Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kiri disini
Kode Iklan anda yang ingin ada di sebelah kanan disini
Bhagavad Gita kitab suci Hindu
penganjur perang!
(Dari buku Hindu di balik Tuduhan
dan Prasangka seri II)
Ada sekelompok orang yang menyebut
Sri Krishna sebagai tokoh yang tidak bermoral, karena memaksa Arjuna berperang
padahal, menurut mereka Arjuna telah tegas-tegas menolak terlibat dalam
pertempuran yang akan memaksanya membunuh kakek, guru, kerabat, dan sanak
saudara yang ia hormati dan ia cintai. Benarkah Bhagavad Gita semata-mata
mengajarkan perang dan kekerasan?. Pelajaran moral apa yang terkandung dalam
perintah Sri Krishna yang menegaskan bahwa Arjuna tetap harus berperang ?
Pada suatu waktu, dalam sebuah
diskusi pendalaman Bhagavad Gita, ada seorang peserta yang berkata : “Saya
sudah muak dengan agama. Saya malas membaca kitab suci lagi. Termasuk membaca
Bhagavad Gita. Bukankah justru gara-gara ayat dalam kitab suci, manusia terus
saling berperang. Semua orang tahu bahwa pertikaian di Timur tengah telah
berlangsung puluhan tahun. Pertikaian antara Israel dan Palestina misalnya
terus saja berlanjut. Padahal berbagai upaya perdamaian sudah dilakukan tapi
tetap saja konflik itu tidak pernah berakhir. Bulan-bulan terakhir ini konflik
itu bahkan makin meluas dan menyeret Negara-negara lain. Saya pribadi
berpendapat bahwa konflik itu tidak akan pernah selesai. Soalnya kalau mau
jujur, konflik itu diilhami dan dilandasi oleh perintah-perintah kitab suci agama
masing-masing dari pihak yang bertikai itu. Dalam kitab suci itu, diakui atau
tidak, ada pemaparan tentang sejarah pertikaian antara nenek moyang mereka,
disertai klaim bahwa pihak merekalah yang dilindungi dan dikehendaki oleh
Tuhan. Dendam itu akan terus berkobar di dada generasi penerus mereka
masing-masing terlebih setelah mereka membaca kitab sucinya. Bukankah sejak
kemunculannya, 3 agama yang sama-sama berasal dari Nabi Ibrahim itu memang
selalu bertikai? Bukankah kalau hanya dibaca secara tekstual apa adanya, banyak
ayat yang seolah mengajarkan dan membenarkan kekerasan kepada umat lain? Karena
itu selama masing-masing kelompok masih berpegang teguh pada apa yang tersurat
dalam kitab-kitab mereka, maka selama itu jalan perdamaian akan jauh dari harapan.
Tadinya saya masih menaruh harapan
bahwa kitab-kitab hindu pasti tidak begitu. Karena Hindu terkenal sebagai agama
Damai yang penuh toleransi. Saya pikir sikap orang hindu yang umumnya toleran,
itu pasti karena pengaruh ajaran kitab sucinya. Lalu saya coba pelajari kitab
suci Hindu maksudnya sekalian memperoleh pencerahan dan pengetahuan rohani.
Selanjutnya Bhagavad Gita-lah yang paling mudah diketemukan karena susah
menemukan kitab yang lainnya. Tapi akhirnya saya bingung dan sangat kecewa
karena baru membaca Bab I dan Bab II saja sudah ngeri dan memutuskan untuk
tidak meneruskan membacanya. Karena di bab itu dia saya temukan Krishna yang
diagungkan sebagai Tuhan justru menganjurkan peperangan dan pembunuhan kepada
sanak keluarga. Lagipula disabdakannya kitab suci itu kan di medan perang,
sehingga saya berkesimpulan bahwa semua kitab suci agama sama saja yakni
mengajarkan kekerasan padahal seharusnya menciptakan kerukunan dan perdamaian.”
Teman itu lalu mulai mengkritik Sri
Krishna penyabda Bhagavad Gita. Menurutnya Krishna adalah tokoh yang tidak
punya moral karena memaksa Arjuna untuk membunuh kakek, sanak keluarga, dan
gurunya sendiri. Padahal Arjuna sudah menolak untuk berperang dengan dalih yang
sangat manusiawi dan menjunjung nilai-nilai tinggi Ahimsa. Karena Ahimsa adalah
Dharma tertinggi menurut Weda (Ahimsa Paramadharma). Namun begitu Sri Krishna
terus membujuk Arjuna dengan iming-iming tawaran yang menggiurkan. Sebagaimana
bisa dilihat dalam B.Gita 2.37 yang terjemahannya sbb :
“ wahai Arjuna, engkau akan terbunuh
di medan perang dan mencapai planet-planet surge atau engkau akan menang dan
menikmati kerajaan di dunia? Karena itu bangun dan bertempurlah dengan
ketabahan hati.”
Bhagavad Gita dikenal sebagai simbul
kedamaian dan pencerahan bhatin. Mahatma Gandhi menyatakan “Bhagavad Gita
adalah sumber kedamaian bagiku. Manakala keputusasaan datang menghampiri, aku
membuka lembaran-lembaran Gita dan selalu kutemukan ayat yang memberikan
pengharapan.”
Meskipun demikian, kita tahu bahwa Gandhi adalah penganjur Ahimsa
(Anti kekerasan). Ia juga mengakui bahwa beberapa sloka/ayat dalam Bhagavad
Gita itu penuh dengan misteri dan pemaknaannya tidak mungkin dapat diterapkan
dalam kehidupan nyata. Misalnya dalam Bab 18 sloka 17, Sri Krishna menyatakan bahwa
kegiatan membunuh sekalipun dapat bersifat rohani dan merupakan salah satu
bentuk yoga. Orang yang tidak digerakkan oleh keakuan palsu dan kecerdasannya
tidak terikat, tidak akan membunuh meskipun ia membunuh orang di dunia ini. Ia
juga tidak akan terikat oleh perbuatannya.” Dalam karyanya yang berjudul Anna
Shakti Yoga, Gandhi mengomentari ayat tersebut sebagai berikut:
“Makna ayat-ayat Bhagavad Gita ini
tampaknya didasari pada cita-cita ideal di dunia khayalan yang sulit ditemukan
contohnya di dunia nyata ini.” Karena alasan itulah sebagian orang
terang-terangan menuduh Sri Krishna sebagai tokoh provokator yang tidak cinta
damai. Anggapan demikian itu sering disebar luaskan oleh orang non hindu untuk
memojokkan kitab-kitab hindu. Menurut mereka, Bhagavad Gita tidak pantas
dijadikan pedoman moralitas karena jelas-jelas bertentangan dengan sikap cinta
damai dan anti kekerasan. Benarkah anggapan itu? Benarkah selama ini Bhagavad
Gita sudah menjadi sumber inspirasi bagi tindak kekerasan ataupun pembunuhan
yang mungkin dilakukan oleh umat hindu yang ekstrim? Lalu haruskah kita
menghentikan membaca kitab Bhagavad Gita?.
Selama ini orang yang menetapkan
standar moralitas menurut ukuran mereka sendiri pasti akan meragukan kesimpulan
Sri Krishna dalam Bhagavad Gita tersebut. Karena itu marilah secara obyektif
memahami mana yang tergolong kekerasan dan mana yang bukan kekerasan. Barulah
nanti kita bisa menyimpulkan apakah Sri Krishna benar-benar merupakan
provokator bagi tindak kekerasan seperti yang banyak dituduhkan orang selama
ini. Banyak orang yang lupa bahwa percakapan rohani antara Krishna dan Arjuna
yang disebut sebagai Bhagavad Gita itu sebenarnya adalah bagian dari kitab yang
lebih besar yaitu Mahabharata. Walaupun sering dibaca sebagai buku yang terpisah,
sesungguhnya Bhagavad Gita yang terdiri dari 18 Bab itu adalah teks dari Bab
25-42 dari Bhisma Parwa yang merupakan salah satu bagian dari 18 parwa dalam
kitab Mahabharata.
Untuk dapat memahami secara benar
amanat Bhagavad Gita, kita harus memahami pula secara utuh kitab Mahabharata.
Dengan demikian, kita bisa memahami apa yang melatar belakangi perang di
kuruksetra dan tujuan disabdakannya Bhagavad Gita. Kalau kita mengikuti kisah
Mahabharata sebelum perang di kuruksetra terjadi, sebenarnya segala upaya damai
telah diusahakan. Para pandawa berhak meminta kembali kerajaan Indraprasta yang
memang hak milik sah mereka. Namun para Kaurawa menolak permintaan itu, lalu
para Pandawa mengalah dengan hanya meminta 5 desa sebagai tempat tinggal.
Sebagai Ksatriya, tugas mereka adalah pelindung dan administrator pemerintahan.
Karena itu mereka merelakan kerajaan sah mereka dan hanya meminta wilayah
seluas 5 desa (1 desa untuk 1 orang) agar tetap dapat melaksanakan tugas dan
kewajiban sebagai Ksatriya. Duryodana yang serakah menolak mentah-mentah
permintaan itu. Dengan congkak bahkan ia mengatakan, “ Wahai Pandawa, jangankan
5 desa, tanah seluas ujung jarumpun tidak akan aku relakan untuk kalian”.
Namun begitu, segala upaya damai
masih terus diupayakan bahkan tanpa diminta oleh siapapun, atas kehendak dan
inisiatifnya sendiri sebagai seorang Avatara,Sri Krishna bertindak sebagai duta
perdamaian. Krishna telah menunjukkan niat baik sebagai pihak yang cinta damai.
Krishna pergi ke Hastinapura dan membujuk para Kaurawa agar mau berdamai dengan
para pandawa. Tapi apa yang terjadi?, dengan congkaknya Duryodana justru
memerintahkan prajuritnya untuk menangkap Sri Krishna. Saat dikepung oleh bala
tentara Kaurawa itu, Krishna telah menunjukkan identitasnya yang sejati dengan
menampakkan wujud Visvarupa-Nya. Tapi Duryodana tetap menghendaki perang
terjadi karena ia merasa yakin dengan jumlah tentaranya akan mampu mengalahkan
Pandawa. Jadi sesungguhnya siapa yang gemar perang?. Kalau benar Krishna
gemar berperang, penganjur pembunuhan dan merestui tindak kekerasan, mengapa
Sri Krishna mengagungkan Ahimsa sebagai sifat mulia. Sifat agung yang tumbuh
dari pengetahuan yang benar. Setidaknya 3 kali dalam Bhagavad Gita (yakni
B.Gita 10.5, 13.8, dan 16.2) Krishna mendukung sepenuhnya perintah Veda.
“Ahimsa sarva bhutanam = Jangan melakukan kekerasan kepada mahluk hidup
manapun” perlu kita catat pula bahwa walaupun sabda dan argument Sri Krishna
dimaksudkan untuk semua orang, namun dalam konteks ini, perintah Krishna untuk
bertempur khususnya ditujukan kepada Arjuna. Sunguhlah bodoh kalau ada orang
yang membenarkan tindakan kriminalnya dengan mengutip misalnya ayat yang
berbunyi “sang roh tidak dapat dibunuh ataupun dapat membunuh” tanpa
memahami konteks makna ayat seperti itu, sebuah tindakan tergolong kekerasan
atau bukan kekerasan ditentukan oleh prinsip tugas dan wewenang. Dalam system
social Weda, Arjuna dan para Pandawa lainnya adalah para Ksatriya. Kata
Ksatriya sendiri dalam bahasa sansekerta berarti orang yang melindungi dari bahaya.
Menjadi tugas para ksatriya untuk melindungi masyarakat dari serangan musuh.
Sama halnya dengan tugas TNI melindungi rakyat Indonesia dari serangan apapun.
Disebutkan bahwa ada 6 golongan musuh yang harus dilawan dan bahkan diberikan
hukuman mati yakni :
1. Orang
yang meracuni
2. Orang
yang membakar rumah orang lain
3. Orang
yang menyerang dengan senjata mematikan
4. Orang
yang merampok kekayaan orang lain
5. Orang
yang menyerobot tanah milik orang lain
6. Orang
yang menculik istri orang lain
Duryodana dan saudaranya telah
melakukan 6 jenis kesalahan tersebut. Mereka telah berusaha membunuh Bima
dengan meracuninya, pernah berusaha membakar Pandawa dan Kunti yang merupakan
bibinya sendiri dengan menjebak mereka di istana kardus. Kaurawa juga sudah
merampas kerajaan para Pandawa (Indraprasta), telah berusaha merebut Drupadi
dan menjadikan istri Pandawa itu sebagai budak.
Walaupun upaya perdamaian telah
dilakukan, Duryodana tetap ngotot ingin berperang. Karena yakin bahwa bala
tentaranya yang jauh lebih banyak jumlahnya akan mampu mengalahkan Pandawa.
Jadi menurut anjuran Weda, Duryodana sudah memenuhi syarat sebagai musuh yang
harus dilawan dan boleh dihukum sampai mati. Sebelum peperangan, Krishna
memberikan pilihan kepada Pandawa dan Kaurawa, Mereka dipersilahkan memilih
salah satu. Pasukan Sri Krishna yang tak terkalahkan atau memilih diri Krishna
yang tidak akan ikut bertempur. Demikianlah ketika kedua belah pihak itu
akhirnya harus berhadapan di medan perang Kuruksetra, para Pandawa memilih Sri
Krishna sebagai penasehat mereka. Sedangkan Duryodana tergoda untuk memilih
bala tentara kerajaan Mathura. Pada waktu perang terjadi, Krishna bertindak
sebagai kusir kereta perang Arjuna. Disinilah mulainya bab pertama Bhagavad Gita.
Saat melihat Kakek, Guru, Kerabat, dan Sanak keluarga berdiri berhadapan siap
bertempur, Arjuna terduduk lemas, badannya gemetar, busur dan panah terlepas
dari tangannya. Ia memutuskan untuk tidak bertempur dengan memberikan
argumentasi berdasarkan ajaran-ajaran moralitas menurut Veda sebagai
pembenaran.
Baginya lebih baik menjadi pengemis
dan hidup sebagai peminta-minta daripada menanggung dosa besar akibat membunuh
orang-orang yang patut dihormatinya. Arjuna juga beralasan bahwa apabila para
suami terbunuh, maka hal-hal yang bertentangan dengan Dharma akan merajalela
dalam keluarga, kaum wanita dan keluarga yang ditinggalkan akan ternoda. Dan
dengan merosotnya kaum wanita, lahirlah keturunan yang tidak diinginkan (B.Gita
1.40). Peperangan adalah selalu salah bagi orang yang mampu berfikir secara
jernih. Lebih baik menempuh jalan non kekerasan.
Mendengar semua argumentasi itu,
sambil tersenyum Sri Krishna bersabda “ …Sambil berbicara dengan cara yang
pandai, engkau menyesalkan sesuatu yang tidak patut disesalkan. Orang yang
bijaksana tidak pernah menyesal baik untuk yang masih hidup ataupun untuk yang
sudah meninggal” (B.Gita 2.11). menurut pengertiannya, kekerasan bukan hanya
menyangkut kekerasan phisik tetapi juga kekerasan terhadap mental. Termasuk pula
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Kekerasan yang dilakukan oleh Duryodana
tidak hanya menyangkut kekerasan phisik semata. Ia juga telah menghalangi hak
warga kerajaannya untuk hidup berdasarkan prinsip ketuhanan. Dalam sebuah
pemerintahan kerajaan, biasanya masyarakat menganggap seorang raja sebagai
wakil Tuhan di dunia. Seorang raja / pemimpin wajib memberikan kesempatan penuh
warganya untuk dapat mengembangkan kehidupan spiritual dan kesadaran kepada
Tuhan. Selama ini para Kaurawa telah banyak melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan Dharma. Karena itu sebagai Ksatriya, tugas Arjuna sudah
jelas. Jauh dari sekedar gemar berperang, Krishna memerintahkan Arjuna untuk
menjalankan tugas ksatriyanya. Tetapi Arjuna adalah Ksatriya yang lembut hati,
berhati mulia, sehingga tidak ingin melakukan pembunuhan itu. Krishna lalu
mengingatkan Arjuna tentang hakekat diri manusia sebagai Roh bahwasannya roh
tidak akan pernah terbunuh dalam keadaan manapun. Kalau orang mau membaca
sampai habis Bhagavad Gita dan tidak hanya berhenti sampai Bab 2, orang akan
memahami segala misteri kehidupan ini. Bhagavad Gita bukan hanya berbicara
tentang kekerasan. Mungkin orang masih akan mempotes tindakan Arjuna adalah
sebuah pembalasan dendam dan penghukuman terhadap Duryodana tetap saja
merupakan tindakan kekerasan dan patut dicela, tetapi apakah pemaksaan atau
pembunuhan selalu berarti kekerasan yang tercela?, dan apakah prilaku yang
tampaknya bersahabat selalu berarti non kekerasan?, saat mengamputasi anggota
badan pasien, seorang dokter bedah mungkin dianggap bertindak sadis dan orang
awam bisa saja mengambil kesimpulan betapa sadist dan biadabnya tindakan dokter
itu. Tetapi bukankah tindakan dokter bedah itu tidak melanggar hokum. Mengapa ?
karena ia menjalankan tugas yang telah ditetapkan baginya dan ia melakukan hal
tersebut justru untuk menolong si pasien. Tindakan amputasi atau operasi yang
dilakukannya yang tampaknya kekerasan justru bertujuan baik untuk menyembuhkan
si pasien. Sementara itu seorang teman mungkin berusaha menghentikan
kebiasaannya mabuk atau merokok. Kalau kemudian atas nama sikap persahabatan
anda menawarinya minuman keras atau rokok, tindakan anda yang tampak bersahabat
itu sebenarnya adalah tindakan kekerasan karena selain menyebabkan gangguan kesehatan
akibat minuman keras dan rokok yang anda berikan, barangkali anda juga bisa
disebut telah melanggar kebebasan orang lain untuk menjalani pilihan hidupnya.
Adanya peraturan yang disertai sanki bila merokok di tempat umum adalah salah
satu bukti bahwa merokok adalah salah satu tindakan yang membahayakan atau
anggaplah ada seorang polisi yang menolak melakukan kekerasan saat tugas
mewajibkannya melindungi seseorang dari serangan perampok, maka tindakan polisi
yang melakukan Non-kekerasan itu dengan sendirinya adalah pelanggaran terhadap
hak warga Negara untuk memperoleh perlindungan. Seorang anak yang baru sadar
setelah menjalani operasi berat mungkin akan menangis meminta makanan karena
rasa haus dan lapar. Tapi dokter tidak menuruti keinginan anak itu dengan tidak
memberinya makanan. Memberikan makanan kepada anak dalam kondisi seperti itu
justru merupakan tidakan kekerasan. Contoh-contoh tersebut bisa memberikan
gambaran kepada kita betapa tidak mudah menentukan mana yang kekerasan dan mana
yang bukan kekerasan menurut standar moralitas buatan manusia. Karena itu kita
membutuhkan sebuah standar moral absolute yang melampaui standar relative,
benar salah dan baik buruk di dunia ini. Sekali lagi pertempuran perang di
medan perang Kuruksetra merupakan pilihan terakhir yang tidak dapat dihindari
lagi. Bagi Arjuna, penolakannya bertempur dilandasi oleh kemuliaan hati dan
sifat welas asihnya yang benar. Tetapi jika Arjuna meninggalkan medan perang
itu, apakah para Kaurawa akan menganggap Arjuna sebagai Ksatriya berhati mulia?
Tidak! Mereka akan menganggap sebagai pengecut.
Marilah kita simak sloka 2.30 -2.38
agar dapat memahami secara utuh alasan Krishna meminta Arjuna tetap bertempur.:
“Wahai putera keluarga bharata, dia
yang tinggal dalam badan tidak pernah dapat dibunuh. Karena itu engkau tidak
perlu bersedih hati untuk mahluk manapun. Mengingat tugas kewajibanmu yang
khusus sebagai seorang Ksatriya, hendaknya engkau mengetahui bahwa tiada
kesibukan yang lebih baik untukmu daripada bertempur berdasarkan prinsip-prinsip
Dharma. Karena itu engkau tidak perlu ragu-ragu”
“Wahai arjuna, berbahagialah para
Ksatriya yang mendapat kesempatan untuk bertempur seperti itu tanpa mencarinya.
Kesempatan yang membuka pintu gerbang planet-planet surga bagi mereka.”
“Akan tetapi kalau engkau tidak
melakukan kewajiban Dharmamu, yakni bertempur, engkau pasti menerima dosa
karena melalaikan kewajibanmu.dan dengan demikian kemasyuranmu sebagai ksatrya
akan hilang. Orang akan selalu membicarakan engkau sebagai orang yang hina dan
bagi orang yang terhormat, bukankah penghinaan lebih buruk daripada kematian?”
“Jendral-jendral besar yang sangat
menghargai nama dan kemasyuranmu akan menganggap bahwa engkau meninggalkan
medan perang karena rasa takut saja dan dengan demikian, mereka akan meremehkan
engkau”
“Musuh-musuhmu akan menjuluki engkau
dengan banyak kata yang tidak baik dan mengejek kesanggupanmu. Apa yang dapat
lebih menyakiti hatimu daripada itu?”
“Wahai putra Kunti, engkau akan
terbunuh di medan perang dan mencapai planet-planet surge atau engkau akan
menang perang dan menikmati kerajaan di dunia. Karena itu bangun dan
bertempurlah dengan ketabahan hati.”
“Bertempurlah demi pertempuran saja
tanpa mempertimbangkan suka atau duka, rugi atau laba, menang atau kalah,
sehingga dengan demikian engkau tidak akan dipengaruhi oleh dosa.”
Jadi Arjuna mendapat perintah
langsung dari Tuhan untuk membinasakan para Kaurawa. Tugasnya hanyalah
bertempur, hanya sebagai alat, sekedar menjalankan kewajiban tanpa mengikatkan
diri atas hasil tindakannya. Inilah sesungguhnya ajaran yang sangat dalam.
“Karena itu bangunlah. Siap-siap
untuk bertempur dan merebut kemasyuran. Kalahkanlah musuhmu dan nikmati
kerajaan yang makmur. Sebenarnya mereka sudah dibunuh oleh apa yang kuatur, dan
engkau hanya dapat menjadi alat dalam pertempuran ini wahai Savyasaci “
(B.Gita: 11.33)
Sekali lagi, Arjuna hanya berperang
sebagai instrument atau alat agar upaya penegakkan prinsip-prinsip Dharma yang
dilakukan oleh Sri Krishna tampak wajar dan rasional dalam pandangan manusia
biasa. Padahal sebenarnya, para ksatriya itu telah dibunuh oleh Krishna
sendiri. Hal itu tampak dalam uraian arjuna tentang apa yang dilihatnya setelah
ia menerima pandangan mata rohani (Caksu Divyam) dari Tuhan Sri Krishna.
“ Oh Vishnu yang berada di
mana-mana, ketika hamba melihat Anda dengan berbagai warna Anda yang bercahaya
dan menyentuh langit, mulut-mulut Anda yang terbuka lebar dan mata Anda yang
besar dan menyala, pikiran hamba goyah karena rasa takut. Hamba tidak dapat
memelihara sikap mantap maupun keseimbangan pikiran lagi “
“Oh Penguasa para dewa, pelindung
dunia-dunia, mohon memberi karunia kepada hamba. Hamba tidak dapat memelihara
keseimbangan ketika melihat Anda seperti ini dengan wajah-wajah Anda yang
menyala seperti maut dengan gigi-gigi yang mengerikan di segala arah. hamba
kebingungan”
Semua putra Drshtarata (Para Korawa)
beserta raja-raja yang bersekutu dengan mereka seperti Bhisma, Drona, Karna,
dan Semua pemimpin Ksatriya di pihak kita juga terseret masuk ke dalam
mulut-mulut Anda yang mengerikan. Hamba melihat beberapa diantaranya tersangkut
dengan kepala-kepalanya hancur diantara gigi Anda. Bagaikan ombak-ombak banyak
sungai mengalir kedalam lautan seperti itu pula para ksatriya yang hebat ini
menyala dan masuk ke dalam mulut-mulut Anda (B.Gita 11.25-28)
Kembali dalam kehidupan nyata kita,
dalam prakteknya kekerasan sering kita butuhkan untuk memelihara ketentraman
hidup masyarakat banyak. Masih ingatkah kita dengan terbunuhnya gembong
terrorist dr.Azhari di daerah Batu, kabupaten Malang beberapa waktu lalu, orang
dapat saja mengutuk tindakan penyergapan yang dilakukan Detasmen 88 yang
mengakibatkan tewasnya orang yang paling diburu itu sebagai tindakan kekerasan
yang tidak manusiawi. Bagaimanapun itu adalah tindakan kekerasan. Anehnya
beberapa hari setelah peristiwa itu, anggota Detasmen 88 justru mendapatkan
penghargaan dan kenaikan pangkat dari pemerintah. Mengapa? Karena pembunuhan
yang mereka lakukan adalah demi menjalankan perintah Negara. Mereka memang
mendapatkan mandat dan perintah untuk itu. Tetapi sebaliknya seringkali kita
dengar kabar pemecatan atau pemberian hukuman kepada anggota TNI atau polisi
karena telah melakukan pembunuhan di luar prosedur. Mereka menggunakan senjata
apinya untuk kepentingan pribadi. Jadi tindakan itu sama-sama kekerasan dan
pembunuhan tetapi yang satu mendapat tanda jasa dan kehormatan tetapi yang lain
justru berbuah pemecatan dan hukuman. Apa yang membedakannya? Sekali lagi, ini
adalah karena tugas dan kewajiban.
Dari uraian diatas. Kiranya jelas
bahwa Sri Krishna bukanlah tokoh tak bermoral yang suka perang dan kekerasan.
Bhagavad Gita bukanlah kitab yang bisa digunakan sebagai pembenaran untuk
tindakan criminal yang dilakukan seseorang. Kita boleh lega karena selama ini
belum pernah didengar ada orang hindu yang melakukan agresi atau peperangan
dengan umat agama lain dengan alasan menjalankan perintah Krishna dalam Bhagavad
Gita. Lagipula kalau benar Bhagavad Gita adalah kitab penganjur perang dan
kekerasan, mengapa seorang tokoh anti kekerasan seperti Mahatma Gandhi selalu
membawa-bawa Bhagavad Gita kemanapun beliau pergi. Mengapa semakin banyak orang
dari belahan dunia kini memeluk agama hindu berawal dari membaca Bhagavad Gita?
Tentu saja yang harus kita lakukan adalah membaca Bhagavad Gita dengan didasari
kerendahan hati, dibaca secara keseluruhan dengan bantuan dan bimbingan guru
spiritual yang telah memahami amanat rohani kitab suci itu. Kita butuh
kehadiran guru atau dosen bahkan untuk memahami dan mengerti ilmu pengetahuan
material sekalipun. Apalagi untuk memahami dan menghayati misteri pengetahuan
rohani seperti yang terkandung dalam Bhagavad Gita.
Jadi sayang sekali jika ada orang
yang tidak lagi membaca Bhagavad Gita hanya karena belum memahami amanat
rohaninya. Mungkin ia belum pernah membaca komentar Dr.Edwin H Powell, seorang
professor sosiologi State University of New York yang menyatakan sebagai
berikut.” Kalau memang kebenaranlah yang berhasil seperti yang ditegaskan oleh
Pierce dan para pengikut pilsafat pragmatisme, maka pasti ada kebenaran dalam
Bhagavad Gita menurut aslinya. Sebab para pengikut ajarannya memperlihatkan
ketenangan dan keriangan yang jarang ditemukan dalam masyarakat dewasa ini yang
pada umumnya hambar dan keras.
Jay Sri Krishna !
3 komentar:
sebelum membaca bagawadgita ada baiknya membaca cerita mahabarata dahulu supaya tidak salah tafsir,
Dalam perjalanan hidup batin saya, Bhagavadgita mampu menunjukkan jalan bagaimana menghadapi hidup yang berlumur dengan dosa walaupun saya seorang muslim.
Mahabharata sarat dengan pesan moral kehidupan. ia adalah kisah dan cerminan dari kita sendiri. kita adalah arjuna yang seringkali dibelenggu oleh kebingungan tentang siapakah diri sejati ini. badan yang mempunyai nama ataukah Ia yang jati motor penggerak badan jasmani. baik muslim, kristen atau agama lain yang tidak begitu fokus pada ajaran sang roh ini, juga tentang Reinkarnasi, tetap saja mereka dan kita semua tak bisa menolak hukum sejati dari Tuhan ini. that's why Mahabharata bukanlah milik kami yang mengaku beragama HIndu saja. Ia adalah milik peradaban seluruh manusia.
Posting Komentar