Sesungguhnya
mereka sendiri terlalu sedih sehingga tidak terpikir oleh mereka untuk
menghibur Parikshit. Kata mereka, “Kata-kata tajam yang diucapkan anak ini
melukai kami bagaikan anak panah; kesedihannya membuat kami terpaku. Apa yang
dapat kami katakan kepadanya? Bagaimana kami dapat menghiburnya? Apa yang dapat
membesarkan hatinya saat ini?” Mereka pun dilanda kesedihan.
Akhirnya Kripacharya, guru keluarga kerajaan, dapat menekan kesedihannya. Disekanya matanya yang basah, dengan ujung pakaiannya, lalu berkata kepada Arjuna, “Tuanku menghendaki kami mengatakan apa kepada anak ini? Kami tidak mampu mengatakan apa-apa. Hari ini Tuanku meninggalkan kerajaan yang Tuan peroleh. Setelah mencapai kemenangan yang dibayar dengan sungai darah, jutaan orang mengorbankan hidup, dan tuanku pun memperjuangkannya selama bertahun-tahun. Tuan belum memerintahnya selama seribu tahun, tidak, bahkan beberapa abad pun belum, atau bahkan belum genap tujuh puluh tahun. Siapa yang dapat mengatakan apa yang akan terjadi kelak? Tentu saja perbuatan tokoh-tokoh agung mempunyai tujuan yang mendalam. Maafkan kami; Tuanku adalah junjungan kami; Tuanku tahu yang terbaik.” Kripacharya berdiri dengan kepala tertunduk karena hatinya dibebani kesedihan.
Dharmaraja maju beberapa langkah dan berbicara kepada Acharya, “sebagaimana anda ketahui, setiap tindakan saya sesuai dengan perintah Krishna. Saya mempersembahkan semua kegiatan saya kepada Beliau. Saya tidak menginginkan atau mempertahankan individualitas apapun. Semua tugas dan kewajiban saya telah selesai dengan kepergiaan Sri Krishna. Apakah gunanya bila hanya Dharmaraja yang hidup saat ini? Saya tidak dapat tetap berada di negeri ini semenitpun juga karena pengaruh buruk Kali Yuga sudah berlangsung. Merupakan tugas Andalah untuk menjaga anak laki-laki ini, membimbing dan melatihnya agar ia dapat duduk di takhta dengan aman. Jagalah pelaksanaan Dharma, lanjutkan tradisi dinasti, pertahankan kehormatan dan nama baik garis keturunan ini. Sayangilah dan asuhlah anak ini seperti putra Anda sendiri.” Sambil mengatakan hal itu, diletakkannya tangan Parikshit dalam tangan Kripacharya. Semua yang hadir di situ, termasuk Dharmaraja dan sang acharya, menitikkan air mata pada saat itu.
Beberapa menit kemudian Vajra dipanggil masuk dan diberitahu bahwa sejak hari itu rajadiraja Bharata adalah Parikshit, maka Vajra memberi hormat kepadanya sesuai dengan kedudukannya sebagai penguasa kemaharajaan. Para menteri dan para brahmin pun menghormatinya sebagai junjungan mereka dengan upacara yang sesuai. Setelah itu Dharmaraja memegang tangan Parikshit dan meletakkan tangan Vajra dalam genggaman tangan pemuda itu sambil berkata, “Inilah Vajra, penguasa kaum Yadawa; sekarang saya menobatkannya menjadi raja wilayah Mathura dan Surasena.” Dharmaraja memasangkan mahkota emas bertahtakan berlian pada kepada Vajra. “Kalian berdua jadilah saudara, bekerjasamalah selalu dalam damai dan perang, tidak terpisahkan dalam persahabatan,” demikian diimbaunya mereka. Dipanggilnya Vajra ke samping dan dinasihatinya agar memperlakukan Parikshit sebagai paman dari pihak ayahnya; kemudian dinasihatinya Parikshit agar ia menghormati Vajra sebagaimana ia menghormati Aniruddha sendiri. Dharmaraja memberitahu mereka berdua bahwa mereka harus menjaga agar kelangsungan dharma tidak terganggu dan agar mereka menganggap kesejahteraan rakyat sebagai nafas hidup mereka.
Setelah itu Pandawa bersaudara menaburkan beras yang telah diberkati pada kepada Vajra dan Parikshit. Para pendeta brahmin mengidungkan mantra-mantra yang sesuai. Terompet ditiup dan genderang dipukul keras-keras. Dengan mata berkaca-kaca Vajra dan Parikshit bersujud di hadapan Dharmaraja serta sesepuh yang lain. Pandawa bersaudara tidak dapat menatap wajah kedua pemuda yang mereka sayangi itu; mereka diliputi oleh semangat ketidakterikatan. Mereka hanya memeluk kedua pemuda itu dengan cepat dan mengucapkan sepatah kata perpisahan yang penuh kasih sayang kemudian keluar meninggalkan istana tanpa membawa apa-apa kecuali pakaian yang mereka kenakan.
Melihat peristiwa ini, kaum kerabat, warga kerajaan, para ratu, dan lain-lainnya yang berada di keputren, para pejabat istana, dan para dayang, semuanya menangis mengibakan. Warga kerajaan menjatuhkan diri di tengah jalan yang dilalui sang Maharaja dan berusaha memegang kakinya erat-erat. Mereka memohon dengan amat mengibakan agar Dharmaraja tetap tinggal. Mereka memohon pada Pandawa bersaudara agar diikutsertakan dalam perjalanan itu. Ada beberapa yang mengesampingkan segala keberatan dan berlari mengikuti rombongan. Meskipun demikian, Pandawa tidak pernah berpaling; mereka tidak mengucapkan sepatah katapun. Telinga mereka tertutup untuk segala permohonan. Pikiran mereka terpusat pada Krishna, mereka terus berjalan maju seperti orang-orang yang dibutakan oleh tekad fanatik, tidak mengidahkan atau memperhatikan siapa pun juga.
Draupadi bersama para dayangnya berlari-lari menyusul di belakang mereka. Ia memanggil-manggil nama junjungannya satu demi satu. Parikshit pun mengejar mereka di sepanjang jalan, tetapi ia ditangkap dan dibawa pergi oleh para menteri yang berusaha menenangkannya walau mereka sendiri sangat terharu. Meskipun demikian Pandawa bersaudara berjalan terus tanpa memperdulikan semuanya, juga tidak mengizinkan mereka yang ingin bergabung agar ikut serta. Ratusan pria dan wanita terpaksa berhenti ketika mereka sudah terlalu letih, lalu kembali ke ibukota dengan sedih. Lainnya yang lebih kuat tetap meneruskan perjalanan. Para wanita keputren yang tidak terbiasa pada matahari dan angin segera kehabisan tenaga lalu jatuh pingsan di jalan. Para dayang meratapi peristiwa yang mengguncangkan itu dan menolong mereka. Beberapa diantara mereka nekad ikut masuk ke hutan, tetapi terpaksa kembali dengan segera karena takut menghadapi rimba belantara yang mengerikan.
Ketika timbul badai yang membawa debu, banyak warga masyarakat meletakkan debu itu dengan penuh hormat pada dahi mereka; mereka menganggapnya sebagai debu kaki Dharmaraja. Demikianlah setelah melalui semak belukar, dalam waktu singkat Pandawa bersaudara sudah tidak terlihat lagi. Apa yang dapat dilakukan oleh warga kerajaan? Mereka kembali ke Hastinapura dengan berat hati dan kesedihan yang tidak tertahankan.
Pandawa bersaudara berpegang teguh pada sumpah mahaprasthanam. Dalam ikrar itu mereka tidak boleh makan atau minum apa pun di sepanjang jalan, tidak boleh beristirahat, dan harus berjalan terus lurus ke Utara hingga ajal tiba. Inilah nazar yang mereka lakukan, demikian tegar dan mengagumkan.
Akhirnya Kripacharya, guru keluarga kerajaan, dapat menekan kesedihannya. Disekanya matanya yang basah, dengan ujung pakaiannya, lalu berkata kepada Arjuna, “Tuanku menghendaki kami mengatakan apa kepada anak ini? Kami tidak mampu mengatakan apa-apa. Hari ini Tuanku meninggalkan kerajaan yang Tuan peroleh. Setelah mencapai kemenangan yang dibayar dengan sungai darah, jutaan orang mengorbankan hidup, dan tuanku pun memperjuangkannya selama bertahun-tahun. Tuan belum memerintahnya selama seribu tahun, tidak, bahkan beberapa abad pun belum, atau bahkan belum genap tujuh puluh tahun. Siapa yang dapat mengatakan apa yang akan terjadi kelak? Tentu saja perbuatan tokoh-tokoh agung mempunyai tujuan yang mendalam. Maafkan kami; Tuanku adalah junjungan kami; Tuanku tahu yang terbaik.” Kripacharya berdiri dengan kepala tertunduk karena hatinya dibebani kesedihan.
Dharmaraja maju beberapa langkah dan berbicara kepada Acharya, “sebagaimana anda ketahui, setiap tindakan saya sesuai dengan perintah Krishna. Saya mempersembahkan semua kegiatan saya kepada Beliau. Saya tidak menginginkan atau mempertahankan individualitas apapun. Semua tugas dan kewajiban saya telah selesai dengan kepergiaan Sri Krishna. Apakah gunanya bila hanya Dharmaraja yang hidup saat ini? Saya tidak dapat tetap berada di negeri ini semenitpun juga karena pengaruh buruk Kali Yuga sudah berlangsung. Merupakan tugas Andalah untuk menjaga anak laki-laki ini, membimbing dan melatihnya agar ia dapat duduk di takhta dengan aman. Jagalah pelaksanaan Dharma, lanjutkan tradisi dinasti, pertahankan kehormatan dan nama baik garis keturunan ini. Sayangilah dan asuhlah anak ini seperti putra Anda sendiri.” Sambil mengatakan hal itu, diletakkannya tangan Parikshit dalam tangan Kripacharya. Semua yang hadir di situ, termasuk Dharmaraja dan sang acharya, menitikkan air mata pada saat itu.
Beberapa menit kemudian Vajra dipanggil masuk dan diberitahu bahwa sejak hari itu rajadiraja Bharata adalah Parikshit, maka Vajra memberi hormat kepadanya sesuai dengan kedudukannya sebagai penguasa kemaharajaan. Para menteri dan para brahmin pun menghormatinya sebagai junjungan mereka dengan upacara yang sesuai. Setelah itu Dharmaraja memegang tangan Parikshit dan meletakkan tangan Vajra dalam genggaman tangan pemuda itu sambil berkata, “Inilah Vajra, penguasa kaum Yadawa; sekarang saya menobatkannya menjadi raja wilayah Mathura dan Surasena.” Dharmaraja memasangkan mahkota emas bertahtakan berlian pada kepada Vajra. “Kalian berdua jadilah saudara, bekerjasamalah selalu dalam damai dan perang, tidak terpisahkan dalam persahabatan,” demikian diimbaunya mereka. Dipanggilnya Vajra ke samping dan dinasihatinya agar memperlakukan Parikshit sebagai paman dari pihak ayahnya; kemudian dinasihatinya Parikshit agar ia menghormati Vajra sebagaimana ia menghormati Aniruddha sendiri. Dharmaraja memberitahu mereka berdua bahwa mereka harus menjaga agar kelangsungan dharma tidak terganggu dan agar mereka menganggap kesejahteraan rakyat sebagai nafas hidup mereka.
Setelah itu Pandawa bersaudara menaburkan beras yang telah diberkati pada kepada Vajra dan Parikshit. Para pendeta brahmin mengidungkan mantra-mantra yang sesuai. Terompet ditiup dan genderang dipukul keras-keras. Dengan mata berkaca-kaca Vajra dan Parikshit bersujud di hadapan Dharmaraja serta sesepuh yang lain. Pandawa bersaudara tidak dapat menatap wajah kedua pemuda yang mereka sayangi itu; mereka diliputi oleh semangat ketidakterikatan. Mereka hanya memeluk kedua pemuda itu dengan cepat dan mengucapkan sepatah kata perpisahan yang penuh kasih sayang kemudian keluar meninggalkan istana tanpa membawa apa-apa kecuali pakaian yang mereka kenakan.
Melihat peristiwa ini, kaum kerabat, warga kerajaan, para ratu, dan lain-lainnya yang berada di keputren, para pejabat istana, dan para dayang, semuanya menangis mengibakan. Warga kerajaan menjatuhkan diri di tengah jalan yang dilalui sang Maharaja dan berusaha memegang kakinya erat-erat. Mereka memohon dengan amat mengibakan agar Dharmaraja tetap tinggal. Mereka memohon pada Pandawa bersaudara agar diikutsertakan dalam perjalanan itu. Ada beberapa yang mengesampingkan segala keberatan dan berlari mengikuti rombongan. Meskipun demikian, Pandawa tidak pernah berpaling; mereka tidak mengucapkan sepatah katapun. Telinga mereka tertutup untuk segala permohonan. Pikiran mereka terpusat pada Krishna, mereka terus berjalan maju seperti orang-orang yang dibutakan oleh tekad fanatik, tidak mengidahkan atau memperhatikan siapa pun juga.
Draupadi bersama para dayangnya berlari-lari menyusul di belakang mereka. Ia memanggil-manggil nama junjungannya satu demi satu. Parikshit pun mengejar mereka di sepanjang jalan, tetapi ia ditangkap dan dibawa pergi oleh para menteri yang berusaha menenangkannya walau mereka sendiri sangat terharu. Meskipun demikian Pandawa bersaudara berjalan terus tanpa memperdulikan semuanya, juga tidak mengizinkan mereka yang ingin bergabung agar ikut serta. Ratusan pria dan wanita terpaksa berhenti ketika mereka sudah terlalu letih, lalu kembali ke ibukota dengan sedih. Lainnya yang lebih kuat tetap meneruskan perjalanan. Para wanita keputren yang tidak terbiasa pada matahari dan angin segera kehabisan tenaga lalu jatuh pingsan di jalan. Para dayang meratapi peristiwa yang mengguncangkan itu dan menolong mereka. Beberapa diantara mereka nekad ikut masuk ke hutan, tetapi terpaksa kembali dengan segera karena takut menghadapi rimba belantara yang mengerikan.
Ketika timbul badai yang membawa debu, banyak warga masyarakat meletakkan debu itu dengan penuh hormat pada dahi mereka; mereka menganggapnya sebagai debu kaki Dharmaraja. Demikianlah setelah melalui semak belukar, dalam waktu singkat Pandawa bersaudara sudah tidak terlihat lagi. Apa yang dapat dilakukan oleh warga kerajaan? Mereka kembali ke Hastinapura dengan berat hati dan kesedihan yang tidak tertahankan.
Pandawa bersaudara berpegang teguh pada sumpah mahaprasthanam. Dalam ikrar itu mereka tidak boleh makan atau minum apa pun di sepanjang jalan, tidak boleh beristirahat, dan harus berjalan terus lurus ke Utara hingga ajal tiba. Inilah nazar yang mereka lakukan, demikian tegar dan mengagumkan.
Pandawa
berjalan terus dengan pandangan lurus ke depan, menanti saat robohnya tubuh
mereka karena kelelahan, dan kematian menyelesaikan karir mereka di dunia. Hati
mereka penuh pada emosi yang berkisar pada Sri Krishna, permainan dan senda
gurau Beliau; mereka tidak mempunyai pikiran atau perasaan yang lain.
Draupadi, permaisuri mereka, menyeret dirinya hingga agak jauh, tetapi ia menjadi terlalu lemah untuk melanjutkan perjalanan. Ketika ia berseru memanggil-manggil dan memohon, junjungannya tidak berpaling. Draupadi yang sangat cerdas dan berbakti segera sadar bahwa Pandawa bersaudara sedang melakukan nazar yang amat keras dan berat; ia mengerti bahwa ikatan yang menghubungkan dirinya dengan mereka selama ini telah lepas dan ia harus menghadapi ajalnya. Draupadi jatuh pingsan; ia menghembuskan napas terakhir dengan pikiran terpusat pada Krishna.
Pandawa bersaudara pun berjalan terus dengan disiplin yang ketat dan satu demi satu menemui ajalnya pada waktu dan tempat yang telah ditakdirkan bagi mereka masing-masing untuk meninggalkan raganya. Tubuh mereka menjadi debu, tetapi jiwanya manunggal dengan Krishna. Mereka mencapai kekekalan, lebur dalam hakikat Krishna yang abadi.
Draupadi, permaisuri mereka, menyeret dirinya hingga agak jauh, tetapi ia menjadi terlalu lemah untuk melanjutkan perjalanan. Ketika ia berseru memanggil-manggil dan memohon, junjungannya tidak berpaling. Draupadi yang sangat cerdas dan berbakti segera sadar bahwa Pandawa bersaudara sedang melakukan nazar yang amat keras dan berat; ia mengerti bahwa ikatan yang menghubungkan dirinya dengan mereka selama ini telah lepas dan ia harus menghadapi ajalnya. Draupadi jatuh pingsan; ia menghembuskan napas terakhir dengan pikiran terpusat pada Krishna.
Pandawa bersaudara pun berjalan terus dengan disiplin yang ketat dan satu demi satu menemui ajalnya pada waktu dan tempat yang telah ditakdirkan bagi mereka masing-masing untuk meninggalkan raganya. Tubuh mereka menjadi debu, tetapi jiwanya manunggal dengan Krishna. Mereka mencapai kekekalan, lebur dalam hakikat Krishna yang abadi.
Bersambung kebagian : ..."Masa pemerintahan Raja Parikshit"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar