sesuai dengan bimbingan mereka. Hiduplah sesuai dengan keagungan dan kemuliaan namamu. Jangan sedih menangisi kami.”
Anak itu penuh kasih, tapi tidak mau menyerah walaupun para sesepuh berusaha menasehati dan membujuknya. Ia meratap, “Kakek, saya terlalu muda sehingga permohonan saya tidak meyakinkan kakek. Saya mengerti, tapi cobalah dengar; sebelum lahirpun saya sudah kehilangan ayah saya. Kakek membesarkan saya dengan penuh perhatian dan kasih sayang yang pasti akan dicurahkan kepada saya oleh ayah seandainya beliau masih hidup. Dan sekarang, ketika saya masih senang bernyanyi, bermain dan bepergian bersama teman-teman saya, kakek membebankan negara besar ini pada kepala saya. Dapatkah ini dibenarkan? Adilkah ini? Daripada meninggalkan saya sendirian dalam kesedihan, Kakek dapat berangkat setelah memenggal kepala saya dengan pedang Kakek. Aduh! Kesalahan apa yang telah saya lakukan pada Kakek sehingga Kakek menghukum saya seperti ini? Mengapa Kakek tidak menghabisi saya dalam rahim ibu pada waktu ayah saya gugur? Apakah tubuh saya yang tidak bernyawa dihidupkan kembali agar Kakek dapat membebankan tugas ini kepada saya?” Sampai lama Parikshit terus menyesali diri dan suratan takdirnya dengan nada seperti ini.
Arjuna tidak tahan lagi mendengar ratapan ini. Ditutupnya mulut Parikshit dengan telapak tangannya, diusap-usapnya anak itu dengan penuh kasih dan ditekannya bibirnya pada kepala pangeran kecil. “Nanda, aib bagi ksatria jika Nanda bertingkah laku seperti pengecut. Kami pun kehilangan ayah kami, kami pun tumbuh dalam asuhan para pertapa dan sanyasi; akhirnya kami dapat memperoleh kasih sayang paman kami dan setelah mengatasi berbagai rintangan yang amat besar, kami menegakkan kekuasaan kami atas kemaharajaan ini. Tuhan yang selama ini menjaga, membimbing, dan mengarahkan langkah kami pastilah akan menjaga dan membimbing Nanda. Jangan berkecil hati. Ikutilah nasihat yang diberikan oleh para brahmin dan menteri ini selama beberapa tahun. Kelak Nanda sendiri akan menyelesaikan masalah-masalah kemaharajaan,” katanya.
Parikshit tidak dapat dihibur. Katanya, “Kakek, apakah sekarang Kakek akan meninggalkan takhta kerajaan dan meletakkannya di atas kepala saya? Tinggalah bersama saya beberapa tahun lagi, ajarlah saya seni memerintah kerajaan dan prinsip-prinsipnya, kemudian Kakek dapat berangkat. Dahulu saya bahagia dan bebas, melompat-lompat dan melancong tanpa mempedulikan apapun karena yakin bahwa ada Kakek yang menjaga saya walaupun saya sudah kehilangan ayah. Sekarang jika Kakekpun meninggalkan saya, bagaimana nasib saya kelak? Kakek adalah pusat segala harapan saya, dukungan yang saya andalkan. Tiba-tiba sekarang Kakek menenggelamkan saya dalam keputusasaan dan meninggalkan saya.” Ia menangis keras-keras, meluluhkan hati semua yang melihat dan mendengarnya. Ia berguling-guling di lantai memegangi para kakeknya.
Arjuna mengangkat Parikshit dengan kedua tangannya dan memeluknya. Diletakkannya anak itu di bahunya dan diusap-usapnya. Disekanya butir-butir air mata yang mengalir di pipinya. Sementara itu ia tidak dapat menahan air matanya sendiri. Sambil berpaling kepada para brahmin yang berdiri mengelilingi mereka menyaksikan semua ini, Arjuna bertanya mengapa mereka hanya memandang dengan diam tanpa berusaha menghibur si anak.
Dengan usaha keras Dharmaraja berhasil menekan emosinya. Diangkatnya anak laki-laki itu, didudukannya di pangkuannya, kemudian dicurahkannya kata-kata hiburan dan keberanian di telinganya. “Nak, jangan berhati lemah seperti ini. Engkau adalah putera yang lahir dalam dinasti Bharata; dapatkah biri-biri lahir dalam dinasti singa? Ayah, Ibu dan kakek-kakekmu semuanya penuh keberanian, mereka adalah pembela kebenaran yang gagah perkasa dan nama mereka termashur di seluruh dunia. Karena itu, tidak pantaslah jika engkau menangis seperti ini. Mulai sekarang para brahmin ini adalah kakekmu, orang tuamu. Taatilah nasehat mereka dan perintahlah negara ini sesuai dengan bimbingan mereka. Hiduplah sesuai dengan keagungan dan kemuliaan namamu. Jangan sedih menangisi kami.”
Anak itu penuh kasih, tapi tidak mau menyerah walaupun para sesepuh berusaha menasehati dan membujuknya. Ia meratap, “Kakek, saya terlalu muda sehingga permohonan saya tidak meyakinkan kakek. Saya mengerti, tapi cobalah dengar; sebelum lahirpun saya sudah kehilangan ayah saya. Kakek membesarkan saya dengan penuh perhatian dan kasih sayang yang pasti akan dicurahkan kepada saya oleh ayah seandainya beliau masih hidup. Dan sekarang, ketika saya masih senang bernyanyi, bermain dan bepergian bersama teman-teman saya, kakek membebankan negara besar ini pada kepala saya. Dapatkah ini dibenarkan? Adilkah ini? Daripada meninggalkan saya sendirian dalam kesedihan, Kakek dapat berangkat setelah memenggal kepala saya dengan pedang Kakek. Aduh! Kesalahan apa yang telah saya lakukan pada Kakek sehingga Kakek menghukum saya seperti ini? Mengapa Kakek tidak menghabisi saya dalam rahim ibu pada waktu ayah saya gugur? Apakah tubuh saya yang tidak bernyawa dihidupkan kembali agar Kakek dapat membebankan tugas ini kepada saya?” Sampai lama Parikshit terus menyesali diri dan suratan takdirnya dengan nada seperti ini.
Arjuna tidak tahan lagi mendengar ratapan ini. Ditutupnya mulut Parikshit dengan telapak tangannya, diusap-usapnya anak itu dengan penuh kasih dan ditekannya bibirnya pada kepala pangeran kecil. “Nanda, aib bagi ksatria jika Nanda bertingkah laku seperti pengecut. Kami pun kehilangan ayah kami, kami pun tumbuh dalam asuhan para pertapa dan sanyasi; akhirnya kami dapat memperoleh kasih sayang paman kami dan setelah mengatasi berbagai rintangan yang amat besar, kami menegakkan kekuasaan kami atas kemaharajaan ini. Tuhan yang selama ini menjaga, membimbing, dan mengarahkan langkah kami pastilah akan menjaga dan membimbing Nanda. Jangan berkecil hati. Ikutilah nasihat yang diberikan oleh para brahmin dan menteri ini selama beberapa tahun. Kelak Nanda sendiri akan menyelesaikan masalah-masalah kemaharajaan,” katanya.
Parikshit tidak dapat dihibur. Katanya, “Kakek, apakah sekarang Kakek akan meninggalkan takhta kerajaan dan meletakkannya di atas kepala saya? Tinggalah bersama saya beberapa tahun lagi, ajarlah saya seni memerintah kerajaan dan prinsip-prinsipnya, kemudian Kakek dapat berangkat. Dahulu saya bahagia dan bebas, melompat-lompat dan melancong tanpa mempedulikan apapun karena yakin bahwa ada Kakek yang menjaga saya walaupun saya sudah kehilangan ayah. Sekarang jika Kakekpun meninggalkan saya, bagaimana nasib saya kelak? Kakek adalah pusat segala harapan saya, dukungan yang saya andalkan. Tiba-tiba sekarang Kakek menenggelamkan saya dalam keputusasaan dan meninggalkan saya.” Ia menangis keras-keras, meluluhkan hati semua yang melihat dan mendengarnya. Ia berguling-guling di lantai memegangi para kakeknya.
Arjuna mengangkat Parikshit dengan kedua tangannya dan memeluknya. Diletakkannya anak itu di bahunya dan diusap-usapnya. Disekanya butir-butir air mata yang mengalir di pipinya. Sementara itu ia tidak dapat menahan air matanya sendiri. Sambil berpaling kepada para brahmin yang berdiri mengelilingi mereka menyaksikan semua ini, Arjuna bertanya mengapa mereka hanya memandang dengan diam tanpa berusaha menghibur si anak.
Bersambung ke bagian " Berpulangnya Pandawa ke kerajaan Tuhan "
Tidak ada komentar:
Posting Komentar